Share

Part 22

Seketika aku merasa cemburu. Sementara Reno tampak keberatan dipeluk dan dicium oleh wanita itu.

"Ini calon gue," ucap Reno ketus.

"Siapa namanya." Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku.

"Puspa."

"Owh, hay. Kenalin aku Olivia. Istrinya Reno."

Aku langsung terbelalak.

Jadi Reno sudah beristri?

Aku ke sini hanya untuk jadi madunya?

Ini parah!

"Nggak usah sembarangan lo kalau ngomong, bikin orang salah sangka nantinya." Reno melewati perempuan itu, kemudian berjongkok, mencium tangan mamanya dengan takzim. Aku mengekor di belakang.

"Apa kabar kamu, Reno?" Mama Reno tersenyum ke arah anaknya.

"Alhamdulilah, baik, Ma." Reno kemudian bersalaman dengan adiknya, Rani.

"Ini calon yang kamu pilih, Kak?" tanya Rani begitu antusias saat bersalaman denganku.

Di sudut lain, perempuan bernama Olivia tadi menatapku tidak suka.

"Kalian pasti laper. Ibu udah siapin makanan lezat buat kalian."

Kami berdua diajak oleh mama Reno dan adik Reno yang bernama Rani menuju meja makan.

"Olivia nggak ikut?"

Olivia menggeleng sambil memaksakan seulas senyum. "Enggak, Tante. Olivia mau pulang aja."

Mama Reno mengerucutkan bibir. "Yah, kok gitu sih Olivia. Kan, Renonya udah datang."

Olivia tertawa hambar. "Kan, udah punya yang lain Tante."

Perempuan itu pergi. Reno menarikku menuju meja makan menyusul Rani. "Dia siapa?" bisikku.

"Perempuan yang ngejar-ngejar aku."

"Kenapa kamu nggak mau?" tanyaku kikuk.

"Karena dia tidak seistimewa dirimu."

Terasa desiran hangat ketika Reno mengucapkan itu. "Kenapa aku istimewa di matamu?"

"Karena kamu pernah gendut dan jelek sedangkan dia tidak," bisik Reno pelan.

Kami berdua sudah sampai di meja makan. Mama Reno bertanya banyak tentang kehidupanku. Siapa orangtuaku, dan di mana tempat tinggalku. Ekspresi mama Reno langsung berubah ketika mengetahui kalau aku adalah seorang janda. Bahkan beliau berhenti bertanya setelah mendengarkan itu semua.

Suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara ketukan sendok yang beradu dengan piring.

Mama Reno langsung pergi begitu saja setelah makan. Aku hanya merapatkan bibir. Sementara Rani hanya menggindikkan bahu.

Andaikan mama Reno tahu kalau aku adalah janda yang masih perawan.

"Kak Puspa tidur di kamar belakang, ya."

Aku mengangguk. Reno hanya terdiam dengan wajah datar setelah kepergian ibunya. Khusyuk melahap makanannya.

"Kak Puspa kuliah dijurusan apa?" tanya Rani kemudian meneguk air putih setelah menghabiskan makanannya.

Aku hanya menggeleng pelan. "Aku nggak kuliah."

Rani tampak kecewa. "Sayang banget, ya, padahal kak Reno sangat butuh pendamping yang berpendidikan untuk mengelola bisnis-bisnisnya. Kak Reno nggak mau pensiun dari pekerjaannya sebagai anggota intelijen."

Reno menghela napas kemudian menarik tanganku agar berdiri. "Sepertinya Puspa harus istirahat dulu."

Reno menggiringku ke kamar belakang. Kemudian menyuruh pembantunya untuk mengambilkan tas ranselku di dalam mobil.

"Sepertinya keluargamu tidak menerimaku dengan baik," ucapku dengan wajah memelas.

"Tak kenal maka tak sayang. Mereka cuma belum kenal sama kamu aja." Reno menjawab dengan wajah datar.

"Aku malu. Apa aku pulang aja, ya?"

"Itu sama aja kamu menyerah sebelum berperang."

Aku mengerucutkan bibir. "Mamamu sepertinya juga udah punya calon yang sempurna. Yang namanya Olivia tadi."

"Dia bukan calon yang dicarikan mamaku. Dia aja yang pinter caper."

"Owh."

"Udah sana istirahat dulu, jangan lupa solat kalau udah waktunya."

Aku mengangguk.

***

Rumah Reno sangatlah luas, aku sampai kebingungan mencari kamar mandi untuk berwudhu.

Akhirnya aku bertanya kepada Rani. "Kamar mandinya di mana, ya?" tanyaku.

Rani menutup mulutnya menahan tawa. "Lucu banget, sih."

Aku mengernyit heran.

"Kamar mandi aja nggak tahu di mana. Kan, setiap kamar ada kamar mandinya, Kak."

"Masak, sih?" Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

Rani berjalan menuju ke kamarku. Aku langsung mengekor dari belakang. "Kamu dari kampung banget, ya," ucap wanita yang sedang hamil itu.

Omongannya dijaga, Dek, kasihan anakmu.

"Itu, buka aja."

"Owh itu pintu toilet, ya. Kirain apa. Ditutup soalnya."

"Iya, emang jarang dipakai, sih. Kalau mau wudhu di situ aja."

"Makasih." Aku masuk ke kamar mandi. Cuci muka, kemudian melakukan wudhu hendak solat magrib.

Saat keluar dari toilet, ternyata Rani masih duduk di tepi ranjang sambil bersedekap santai.

"Kamu nggak solat?"

"Lagi halangan kak."

"Owh." Aku mengangguk. Rasanya begitu canggung. "Suami kamu kemana, kok, dari tadi siang nggak kelihatan?"

"Hmm, dia lagi dinas keluar kota."

Aku berjongkok, mengambil mukenah dan sajadah yang ada di dalam ransel.

"Kok bisa sih, kak Reno suka sama kak Puspa?"

Pertanyaan itu terdengar seperti petir yang menyambar. "Karena aku juga suka sama dia."

"Padahal kak Puspa sama sekali tidak masuk ke dalam kriteria calon menantu idaman mama."

Aku tertegun. Hati seperti ditusuk pisau dari dalam. Nyeri. Tubuhku langsung panas-dingin.

"Beda jauh sama kak Olivia. Muda sukses, baik, pinter, ramah lagi."

Nyaliku benar-benar menciut menghadapi orang seperti ini. Ini pengalaman pertamaku mendapat penolakkan. Sebelum-sebelumnya aku tidak pernah menjalin ikatan dengan siapapun. Selain dengan keluarga mas Aldi. Rupanya sesakit ini berinteraksi dengan orang asing.  Belum tentu kita bisa dianggap baik.

"Aku nggak tahu bagaimana semua ini terjadi, yang jelas kita berdua saling cinta."

***

Sehabis solat magrib, aku mengirimkan pesan kepada Reno. Namun, tidak ada balasan.

Padahal aku malu mau keluar dari kamar karena tidak mendapatkan perlakuan yang hangat dari anggota keluarganya.

"Reno kemana, sih?" Aku memutuskan untuk menelponnya, tapi tak kunjung dijawab.

Perutku padahal sudah keroncongan sejak tadi. Setidaknya, aku ingin Reno mengantarkanku keluar mencari makanan. Kalau keluarganya tidak ingin aku makan malam bersama mereka.

Tok ... Tok ... Tok ...

Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku buru-buru membukanya. Ternyata Rani.

"Ayo Kak makan malam," ajaknya.

Alhamdulillah. Aku mengangguk. Membenarkan hijab, kemudian ikut keluar. Bergabung dengan mama Reno dan Rani. Reno tidak ada. Kemana?

"Makan Pus," ucap mama Reno kembali ramah seperti tadi.

Aku menarik piring, mengambil secentong nasi dan lauk pauk.

Mama Reno menuangkan segelas air putih, dan diberikan kepadaku.

Ah, aku merasa baper. Apa mungkin tandanya beliau sudah menerimaku?

"Makan yang banyak, nggak usah sungkan-sungkan."

Aku tersenyum sambil menyuapkan sesuap nasi ke dalam mulut. "Reno kemana Tante?"

"Reno lagi ada urusan, mungkin pulangnya besok lusa. Sakalian nganter kamu pulang."

Seketika aku merasa dongkol. Kenapa Reno nggak izin sama aku dulu, sih? Ditelpon juga nggak diangkat. Kadang-kadang deh itu orang.

"Kamu mau tiga hari, kan, di sini?"

Awalnya, iya sih, tapi mengingat Reno tidak ada di tempat ini. Aku jadi merasa ingin pulang cepat-cepat.

"Pus?" panggil mama Reno lagi.

"Iya, Tante, InsyaAllah."

"Emang kamu berani pulang sendiri ke Lampung? Naik kapal apa pesawat?"

Aku terdiam kikuk. Sejujurnya aku tidak permah bepergian jauh sendirian keluar dari provinsi.

"Udah nggak pa-pa. Di sini aja, kak, nungguin kak Reno pulang. Nanti aku ajak jalan-jalan keliling Jakarta."

Aku melirik ke arah Rani. Entah kenapa perlakuan perempuan itu jadi begitu hangat. Apakah sekedar formalitas karena ada mamanya?

"Se ... sebenarnya di sana saya lagi banyak kerjaan." Aku berucap pelan. Ingin mereka berdua sedikit bersimpati agar mau mengantarkanku ke bandara dan memesankan tiket pesawat, nanti sesampainya di bandara Raden Intan aku akan menelpon Ben atau Puspa untuk menjemput.

"Emang kak Puspa di sana kerja apa?" tanya Rani.

"Aku kerja di kafenya Reno." Aku menunduk malu.

Rani langsung menyemburkan tawanya. Begitupula mama Reno. "Kerjaan sepele kayak gitu dikhawatirin."

Sepele? Bagiku itu sangat berarti untuk kelangsungan hidup.

"Lagian nih, ya, Kak. Itu kan kafenya kak Reno, sementara kak Puspa calonnya. Masak iya, calon istri bos mau terus-terusan kerja di sana." Rani tertawa ngakak.

Nafsu makan mendadak hilang. Aku benar-benar dipermalukan.

"Kamu bisa masak, Pus?" tanya mama Reno disela-sela tawanya.

"Bisa Tante."

"Besok pagi bantuin masak sarapan bi Zulfa ya."

Aku mengangguk. "Iya, Tante."

Rani masih meledakkan tawanya. Apanya yang lucu sih? Kerja di kafe mewah masak ditertawakan.

Apa mungkin karena itu kafe kakaknya?

***

Sambil nunggu update baca ceritaku yang lainnya ya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Purity Calestial Warden
di tunggu lanjutan nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status