Dengan tubuh gemetar, perasaan berdebar dan syok yang masih dialaminya akibat tindakan-tindakan Leo dan anak buahnya. Alea menenggelamkan dirinya di dalam dekapan Juno. Alea menurut, sewaktu diminta Juno untuk menutup mata dan telinganya.Setelah memastikan Alea sudah menutup mata dan kedua telinganya. Juno mengarahkan pistol itu ke arah Leo. Dengan sangat terpaksa dia melepaskan pelatuknya dan seketika peluru di dalam pistol tersebut menembus kepala Leo,sekaligus mengakhiri nyawanya detik itu juga.Juno pastikan kalau ini terakhir kalinya dia membunuh seseorang. Ia tidak mau melakukannya lagi dan tidak mau kembali ke dalam dunia gelap yang pernah dekat dengannya. Tidak, karena sekarang dia sudah memiliki seseorang yang dia cintai dan seseorang yang harus dia lindungi dengan sungguh-sungguh.Tak hanya menghabisi Leo, Juno juga menghabisi Anton. Pria yang selama ini sudah menjadi orang kepercayaannya dan tega menghianatinya. Apa pun alasan Anton menghianatinya, lelaki itu sudah membaha
Juno menggertakkan gigi. Otot rahangnya mengeras. Ia mengangkat ponselnya dan melemparkannya ke dinding hingga hancur berantakan.“Bajingan itu akan mati malam ini.”Tatapan Juno berubah dingin seperti salju di musim kematian. Anton yang berdiri di belakangnya terpaku. Tapi dia tahu, ini saat yang paling genting.Juno membuka kancing baju atasnya. Ia mengambil pistol dari laci tersembunyi di balik rak buku, lalu mengokangnya sambil menatap tajam ke arah Anton.“Di mana dia, Anton?”Anton menunduk. “Saya—saya tidak tahu, Tuan. Saya sedang mencoba melacak—”“BOHONG!”Juno menodongkan pistolnya ke kepala Anton.“Aku tanya sekali lagi, di mana Alea?”Anton mengangkat tangan, keringat membasahi pelipisnya. “Tuan, tolong… saya tidak tahu apa-apa!”Juno mendekat perlahan, ujung pistol menempel ke dahi Anton. “Kau pengawalku selama bertahun-tahun, dan aku percaya padamu lebih dari siapapun. Tapi cuma satu orang dalam lingkaran ini yang tahu di mana posisi Alea saat aku pergi.”Anton menelan l
Satu jam sebelumnya, ketika Alea belum lama menutup matanya. Tiba-tiba saja dia dikagetkan dengan bayangan hitam seseorang dari jendela kamarnya. Alea kembali terbangun, dia pun berteriak. "TOL—" Namun, mulutnya langsung dibekap."Hempp! Hemph!" Tubuh Alea diseret paksa turun dari ranjang oleh kekuatan tangan kekar. Alea panik dan mencoba melawan pria yang menyeretnya itu. Tangannya berhasil lampu tidur di atas meja dan dengan cepat ia memukul kepala pria itu dengan lampu tersebut. Sampai lampunya pecah."Sialan! Wanita ini!" desis pria itu marah saat keningnya terluka dan kepalanya sakit karena ulah Alea. Tetesan darah berceceran dari keningnya. Pria itu menyeret Alea yang telanjang kaki dengan kasar. Hingga telapak kakinya berdarah- darah terkena pecahan lampu tidur di lantai. Darah di telapak kakinya terlihat di lantai. Alea meringis kesakitan, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa saat tubuhnya diseret paksa oleh tubuh kekar dan kuat pria ini. Tenaga yang jauh lebih kuat darinya.
Hati Giska hancur saat mendengar dari bibir Adrian, kalau lelaki itu menolak cintanya. Padahal dia sudah sangat bereffort menyatakan cinta lebih dulu dan menciptakan suasana romantis. Namun, lelaki itu menolaknya dengan satu kata 'tidak'"Tidak. Kamu pasti bohong kan, Pak kulkas? Kamu tidak bicara dari hati kamu!" ujar Giska seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan tak percaya dengan penolakan yang dikatakan pria itu. "Kamu itu sebenarnya suka sama aku, kan?"Adrian mengerutkan keningnya, mendengar Giska yang sangat percaya diri kalau ia menyukainya. Selama ini dia mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan dan adiknya yang masih kuliah. Belum ada kisah percintaan di dalam hidupnya."Tidak sama sekali.""Kamu pasti bohong! Aku tahu kamu suka juga sama aku," ucap Giska mendesak. Tapi respon Adrian sangat dingin."Saya tidak ada waktu untuk hal seperti ini.""Kalau begitu, ayo kita luangkan waktu untuk hal seperti ini. Aku yakin kamu akan suka. Ayo kita pacaran dulu," ajak Giska."Men
Keesokan harinya... Alea terbangun dengan kepala yang masih berat. Cahaya matahari menyelinap dari sela tirai jendela, menyinari tempat tidur yang kini terasa begitu luas dan dingin. Tangan kirinya meraba sisi ranjang yang kosong. Tidak ada siapa-siapa. Hanya aroma samar parfum Juno yang masih tertinggal di bantal. Dengan enggan, ia bangkit dan menemukan secarik kertas di atas nakas. Sayangku sweetie girl, Maaf karena harus pergi sebelum kamu bangun. Aku tidak ingin melihatmu sedih saat aku pamit. Tolong jaga dirimu baik-baik, dan jangan pernah lepas dari pengawalku, Rama dan Hans. Mereka bisa kamu percaya. Aku mungkin tidak bisa langsung membalas pesanmu, tapi aku akan membaca semuanya. Jangan berhenti mengabariku, ya. Tunggu aku pulang. Aku cinta kamu. - Juno Alea memeluk kertas itu erat-erat. Air matanya jatuh, tanpa bisa dicegah. Meski hanya semalam mereka kembali bersama, kehangatan itu masih terasa nyata. Tapi kini, lagi-lagi ia harus menjalani hari tanpa Juno. Ia
"Tolong jelaskan. Apa yang Anda maksud dengan kekerasan?" Juno bertanya dengan tegas seraya menatap Arkan dengan tajam.Arkan lalu menjelaskan secara singkat, tentang diagnosa dokter, mengenai kondisi Ghea. Tentang adanya jejak kekerasan di tubuh wanita yang sedang hamil muda itu. Rosaline dan Juno tercengang mendengar penjelasan Arkan. Hingga mereka berdua pun meminta Tina dan Arkan untuk keluar dari ruang rawat tersebut, karena mereka akan berbicara secara pribadi dengan Ghea. Tentunya, pembicaraan keluarga.Setelah Arkan dan Tina pergi, barulah Juno, Rosaline dan Ghea bisa berbicara. Ghea tampak ketakutan, ia melipat bibirnya."Ghea. Benar apa yang dikatakan dosen kamu barusan?" tanya Rosaline seraya memegang kedua bahu Ghea."I-itu ... O-Oma. Tidak seperti itu." Ghea tidak bisa menahan rasa gugupnya."Martin pelakunya, kan?" tanya Juno yang tidak mendapatkan jawaban dari Ghea. "Kamu diam, berarti itu benar," katanya lagi."Ti-tidak Om. Martin nggak pernah nyakitin saya. Sekarang M