Home / Fantasi / Kebangkitan Klan Phoenix / Alun-alun Kota Qingchang.

Share

Alun-alun Kota Qingchang.

Author: Jimmy Chuu
last update Last Updated: 2025-01-31 22:57:30

Hari ketiga setelah sidang pengadilan di balairung istana raja. Suasana kota Qingchang pagi itu riuh rendah, dipenuhi oleh desas-desus dan bisikan-bisikan yang bergulir seperti angin.

Tuk – tak – tuk – tak!

Suara roda kereta kuda bergema di jalanan berbatu, mengiringi langkah kuda-kuda putih yang gagah. Di belakang kereta, sebuah kerangkeng besi setinggi manusia terlihat jelas.

Di dalamnya, seorang pemuda berdiri tegak, tubuhnya dibelenggu rantai yang mengikat pergelangan tangan dan kakinya. Wajahnya tenang, tapi matanya yang dingin memancarkan ketegaran.

“Siapa dia? Apakah dia tahanan raja?” tanya seorang wanita tua, suaranya bergetar penuh rasa ingin tahu.

“Dia masih begitu muda. Sungguh kasihan!” sahut yang lain, suaranya lirih namun penuh simpati.

Semua mata penduduk Kota Qingchang tertuju pada kerangkeng itu. Mereka berdesakan, mencoba melihat lebih dekat sosok yang menjadi tahanan.

Rantai yang membelenggu pemuda itu berderak setiap kali kereta bergerak, seolah mengingatkan semua orang bahwa dia bukanlah orang biasa.

“Minggir!” bentak salah satu prajurit Tentara Suci yang menunggang kuda putih. Pedangnya terhunus, matanya tajam seperti elang.

Para tentara suci dengan tegas menghalau siapa pun yang berani mendekat, memastikan tak ada yang mengganggu perjalanan ini.

Angin pagi berhembus dingin, menyapu rambut Kiran yang terurai. Dia membuka matanya perlahan, menatap sekeliling dengan pandangan yang tak tergoyahkan.

Pipinya terasa basah oleh embun, tapi tak ada emosi yang terlihat di wajahnya.

“Mereka sengaja mempermalukanku, menjadikanku tontonan,” pikir Kiran dalam hati. Tapi dia tak menunjukkan rasa takut atau sedih. Tubuhnya tetap tegak, seolah tak peduli dengan segala pandangan dan bisikan yang mengikutinya.

Tiba-tiba, sekelompok anak kecil berlarian mendekati iring-iringan itu. Mereka berteriak-teriak, wajah-wajah polos mereka dipenuhi rasa penasaran dan keberanian.

“Pengkhianat terkutuk!” teriak salah satu anak, melemparkan telur busuk ke arah Kiran. Telur itu menghantam kepala Kiran, pecah dan mengalir ke wajahnya.

Anak-anak lain ikut melemparkan botol berisi air comberan, membuat suasana semakin gaduh.

Kiran, yang tubuhnya terpenjara dan kekuatan sihirnya telah dibelenggu, hanya bisa menutup mata. Dia menerima hinaan itu tanpa perlawanan, seolah tak peduli dengan segala yang terjadi di sekitarnya.

Namun, provokasi dari anak-anak itu memicu reaksi yang lebih besar.

Penduduk yang awalnya merasa iba, tiba-tiba berubah. Ekspresi mereka berubah beringas, mata-mata mereka menyala dengan kemarahan dan kecurigaan.

“Dia pengkhianat? Apa kesalahannya?” tanya seorang pria, suaranya keras dan penuh amarah.

“Aku dengar dia bersekutu dengan kelompok rahasia, ingin menggulingkan raja!” sahut yang lain, suaranya penuh keyakinan.

“Tidak! Kamu salah. Dia penyihir, yang konon akan menipu raja, menjatuhkan Qingchang kita ke dalam perang melawan Kekaisaran Hersen!” teriak seorang wanita, wajahnya pucat ketakutan.

“Apa? Dia dari kelompok Phoenix Merah? Anak muda itu sungguh berani. Dia tak takut dikutuk Raja Hersen?” bisik seorang lelaki tua, suaranya gemetar.

Tidak lebih dari lima tarikan napas, suasana di sepanjang jalan dari penjara istana menuju alun-alun berubah menjadi hiruk-pikuk. Kerumunan orang yang berjejal di pinggir jalan mulai melontarkan kemarahan mereka.

“Bunuh dia!” teriak seorang lelaki dengan wajah merah padam.

“Hukum mati dia!” jerit seorang wanita, tangannya menunjuk ke arah Kiran yang terkurung dalam kerangkeng besi.

“Dia akan membawa negeri ini ke dalam perang tak berujung!” tambah suara lain, penuh kebencian.

Awalnya, hanya telur busuk yang dilemparkan oleh anak-anak nakal. Namun, semakin lama, benda-benda yang lebih keras dan berbahaya mulai melayang ke arah Kiran.

Batu, potongan kayu, bahkan sepatu tua—semua beterbangan menuju kerangkeng besi yang menguncinya.

Klontang!

PANG!

Suara gemerincing jeruji besi bergema setiap kali benda-benda itu menghantam kerangkeng. Beberapa batu meleset, mendarat dengan keras di besi-besi yang dingin.

Namun, beberapa lainnya menemukan sasarannya. Sebuah batu tajam menghantam wajah Kiran, meninggalkan luka kecil di pelipisnya.

Darah segar mulai mengalir, tapi Kiran tetap diam. Matanya yang dingin menatap lurus ke depan, seolah semua ini tidak berarti apa-apa baginya.

Di dalam hatinya yang telah membatu, bisikan dingin bergema. “Semua ini tidak ada artinya. Tidak ada yang bisa menyamai rasa sakit yang dirasakan ayah dan ibuku.”

Wajah Kiran diselimuti kabut kesedihan, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Hatinya telah terlalu keras untuk menangis.

Tak lama kemudian, iring-iringan itu tiba di alun-alun kota. Suara gemuruh kerumunan semakin keras, memenuhi udara dengan teriakan penuh kebencian.

“Hukum dia!”

“Gantung dia!”

Suara-suara itu bergemuruh seperti guntur, seolah langit sendiri akan terbelah oleh kemarahan mereka. Namun, bagi Kiran, semua itu terdengar seperti bisikan jauh. Telinganya hanya menangkap keheningan, keheningan yang sama seperti yang ia rasakan belasan tahun lalu.

Matanya menatap panggung di tengah alun-alun.

Tumpukan kayu bakar yang disusun rapi di atasnya membuat dadanya sesak. Pemandangan itu terlalu familiar, terlalu mirip dengan kejadian yang pernah ia saksikan di masa kecilnya.

“Panggung dengan tumpukan kayu bakar untuk membakar tahanan... ini seperti dejavu,” batin Kiran, hatinya terasa berat.

Ia teringat pada hari itu, ketika ia masih kecil, berdiri di antara kerumunan bersama ibunya. Mereka menyaksikan pendongeng Niraj Singh dihukum di Kota Begonia.

Bahkan ekspresi Niraj Singh yang ketakutan ketika itu, masih terbayang jelas di benaknya. “Dan sekarang, giliranku! Aku juga dituduh sebagai mata-mata Klan Phoenix Merah—tuduhan yang sama yang menghancurkan hidup Niraj Singh!”

Kiran mengepalkan tangannya erat-erat.

Hatinya berdarah membayangkan wajah ibunya yang tak tega melihat Niraj terbakar di atas panggung.

Kenangan itu masih segar, seolah baru terjadi kemarin. Dan sekarang, ia akan menghadapi nasib yang sama.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
makin seru
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pengorbanan Terakhir.

    Kiran meraung, suara yang tidak lagi manusiawi. Suara yang penuh kesakitan, kemarahan, dan kesedihan yang tak terbendung.Api keemasan meledak dari tubuhnya, menyapu ruangan dalam gelombang panas yang membakar segala sesuatu yang disentuhnya.Para Knight Qingchang terpental ke belakang, beberapa dengan jubah yang terbakar, jeritan kesakitan memenuhi udara.Eadric Windmere berlindung di balik perisai sihir, wajahnya yang tadi penuh kemenangan kini dipenuhi ketakutan. "Kendalikan dia!" teriaknya pada para penyihir. "Sekarang!"Siken dan Eve Whitehouse bergerak serentak, es dan api putih melesat ke arah Kiran yang kini berlutut di antara tubuh kedua orang tuanya, kepalanya tertunduk dalam kesedihan yang tak terucapkan.Namun, sebelum serangan mereka mencapai sasaran, sosok besar menerobos masuk, menghalangi jalan mereka. Roneko, dalam wujud sempurnanya, berdiri protektif di depan Kiran.Kesembilan ekornya terangkat tinggi, api keemasan berkobar semakin terang hingga menyilaukan mata, men

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Harga Sebuah Kesepakatan.

    Kiran mengangguk pelan, gerakan yang penuh kekalahan. Perlahan, ia menurunkan Crimson Dawn. Pedang itu menghantam lantai marmer dengan dentang keras, suara yang seolah menandai berakhirnya harapan.Api keemasan yang tadi berkedip lemah kini padam sepenuhnya, meninggalkan bilah logam yang dingin dan tak bernyawa."Aku milikmu," kata Kiran, mengangkat kedua tangannya dalam gestur menyerah."Kiran, tidak!" teriak Pigenor, berusaha bergerak maju tapi ditahan oleh dinding es Siken yang muncul di hadapannya. Es itu berkilau kebiruan, hampir transparan namun sekeras baja."Ini keputusanku," kata Kiran tegas, matanya menatap satu per satu teman-temannya, menyimpan wajah mereka dalam ingatannya. "Aku tidak akan membiarkan siapapun mati untukku lagi."Eadric tersenyum puas, senyum kemenangan yang membuat wajahnya tampak lebih kejam. "Bijaksana," katanya, perlahan menurunkan pedangnya dari leher Kora. Wanita itu terhuyung lemah, tangannya menyentuh luka di lehernya."Kau boleh berbicara dengan i

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Sebuah Keputusan.

    Debu mengambang lambat di udara Shab-e-Hazar Khayal, berkilau keemasan tertimpa cahaya api yang masih menjilat sisa-sisa furnitur mewah.Suara-suara pertempuran yang tadi memenuhi ruangan kini lenyap, digantikan keheningan mencekam yang hanya sesekali dipecahkan oleh derak kayu terbakar dan rintihan pelan dari mereka yang terluka.Asap mengepul dari berbagai sudut, menciptakan kabut tipis yang memberi kesan mistis pada pemandangan kehancuran.Di tengah reruntuhan yang dulunya adalah restoran termewah di Zahranar, waktu seolah berhenti. Semua mata tertuju pada drama yang tengah berlangsung di pusat ruangan.Kora Wang berlutut di lantai marmer yang retak, rambut hitamnya yang kini dipenuhi uban terurai berantakan di sekitar wajahnya yang lebam.Matanya, meski diselimuti ketakutan, memancarkan ketegaran yang hanya dimiliki seorang ibu. Darah mengalir tipis di lehernya, tempat ujung pedang Eadric Windmere menekan kulitnya.Di sampingnya, Arhun Wang duduk di benda sederhana, kalau bisa dik

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Dua Sandera.

    Roneko menggigit leher Mandrasath dengan gerakan cepat, taringnya yang setajam belati menembus sisik hitam naga itu yang konon sekeras baja.Mandrasath meraung kesakitan, suaranya menggetarkan jendela-jendela di seluruh kota, tapi dengan cepat membalas dengan pukulan ekor berduri yang menghantam sisi tubuh Roneko dengan kekuatan yang mampu menghancurkan tembok benteng.Kedua makhluk raksasa itu terpisah oleh momentum serangan, melayang berhadapan di udara seperti dua dewa perang kuno. Roneko melepaskan semburan api keemasan dari mulutnya, api yang begitu terang hingga bayangan-bayangan di bawah menghilang untuk sesaat.Mandrasath membalas dengan hembusan es biru yang membekukan awan-awan di sekitarnya. Kedua serangan bertemu di tengah udara kosong, menciptakan pilar energi yang menjulang tinggi ke langit seperti mercusuar supernatural, terlihat dari seluruh penjuru kota hingga ke pelosok terjauh.Langit Zahranar kini dipenuhi cahaya spektakuler, api keemasan Roneko dan es biru Mandras

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pertarungan Para Penyihir.

    "Kau masih belum menguasai kekuatan penuhmu, Phoenix," kata Siken, suaranya tetap tenang meski situasi kacau di sekitar mereka, seolah mereka sedang bercakap di taman yang damai."Kau tidak akan bisa mengalahkanku.""Mungkin," Kiran mengakui, matanya waspada mengamati setiap gerakan lawan. "Tapi aku akan mencoba."Kiran melesat maju dengan gerakan yang telah ia latih selama berbulan-bulan, Crimson Dawn terayun dalam sabetan horizontal yang meninggalkan jejak api di udara seperti goresan kuas seorang pelukis.Siken menghindar dengan gerakan mulus yang hampir tak terlihat mata, tubuhnya seolah mengalir seperti air yang tidak bisa ditangkap. Ia membalas dengan tendangan berselimut es ke arah rusuk Kiran, gerakan yang begitu cepat hingga hampir tak terlihat.Kiran menangkis dengan lengan kirinya, meringis saat es menggigit kulitnya seperti ribuan jarum kecil. Ia memutar tubuhnya, mengayunkan pedang dalam serangan beruntun yang semakin cepat, setiap gerakan mengalir ke gerakan berikutnya s

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Ketika Langit Ibukota Terbakar.

    Auman Roneko menggetarkan seluruh Zahranar, gelombang suara purba yang merambat melalui batu dan kayu, begitu dahsyat hingga kaca-kaca jendela Shab-e-Hazar Khayal bergetar dan retak dalam pola-pola seperti jaring laba-laba.Para tamu yang masih berusaha melarikan diri terhenti di tengah langkah, wajah mereka pucat pasi mendengar suara yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya—suara yang membangkitkan ketakutan primordial dalam darah mereka."Apa itu?" bisik salah seorang prajurit Zolia, busurnya gemetaran di tangannya yang basah oleh keringat dingin. Matanya menatap langit malam dengan ketakutan yang tak tersembunyi.Jawabannya datang dalam bentuk ledakan dahsyat saat atap restoran mewah itu hancur dalam sekejap.Serpihan kayu dan kaca berterbangan ke segala arah bagai hujan mematikan saat sosok raksasa berwarna merah keemasan menerobos masuk dari langit.Roneko, dalam wujud sempurnanya yang jarang terlihat, berdiri di tengah kehancuran dengan sembilan ekor berapi yang menjulang ting

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pertempuran di Balai Seribu Mimpi.

    Dengan satu ayunan pedang, Kiran mengirimkan gelombang api ke arah Siken. Api itu bergerak seperti ombak, membakar lantai kayu dalam perjalanannya.Siken menghentakkan kakinya ke lantai. Es menyebar dari titik itu, menciptakan dinding tebal yang menghalangi gelombang api. Kedua elemen bertemu dalam ledakan uap dan percikan api, menciptakan kabut tebal yang kembali memenuhi ruangan."Kau tidak sendirian, Phoenix!" teriak Eve Whitehouse dari sisi ruangan. Wanita berambut putih itu kini berdiri dengan api merah menyala di kedua tangannya. "Dan kau tidak akan lolos kali ini!"Lyra mengangkat tongkat ungunya, mengarahkannya pada Kiran. "Revelatum Veritatis!" serunya, melepaskan sinar ungu yang menyibak kabut di sekitar Kiran, membuatnya terekspos.Zetta Mui, mantan instruktur Kiran, melangkah maju dengan ekspresi dingin. "Kau selalu menjadi murid yang mengecewakan, Kiran," katanya, tangannya bergerak cepat membentuk simbol-simbol sihir di udara."Tapi kau akan menjadi pelajaran yang baik b

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pertemuan Api dan Es: Duel Takdir.

    Kiran merasakan detak jantungnya melalui topeng phoenix yang menutupi wajahnya. Setiap denyut mengalirkan darah ke seluruh tubuhnya, membawa energi sihir yang telah ia kumpulkan selama berbulan-bulan.Di balik topeng, matanya tidak pernah lepas dari sosok Elf Hitam di meja utama. Siken, panglima kedua Kaisar Oberon, pengendali air terkuat di Kekaisaran Hersen, dan pemburu yang telah mencarinya tanpa henti.Musik mengalun semakin cepat. Jari-jari Ustad Zafar bergerak lincah di atas sitar, menciptakan melodi yang menggetarkan jiwa.Tabuh Angkasa dipukul dengan ritme yang semakin intens, menghasilkan suara gemuruh badai yang menggema hingga ke tulang.Kiran mulai bergerak.Tubuhnya mengalir bersama musik, setiap langkah terukur dengan presisi sempurna. Lima bulan berlatih di bawah bimbingan Yasmin al-Zahra telah mengubahnya dari penyihir canggung menjadi penari yang anggun.Pedang tipis di tangannya berkilau memantulkan cahaya lentera, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di udara."

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pertunjukan Terakhir Sebelum Pertempuran.

    Emma mengamati pertunjukan dengan napas tertahan. Keindahan sihir yang dipadukan dengan seni membuatnya terpukau, namun matanya tetap waspada, sesekali melirik ke meja utama tempat para Penyihir duduk.Eve Whitehouse tampak berbisik sesuatu pada Elf Hitam di sampingnya, yang mengangguk pelan tanpa melepaskan pandangan dari panggung."Mereka menunggu sesuatu," pikir Emma. "Atau seseorang."Jari-jarinya perlahan bergerak ke arah botol air di pinggangnya, memastikan senjatanya siap jika diperlukan. Meski ketakutan menggerogoti hatinya, ada bagian dalam dirinya yang merasa hidup.Setelah berminggu-minggu bersembunyi dan melarikan diri, kemungkinan konfrontasi langsung dengan musuh justru membangkitkan sesuatu dalam dirinya—kesiapan untuk bertarung demi bertahan hidup.Di sisi lain ruangan, Jasper merasakan hal yang sama.Matanya menyipit mengamati Eve Whitehouse, wanita yang hampir membunuhnya di perbatasan. Kebencian dan ketakutan bercampur dalam dadanya, namun juga ada rasa antisipasi y

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status