Trauma tropisme: pertumbuhan sebagai reaksi terhadap luka.
* * *
Hanya psikopat yang tak akan berempati dan simpati, bahkan merasa kehilangan. Ketika teman bahkan sahabat sendiri, mati setelah berdebat dengan lu dan perasaan lu santai aja!
Gak! Taklif adalah teman sekaligus sahabat, bahkan sudah gua anggap seperti saudara sendiri. Begitu tau dia mati pagi itu, mana mungkin gua bisa hidup tenang.
Kelakuan, omongan, kebiasaan, bahkan kebersaam kita untuk yang terakhir kali. Semua gak bisa gua lupain, ini dosa yang harus gua tanggung sendiri. Gua yakin Aiza juga merasakan hal yang sama, makanya dia ngomong ngaco hanya agar gua gak merasa bersalah. Sialnya lagi dia harus berurusan, sama tuh' burung gagak pembawa petaka. Gua yakin ini pasti gara-gara itu semua!
Berharap jazad Taklif ditemukan, ikut bagian tim SARS terjun ke lapangan. Tapi pihak kampus dan polisi pantai, ngehalangin gua untuk ikut nyari Taklif.
Gua harus nyari
Waktu tengah malam hingga subuh adalah dunia kami. Tapi manusia senang sekali mengganggu ketenangan ini. Lalu, sekarang mengapa kami yang dihukum?! * * * Setelah bapak mengatakan demikian, subuh hari aku merasa tubuh tak bisa di gerakan. Rasanya ada sesuatu yang membuatku tak bisa bangun, namun untuk membuka mata saja rasanya takut. Membaca dalam hati pun rasanya sulit, mungkin inilah yang dinamakan ketindihan lagi. Padahal sudah lama peristiwa ini tak pernah terjadi. Setidaknya setelah peristiwa penutupan mata ke enam di lakukan. Tubuhku benar-benar berat, telinga bahkan mendadak sangat peka. Kudengar suara gerakan hingga seperti berbisik di telinga, "kenapa tidak bangun.." kalimat itu terdengar jelas. Sementara dada terasa sesak, mau tidak mau kali ini kucoba melawan. Membaca doa-doa dalam hati sekuat tenaga, membuka mata dan tak ada apapun di atas tubuh. Ringan, itu yang dirasa hin
Waktu itu kita masih di batas kota, melihat matahari tenggelam menutup cakrawala. Hanya untuk menyadari, bahwa kita ada untuk meramaikan suasana. * * * Lelaki berambut gondrong itu lagi-lagi mangkir, absen perkuliahannya sudah macam tempat duduk sepi penonton, bolong-bolong. Di kosan pun dia tak muncul, beberapa anak kos bilang si gondrong itu pergi menggunakan motor sejak subuh tadi. Tetapi siapa yang menyangka, bahwa ia ikut solat subuh di Mesjid Agung Alun-Alun kota. Jangan tanya kenapa, sudah pasti ada hubungannya dengan sobatnya. Ya Wira mungkin sarkas dan kadang pecicilan, tapi dia juga orang yang sangat peduli dan melankolis. Terkhusus jika orang itu menjadi sangat spesial dalam hidupnya. Jika kau pikir cemen betul, cowo gagal move on. Hey, manusia punya titik rapuhnya masing-masing. Tidak semua orang sekuat dirimu, dan tidak juga semua orang semelankolis Wira saat ini. Tapi memang begitulah
Aneh ya, kenapa orang selalu lebih berharga ketika sudah tak ada lagi di dunia ini. * * * Lagi-lagi Aiza tak bisa tertidur, malam ini bulan purnama melingkar sempurna di atas sana. Alam raya mendadak ramai berpesta, energi-energi dari dunia sana nampak tengah bersemangat. Buktinya Aiza merasa lemas seharian ini, ia sudah menelepon Wa Ega dan Kang Dimas untuk membantunya memproteksi diri. Tapi sepertinya ada yang salah di lingkungan tempat Aiza tinggal sekarang. Padahal dia sudah jaga-jaga agar hal ini tak terjadi lagi. Tring tring tring! Nama Wira bertengger di layar ponsel, waktu yang kurang tepat untuk mendapat gangguan dari makhluk macam dia. Tatepi daripada sendirian dan di datangi kaum dedemit, Wira dedemit sepertinya lebih bersahabat. "Apa?" Jawab Aiza tak berselera. "Jirrr judes banget dah si Akang." Wira selalu menanggapi santai badmood Aiza. Ibarat kata
Aku tau kau berbeda bagi dunia, tapi kau adalah satu di dunia kami yang memang ada.* * *Pergi ke menemui Wa Ega seharusnya tak perlu banyak drama, tapi siapa sangka menemukan rumahnya akan terasa sesulit ini. Sudah hampir dua jam Aiza berputar-putar di Bundaran Suci, tapi entah kenapa dia selalu kembali ke jalan yang sama atau tersesat dan memaksa putar balik.Pada akhirnya Aiza memilih merapatkan diri sebentar, di penjual dewegan hijau. Mungkin karena lelah ia jadi teringat bayang-bayang Taklif, juga Wira yang masih saja seterkenal sekarang. Ya cowo gondrong itu memang memiliki kepribadian mudah bergaul, walau sesekali Aiza juga merasakan Wira hanya ingin bersama dia dan Taklif. Khususnya si kacamata empat yang pasti akan selalu ditarik paksa Wira, kemanapun ia ingin pergi. Aiza kadang merasa iri juga, di antara mereka bertiga. Hubungan Wira dan Taklif seperti saudara kembar saja, tidak terpisahkan. Bahkan teman-teman sudah tak ane
Dia bersinar di kegelapan, sementara yang lain di waktu fajar.Manusia memang terkadang curang.Merenggut kedua waktu alam.* * *Jembatan pendek yang menghubungkan dua batas yang terpisah arus sungai Cimanuk. Membawa arus air deras di bawah dua kaki mereka, menuju senja di ufuk Barat. Keduanya tak bicara hanya memandang langit yang mulai berubah warna, ini saatnya sang raja meninggalkan bumi sejenak.Salah satu diantaranya telah resah sejak tadi, jantung yang tak henti memompa darah lebih cepat dari biasanya. Angin malam yang makin kencang, keratan tangan pada pegangan jembatan makin mengencang. Sementara seseorang di sampingnya hanya menatap tanpa ekspresi, udara makin kian menusuk kulit."Kenapa gak pergi?" Tanya lelaki berambut gondrong, dengan ekspresi tak ada gairah hidup. Sementara orang di sampingnya makin bergetar hebat."Karena kau masih di sini.""
Emosi tak akan membuat solusi, biarkan waktu yang membuat perjalanan panjang tentang kehilangan dan pertemuan.* * *Setelah mendapatkan ceramah habis-habisan dari bapak kost, keduanya sepakat untuk berdamai. Bahkan sekarang malah menikmati mie rebus dengan telur, katanya sebagai perayaan perdamaian mereka."Lu sendiri, kenapa malah ke jembatan?" Tanpa ba bi bu, Wira bertanya di tengah suapan mie yang sedang mereka santap. Padahal sejak tadi fokus mereka hanya pada mie dan televisi."Mimpi.""Yang jelas.""Gua mimpiin Taklif semalam." Wira yang sejak tadi mengamati ekspresi Aiza lagi-lagi tertunduk, sebelum akhirnya ia juga mengatakan mendapatkan mimpi yang sama.Dalam mimpinya mereka duduk bertiga, di tepi pantai Laut Selatan. Mereka berdua tak mengatakan apapun kepada si kacamata itu, justru Taklif yang banyak bercerita di sana. Sampai ucapannya memb
Kau percaya, bahwa tak semua yang tak terlihat adalah buruk.* * *Aiza menguap sepanjang jalan menuju sekolah, memutuskan pergi menggunakan angkutan umum. Bahaya kalau sampai dia mengantuk dan terjadi kecelakaan, tapi namanya juga Aiza. Dimana pun dia berada, selalu saja ada yang mengintili.Kali ini bocah berwajah pucat dengan aksen Nederland, matanya melihat seorang pria tinggi dengan kumis rapi berdiri mengamati. Pakaian mewah kalangan ningrat Belanda dulu, iseng-iseng Aiza mengambil lollipop di dalam tasnya. Membuka lalu menyerahkannya pada bocah Nederland tadi."Kau bisa memakannya?" Aiza meminta ijin pada papanya, lelaki tinggi di sana mengangguk berterimakasih yang diambil semangat bocah tadi lalu kembali ke papanya. Sisanya Aiza memakan permen lollipop tadi, lalu naik angkutan umum.Orang di dalam angkutan beberapa memerhatikan tingkahnya tadi di luar, dan merasa takut untuk duduk di
Pernah tersesat? Hehe, bisa jadi kami sedang mengajakmu berkunjung. * * * Aiza bercerita sedikit tentang perjalanannya menuju Pesantren Balong. Ia sempat kesasar dua jam makanya baru datang pas waktu duhur tiba, untung saja dia ketemu Mang Rahmat yang langsung menolongnya. "Oh, kau ketemu Mang Rahmat? Alhamdulillah, baguslah." Ujar Kang Dimas, sambil mengambil air dan beberapa cemilan. "Tapi beliau gak ngejelasin apa-apa, tapi aku yakin pasti.. ada yang tidak beres dengan ku." Aiza menunduk mengingat, juga masih canggum saja. "Ya Allah Za, kau tak usah sungkan. Aku tau betul apa masalahmu, bahkan adik mu Wulan pun kami tau." "Hah? Kok bisa?" "Siapa lagi sumbernya.." "Bapak." Tebakan tepat yang dijawab anggukan Kang Dimas. "Kakak ku itu cemas sekali dengan kalian, tapi dia gak mungkin ka