Share

Part 21

"Diam!" bentak mas Aldi.

Pria itu langsung melancarkan aksinya menyerangku.

Rumah kosong ini terkunci, dan mungkin tidak ada yang bisa menyelamatkanku.

Pranggg ...!!!

Kaca jendela kamar sebelah kami tiba-tiba porak-poranda setelah seorang pria menerjangnya dengan kasar.

Aku dan mas Aldi menoleh ke arah pria yang meringis kesakitan karena lengannya terkena pecahan kaca jendela.

Mas Aldi tampak ketakutan, Pria itu melangkah dengan wajah geram kemudian memberikan sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang mas Aldi hingga jatuh tersungkur ke lantai.

Aku bangkit dari posisiku yang berbaring. Sedikit mundur. Menyenderkan punggung pada kepala ranjang dengan napas tersengal-sengal.

Melihat Reno yang memukuli mas Aldi hingga babak belur. Aku menangis bukan karena ketakutan disakiti oleh mas Aldi, tapi aku menangis karena Reno sudah kembali. Ya, tangisku sekarang ini adalah tangis bahagia.

Lihatlah. Dia begitu beringas saat membelaku. Wajah tampannya tampak begitu emosional.

Aku tak sanggup menahan kebahagian yang membuncah dihati. Rasa rindu menyeruak masuk berasama dengan perasaan menghangat yang aku rasakan.

My Heroku sudah datang.

"Berani-beraninya lo mau nglecehin Puspa!"

Bugh!

Reno memberikan pukulan terakhirnya ke wajah mas Aldi. Mas Aldi sudah terkulai lemas di lantai.

Pria tampan berambut jambul itu berdiri. Kemudian memijat-mijat pergelangan tangannya yang linu.

Sorot matanya langsung mengarah ke arahku, hingga membuat wajah ini tersipu.

"Ayo!" ajaknya menarik tanganku keluar dari kamar. Membuka pintu yang terkunci.

Masuk beberapa polisi di sana. Rupanya mereka sudah mengepung.

"Aku pikir kamu sudah tewas," ucapku pelan.

"Kalau aku tewas, siapa yang akan menyelamatkanmu."

Aku menunduk. "Keren." Tanganku terasa kebas saat ditarik oleh Reno. "Datang tepat waktu."

***

PoV Reno

Aku sudah terdesak, preman-preman itu mendekat sambil membawa benda-benda tajam di genggaman tangan.

Mereka semua langsung berhenti ketika aku mengacungkan pistol ke arah mereka.

"Siapa diantara kalian yang akan mati?"

Aku menyeringai lebar melihat ekspresi mereka. "Gue mungkin akan mati, tapi siapa diantara kalian yang akan mati sendiri?"

Mereka terbelalak dengan wajah gugup. Dasar! Penjahat mental tempe!

"Ayo maju!"

Aku bersyukur, karena mereka tidak  membawa senjata api.

"Turunkan pistolmu!" bentak salah satu preman. Wajahnya terlihat gugup.

Aku mengacungkan pistolku ke arahnya. "Lo ingin mati?"

Lekaki itu menelan ludah dengan susah payah.

"Turunkan senjata kalian!"

Mereka semua saling berbisik, kemudian berlari bersamaan menyerangku. Aku menembak salah satu dari mereka hingga jatuh tersungkur. Namun, preman-preman yang lain sudah mulai melayangkan senjata tajamnya.

Aku berhasil mengelak dari beberapa serangan, tapi tak mampu menghindar dari pisau yang menggores lenganku.

Dorr!!

Kutembakan pistol ke arah salah satu kaki preman tadi hingga meringis kesakitan.

Maafkan aku ya Allah, gumamku. Menendang beberapa dari mereka sambil menghalau serangan benda tajam.

Ada celah sedikit. Aku nendorong satu orang yang akan menusuk pisau ke perutku. Kemudian menendang pria bertubuh gempal di belakangnya hingga melenguh kesakitan. Aku menerobos sela-sela kaki untuk berlari kabur.

Ada beberapa dari mereka yang mengejar. Aku berbalik badan dengan cepat, kemudian menembak kaki salah satu dari mereka.

Salah besar jika mereka melawanku.

Aku berlari menyusuri gang menuju jalan raya. Sebelum sampai ke sana, ada sebuah tong sampah besar berwarna biru. Aku memutuskan bersembunyi di sana.

Kemudian menarik salah satu preman, dan mengacungkan pistolku ke kepalnya.

"Gue punya penawaran menarik."

Ada beberapa preman yang akan maju, namun langsung kubentak. "Gue benar-benar akan membunuhnya!"

"Diamlah, dengarin penjelasan gue!"

"Tadi memang gue nggak tega bunuh salah satu dari kalian. Karena gue yakin kalian tidak akan mampu mengeroyok gue tanpa memakai senjata api. Tapi kali ini gue serius bakalan membunuh teman kalian yang ini."

Tiga orang itu hanya terdiam dengan wajah gugup.

"Gue punya penawaran menarik untuk kalian."

Ada salah satu yang ingin maju.

"Kalau ada orang ngomong dengerin dulu!" teriakku kesal.

"Kalian pembunuh bayaran yang diutus buat ngebunuh gue, kan?" tanyaku.

Mereka semua terdiam.

Aku mengeratkan lenganku yang melingkari leher salah satu pria yang aku sandra. "Kasih tau gue siapa yang nyuruh kalian?"

"Gue bakalan kasih uang 10 juta buat kalian."

Mereka saling tatap satu sama lain. Ragu akan menerima atau tidak.

"Tenang aja, kalian bisa bilang ke orang yang nyuruh kalian bahwa kalian udah berhasil bunuh gue, dan membuang mayat gue kemana, kek, ke sungai atau ke jurang."

"Sebelum kebohongan kalian terbongkar, gue pastiin orang yang nyuruh kalian udah gue tangkap."

"Dia bos kami," jawab salah satu preman.

"Oke, gue pastiin kalian semua bakalan tewas sebelum bunuh gue. Kalian bukan lawan gue. Sebelum kalian jadi penjahat, gue udah nangkap ratusan penjahat."

Mereka terlihat ketakutan.

"Kalian pengen mati, atau mendekam di jeruji besi?"

"Atau uang 10 juta dan upah dari orang yang nyuruh kalian?" Aku tersenyum miring.

"Aldi yang nyuruh kami."

Aku menghela napas kasar. Benar dugaanku.

Aku memutuskan tidak pulang, terus memantau pergerakan Aldi bersama beberapa temanku. Hingga kulihat dia menculik Puspa.

Mungkin dia berpikir, sudah bebas, setelah mengira aku sudah terbunuh. Ini benar-benar momen yang cocok untuk menangkap Aldi.

Tidak rugi aku mengikutinya terus hingga beberapa hari.

***

"Reno." Lidah ini terasa kelu setelah memanggil namanya.

Pria itu tersenyum saat aku menatapnya dengan wajah sendu.

"Aku bahagia kamu masih di sini," ucapku penuh pengorbanan.

"Jadi?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alis.

Aku semakin terpesona dengan ketampanannya.

"Lo nerima gue?"

Aku menunduk, menyembunyikan rona merah di wajah.

"Pus?"

Aku mengangguk malu-malu.

"Iya, nggak?" tanyanya.

Jantung ini berdebar-debar.

"Kamu menerimaku, Pus?"

Aku kembali mengangguk. Tanpa berani menatap wajahnya.

Tangan Reno melayang cepat mencapit hidungku. Hingga mataku berair. "RENO!!!" pekikku kesal.

"Jawab pertanyaan gue, elah!" Reno belum melepaskan capitannya di hidungku.

"Ish, iya-iya!" Aku menggeram, karena mataku langsung berair karena hidung ini dicapit.

Reno terkekeh. "Nah, gitu kan jelas."

"Jahat! Padahal aku sudah ngangguk-ngangguk."

"Kurang jelas." Reno meringis saat luka di lengannya tersentuh. Banyak sekali luka goresan-goresan yang belum mengering, ditambah luka bekas pecahan dari kaca jendela yang ia terjang tadi.

Pria yang memakai kaos oblong berwarna hitam itu mengajakku memasuki mobilnya. "Kita ke puskesmas dulu, ngobatin luka. Setelah itu langsung ke bandara."

"Aku ikut?" tanyaku sambil menggelembungkan pipi.

"Iyalah, mau aku kenalin ke ibu."

"Seriusan?" Aku begitu antusias.

Reno mengangguk. Kemudian mulai melajukan mobilnya.

"Aku mau bilang ke Pita dulu. Kasihan kalau dia di rumah sendirian."

"Nggak pa-pa cuma beberapa hari aja."

Seketika teringat dengan ucapan Pita kala itu. Namun, aku ragu-ragu untuk mengucapkannya. "Reno."

"Apa?"

"Hmm, anu ...."

Reno melirik ke arahku sekilas sambil mengernyitkan dahi.

"Aku ..."

"Aku ... aku mencintaimu karena Allah."

Reno begitu spontan mengerem mobilnya, kemudian menoleh ke arahku. "Kamu keren."

Aku mengerucutkan bibir. "Kok cuma gitu sih jawabannya."

"Nggak pa-pa."

"Jahat."

Reno tersenyum. "Kamu tahu kenapa Aldi dulu tidak mau menyentuhmu sama sekali?"

Hatiku terasa menghangat ketika Reno memanggilku dengan sebutan. 'Kamu'.

"Karena kesucianmu hanya boleh aku sentuh. Indah banget takdir Tuhan."

"Siapa bilang aku boleh kamu sentuh? Kamu nggak boleh nyentuh aku lah."

"Kenapa? Katanya juga cinta?"

"Kita kan belum halal."

Reno terkekeh. "Makanya aku kenalin sama ibu sekarang karena aku serius."

"Serius apa?"

"Ingin meminangmu."

***

Setelah berpamitan dengan Pita, kami langsung berangkat ke bandara. Pita tidak masalah tinggal di rumah sendiri.

Dari Bandara Raden Intan kami langsung terbang ke Jakarta. Sudah ada beberapa ajudan yang menjemput. Aku tidak menyangka Reno sekaya raya ini. Iyalah, orang gajinya gede.

"Aku nggak nyangka kalau kamu itu seorang polisi."

"Aku bukan polisi, Pus, tapi agen rahasia."

"Iya hampir sama."

"Kapan kamu pensiun dari pekerjaanmu?"

"Kenapa emangnya?"

"Aku takut kehilangan."

"Cieee..."

"Ish, nyebelin deh!"

Beberapa jam kemudian kami sudah sampai di kediaman keluarga Reno di kawasan Jakarta Selatan.

Jantung ini kembali berdebar-debar. Rasa gugup lansung menyelimuti kepercayaan diri.

"Udah nggak pa-pa." Reno menenangkan.

Kami melangkah memasuki rumah. Ada beberapa orang yang berkumpul di ruang keluarga. Mereka semua langsung menoleh setelah Reno mengucapkan salam.

Keluarga Reno tampak semringah. Aku jadi ikut bahagia.

Ada seorang perempuan yang duduk di ruang keluarga. Dia begitu cantik dengan dress mini yang ia kenakan.

"Reno!" Dia memeluk Reno kemudian cipika-cipiki kayak di tv-tv.

Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu.

"Ini calon gue," ucap Reno ketus.

"Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku.

"Puspa."

"Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."

Aku langsung terbelalak.

Jadi Reno sudah beristri?

Aku ke sini hanya untuk jadi madunya?

Ini parah!

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status