Share

Teh Bunga Krisan

Author: Jimmy Chuu
last update Last Updated: 2025-01-27 18:31:30

“Muridku, Kiran, setujukah kau ikut denganku ke ibu kota? Di hadapan Kaisar, kau akan bersaksi bahwa kau tidak terlibat dengan Klan Phoenix Merah!” kata Master Cho memecah keheningan.

Sejak menjadi muridnya, Kiran jarang dipanggil "murid." Namun, panggilan itu membuatnya merasa hangat, meski ia tetap diam.

“Aku akan menjamin keselamatanmu,” lanjut Master Cho tegas.

Kiran membatu, tatapannya dingin.

“Aku akan bersaksi di depan Kaisar bahwa kau tidak bersalah!” suaranya sedikit meninggi, mencoba meyakinkan Kiran.

Akhirnya, Kiran menarik napas dalam. Ekspresi tulus Master Cho membuat hatinya sedikit tenang.

“Aku setuju! Aku akan ikut ke ibu kota. Tolong buka jalan!” katanya, mendekati Master Cho dan mengangkat tangan, siap diborgol.

Ekspresi lega tampak di wajah Khanze dan para Tentara Emas, sementara wajah Master Cho tetap sulit dibaca.

Roneko dan Diolos tidak setuju. Roneko, gadis kecil berambut merah, berdiri marah.

“Tuan Kiran, aku tidak setuju! Firasatku mengatakan ada yang tidak beres!” teriak Roneko, suaranya mendesak.

Meskipun terlihat imut, tatapannya membuat beberapa Tentara Suci gelisah.

“Dia tampak lucu,” bisik seorang prajurit, “tapi dia jelas makhluk iblis,” sahut yang lain.

Master Cho menatap Roneko dan Diolos, berbicara dengan nada tegas. “Tunggu aku di Hutan Ternola. Aku akan memulihkan nama Kiran. Paling lama tiga hari kita bertemu lagi!”

Roneko menatap penuh ketidakpuasan, sementara Diolos gelisah, menunggu penjelasan lebih lanjut.

Kiran, kini diborgol, melangkah ke kereta kuda yang telah disiapkan. Ia duduk di dalam bersama Master Cho, tatapan kosong namun penuh pikiran.

Kereta bergerak perlahan meninggalkan hutan, suasana sunyi menyelimuti perjalanan.

Kereta tiba di ibu kota malam berikutnya, di bawah langit gelap tanpa bintang. Suasana tenang, namun ada bayang-bayang misteri di jalanan sepi.

Kiran digiring langsung ke penjara bawah tanah. Saat tiba, ia menatap tajam Master Cho.

“Kenapa aku harus mendekam di penjara, Master Cho?” Suaranya rendah, penuh ketidakpuasan.

Tangan Kiran mulai berpendar, api sihir menyala, membentuk pedang untuk menghancurkan borgolnya.

Seratus Tentara Suci bersiap, menghunus pedang mereka.

“Tahan! Jangan gegabah!” teriak Master Cho, menghalangi mereka. “Melawan ahli Pesona level lima hanya akan membuat kalian jadi korban!”

Para prajurit segera menghentikan tindakan mereka, pedang kembali ke sarung.

Setelah situasi terkendali, Master Cho menatap Kiran lembut. “Percayalah, ini hanya sementara. Seorang tahanan harus ada di penjara. Ikuti prosedur dan hadiri sidang di depan Kaisar besok. Aku akan bersaksi untukmu.”

Kata-kata itu membuat wajah Kiran melunak. “Baiklah, aku akan mengikuti instruksi Anda,” jawabnya.

Tanpa perlawanan, Kiran mengikuti Tentara Suci ke lorong bawah tanah.

Saat sosoknya menghilang, suara Master Cho terdengar. “Kiran, percayalah, aku akan mendampingimu. Anggap saja malam ini sebagai waktu untuk beristirahat.”

Kiran tidak menjawab, hanya menoleh dan tersenyum tipis melihat gurunya melambaikan tangan, penuh keprihatinan. Dalam hati, ia bersyukur Master Cho adalah orang baik.

Penjara bawah tanah ternyata tidak buruk. Sesuai janji Master Cho, ruang tahanan itu lebih mirip kamar sederhana. Ada meja kecil dan secawan teh bunga krisan yang masih mengepul.

Keharuman teh menggelitik indera penciuman Kiran, membuatnya tak tahan untuk mencicipinya.

Saat teh mengalir di tenggorokannya, pikirannya melayang ke masa lalu, teringat saat dijamu Master Akiko Yamazaki, kepala Akademi Sihir Golden Arrow.

Namun, sebelum ia menyadarinya, rasa pening menyerang. Cawan jatuh, kepalanya berat, dan tubuhnya ambruk sebelum semuanya menjadi gelap.

>>> 

Hari masih gelap saat Kiran terlelap akibat efek Teh Bunga Krisan. Suara langkah sepatu besi bergema di lorong penjara bawah tanah, memecah keheningan.

Dari balik jeruji, lima kepala terjulur, penasaran. Tidak biasa pengawal Kaisar datang pagi-pagi.

Suara berderak keras terdengar saat gembok dibuka satu per satu. Dua tentara suci, mengenakan zirah dan helm besi, mengincar sel Kiran.

Rasa ingin tahu para tahanan semakin membesar. Beberapa menahan diri untuk tidak bertanya, sementara yang lain berani bersuara.

“Apa dosanya? Dia masih muda...” tanya seorang pria tua dari sel sebelah.

“Diam!” teriak tentara, menatap tajam. “Jangan menambah keributan!”

Namun, pria tua itu berteriak keras, suaranya bergema. “Dia tahanan penting! Dia akan dihukum pancung! Kejahatannya jauh lebih besar daripada kami semua!”

Keributan pun terjadi. Teriakan orang tua itu disambut sorakan dari penghuni sel lainnya.

“Bravo! Hidup pendatang baru yang akan dihukum pancung!”

Suara-suara itu mengguncang dinding penjara. Wajah kedua tentara suci itu pucat mendengar teriakan yang semakin membesar.

“Mereka menyebut Klan terlarang. Apa yang harus kita lakukan?” bisik salah satu tentara.

Dengan anggukan setuju, salah satu tentara maju ke jeruji. Dalam setiap sel, mata para penghuni menatap dengan tantangan, meski ada kegelisahan.

“Rasakan ini! Upah untuk penjahat!” tentara itu mengeluarkan tongkat panjang dengan permata biru di ujungnya.

Kilatan menyambar dari permata itu, menyiratkan ancaman mematikan. Tentara itu menjulurkan tongkat ke dalam sel pria tua dan membentak, “Klan Phoenix Merah? Apa kamu sudah bosan hidup?”

PANG!

Kilatan biru memancar, melumpuhkan pria tua itu. Tubuhnya kejang, lalu jatuh tak sadarkan diri. Tentara itu melanjutkan ke sel berikutnya, menyetrum satu per satu hingga mereka terjatuh, pingsan tanpa suara.

Kepuasan samar tergambar di wajahnya saat ia kembali ke sel Kiran. Kawannya menatap penuh pertanyaan.

Tanpa jeritan, lima narapidana tersengat, hanya suara gedebuk tubuh mereka yang jatuh.

Tentara itu memberi kode, mengiris lehernya, lalu tersenyum dingin. “Bagus,” kata kawannya singkat.

Salah satu dari mereka mengangkat tangan, menunjukkan botol obat kecil. Uap putih mengepul saat penutupnya dibuka.

“Dia akan sadar setelah mencium bau ini. Kita bisa berpesta sesuai perintah,” ujar pemimpin tentara, senyuman jahat terukir di wajahnya.

Begitu botol didekatkan ke hidung Kiran, pemuda itu batuk keras. “Uhuk—uhuk!”

Matanya terbuka, setengah terpejam, mencoba menyesuaikan diri.

+++

Kiran merasakan kepalanya berat, seolah ada beban yang tak bisa diangkat. Ia berusaha membuka matanya, namun terasa lengket.

Pusing menyerang kepalanya, perasaan tak enak menyelimuti tubuhnya. “Kenapa aku harus bangun? Biarlah aku tidur lebih lama...” gumamnya dalam hati.

Namun, rasa sakit menyentak ulu hatinya, seolah ada tangan kasar mencengkeram jantungnya.

“Bangun, bocah busuk! Kamu harus segera menghadap pengadilan Raja!” suara keras itu menyentak kesadarannya.

Kepalanya berdenyut, setiap detik terasa berat. Kiran berusaha membuka mata, melihat dua tentara suci dengan senyum sinis.

“Bangun, bodoh!” teriak salah satu dari mereka. “Kamu pikir Raja akan menunggumu selesai tidur?”

Setelah bertahun-tahun latihan ketat di Sanctuary of Wisdom, Kiran mampu menahan sakit. Setiap pukulan menyakitkan, namun tidak cukup untuk mematahkan tubuhnya.

"Kalian akan menyesal!" desis Kiran, saat kekuatan dan kesadarannya pulih.

Dengan cepat, ia bersiap mengucapkan mantra kutukan 'Black Hole', serangan mematikan yang bisa menguras energi dua tentara suci itu.

Namun, kejutan menghantamnya. “Kenapa... semua kekuatanku hilang?” pikirnya bingung. “Mengapa energi spiritualku tak mau bekerja?”

Wajah Kiran memucat. “Mengapa sihirku tak bekerja? Bahkan sihir tingkat rendah pun tak bisa aku panggil!”

Dua tentara suci tertawa terbahak-bahak, menikmati saat Kiran menyadari kehilangan kekuatannya.

“Mau coba-coba membuat sihir serangan? Jangan mimpi! Kalung sihir gelap di lehermu itu memblokir semua kekuatanmu!” ejek salah satu tentara.

“Tepat! Sekarang, kamu sudah menjadi tawanan Kekaisaran Qingchang!” tambah yang lain.

Telinga Kiran berdenging. Semua kejadian terasa seperti petir yang menyambar.

“Teh Bunga Krisan? Master Cho?” bisiknya dalam hati, matanya membesar saat ingatannya kembali.

Wajahnya semakin memucat. Semua kepercayaan diri ambruk. “Aku dijebak! Master Cho yang menjebakku!” desis Kiran, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pengorbanan Terakhir.

    Kiran meraung, suara yang tidak lagi manusiawi. Suara yang penuh kesakitan, kemarahan, dan kesedihan yang tak terbendung.Api keemasan meledak dari tubuhnya, menyapu ruangan dalam gelombang panas yang membakar segala sesuatu yang disentuhnya.Para Knight Qingchang terpental ke belakang, beberapa dengan jubah yang terbakar, jeritan kesakitan memenuhi udara.Eadric Windmere berlindung di balik perisai sihir, wajahnya yang tadi penuh kemenangan kini dipenuhi ketakutan. "Kendalikan dia!" teriaknya pada para penyihir. "Sekarang!"Siken dan Eve Whitehouse bergerak serentak, es dan api putih melesat ke arah Kiran yang kini berlutut di antara tubuh kedua orang tuanya, kepalanya tertunduk dalam kesedihan yang tak terucapkan.Namun, sebelum serangan mereka mencapai sasaran, sosok besar menerobos masuk, menghalangi jalan mereka. Roneko, dalam wujud sempurnanya, berdiri protektif di depan Kiran.Kesembilan ekornya terangkat tinggi, api keemasan berkobar semakin terang hingga menyilaukan mata, men

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Harga Sebuah Kesepakatan.

    Kiran mengangguk pelan, gerakan yang penuh kekalahan. Perlahan, ia menurunkan Crimson Dawn. Pedang itu menghantam lantai marmer dengan dentang keras, suara yang seolah menandai berakhirnya harapan.Api keemasan yang tadi berkedip lemah kini padam sepenuhnya, meninggalkan bilah logam yang dingin dan tak bernyawa."Aku milikmu," kata Kiran, mengangkat kedua tangannya dalam gestur menyerah."Kiran, tidak!" teriak Pigenor, berusaha bergerak maju tapi ditahan oleh dinding es Siken yang muncul di hadapannya. Es itu berkilau kebiruan, hampir transparan namun sekeras baja."Ini keputusanku," kata Kiran tegas, matanya menatap satu per satu teman-temannya, menyimpan wajah mereka dalam ingatannya. "Aku tidak akan membiarkan siapapun mati untukku lagi."Eadric tersenyum puas, senyum kemenangan yang membuat wajahnya tampak lebih kejam. "Bijaksana," katanya, perlahan menurunkan pedangnya dari leher Kora. Wanita itu terhuyung lemah, tangannya menyentuh luka di lehernya."Kau boleh berbicara dengan i

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Sebuah Keputusan.

    Debu mengambang lambat di udara Shab-e-Hazar Khayal, berkilau keemasan tertimpa cahaya api yang masih menjilat sisa-sisa furnitur mewah.Suara-suara pertempuran yang tadi memenuhi ruangan kini lenyap, digantikan keheningan mencekam yang hanya sesekali dipecahkan oleh derak kayu terbakar dan rintihan pelan dari mereka yang terluka.Asap mengepul dari berbagai sudut, menciptakan kabut tipis yang memberi kesan mistis pada pemandangan kehancuran.Di tengah reruntuhan yang dulunya adalah restoran termewah di Zahranar, waktu seolah berhenti. Semua mata tertuju pada drama yang tengah berlangsung di pusat ruangan.Kora Wang berlutut di lantai marmer yang retak, rambut hitamnya yang kini dipenuhi uban terurai berantakan di sekitar wajahnya yang lebam.Matanya, meski diselimuti ketakutan, memancarkan ketegaran yang hanya dimiliki seorang ibu. Darah mengalir tipis di lehernya, tempat ujung pedang Eadric Windmere menekan kulitnya.Di sampingnya, Arhun Wang duduk di benda sederhana, kalau bisa dik

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Dua Sandera.

    Roneko menggigit leher Mandrasath dengan gerakan cepat, taringnya yang setajam belati menembus sisik hitam naga itu yang konon sekeras baja.Mandrasath meraung kesakitan, suaranya menggetarkan jendela-jendela di seluruh kota, tapi dengan cepat membalas dengan pukulan ekor berduri yang menghantam sisi tubuh Roneko dengan kekuatan yang mampu menghancurkan tembok benteng.Kedua makhluk raksasa itu terpisah oleh momentum serangan, melayang berhadapan di udara seperti dua dewa perang kuno. Roneko melepaskan semburan api keemasan dari mulutnya, api yang begitu terang hingga bayangan-bayangan di bawah menghilang untuk sesaat.Mandrasath membalas dengan hembusan es biru yang membekukan awan-awan di sekitarnya. Kedua serangan bertemu di tengah udara kosong, menciptakan pilar energi yang menjulang tinggi ke langit seperti mercusuar supernatural, terlihat dari seluruh penjuru kota hingga ke pelosok terjauh.Langit Zahranar kini dipenuhi cahaya spektakuler, api keemasan Roneko dan es biru Mandras

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pertarungan Para Penyihir.

    "Kau masih belum menguasai kekuatan penuhmu, Phoenix," kata Siken, suaranya tetap tenang meski situasi kacau di sekitar mereka, seolah mereka sedang bercakap di taman yang damai."Kau tidak akan bisa mengalahkanku.""Mungkin," Kiran mengakui, matanya waspada mengamati setiap gerakan lawan. "Tapi aku akan mencoba."Kiran melesat maju dengan gerakan yang telah ia latih selama berbulan-bulan, Crimson Dawn terayun dalam sabetan horizontal yang meninggalkan jejak api di udara seperti goresan kuas seorang pelukis.Siken menghindar dengan gerakan mulus yang hampir tak terlihat mata, tubuhnya seolah mengalir seperti air yang tidak bisa ditangkap. Ia membalas dengan tendangan berselimut es ke arah rusuk Kiran, gerakan yang begitu cepat hingga hampir tak terlihat.Kiran menangkis dengan lengan kirinya, meringis saat es menggigit kulitnya seperti ribuan jarum kecil. Ia memutar tubuhnya, mengayunkan pedang dalam serangan beruntun yang semakin cepat, setiap gerakan mengalir ke gerakan berikutnya s

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Ketika Langit Ibukota Terbakar.

    Auman Roneko menggetarkan seluruh Zahranar, gelombang suara purba yang merambat melalui batu dan kayu, begitu dahsyat hingga kaca-kaca jendela Shab-e-Hazar Khayal bergetar dan retak dalam pola-pola seperti jaring laba-laba.Para tamu yang masih berusaha melarikan diri terhenti di tengah langkah, wajah mereka pucat pasi mendengar suara yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya—suara yang membangkitkan ketakutan primordial dalam darah mereka."Apa itu?" bisik salah seorang prajurit Zolia, busurnya gemetaran di tangannya yang basah oleh keringat dingin. Matanya menatap langit malam dengan ketakutan yang tak tersembunyi.Jawabannya datang dalam bentuk ledakan dahsyat saat atap restoran mewah itu hancur dalam sekejap.Serpihan kayu dan kaca berterbangan ke segala arah bagai hujan mematikan saat sosok raksasa berwarna merah keemasan menerobos masuk dari langit.Roneko, dalam wujud sempurnanya yang jarang terlihat, berdiri di tengah kehancuran dengan sembilan ekor berapi yang menjulang ting

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status