Share

Part 27

"Reno, skincare-ku ketinggalan semua di rumah."

"Terus?"

"Ya gimana? Pengertiannya," jawabku malu-malu kucing.

"Dilatih aja nggak pakai skincare-skincarean."

Aku mengerucutkan bibir. "Kamu tahu sendiri, kan, wajah aku dulu jerawatan. Sekarang kalau nggak pakai skincare jadi kelihatan kusam, lepek. Takutnya malah jerawatnya tumbuh lagi."

"Bagus, dong."

"Kok bagus, sih?"

"Ya baguslah, biar nggak ada yang ngelirik-ngelirik kamu lagi."

"Aku jadi jelek, dong?"

"Ya nggak pa-pa."

"Halah, ujung-ujungnya nanti kamu selingkuh."

"Yang halal aja ada, kenapa harus nyari yang haram?" Reno membalikkan ucapanku.

"Kali aja. Kan, biasanya laki-laki begitu. Gampang bosen."

"Bosen gimana, sih? Kita aja belum malam pertamaan kok."

Aku mengerucutkan bibir.

"Aku masih penasaran."

"Salah sendiri keluar malam-malam."

"Tuntutan pekerjaan."

"Ya nasib." Aku melahap apel yang sedari tadi berada digenggaman. Kini kami berdua sedang duduk berdua di gazebo taman rumah Reno yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman bunga, serta air mancur yang tedapat patung angsa dan juga buaya.

"Coba deh, nggak pakai perawatan wajah selama 3 bulan." Reno kembali membuka suara setelah hening beberapa lama.

Aku menelan apelku. "Rusak lah."

"Nah, nanti kalau rusak langsung perawatan lagi ke salon."

"His, ya kelamaan lah."

"Takut amat perasaan kalau jadi jelek," cibir Reno.

"Iyalah, demi membahagiakan suami, istri harus selalu cantik."

"Masak?"

"Ishh!" Aku memukul pundaknya.

"Ada tuh, perempuan yang dandan cantiknya pas mau keluar aja. Kalau mau ke pasar dandan, mau kondangan dandan, mau pengajian dandan. Pas ketemu suaminya di rumah nggak pernah dandan. Semrawut, lepek, acak-acakan. Suami capek-capek pulang kerja malah makin emosi lihat wajah istrinya yang monyong terus kayak kambing kejepit kayu."

"Ya gak semuanya istri kayak gitulah."

"Kenapa, sih, harus takut jelek? Orang udah punya suami juga. Kecuali kamu masih gadis nah pantes."

"Biar suaminya nggak selingkuh lah."

"Nggak percayaan banget."

"Namanya banyak godaan."

"Ngapain aku harus tergoda?"

"Ada banyak yang lebih seksi dan cantik di luar sana."

"Yang halal aja ada kok."

"Kalau udah tergoda ya, yang halal bakalan kelupaan."

"Kenapa harus kelupaan. Orang kita aja malam pertamaan belum."

Aku memutar bola mata malas. "Gitu mulu."

"Kapan?"

"Apanya?" jawabku kesal.

"Itu."

"Apa?"

"Selesai datang bulannya."

"Nggak tentu. Kadang tiga hari, lima hari, seminggu."

"Biasanya berapa?"

"Kepo, ah!" Aku membuang pandangan ke arah lain.

"Owh iya, ya, aku lupa kalau perempuan lagi datang bulan itu pasti bawaanya pengen marah-marah mulu."

"Itu tahu."

"Yaudah, yuk!" Reno beranjak dari duduknya.

"Ke mana?"

"Beli skincare di mini market."

Moodku langsung membaik. "Hayuk!" Aku ikut berdiri.

"Nggak jadi." Reno kembali duduk.

"Heh, kok gitu, sih?"

Reno tertawa. "Ngirit haha ...."

Ampun, dah! Rasanya aku ingin menjambak rambutnya.

"Emangnya apa aja sih skincare yang biasa kamu pakai?"

Aku menghela napas, kemudian kembali duduk. Mencoba menjelaskan semuanya. "Facewash, toner, serum, pelembap, sama sunscreen."

"Itu nama-nama make up juga?"

"Bukanlah, make up beda lagi."

"Merknya itu?"

"Itu bukan merk."

"Terus apa?"

"Hmm semacam apa ya, kayak tahapan-tahapan."

"Merk yang biasa kamu pakai biasanya apa aja?"

"Facewashnya Clean and Clear yang warna oranye, Tonernya Wardah Lightening,

Serumnya Scarlet yang pink, pelembapnya Emina bright stuff, terus Sunscreennya Emina juga."

"Parah! Rumit banget kayak matematika. Toner itu fungsinya buat apa?" tanya Reno kepo.

"Toner itu bahasa indonesianya buat menyeimbangkan pH kulit. Kan kalau sehabis cuci muka pH kulit jadi kering jadi harus diseimbangkan dengan toner. Toner juga fungsinya emang membersihkan sih."

"Kalau serum?"

"Serum itu ya perawatan kulit."

"Fungsinya?"

"Tergantung kebutuhan."

"Makainya?"

Aku menggeram. Kebanyakan tanya, ih.

"Tergantung kebutuhan, bisa tiap malam aja, bisa pagi sama malam. Kalau serum itu, kandungan zatnya lebih aktif. Jadi, kalau mau pakai serum tergantung jenis kulitnya sama keluhan kulitnya apa. Misal kulitmu kusam terus ada bekas jerawatnya. Carilah serum yang kamu butuhkan. Dalam dunia perskincarean serum kelihatan hasilnya pas 2 mingguan."

"Sehabis pelembab jangan lupa pakai sunscreen, soalnya orang Korea kulitnya mulus nggak pernah lupa pakai sunscreen."

Reno menghela napas. "Rumit banget kayak pelajaran matematika."

"Dasar!" Aku mendengkus.

"Yaudah yok! Beli aja, daripada kamu ngambek, terus naik ke pohon kelapa."

"Enak aja, aku kalau ngambek nggak kayak gitu."

"Emangnya kalau ngambek gimana?"

"Kalau ngambek makanku nambah dua piring."

"Pantesan dulu gendut."

"Hish!"

"Yaudah, yuk, berangkat ke minimarket beli skincare."

***

Setelah membeli barang-barang yang aku butuhkan, Reno langsung mengajakku mampir ke salah satu tenda penjual makanan di pinggir jalan.

"Mau makan mie ayam, pecel lele, apa ayam geprek?" tanya Reno setelah menghentikkan mobilnya di pinggir jalan.

"Apa aja boleh."

"Oke, pecel lele aja." Reno turun dari mobil. Pria itu buru-buru mengitari mobil dan membukakan pintu sebelum aku membukanya.

Ia menggandeng tanganku memasuki tenda. Kemudian memesan makanan ke si penjual. "Pakde, pecel lele dua porsi sama es tehnya dua, ya."

Aku menatap Reno takjub. Padahal dia orang kaya, tapi masih mau makan di tempat seperti ini.

"Udah nggak jengkel lagi dibeliin skincare?" tanya Reno sembari menatap ke arahku.

"Siapa yang jengkel?"

"Ngaku aja, perempuan kan suka jengkel."

"Ish, nggak semua perempuan kali." Aku mendengkus.

"Itu, buktinya kamu jengkel."

Astaghfirullah. Aku menarik napas kemudian membuangnya secara perlahan. Reno benar-benar melatih kesabaranku.

Tak lama kemudian dua porsi pecel lele datang ke meja kami. Ada nasi dan juga beberapa lalapan.

Reno mencuci tangannya pada mangkuk berisi air yang sudah dipersiapkan. Aku masih terdiam, mengamati dia makan dengan lahapnya.

"Kenapa diam?"

Aku langsung terbangun dari lamunan karena tertangkap basah sudah mengamatinya.

"Ah, enggak," jawabku kikuk.

"Ayo makan, enak banget lho." Reno meraih tanganku.

Mencelupkan tanganku ke dalam mangkuk kecil.

Terasa debaran-debaran aneh dalam dada. Saat Reno menaikkan dagu, agar aku segera melahap makanannya.

Aku menyuapkan makanan itu ke dalam mulut. Kemudian mengunyahnya. Sesekali curi-curi pandang ke arah Reno yang melahap makanannya dengan rakus. Dia terlihat sangat ....

Tampan.

Beberapa menit kemudian kami sudah selesai malahap habis makanan. Ternyata enak juga.

Reno mencuci tangannya dengan air kobokanku. Aku jadi malas mencuci tangan karena sudah kotor semua.

"Kenapa?" tanya Reno.

Aku hanya terdiam, menatap air kobokan yang sudah kotor itu dengan malas.

Reno menyeruput es tehnya hingga tandas. Lalu mengambil sebotol air mineral yang ada di sebelah kami.

Dia melangkah menghampiri. Meraih tanganku dan menyiraminya dengan air mineral. Tangannya yang satu lagi membersihkan seluruh sisa-sisa makanan yang ada di jari jemariku.

Aku menahan napas, saat kami saling bersentuhan. Kemudian bulu kuduk ini merinding, mengingat bahwa wajah kami hanya berjarak beberapa senti.

Tanganku sudah bersih. Reno mencium pipiku sekilas kemudian kembali duduk.

Sementara aku langsung membeku menerima ciuman itu.

Padahal sudah beberapa kali Reno menciumku. Namun, tetap saja membuat darahku berdesir.

Dengan suasana canggung, aku menyeruput es teh di depanku.

"Mau apa lagi?"

"Maksudnya?"

"Mau ke mana? Jalan-jalan? Shopping? Main ke mana gitu? Aku turutin pokoknya."

"Hmm, pulang aja."

"Oke."

Reno beranjak dari duduk. Kemudian membayar makanan kami.

Setelah itu dia menggandeng tanganku menuju ke mobil.

"Sejujurnya aku kesel banget kalau kita sekarang pulang." Reno membuka suaranya.

"Kenapa?"

"Habis nggak bisa gitu-gituan."

Reno membukakan pintu mobil. Aku benar-benar diperlakukan seperti selayaknya tuan puteri.

"Ya sabar."

Saat aku sudah masuk ke dalam mobil. Ada seorang perempuan berambut panjang yang datang menghampiri Reno. Perempuan cantik bertubuh ramping itu mengenakan kemeja putih panjang dengan rok pendek di atas lutut.

Reno belum sempat masuk ke dalam mobil. Aku mengamati mereka dari kaca jendela. Mereka tampak berbincang-bincang asyik.

Ada rasa tidak iklash yang menggerogoti hati saat melihat Reno terlihat sangat akrab dengan perempuan lain. Moodku langsung memburuk.

Reno kemudian masuk ke dalam mobil dengan wajah semringah.

"Siapa?" tanyaku.

"Siska, teman lama."

"Owh!" Aku mengalihkan pandangan keluar jendela kaca mobil.

"Cemburu?"

"Enggak, biasa aja."

"Bohong dosa lo, Pus."

Aku menggigit bibir. "Kalau iya gimana?"

"Bagus, dong."

"Kok, bagus, sih?"

"Cemburu tanda cinta. Berarti kamu sayang sama aku."

Aku menyembunyikan wajah yang mungkin sudah bersemu merah.

"Asalkan jangan suka curiga."

Aku tak menjawab. Kemudian tidak ada obrolan lagi. Susah memang menghilangkan sifat curiga.

Keren juga kata-kata Reno. Cemburu boleh, curiga jangan.

Beberapa menit kemudian, kami sudah sampai di halaman rumah Reno. Kami berdua turun dari mobil kemudian masuk ke dalam rumah.

Ada Rani, Keenan, dan ibu mertua di meja makan. Mereka semua sedang makan siang. "Eh, ayok ikut makan sekalian!" ajak Rani.

"Kami udah makan di luar."

"Owh, mbak Puspa beli apa?" tanya Rani melirik kantong plastik yang kubawa.

"Skincare." Aku tersenyum.

"Ealah, tau gitu aku tawarin produk kosmetikku."

"Nanti aja ya, promonya, Ran." Reno terkekeh, menarikku menuju ke kamar kami yang ada di lantai dua.

Setelah masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba Reno menggendong tubuhku.

"Eh, ngapain ini?"

"Tuan puteri harus tidur siang. Biar cepet sembuh."

Reno menjatuhkanku ke ranjang. Kemudian menutupi tubuhku dengan selimut.

"Sembuh dari apa?" tanyaku sambil melepas hijab.

"Datang bulannya." Reno mengelapi keringat di keningku dengan tangannya.

"Itu bukan penyakit. Itu karunia Allah."

"Kalau istirahat yang cukup bisa cepet sembuh nggak?"

"Ishh! Sembuh-sembuh apaan, sih? Ini bukan penyakit. Sabar dikit napa?"

"Hadeh, ampun dah. Aku pengen ...."

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status