Share

Part 24

Setelah dijelaskan oleh Rani dan mama Reno bahwa aku adalah calon tunangan Reno. Akhirnya Keenan paham. Pria itu tersenyum ke arahku.

Tinggal papa Reno saja yang belum aku temui. Katanya beliau sedang dinas di pulau Kalimantan. Jadi, tidak mungkin ketemu.

Aku hanya heran saja, berarti Reno dan mamanya hanya numpang di rumah adiknya. Kenapa nggak tinggal di rumah sendiri?

Bodo amat!

Tubuhku terasa letih sekali setelah mengepel seluruh lantai di dalam rumah. Aku tidak punya energi lagi jika mereka jadi mengajakku jalan-jalan kelilingi ibu kota.

Aku mengirim pesan kepada Reno.

'Pulanglah sebentar, antarkan aku ke bandara. Aku sudah sangat lelah disiksa keluargamu. Mereka menganggapku pembantu.'

Send.

Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang berukuran king size itu. Hufft! Tenagaku sudah terkuras habis.

Apa lebih baik aku kabur saja, ya, daripada jadi tendang-tendangan mereka semua. Tapi nanti kesasar.

Minta tolong Ben juga nggak mungkin. Ya, kali dia mau berkorban ke sini hanya untuk nyusul aku.

Cklek!

Aku langsung beranjak begitu melihat pintu terbuka. Ada Rani di sana.

"Ayo Kak, buruan mandi. Kita mau jalan-jalan."

"Ah, sekarang?"

"Iya." Rani mengangguk.

"Masak kamu mau ngajak pembantu jalan-jalan," sindirku.

Rani nyengir kuda. "Becanda, Kak. Lagian kak Puspa tadi udah tahu sendiri, aku jelasin ke mas Keenan kalau kak Puspa itu calon kakak ipar, ya, kan?"

Aku menghela napas. Walaupun rasa sakit hati ini masih belum sirna, tapi aku tetap mencoba percaya.

"Yaudah, aku mandi dulu."

"Ditunggu, Kak." Rani kembali menutup pintu kamar.

Huft! Lelah sekali rasanya. Keluarga Reno sama misteriusnya seperti Reno. Susah ditebak.

Aku sama sekali tidak bergairah untuk jalan-jalan. Apalagi Olivia tadi datang. Sudah jelas kalau perempuan aneh itu bakalan ikut juga.

Masak iya, sih, ngetes calon menantu sampai harus disiksa dan dikerjain kayak gini. Aku harus gimana?

Insecure.

Aku buru-buru mandi kemudian berganti baju. Beberapa menit kemudian aku keluar dari kamar dan bergabung dengan mereka yang sedang bersenda gurau di ruang keluarga.

Bersama Olivia.

Keenan tersenyum ke arahku. Entah kenapa senyuman pria bermata tajam itu terasa menyihirku. Tatapannya juga aneh. Penuh selidik. Seakan-akan tertarik.

"Udah siap, Pus?" Mama Reno beranjak dari duduk. "Ayo kita berangkat."

Seluruh anggota keluarga mulai melangkah menuju mobil. Keenan yang baru saja pulang kerja setelah berhari-hari juga ikut. Nggak capek apa?

Kami menaiki mobil Alphard berwarna hitam dengan Keenan sebagai pilotnya. Membelah jalan raya yang padat merayap di kota Jakarta.

Gedung-gedung pencakar langit berdiri megah di sepanjang jalan. Dengan manusia-manusia yang berlalu-lalang dengan cepat karena takut ditelan waktu.

Dari sudut kaca spion tengah, aku mendapati Keenan yang beberapa kali melirik ke arahku. Dengan tatapan yang terasa aneh untuk seukuran orang yang baru bertemu.

Aku merasa tidak nyaman, karena terus diawasi. Olivia dan mama Reno sejak tadi masih mengobrol dengan serunya. Membicarakan pekerjaan, serta kebiasaan Reno yang terkadang lucu dan misterius.

Sebenarnya yang jadi tamu agung itu aku apa Olivia, sih? Kesal sekali karena merasa diabaikan.

Aku memutuskan menatap kaca jendela mobil, menyisir setiap sudut kota yang tak henti-hentinya menayangkan gedung-gedung megah.

Moodku langsung membaik begitu melihat dua patung yang berada di sebuah kolam yang berada di tengah-tengah jalan raya. Mobil kami mengitari kolam tersebut.

Patung ini sering aku jumpai di televisi. Aku benar-benar antusias melihatnya. Persis.

Mulutku menganga lebar. Disekelilingnya dikelilingi gedung-gedung indah.

"Ini namanya bundaran H-I," ucap mama Reno. "Bentar lagi kita sampai ke Monas."

Aku tersenyum, sudah tidak sabar untuk melihatnya. Namun, lagi-lagi aku merasa tidak nyaman ketika melirik ke arah spion tengah. Ada mata yang menyorot penuh minat, seperti seekor singa yang ingin menerkam mangsanya. Keenan.

"Aku sebenarnya bosen ke Monas, udah sering banget main ke sini sejak kecil." Olivia berucap ketus.

"Kita mau manjain tamu jauh dulu. Kasihan dia belum pernah lihat." Mama Reno tersenyum.

"Nanti sehabis ke Monas kita mampir ke Tanah Abang." Rani menyahuti.

"Eh, jangan ke Tanah Abang. Di Mangga Dua Square aja lagi ada diskon gede-gedean," sela Olivia.

"Kejauhan, Kak, kalau ke Mangga Dua."

Olivia terkikik. "Nggak pa-pa yang penting Keenan mau."

Keenan hanya mengangguk. Laki-laki itu pasrah sekali diajak kemana-mana.

Kami memasuki Monas, menikmati semilir angin yang udaranya sedikit bersih daripada di tempat lain di Jakarta. Aku menganga takjub melihat tugu yang hanya bisa aku jumpai di televisi itu.

"Awas Kak, jangan mangap lebar-lebar. Nanti lalatnya masuk."

Aku langsung menutup mulutku. Mereka semua langsung terkekeh.

"Mau beli kerak telor? Pasti kamu belum nyoba." Mama Reno menarikku menuju ke pedagang kerak telor.

Kerak telur adalah makanan asli daerah Jakarta, dengan bahan-bahan beras ketan putih, telur ayam atau bebek, ebi yang disangrai kering ditambah bawang merah goreng, lalu diberi bumbu yang dihaluskan berupa kelapa sangrai, cabai merah, kencur, jahe, merica butiran, garam dan gula pasir.

"Kalian mau pesen sekalian nggak?" tanya mama Reno menoleh ke belakang.

Rani mengangguk, Olivia menggeleng. Sementara Keenan tersenyum mengiyakan.

Aku terkejut saat tiba-tiba Keenan berdiri di sebelahku dengan tegap. Wajahnya datar menatap ke arah penjual kerak telur yang sedang memasak. Aroma maskulin menguar dari tubuhnya.

Jantungku berdebar-debar sangat kencang, ketika lengan kami saling bersentuhan. Jari-jari lelaki tampan bertubuh jangkung itu sedikit usil menggenggam tanganku, kemudian dilepaskan.

Aku dibuat terperangah. Padahal di sebelah Keenan ada istrinya. Apa maksud lelaki ini?

Aku melirik ke arahnya yang menyeringai lebar dengan tatapan yang mengarah lurus ke depan, tapi aku tahu seringaian itu ditunjukkan kepadaku.

Aku langsung menelan ludah dengan susah payah. Ini orang modus apa gimana, sih?

Mama Reno menyodorkanku seporsi kerak telor. Aku melahapnya dengan canggung karena merasa tidak nyaman. Keenan sering melirik ke arahku.

Kerak telor rupanya memiliki rasa gurih dengan tekstur beras ketan yang legit. Satu dua tiga lahapan pelan-pelan, kemudian aku mengunyahnya dengan rakus.

Setelah selesai mencicipi kerak telor, kami berpindah ke kursi panjang di pinggir taman. Mengamati muda-mudi yang berlalu lalang. Ada pula para anak kecil yang berlari-larian menerbangkan layangan. Cocok sekali memang, menerbangkan layangan di tempat lapang seperti ini.

Olivia datang membawa 4 gelas Cendol Betawi. Cendol betawi merupakan minuman yang terbuat dari campuran tepung beras dan tepung sagu dengan santan cair yang dipadukan dengan gula merah. Minuman ini sangat pas dinikmati kala terik matahari saat berkunjung ke Monas. Harga cendol betawi mulai Rp15.000 sampai Rp25.000 dengan tambahan durian.

Ya, Olivia hanya memberi empat, diberikan kepada Mama Reno, Rani, dan juga Keenan.

"Owh, sorry Pus, kurang satu." Olivia merogoh uang dari dalam tasnya. "Kamu beli sendiri, ya."

Aku mengangguk sambil mengerucutkan bibir.

"Ini punya aku makan aja, Pus." Mama Reno menawari. "Aku minum aqua aja."

Olivia menatapku dengan wajah judes. Mungkin iri.

Kalau laper makan, kalau haus minum, kalau iri bilang bos!

"Kalau mau ke Masjid Istiqlal itu kubahnya kelihatan, deket dari sini. Di sebelahnya ada gereja Katedral."

Wah, aku menyimak penuh minat.

"Mau ke sana, Pus?" tanya mama Reno.

Aku mengangguk antusias.

"Enggaklah, kapan-kapan aja. Sekarang kita ke mall dulu." Olivia menyela. "Pumpung lagi ada diskonan."

Syirik banget, sih, ini orang. Olivia menatapku sinis.

***

Kami sekarang akhirnya sampai di dalam mall Mangga Dua Square. Olivia dan Rani langsung berlari bersama pelanggan yang lain, memperubatkan barang-barang branded diskonan yang limited edition.

"Kamu nggak ikutan, Pus?"

Aku menggeleng. "Enggak Tante. Nggak hobi belanja."

Padahal aku tidak punya banyak uang untuk membeli barang-barang itu. Wanita mana sih yang nggak suka shopping?

"Ambil-ambil aja Kak nanti aku bayarin." Keenan mengedipkan sebelah matanya.

Dih!

Aku menggeleng. Belajar irit. Nanti belanjanya kalau ada Reno. Kalau Reno mau ngajakin sih.

Satu jam kemudian, Olivia dan Rani sudah kembali menentang banyak bahan pelanjaan yang dimasukkan ke dalam plastik.

"Bawain Kak Pus," pinta Rani. Awalnya aku keberatan. Namun, setelah melihat wajah memelas Rani aku jadi tidak tega.

Olivia juga dengan lancangnya memintaku untuk membawa sebagian dari belanjaannya.

Aku mirip sekali seperti pembantu yang mengikuti majikan-majikannya keliling mall. Berat banget lagi.

Aku terkejut saat ada tangan yang melingkar di pinggangku. Setelah ditengok ternyata tangan Keenan. Aku langsung melotot atas kelancangannya.

Namun, tangan Keenan langsung terlepas saat Rani istrinya menoleh ke belakang.

Bajingan memang!

"Kak, Pus, jangan sampai jatuh, ya. Itu limited edition semua."

Aku buru-buru mengimbangi langkah kaki Rani. Takut jika nanti Keenan berbuat lebih.

Daripada Keenan semakin lancang lebih baik aku mengadu kepada Rani. "Rani ...," panggilku pelan.

Rani menoleh.

"Suamimu genit sama aku," bisikku pelan agar yang lain tidak mendengar.

"Apa?! Kak Puspa nggak usah ngada-ngada!" Rani terkejut setengah mati. Kemudian menoleh ke arah Keenan dengan wajah marah.

"Bener, Mas, kamu modusin Kak Puspa?"

Keenan tampak gugup. "Eng ... enggak fitnah itu. Mana ada aku kayak gitu."

"Jangan main-main sama aku, kamu Mas!" Rani tersulut emosi yang langsung coba ditenangkan oleh mamanya.

"Sudah-sudah ini di depan umum," tegur mamanya.

"Dia yang ganjen, daritadi caper sama aku terus!" Keenan menunjukku dengan penuh kebencian.

"Nggak usah alesan!"

"Kok kamu lebih percaya sama dia sih, daripada sama aku?"

Rani beralih ke arahku dengan tatapan tajam.

Plak!!!

"Kak Puspa jangan cari gara-gara!"

Beberapa bahan belanjaan langsung jatuh ke bawah saat Rani menampar wajahku.

"A ... aku ng ... ngak salah apa-apa," keluhku dengan mata berkaca-kaca. "Suamimu yang salah."

"Halah, nggak usah nuduh-nuduh sembarangan! Aku lebih percaya sama suamiku!"

***

"Kalau bukan karena kak Reno, kak Puspa pasti udah aku turunin di terminal Kampung Rambutan."

Ucapan Rani masih terngiang-ngiang di kepalaku.

Sudah jam 11 malam. Aku masih belum bisa tidur. Rasanya tidak nyaman tinggal di rumah orang asing yang seluruh penghuni rumahnya memandangku sinis.

Tidak enak sekali rasanya difitnah.

Cklek!

Aku hampir terperanjat, bahkan hampir melompat sangking kagetnya.

Keenan masuk ke dalam kamarku sambil menyeringai lebar.

"Mau apa kamu ke sini?"

"Belum tidur sayang?"

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Seluruh tubuhku langsung gemetar.

"Aku ingin bermain-main denganmu!"

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status