Kota Qingchang berdiri megah sebagai pusat kekuasaan, dikelilingi tembok tinggi yang melindungi rahasia kuno dan sungai deras yang memisahkan dunia luar dari kemewahan di dalamnya. Setiap batu tembok menyimpan kisah pertempuran dan kejayaan.
Di sisi utara kota, Istana Raja menjulang anggun. Atapnya yang meruncing seakan menembus langit, melambangkan kekuatan negeri ini. Cahaya matahari memantul dari atap, menciptakan kilauan menakjubkan.
Kiran melangkah tertatih di koridor istana, dibebani borgol dan rantai. Suara gemerincing rantai mengisi kesunyian, menandai perjalanan menuju takdir yang tak pasti.
Dua tentara suci mengawalnya, diikuti dua ahli sihir dengan aura magis yang menakutkan. Mereka berada di bawah perintah Panglima Tertinggi Eadric Windmere dan Menteri Sihir Eamon Thornfield. Kehadiran mereka menambah suasana mencekam.
Sepanjang koridor, puluhan prajurit berdiri tegak, siap menghunus senjata. Ketegangan semakin terasa, setiap napas Kiran dipenuhi rasa takut dan ketidakpastian.
Di dalam pikirannya, Kiran mencari cara untuk menghilangkan kalung sihir terkutuk yang memblokir energi spiritualnya. Meskipun terhalang, pendengarannya tetap tajam. Ia menangkap bisikan-bisikan tajam dari dayang-dayang istana yang berlalu-lalang.
"Dia jenius dari Akademi Golden Arrow?" "Usianya muda, tapi sudah level lima." "Sayang, dia bersekongkol dengan Klan Phoenix Merah."
Wajah Kiran memerah mendengar namanya dihubungkan dengan Klan Phoenix Merah. Tangannya mengepal erat, bertekad membersihkan nama baik keluarganya saat sidang pengadilan nanti.
Memasuki balairung, Kiran disambut sepuluh menteri dan pejabat kerajaan yang menunggu dengan serius. Di atas singgasana, Raja Thalion Stormrider duduk tegak, dikelilingi kemewahan.
Suara protokoler menggema. "Tahanan sihir memasuki aula!"
Kiran muncul dengan langkah tertatih, suara rantai besi menambah ketegangan. Ia mengenakan tunik linen murah dan jubah kusam, jauh dari kesan ahli sihir level lima.
Saat berdiri di depan raja, Kiran menatap langsung singgasana. "Berlutut dan sembah raja!" bentak salah satu tentara suci, menghantam punggungnya dengan gagang tombak.
Kiran terhuyung, namun berusaha tidak jatuh. Ia menahan rasa sakit, terus menatap raja dengan tekad.
"Kiran, anggota pasukan elit!" suara Raja Thalion menggema. "Apakah kamu menyadari kesalahanmu?"
Kiran mendongak, tatapannya berapi-api. "Tidak bersalah, Yang Mulia! Tuduhan bahwa aku adalah mata-mata dan bagian dari Klan Phoenix Merah tidak berdasar!"
Keributan pecah. Kanselir Agung Cedric Ironwood membentak, "Lancang sekali! Berani membantah tuduhan Raja!"
Menteri Sihir Eamon Thornfield menambahkan, "Kiran, seharusnya kamu lebih bijaksana. Ini kesempatanmu untuk mengakui kesalahan."
Seorang menteri muda berbisik, "Mungkin ada kesalahpahaman. Kita harus mendengar pembelaannya."
Namun, suara keras segera menenggelamkan bisikan itu. "Hukum saja dia!" teriak seorang pejabat.
Kiran menatap tajam, berjanji membalas dendam pada mereka yang mencela dan menjebaknya. Tatapannya bertemu dengan sepasang mata di antara audiens, membuatnya terkejut. "Emma? Mengapa dia ada di sini?"
Suara Raja Thalion menghentikan keributan. "Jika kamu merasa tidak bersalah, apa alibimu?" tanyanya tajam.
Kiran menarik napas dalam, merasakan keberanian muncul. "Yang Mulia, aku berasal dari keluarga pejuang. Kakakku tewas dalam perang untuk Qingchang."
"Apakah semua pengorbanan ini tidak cukup membuktikan kesetiaanku pada Qingchang? Mengapa aku harus menjadi pemberontak?" tanya Kiran lantang.
Kata-katanya membungkam semua orang. Latar belakang Kiran sebagai jenius dari Akademi Golden Arrow bukanlah rahasia lagi. Bahkan Nama Kiran sebagai jenius, rasanya terdengar di seluruh Negri.
>>>
Saat Kiran berapi-api membela diri di hadapan Raja Qingchang, Thalion Stormrider, suara dingin memotong ucapannya.
“Cukup omong kosongmu! Panggil saksi mata ke ruang pengadilan!”
Suasana balairung menjadi canggung. Kanselir Agung, Cedric Ironwood, adalah orang kedua setelah Raja. Siapa yang berani membantahnya?
Tak lama, sepuluh tentara suci mengenakan zirah perak keemasan memasuki balairung, mengiringi sosok misterius berjubah putih yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
“Siapa dia?” pikir Kiran, cemas. Ada sesuatu yang tidak beres.
Sosok itu melirik Kiran, lalu berlutut di altar, tepat di kaki Raja.
“Siapa dia?” bisik seorang menteri. “Kenapa mengenakan penutup wajah di hadapan Raja?”
Bisikan mulai menyebar, membelah keheningan.
“Diam semuanya!” teriak Raja Thalion, suaranya menggema dan membuat semua orang terdiam.
"Buka semua kerudung dan jubah putih itu!" Perintahnya penuh wibawa.
Salah satu tentara suci segera menancapkan tombaknya, dan jubah panjang itu terlepas, diikuti kerudung yang melayang turun.
Sosok yang terbuka adalah Nymph, makhluk sihir perempuan yang misterius. Pesona magisnya menyebar di udara, membuat para menteri terpesona.
“Cantik sekali!” desah seorang menteri.
Namun, bagi Kiran, pesona itu hanyalah ilusi. Mantra pesonanya tidak mempengaruhi dirinya.
Raja Thalion mengangguk pada Kanselir Cedric untuk memimpin sidang.
“Jelaskan siapa dirimu, dan apakah kamu mengenal terdakwa?” tanya Kanselir, menunjuk Kiran.
Nymph terlihat ketakutan. “Phoenix... dia Phoenix api...” suaranya bergetar.
Kesaksian Nymph mengguncang balairung.
“Hukum dia!” “Dia jelmaan The Flame!” “Dia terkutuk!”
Suasana semakin ricuh. Para menteri saling berbisik ketakutan, sementara para prajurit menatap Kiran dengan kebencian.
Raja Thalion menampar meja, suaranya dingin. “Bersalah! Hukum mati dia. Eksekusi tiga hari lagi, di alun-alun kota!”
Kiran membeku. Dadanya sesak. Begitu cepat? Tanpa pengadilan yang adil?
Pikirannya melayang pada wajah kedua orang tuanya di Kota Begonia.
“Apa yang akan terjadi pada mereka? Apakah mereka akan dihina karena anak mereka dicap sebagai pengkhianat?”
Langkah Kiran berat saat mengikuti para tentara suci keluar dari balairung.
“Ini lebih dari sekadar hukuman... Ini penghancuran nama keluargaku,” gumamnya, menggigit bibir bawah hingga hampir berdarah.
Jika saja dia masih memiliki kekuatan... Dia bisa melumpuhkan tentara suci dan melarikan diri.
Tapi sekarang? Dia hanyalah tawanan yang berjalan menuju kematiannya.
Kemarahan membakar dadanya. “Master Cho... Kau benar-benar rendah!”
Kiran mengepalkan tangannya. Guru yang dulu dia percayai ternyata adalah pengkhianat yang menjebaknya.
Saat menyusuri koridor panjang istana, amarahnya berkobar. Jika dia bertemu Master Cho sekarang...
Dia berjanji akan menantangnya. Duel hidup dan mati.
Bersambung
Kiran meraung, suara yang tidak lagi manusiawi. Suara yang penuh kesakitan, kemarahan, dan kesedihan yang tak terbendung.Api keemasan meledak dari tubuhnya, menyapu ruangan dalam gelombang panas yang membakar segala sesuatu yang disentuhnya.Para Knight Qingchang terpental ke belakang, beberapa dengan jubah yang terbakar, jeritan kesakitan memenuhi udara.Eadric Windmere berlindung di balik perisai sihir, wajahnya yang tadi penuh kemenangan kini dipenuhi ketakutan. "Kendalikan dia!" teriaknya pada para penyihir. "Sekarang!"Siken dan Eve Whitehouse bergerak serentak, es dan api putih melesat ke arah Kiran yang kini berlutut di antara tubuh kedua orang tuanya, kepalanya tertunduk dalam kesedihan yang tak terucapkan.Namun, sebelum serangan mereka mencapai sasaran, sosok besar menerobos masuk, menghalangi jalan mereka. Roneko, dalam wujud sempurnanya, berdiri protektif di depan Kiran.Kesembilan ekornya terangkat tinggi, api keemasan berkobar semakin terang hingga menyilaukan mata, men
Kiran mengangguk pelan, gerakan yang penuh kekalahan. Perlahan, ia menurunkan Crimson Dawn. Pedang itu menghantam lantai marmer dengan dentang keras, suara yang seolah menandai berakhirnya harapan.Api keemasan yang tadi berkedip lemah kini padam sepenuhnya, meninggalkan bilah logam yang dingin dan tak bernyawa."Aku milikmu," kata Kiran, mengangkat kedua tangannya dalam gestur menyerah."Kiran, tidak!" teriak Pigenor, berusaha bergerak maju tapi ditahan oleh dinding es Siken yang muncul di hadapannya. Es itu berkilau kebiruan, hampir transparan namun sekeras baja."Ini keputusanku," kata Kiran tegas, matanya menatap satu per satu teman-temannya, menyimpan wajah mereka dalam ingatannya. "Aku tidak akan membiarkan siapapun mati untukku lagi."Eadric tersenyum puas, senyum kemenangan yang membuat wajahnya tampak lebih kejam. "Bijaksana," katanya, perlahan menurunkan pedangnya dari leher Kora. Wanita itu terhuyung lemah, tangannya menyentuh luka di lehernya."Kau boleh berbicara dengan i
Debu mengambang lambat di udara Shab-e-Hazar Khayal, berkilau keemasan tertimpa cahaya api yang masih menjilat sisa-sisa furnitur mewah.Suara-suara pertempuran yang tadi memenuhi ruangan kini lenyap, digantikan keheningan mencekam yang hanya sesekali dipecahkan oleh derak kayu terbakar dan rintihan pelan dari mereka yang terluka.Asap mengepul dari berbagai sudut, menciptakan kabut tipis yang memberi kesan mistis pada pemandangan kehancuran.Di tengah reruntuhan yang dulunya adalah restoran termewah di Zahranar, waktu seolah berhenti. Semua mata tertuju pada drama yang tengah berlangsung di pusat ruangan.Kora Wang berlutut di lantai marmer yang retak, rambut hitamnya yang kini dipenuhi uban terurai berantakan di sekitar wajahnya yang lebam.Matanya, meski diselimuti ketakutan, memancarkan ketegaran yang hanya dimiliki seorang ibu. Darah mengalir tipis di lehernya, tempat ujung pedang Eadric Windmere menekan kulitnya.Di sampingnya, Arhun Wang duduk di benda sederhana, kalau bisa dik
Roneko menggigit leher Mandrasath dengan gerakan cepat, taringnya yang setajam belati menembus sisik hitam naga itu yang konon sekeras baja.Mandrasath meraung kesakitan, suaranya menggetarkan jendela-jendela di seluruh kota, tapi dengan cepat membalas dengan pukulan ekor berduri yang menghantam sisi tubuh Roneko dengan kekuatan yang mampu menghancurkan tembok benteng.Kedua makhluk raksasa itu terpisah oleh momentum serangan, melayang berhadapan di udara seperti dua dewa perang kuno. Roneko melepaskan semburan api keemasan dari mulutnya, api yang begitu terang hingga bayangan-bayangan di bawah menghilang untuk sesaat.Mandrasath membalas dengan hembusan es biru yang membekukan awan-awan di sekitarnya. Kedua serangan bertemu di tengah udara kosong, menciptakan pilar energi yang menjulang tinggi ke langit seperti mercusuar supernatural, terlihat dari seluruh penjuru kota hingga ke pelosok terjauh.Langit Zahranar kini dipenuhi cahaya spektakuler, api keemasan Roneko dan es biru Mandras
"Kau masih belum menguasai kekuatan penuhmu, Phoenix," kata Siken, suaranya tetap tenang meski situasi kacau di sekitar mereka, seolah mereka sedang bercakap di taman yang damai."Kau tidak akan bisa mengalahkanku.""Mungkin," Kiran mengakui, matanya waspada mengamati setiap gerakan lawan. "Tapi aku akan mencoba."Kiran melesat maju dengan gerakan yang telah ia latih selama berbulan-bulan, Crimson Dawn terayun dalam sabetan horizontal yang meninggalkan jejak api di udara seperti goresan kuas seorang pelukis.Siken menghindar dengan gerakan mulus yang hampir tak terlihat mata, tubuhnya seolah mengalir seperti air yang tidak bisa ditangkap. Ia membalas dengan tendangan berselimut es ke arah rusuk Kiran, gerakan yang begitu cepat hingga hampir tak terlihat.Kiran menangkis dengan lengan kirinya, meringis saat es menggigit kulitnya seperti ribuan jarum kecil. Ia memutar tubuhnya, mengayunkan pedang dalam serangan beruntun yang semakin cepat, setiap gerakan mengalir ke gerakan berikutnya s
Auman Roneko menggetarkan seluruh Zahranar, gelombang suara purba yang merambat melalui batu dan kayu, begitu dahsyat hingga kaca-kaca jendela Shab-e-Hazar Khayal bergetar dan retak dalam pola-pola seperti jaring laba-laba.Para tamu yang masih berusaha melarikan diri terhenti di tengah langkah, wajah mereka pucat pasi mendengar suara yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya—suara yang membangkitkan ketakutan primordial dalam darah mereka."Apa itu?" bisik salah seorang prajurit Zolia, busurnya gemetaran di tangannya yang basah oleh keringat dingin. Matanya menatap langit malam dengan ketakutan yang tak tersembunyi.Jawabannya datang dalam bentuk ledakan dahsyat saat atap restoran mewah itu hancur dalam sekejap.Serpihan kayu dan kaca berterbangan ke segala arah bagai hujan mematikan saat sosok raksasa berwarna merah keemasan menerobos masuk dari langit.Roneko, dalam wujud sempurnanya yang jarang terlihat, berdiri di tengah kehancuran dengan sembilan ekor berapi yang menjulang ting