Share

Part 26

"Bismillah, mau mulai sekarang?" tanya Reno saat kami sudah mulai solat.

Darah seakan berdesir. Aku mengangguk malu.

"Bismillah." Reno mengajakku berbaring. Jantungku semakin berdetak tak menentu.

Bulu kuduk ini langsung meremang ketika Reno mulai mendekatkan wajahnya. Aku lantas memejamkan mata. Namun, ciuman itu tak kunjung mendarat.

Reno menghentikan niatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang berdering.

"Astaghfirullah, ganggu," desis Reno kesal.

Aku mengerucutkan bibir, melihat Reno mengangkat teleponnya. Dia tampak berbincang serius. Aku sempat menahan napas melihat raut wajah khawatirnya.

"Oke-oke, saya segera ke sana," ucap Reno setelah memutus teleponnya. Pria tampan itu menghela napas. Kemudian menatap ke arahku dengan wajah sendu.

"Sorry, ya, Pus. Kita tunda dulu." Reno kelihatan lesu.

"Ada apa?"

"Aku ada urusan bentar. Ada salah satu pelaku kriminal yang tertangkap."

"Nggak bisa ditunda, ya, tugasnya? Ini malam pertama, lho?" Aku memohon.

"Pus, tolong ngertiin profesi aku."

Aku terdiam beberapa saat, kemudian menghela napas. Dengan berat hati aku akhirnya mengangguk.

"Thanks, Pus." Reno menghela napas lega. Kemudian buru-buru memakai jaket dan celana panjang.

Pria itu sangat tergesa-gesa ingin pergi.

"Sabar, ya, aku cuma sebentar, kok," pamit Reno sebelum menutup pintu kamar.

Aku hanya bisa memanyunkan bibir saat Reno sudah menghilang dari pintu. Sayang sekali. Padahal aku sudah deg-degan bercampur penasaran. Seperti apa sih, rasanya malam pertama.

Brakkk!!

Aku terkejut saat Reno kembali masuk sambil membuka pintu dengan kasar. "Ada yang kelupaan."

Buru-buru aku beranjak dari tidur. "Apa, Ren?"

Reno tampak kebingungan. "Apa, ya, aku lupa? Pokoknya kayak ada yang ketinggalan."

Pria itu berkacak pinggung. Kemudian memijat-mijat keningnya, pusing.

Aku berdiri. Ikut berpikir, kira-kira apa yang ketinggalan. "Dompet, bukan?"

"Hmmm, bukan," jawab Reno sambil termenung. "Ah, iya!"

"Apa?"

Reno tersenyum, kemudian mendekat ke arahku. "Aku lupa."

"Belum dicium."

"Ishh!" Aku mendengkus. Kirain apa.

Reno mendekatkan pipinya.

"Beneran, ini yang kelupaan?"

"Cepet, gih."

Aku menghela napas, kemudian mencium pipinya lembut.

"Yang sebelah kiri." Kemudian Reno menyodorkan pipi sebelah kiri.

"Makasih." Reno tersenyum, kemudian mencium keningku. Lalu berlari keluar dari kamar lagi.

Hufft! Orang itu. Pandai sekali bikin orang jantungan.

Beberapa detik kemudian aku senyum-senyum sendiri. Mengingat perlakuan manis Reno.

Aku melangkah membuka gorden jendela. Mengintip Reno yang tergesa-gesa mengeluarkan motor besarnya. Kemudian melenggang pergi keluar dari rumah.

Dia lama nggak, ya? Kalau lama aku tidak akan tidur. Lagipula aku juga belum mengantuk. Memang sudah berniat untuk lembur.

Aku memutuskan ke dapur, untuk mengambil minum. Kudapati Pita di sana sedang duduk di depan dapur cantik sambil melahap makanan. Perempuan itu memang datang ke Jakarta menghadiri acara resepsi pernikahan bersama pakde dan bude. Perutnya semakin hari semakin terlihat membesar.

"Makan, Pit?"

"Ah, iya Mbak, tiba-tiba laper banget." Pita kembali melahap makanannya.

"Hati-hati lo, Pit. Ini rumah orang, jangan sembarangan nyelonong."

"Iya, Mbak, tadi aku dianterin pembantu ke sininya."

"Owh, begitu."

"Mbak kenapa belum tidur?"

"Aku haus, Pit," ucapku sambil menuangkan air putih dari galon ke dalam gelas, kemudian meneguknya hingga tandas.

"Udah ngrasain Mbak, malam pertamanya?" goda Pita menaik-turunkan alisnya.

Aku tersipu malu. "Apaan sih, kamu Pit. Kepo banget deh."

"Ya, kan, penasaran."

"Hmm, Renonya aja lagi keluar ada panggilan?"

"Seriusan, Mbak?"

Aku manggut-manggut. "Iya. Tau deh, ke mana."

"Ya nggak pa-pa, tugas negara. Tugas yang mulia. Di doain Mbak, suaminya biar dilindungi sama Allah. Pekerjaan kak Reno kan selalu berurusan dengan para kriminal."

"Iya, Pit." Aku mengangguk, kemudian duduk di sebelah Pita.

"Besok, aku sama pakde bude mau langsung pulang, Mbak."

"Lho, kok buru-buru amat?"

"Pakde ada banyak kerjaan soalnya."

"Nggak jalan-jalan dulu?"

"Kapan-kapan aja deh, Mbak."

Aku menghembuskan napas panjang. "Apa nggak sebaiknya kamu tinggal di sini aja, Pit?"

"Enggak lah, Mbak, orang di sini rame."

"Daripada di rumah sendirian."

"Nggak papa, gih, Mbak. Pita berani, kok."

Aku menatap adik kesayanganku itu dengan tatapan iba. Kasihan dia, harus hidup sendiri di saat sedang mengandung.

"Nanti Mbak, minta Reno buat pindah rumah gimana? Biar kamu bisa tinggal di situ?"

"Ah, nggak usah, Mbak. Nggak enak juga. Nanti Pita ganggu mbak Puspa sama Kak Reno."

"Nggak pa-pa lagi, Pit. Kamu kan, adek Mbak."

Pita menggigit bibir bawahnya. "Enggak, deh, Mbak. Pita di rumah aja. Nanti sekalian mau cari kerjaan."

"Pit, nggak usah kerja, kamu kan sedang hamil. Nanti mbak kirimin uang aja," larangku, walau aku tidak tahu dapat uang darimana. Aku benar-benar kasihan dengan Pita.

"Ish, Mbak, udahlah, nggak usah khawatirin aku. Aku bisa jaga diri baik-baik, kok."

"Pita."

"Mbak jangan terlalu mikirin aku, nanti jadi beban. Santuy aja, bahagia kan pengantin baru. Harus dinikmati."

Mataku mulai berkaca-kaca. "Semoga dedek bayinya sehat selalu, ya, Pit."

"Aamiin, Mbak, doain." Pita tersenyum kemudian kembali melahap makanannya.

"Mbak, tidur, gih, udah malam."

"Iya, Pit, bentar lagi."

Sebenarnya aku ingin menunda tidur sembari menunggu Reno pulang. Ingin ngobrol-ngobrol dengan Pita. Namun, aku sadar kalau Pita juga butuh istirahat. Apalagi besok dia mau pulang.

Akhirnya aku pamit kembali ke kamar kepada Pita. "Mbak, ke kamar dulu, ya, Pit."

"Iya, Mbak." Pita mengangguk.

Aku melangkah menuju kamar. Sudah jam 12 malam, biasanya itu adalah waktu di mana orang-orang pulang beraktivitas. Reno pasti sebentar lagi pulang.

Aku masih melamun, menanti kehadirannya. Walaupun kantuk ini mulai menyerang. Coba ditahan.

Aku tidak ingin Reno kecewa di malam pertama karena ketiduran.

Mataku terasa berat, beberapa kali aku terpejam. Namun, kubuka lagi dengan paksa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Susah sekali. Akhirnya aku kalah dan tenggelam ke dalam dunia mimpi.

***

"Pus, Puspa."

Suara lembut itu membangunkanku dari tidur.

Reno membelai pipiku. Pria itu tersenyum saat aku membuka mata.

"Kamu udah pulang?" tanyaku sambil mengucek-ngucek mata.

"Hmm, maafin aku ya, udah bangunin kamu. Habis penasaran. Kan ini malam pertama kita."

"Kamu pulangnya lama banget." Aku melirik jam dinding. "Tuh kan, udah jam 3."

"Ayo ibadah."

"Aku udah terlanjur ngantuk, Ren. Besok aja."

"Pus, masak nolak sih."

"Kamu pulang kemalaman, aku bener-bener ngantuk." Aku berbalik badan, memunggunginya.

Namun, Reno menarik punggungku.

"Ayolah, Pus."

"Ren, gimana ya, aku benar-benar ngantuk."

"Santailah, kamu kan di bawah."

"Ih, apaan sih." Geli rasanya ketika Reno mengucapkan itu.

"Ayo, Pus."

Huft!! Akhirnya aku mengiyakan ucapan Reno.

"Mulai, ya, Bismillah." Reno mulai mendekatkan wajahnya, hendak menciumku dulu. Jantungku berdetak tak menentu.

Namun, terhenti. "Ya ampun, aku kebelet BAB." Reno mendengkus, kemudian buru-buru masuk ke kamar mandi.

Aku menepuk jidat. Orang itu kok aneh-aneh, sih?

Aku mencoba mengontrol diri agar tetap terjaga. Tapi Reno lama sekali di dalam kamar mandi. Aduh, kesel deh lama-lama.

Sampai beberapa menit kemudian pria itu keluar dari kamar mandi. "Mules banget."

Aku mengerucutkan bibir. "Jadi, nggak?"

"Ayo." Kembali menaikki ranjang. Membuka kaos oblongnya hingga menampakkan perutnya yang sixpack. Ada enam kotak-kotak di perutnya.

Aku merasakan hal yang aneh, tapi menyenangkan. Gairah. Aku benar-benar terbuai oleh ketampanan Reno.

Aku ingin tenggelam pada lautan asmara bersamanya. Reno mendekat, sejengkal demi sejengkal.

Dan...

"Allahuakbar, allahuakbar."

Terdengar bunyi adzan subuh.

Kok, udah adzan subuh, sih?"

Reno memejamkan mata sambil menggertakkan gigi, menahan napsu. "Subuh, Pus, solat dulu, yuk."

"Solatnya nanti. Ini kita ayo, kapan? Nggak jadi-jadi, ish." Aku mendesis.

"Solat dulu, lah, biar seger sekalian. Nanti kalau ini dulu apa itu namanya. Hmm, mau solat harus mandi wajib dulu, masih dingin jam segini."

"Sekalian ini, sekalian mandi wajib bareng."

"Ha? Mandi bareng?" Reno membulatkan mata.

Aku langsung menutup mulut. Keceplosan. Maaf-maaf.

"Enggak, lupain."

"Gimana, sih? Jadi, kamu pengen mandi bareng?"

"Tau ah, terserah kamu, aku ngikut." Aku mendesis sebal.

"Yaudah solat dulu, aja." Reno menghela napas. "Biar agak tenang, kalau dah solat."

"Iya-iya."

"Ayo."

"Hmm, gendong," pintaku manja.

Reno menghela napas. "Yaudah sini."

Pria itu menyerahkan punggungnya. Aku langsung melompat ke punggungnya. Biarin, aku kerjain sekalian.

Reno menghantakkan tubuhku, membenarkan letak gendongan. Kemudiahan melangkah menuju kamar mandi. Untuk berwudhu.

Setelah selesai berwudhu, kemudian kami melaksanakan solat subuh. Dua rakaat. Setelah itu dilanjutkan dengan wirid dan doa.

Setelah doa aku melihat Reno menunduk. Khusuk sekali doanya. Aku tidak ingin menganggu.

Aku akhirnya ikut berdoa, dalam hati. Meminta kepada Allah yang indah-indah. Pernikahan ini langgeng. Punya anak yang lucu-lucu. Penuh kasih sayang. Dan selalu bahagia selamanya. Tak lupa aku juga mendoakan Pita.

Sampai aku selesai berdoa. Reno tetap duduk menunduk.

Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Reno!"

Dia terdiam.

Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya agak kencang.

"Eh, ada apa, Pus?" Reno gelagapan dan langsung menoleh ke belakang. Matanya tampak sayu dan berat.

Aku memutar bola mata malas. Rupanya dia tertidur.

Reno mengusap-usap wajah. "Ah, aku ngantuk banget."

"Yah," lirihku dengan nada kecewa. "Nggak jadi, dong?"

"Sorry, Pus. Aku ngantuk banget." Reno naik ke atas ranjang sambil membaringkan tubuh. Dengan sarung dan baju kokonya. Dia terlihat benar-benar kelelahan. Kopiahnya saja belum sempat di lepas.

"Ish, Reno!" dengusku kesal sambil melipat sajadah. Ada aja gangguannya.

***

Sarapan pagi kali ini cukup berwarna. Tidak hanya diisi oleh suara ketukan sendok yang beradu dengan piring. Namun, juga diisi suara obrolan seru dari mama-papa Reno dan pakde budeku. Pita juga asyik mengobrol dengan Olivia dan Rani.

Nanti siang mereka akan kembali pulang ke Lampung. Ibu dan bapak mertuaku menyayangkan hal itu. Mereka belum jalan-jalan. Tapi mau bagaimana. Pekerjaan pakde tidak bisa ditinggalkan lama-lama.

Reno berbisik ke arahku. "Pus, nanti pas tidur siang, yuk!"

"Apaan?"

"Yang tadi malam, belum jadi."

"Telat, aku baru aja datang bulan. Lampu merah jadi nggak bisa."

"Bangsat!" desis Reno pelan.

"Astaghfirullah, cangkemu!" Aku mencubit lengannya.

"Hayo, ngapain bisik-bisik!" selidik seluruh orang yang ada di meja makan penuh curiga.

Hargai penulis dengan follow I*******m nurudin_fereira ☺️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status