“Kenapa CCTV tiba-tiba rusak?!” Suara Elena menggema di ruang guru yang sunyi.Seorang staf IT di sekolah itu menunduk gugup. “Saya juga tidak tahu, Nona Elena. Semuanya normal sejak pagi. Tapi siang ini, rekaman dari gerbang tiba-tiba tidak bisa dibaca. Sepertinya ada kesalahan sistem.”“Kesalahan sistem?” Elena mendesah frustasi. “Jadi satu-satunya petunjuk tentang siapa yang membawa anak saya hilang begitu saja?”Guru Alva mencoba menenangkannya. “Kami sungguh minta maaf, Nona Elena. Tapi kami benar-benar mengira pria itu dikirim oleh Anda untuk menjemput Alva.”“Sudahlah!” bentak Elena, matanya mulai memerah. “Jangan pernah lakukan itu lagi! Aku yakin ini penculikan! PENCULIKAN!”Dengan wajah pucat, Elena berlari keluar dari ruang guru. Tangannya gemetar saat ia merogoh tas dan mengeluarkan ponsel. Ia segera menekan nomor Tamara.“Tamara! Dengarkan aku baik-baik. Alva... Alva hilang. Alva diculik,” suara Elena bergetar, hampir terengah.“Apa katamu? Ya Tuhan, Elena... tenang dulu,
Mobil Elena perlahan melaju melewati kemacetan sore. Lagu klasik terdengar lembut dari speaker mobil, menenangkan pikirannya saat ia membayangkan wajah Alva. Hari ini, Elena berjanji menjemput putranya sendiri, sesuatu yang jarang ia lakukan belakangan ini karena kesibukannya di butik."Alva pasti senang sekali dijemput sama aku," bisik Elena sambil tersenyum.Elena melirik jam di dasbor. Masih ada sepuluh menit sebelum bel pulang berbunyi. Ia menekan pedal gas sedikit lebih dalam, berusaha agar tidak terlambat.Tiba-tiba, dari trotoar, seorang nenek dengan kantong belanja plastik menyeberang jalan tanpa melihat ke kiri atau kanan. Elena refleks menginjak rem.Ciiiittt!Mobil berhenti hanya beberapa inci dari tubuh si nenek."Oh Tuhan!" Elena membuka pintu dan turun. "Nenek! Apa Anda baik-baik saja?"Nenek itu terlihat kaget, berdiri kaku di tengah jalan, lalu tiba-tiba menangis keras."Aduh... aduh, kaki saya! Sakit! Kamu hampir menabrak saya!"Elena segera menghampiri. "Astaga, maaf
Isabella melemparkan kacamata hitamnya ke lantai, kaca itu pecah berkeping-keping saat menghantam. Napasnya tersengal, wajahnya memerah karena amarah yang tak kunjung reda.“Berani-beraninya Damian menamparku! Dan di depan pelacur itu pula!” desisnya di antara gigi yang terkatup rapat.Ia mondar-mandir di dalam kamar, jarinya meremas rambut yang setengah tersanggul. Rasa malu, marah, dan sakit berputar-putar di dadanya. Suara Damian terus terngiang di kepalanya—bukan untuk membelanya, melainkan membela Elena.“Dia lebih memilih wanita itu... hanya karena Elena melahirkan pewaris keluarga Lancaster?”Isabella menahan air mata yang hampir jatuh. Lalu matanya tertuju pada layar ponsel di meja. Ia segera meraihnya, membuka kontak, dan menekan sebuah nama yang sudah lama tidak ia hubungi.Panggilan tersambung.“Halo?” suara berat seorang pria terdengar di seberang.“Aku punya pekerjaan untukmu,” ucap Isabella dingin, suaranya tegas.“Berapa bayarnya?” pria itu bertanya tanpa ragu.“Aku ing
"Nathan, bukankah kamu pulang lebih awal?" tanya Elena pelan, masih berada dalam pelukan pria itu. Suaranya hampir tak terdengar, bersandar pada detak jantung yang berdegup terlalu cepat.Nathan menghela napas, perlahan melepaskan pelukan, lalu menatap Elena dengan lembut. "Ya. Tapi kamu meninggalkan ponselmu di mobilku," katanya, sambil menunjuk pada ponsel yang tadi tertinggal di kursi penumpang. "Dan entah kenapa aku merasa tidak tenang."Elena mengangguk kecil, lalu meraih ponselnya dengan tangan bergetar. "Terima kasih."Mereka saling menatap. Sekejap terasa begitu lama. Waktu seperti berhenti.Nathan duduk di sampingnya, masih menjaga jarak. Namun ada sesuatu di udara yang semakin berat—ketegangan, emosi yang tak tertahankan, dan perasaan yang selama ini mereka kubur."Elena..." panggil Nathan dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Kamu tahu? Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."Elena perlahan menoleh. Tatapan itu—tajam namun lembut, rindu tapi tertahan. Dalam sekejap, semua p
Langit mulai menggelap ketika jam menunjuk pukul tujuh malam. Lampu kota menyala perlahan, dan udara malam yang sejuk merambat masuk melalui celah jendela. Elena baru saja selesai menyuapi Alva, sementara Delya sibuk dengan mainan di lantai. Bel berbunyi.Elena mengernyit, tidak menyangka ada tamu pada jam seperti ini. Ia berjalan cepat ke pintu dan membukanya. Nathan berdiri di sana, rapi dan gagah dalam setelan gelap yang membingkai tubuhnya dengan sempurna."Halo," sapa Nathan, dengan senyum khasnya yang entah bagaimana selalu berhasil membuat jantung Elena berdetak lebih cepat."Nathan?" Elena sedikit terkejut. "Ada apa? Kamu tidak bilang kalau mau datang."Nathan mengangkat sebuah kotak kecil dari balik punggungnya—serangkaian bunga lily dan mawar putih."Aku ingin mengajakmu makan malam," katanya penuh harap. "Aku sudah pesan tempatnya. Mau ikut?"Elena refleks menoleh ke arah anak-anak yang sedang bermain di dalam. "Aku tidak bisa. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkan anak-a
Elena masih terdiam. Wajahnya memerah, bukan hanya karena ciuman itu, tetapi juga dari ciuman lanjutan yang baru saja Nathan tanamkan di lehernya—panas, dalam, dan mengejutkan.“Aahh...” desahan itu lolos dari bibirnya, membuat Nathan tersenyum tipis—senyum seorang pria yang tahu bahwa ia telah menyentuh sesuatu yang tak lagi bisa disangkal.“Elena,” suara Nathan serak, hampir seperti bisikan. “Aku sudah menaruh tanda cinta di lehermu. Kau milikku, Elena.”Elena segera menoleh, matanya sedikit melebar. “Nathan...”“Kau tidak perlu menjawab sekarang,” ucap Nathan lembut. “Tapi jangan bilang kau tidak merasakannya.”Tubuh Elena mulai panas. Jantungnya berdegup begitu cepat, pikirannya kalut. Separuh dirinya ingin membalas ciuman itu, ingin menyentuh wajah Nathan, ingin membiarkan bibirnya menelusuri leher pria itu.Namun Elena hanya menggigit bibirnya, berusaha menahan diri.Ia mengangkat tangan kanannya, sempat menyentuh kerah jas Nathan, lalu kembali menurunkannya. Cepat-cepat ia meno