Home / Zaman Kuno / Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas! / Bab 2. Kembali Ke Masa Lalu: Tekad Dalia

Share

Bab 2. Kembali Ke Masa Lalu: Tekad Dalia

Author: nanadvelyns
last update Last Updated: 2025-07-26 14:12:52

“Nona?”

Seorang pelayan menghampiri sang majikan, membuat Dalia menoleh ke arah sosok itu.

“Hana?” gumam Dalia dengan suara serak, menyebut nama pelayan pribadinya tersebut. Gadis yang melayaninya sejak kecil itu seharusnya sudah tewas di tangan Salsa karena membela Dalia. Namun, Hana tampak nyata di hadapannya.

"Tanggal berapa ini?" tanya Dalia kemudian, ekspresi tegang wanita itu membuat Hana menatapnya bingung. 

"Tanggal tiga–"

"Satu minggu sebelum ulang tahun perdana menteri?" sela Dalia, membuat Hana mengangguk cepat. 

"Benar, saya sudah–"

"Bagaimana keadaan di luar?" Potong Dalia lagi dengan cepat. 

Hana semakin tak mengerti dengan tingkah majikannya. "Tentu saja pagi ini seperti biasa, Nona."

"Nona, apa Anda baik-baik saja?" tanya Hana khawatir. 

Dalia tidak menjawab pertanyaan Hana, wanita itu memilih untuk memastikan apakah dia bermimpi atau tidak. 

Dalia berulang kali memeriksa tangan dan kakinya, semuanya masih bersih. Kemudian dia beralih menatap Hana, menatap dari ujung kepala hingga kaki. Sama, Hana juga baik-baik saja. 

Satu-satunya hal yang paling masuk akal saat ini adalah regresi, arwahnya kembali ke masa lalu. 

Berusaha menerima dengan akal sehat manapun sulit, Dalia perlu mencerna kejadian besar ini. 

Jika dia kembali ke masa lalu, maka itu artinya dia masih memiliki kesempatan untuk bertahan dan menyelamatkan kakak pertamanya, serta Hana. Bahkan mungkin bisa membalas perlakuan Salsa padanya

Turun cepat dari kasur, Dalia melangkah ke jendela dan membukanya. 

Pemandangan sepi kediamannya yang seperti biasa terlihat, udara pagi yang segar kembali dia rasakan. 

Kedua mata Dalia berkaca-kaca, tangannya mengepal erat menatap langit. 

Tuhan memberikannya kesempatan, apa ini karena arwah ibunya yang merayu Tuhan? 

Menghapus air matanya kasar, Dalia berbalik menatap Hana. 

Hana masih menatapnya penuh tanda tanya, membuat Dalia tersenyum tipis dan melangkah mendekati wanita itu untuk  memeluknya. 

Hana terkejut, bagaimanapun Dalia adalah majikannya. Tidak enak jika membiarkan wanita itu memeluk pelayan sepertinya. 

"Nona, Anda--"

"Aku akan melindungimu, Hana. Aku berjanji."

Potong Dalia, membuat Hana semakin tidak mengerti. 

"Me--melindungi saya? Dari apa?" tanya Hana. 

Dalia melepaskan pelukannya, bibirnya masih tersenyum. "Apa pun."

Menyadari Hana yang kebingungan, Dalia pun kembali duduk tenang di tepi ranjangnya. "Apa yang tadi ingin kamu katakan?"

Hana mengerjapkan matanya cepat dua kali, mengingat hal penting yang sempat ia lupakan. 

Raut wajahnya berubah kesal. "Saya sudah mencoba mendatangi gudang bersih kediaman meminta jatah pakaian baru Anda untuk acara ulang tahun perdana menteri, namun mereka malah mengatakan tidak ada nama Anda di daftar pakaian baru! Ini pasti ulah wanita itu!"

Dalia menaikkan alis kirinya sekilas. Ah... Masalah ini. 

Di kehidupan sebelumnya Dalia sempat jatuh ke jebakan Salsa, membuat ayahnya mencabut hak mengurus kediaman sebagai putri sah dan dialihkan ke Salsa. 

Sejak saat itu, uang bulanan dan stok makanan sering kali diantarkan sangat terlambat. Di kediaman mereka memang tidak ada selir, ayahnya tidak menikah lagi sejak mendiang ibu kandung Dalia meninggal. 

Tidak seperti putri sah keluarga bangsawan pada umumnya, terakhir kali Dalia memiliki pakaian baru adalah tiga tahun lalu. 

Dan sekarang kediaman perdana menteri akan mengadakan acara besar karena ayahnya hendak berulang tahun, jika sesuai aturan, Dalia seharusnya mendapatkan jatah pakaian dan perhiasan baru. 

Sebelumnya Dalia memang tidak mempermasalahkan hal ini karena berpikir dia tidak berniat tampil mencolok di sana. 

Tetapi sekarang berbeda. Dalia ingin hidup tanpa penyesalan. Karenanya, Dalia akan menagih semua yang telah wanita itu ambil!

Hana menghela napas sedih. "Jika saja mendiang nyonya besar masih ada, Anda pasti tidak akan kesulitan, nona."

Dalia menatap Hana, tersenyum tipis. Hana memang selalu mempedulikannya. 

"Kamu sudah mengunjungi kediaman wanita itu?" tanya Dalia. 

Mendengar Dalia memanggil Salsa dengan sebutan 'wanita itu', Hana tampak sedikit terkejut. 

"Maksud Anda... Nona bes--"

"Nona kedua." Tekan Dalia, pandangan matanya kembali datar seperti sebelumnya. 

Hana tertegun, dia mendapati aura penuh penekanan yang tak pernah ia rasakan dari Dalia keluar. 

"Gelar nona besar adalah milikku, dia bahkan tidak diberikan hak untuk menyandang marga Ishraq. Panggilan nona kedua sudah cukup baik untuknya," ujar Dalia, membuat Hana mengangguk cepat. Wanita itu mendadak diam. 

Dalia berdiri, lalu melangkah melewati Hana. "Bantu aku bersiap, aku akan mendatangi kediaman perdana menteri." 

Dalia tidak sudi memanggil pria itu 'ayah' lagi.

Hana terkejut. "Per--perdana menteri? Untuk ap--"

"Menagih hak milikku." Potong Dalia lagi, Hana hanya bisa menurut dan menatap penuh kebingungan. 

Rasanya nona-nya sangat berbeda hari ini. Tetapi, di dalam hatinya Hana diam-diam merasa senang. Wanita itu harap nona-nya akan selalu tegas seperti ini. 

"Baik, nona! Tunggu saya!" balas Hana, senyum penuh semangatnya kembali lagi. 

Empat puluh lima menit kemudian, Dalia sudah rapi dengan hanfu biru muda polosnya dan tusuk rambut giok putih sederhana. 

Perhiasan yang ia punya tidak banyak, tak ada satupun yang emas seperti putri bangsawan lainnya. 

Dalia hanya mengenakan giok biasa atau perak, semuanya pun peninggalan mendiang ibunya yang sempat ia 'selamatkan'.

Seluruh emas peninggalan ibunya diambil alih oleh kediaman, namun Dalia tahu itu pasti akal-akalan selir Nada. Ayahnya juga pasti tak tahu akan hal ini. 

Dalia berdiri dan melangkah keluar, rumput di halaman depannya mulai panjang, namun tak ada satupun pelayan yang datang untuk membersihkannya. 

"Nona?" 

Suara yang tak asing terdengar, sorot mata Dalia berubah berkali lipat lebih dingin dari sebelumnya. Itu dia, pelayan yang mengkhianatinya, Odine. 

Dalia sangat mempercainya, sampai tak sadar bahwa Odine adalah mata-mata Salsa.

"Kemana saja kamu? Nona sudah bangun sejak tadi tahu!" ucap Hana sambil mendengus tipis. 

Odine tersenyum tipis, raut wajah polosnya memang tidak akan membuat siapapun akan menaruh curiga padanya. 

"Saya baru saja selesai menjemur pakaian, nona. Ah... Nona, Anda mau ke mana?" Mata Odine memperhatikan penampilan Dalia sangat lekat. 

Dalia tersenyum tipis seperti biasa, dia akan pastikan Odine membayar pengkhianatannya nanti. 

"Perdana menteri," jawabnya singkat, Dalia berusaha menekan emosinya agar tidak menimbulkan kecurigaan apa pun. 

Sesuai dugaannya, raut wajah Odine mendadak berubah. "Perdana menteri? Apa yang akan Anda lakukan?"

"Apa salah aku mengunjungi ayah kandungku sendiri?" balas Dalia, bibirnya masih tersenyum. Tetapi Odine diam-diam mulai merasakan atmosfer yang berubah dari Dalia. 

Hana mendengus Odine. "Sudahlah, Odine! Jangan tidak sopan!" 

Odine terkekeh tipis. "Maafkan saya, nona. Tetapi, nona besar tadi sempat berpesan jika perdana--"

"Nona besar ada di hadapanmu, Odine." Potong Dalia. 

Odine mengerutkan keningnya. "Y--ya?"

"Gelar nona besar adalah milikku. Saat menyebutkan itu, memangnya tadi yang kamu maksud siapa?" balas Dalia cepat. 

Odine tertegun, Dalia mendadak menegaskan posisinya? Perasaan gelisah diam-diam mulai menyelimutinya. 

"Jika yang kamu maksud adalah adik angkatku, maka pelajari silsilah lebih baik lagi. Aku adalah putri sah, sedangkan dia putri angkat. Meskipun kami saudara kandung pun, gelar nona besar tetap menjadi milikku karena dia adalah adikku." Tegas Dalia.

Odine terdiam, dia tidak bisa membalas apa pun lagi. 

Dalia tidak tertarik membuang waktu lebih lama, tujuannya pagi ini adalah mengunjungi ayahnya dan menegaskan siapa dirinya di kediaman ini. 

Hanya dengan cara itu, dia bisa melindungi Hana. Masih ada waktu satu minggu sebelum acara besar itu dan masalah kakak pertamanya.

Sampai di halaman kediaman perdana menteri, Dalia dihadang oleh dua penjaga di pintu masuk. 

"Nona, ada urusan apa Anda kemari?" tanya salah satu penjaga dengan tidak ramah. 

Dalia mengerutkan keningnya. "Apa kalian berhak mengurusi urusanku?"

Dua penjaga itu cukup terkejut dengan balasan Dalia, lalu keduanya saling pandang dan menahan tawa. 

Salah satunya pun menghela napas sambil menggeleng pelan. "Nona, kami tidak bermaksud untuk menyinggung Anda. Hanya saja kediaman perdana menteri bukan--"

"Minggir." Potong Dalia dingin, hendak menerobos masuk. 

Tetapi penjaga yang tadi menanyakan kepentingannya dengan cepat mendorong bahunya. 

Hana dengan sigap menahan tubuh Dalia agar tidak jatuh. "Lancang! Berani sekali kamu menyentuh nona pertama!" Marah Hana. 

Kedua penjaga itu saling tatap lagi, kali ini mereka tertawa terang-terangan. 

"Nona, perdana menteri sangat sibuk sekarang. Beliau tidak ada waktu untuk peduli pada urusan wanita muda. Jika urusan Anda benar-benar mendesak, kalau begitu..." Tangan kanannya bergerak memberi kode, menagih uang suap. 

Dalia melirik dingin, lalu menatap datar penjaga itu lagi. 

Melihat Dalia yang tidak merespon, penjaga itu pun tersenyum merendahkan. "Anda tidak punya uang, bukan? Bagaimana jika Anda menabung dulu dan--"

PLAK!

Dalia menampar keras pipi penjaga pintu, membuat temannya yang tadi sibuk tersenyum kini terperangah. 

Penjaga yang ditampar marah dan menunjuk Dalia. "Kau! Dasar nona tidak berguna! Pantas saja perdana menteri membuangmu! Kau--!"

PLAK!

Dalia menampar lagi pipi sebelahnya, membuat keduanya kini semakin marah. 

Kenapa nona pertama yang biasanya diam menerima hujatan kini melawan?

"Buka jalannya atau tindakan tidak sopan kalian akan aku bocorkan di acara ulang tahun perdana menteri secara terang-terangan." 

Mendengar ancaman Dalia, wajah kedua penjaga itu menegang. 

Meskipun Dalia tidak memiliki kekuatan apa pun, namun jika wanita itu mengadu di hadapan Kaisar atau bangsawan tinggi lainnya, perdana menteri pun tidak akan bisa menolong mereka. 

"Nona, sepertinya yang dikatakan dua penjaga ini benar. Perdana menteri sedang--"

"Kamu membela orang asing, Odine?" potong Dalia, membuat Odine kembali terdiam. 

Odine menggertakkan giginya diam-diam, kenapa Dalia sulit sekali diatur hari ini?!

Dia harus segera melaporkan ini pada Salsa, namun entah mengapa Odine merasa Dalia sulit ditipu seperti biasanya.

"Buka jalannya," perintahnya lagi. Dua penjaga itu terlihat ragu, namun melihat sorot mata Dalia yang tetap tegas dan tak berubah, mereka akhirnya memberi jalan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 116. Bayangan Dewi Di Barat

    Kursi putih berlapis emas itu tampak begitu megah, memantulkan cahaya dari lampu minyak yang tergantung di dinding kamar kerajaan. Namun kemegahan itu seakan sia-sia, karena sosok yang duduk di atasnya hanyalah seorang pemuda dengan sorot mata dingin—Rangga Tirta. Rambut peraknya jatuh menutupi sebagian wajah tegasnya, sementara tatapannya tertuju pada ranjang besar di hadapannya. Di atas ranjang itu, Kaisar Barat—ayahnya sendiri—terbaring lemah.Kaisar Barat, yang dulu dikenal sebagai penguasa dengan bola mata ungu secerah batu amethyst, kini hanyalah bayangan dari kejayaannya. Tatapannya kosong menembus langit-langit, seolah waktu berhenti di sana. Kulitnya yang keriput menunjukkan betapa usia dan penyakit telah merenggut seluruh wibawa. Sorot matanya sayu, napasnya naik turun berat, dan tubuhnya dilingkupi aroma obat serta dupa.Di samping tempat tidur itu, Bram berdiri tegak. Pria berwajah tenang, dengan sikap s

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 115. Tata Ulang Kekaisaran, Dalia Menjadi Kandidat Permaisuri Baru?

    Di ruang kerja Kaisar, suasana tegang terasa kental. Aroma dupa lembut yang mengepul dari wadah perunggu tak mampu menutupi hawa serius yang mendominasi. Tirai sutra berwarna emas pucat menutupi sebagian cahaya matahari sore, menyisakan bayangan samar di dinding. Di meja besar dari kayu cendana, gulungan-gulungan laporan menumpuk, di atasnya tertempel segel merah Kekaisaran.Kaisar duduk di kursi utamanya, wajahnya tenang, namun kedua matanya tajam menatap satu persatu orang yang hadir. Di hadapannya berdiri tiga tokoh penting yang kini menjadi pilar Kekaisaran, Adipati Gara dengan sorot dingin khasnya, Giandra Ishraq yang baru saja menyandang jabatan Perdana Menteri sekaligus Jenderal Muda, serta Jenderal Besar Maneer, pria paruh baya dengan tubuh kekar dan suara berat yang bergema setiap kali ia bicara.“Sejak keluarga Wanda ditumbangkan,” ucap Kaisar membuka pembicaraan, suaranya datar tapi jelas, “tujuh puluh persen pegaw

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 114. Hadiah Kenangan Di Pavilliun Seni

    Kereta kuda melaju pelan di jalanan berbatu ibu kota. Roda-rodanya berdecit halus, meninggalkan jejak roda di debu musim semi yang mulai mengering. Dari dalam kereta, Dalia duduk dengan wajah tertutup tudung tipis. Jemarinya yang ramping menggenggam erat kain sutra di pangkuannya, seakan-akan menyembunyikan getaran kecil di hatinya. Sejak Cahya melangkah pergi meninggalkannya di halaman kediaman Ishraq, ucapan pria itu terus berputar di telinganya—tentang hadiah, tentang puisi, tentang lukisan yang katanya sudah dipajang di Paviliun Seni.Hana yang duduk di hadapannya menatap majikannya itu dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Nona besar, Anda tampak gelisah. Apakah karena tuan muda Sudiro?”Dalia hanya menoleh sebentar, matanya menenangkan meski bibirnya masih terdiam.Rasa ingin tahu terhadap hadiah yang dimaksud Cahya benar-benar menuntunnya hingga kini duduk di kereta, melaju menuju Paviliun Seni.“T

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 113. Janji Yang Tertinggal

    Satu minggu telah berlalu sejak hari eksekusi besar itu. Balairung, istana, dan bahkan seluruh ibu kota masih menyimpan bayang-bayang darah keluarga Wanda. Rakyat membicarakannya di kedai-kedai teh, para pejabat berbisik di aula kementerian, dan para prajurit menceritakan ulang momen itu di barak-barak mereka. Kekaisaran Timur benar-benar mengalami pergeseran besar.Kaisar bekerja siang dan malam, tangannya tak pernah berhenti menulis, memeriksa, dan memutuskan nama-nama pejabat baru untuk mengisi kursi kosong yang ditinggalkan keluarga Wanda. Ia ingin menghapus setiap sisa pengaruh mereka. Tidak boleh ada celah sekecil apa pun.Ratusan ribu pasukan keluarga Wanda—yang dahulu menjadi kebanggaan keluarga itu—kini secara sah diserahkan ke bawah komando Jenderal Besar Maneer, ayah Dara. Sosok tua yang berwibawa itu menerima mandat dengan wajah tegas, menunduk dalam-dalam, berjanji bahwa pasukan yang kini menjadi milikn

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 112. Akar Dendam Dalia

    Balairung agung kekaisaran dipenuhi para bangsawan, pejabat tinggi, dan perwakilan keluarga besar yang duduk berjejer rapi. Di bagian depan, kursi Kaisar menjulang tinggi, bagaikan singgasana yang memandang semua dari atas dengan wibawa yang tak tergoyahkan. Suasana sunyi, hanya terdengar gesekan kain sutra dan napas tertahan. Hari itu, persidangan yang menentukan masa depan keluarga Wanda akan digelar, dengan bukti salinan buku besar kediaman perdana menteri sebagai pusat perhatian.Adipati Gara berdiri di sisi kiri, pedangnya tersarung namun aura tajamnya tetap menusuk. Giandra, Gibran, dan Dalia berada tidak jauh di belakang, wajah mereka dingin, menyimpan luka dan kebencian. Di barisan kanan, keturunan keluarga Wanda duduk terikat, wajah-wajah yang dulu berkuasa kini dipenuhi ketegangan, kebencian, dan sebagian lagi keputusasaan.Kasim agung mengumumkan dengan suara lantang, “Persidangan monopoli garam keluarga

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 111. Pada Akhirnya Kita Seperti Ini

    Langkah-langkah Kaisar bergema pelan di lorong panjang yang membelah kediaman Permaisuri. Malam itu, ia datang tanpa pengawal, tanpa dayang, tanpa utusan—hanya dirinya sendiri. Keputusannya mengejutkan para kasim yang menjaga pintu utama, namun tak seorang pun berani mencegah. Karena dari sorot matanya saja, semua orang tahu, malam ini bukan sekadar kunjungan biasa. Malam ini adalah penentuan akhir.Pintu kayu besar berukir naga emas terbuka dengan suara berat. Kaisar melangkah masuk, membiarkan udara dingin luar ikut menghembuskan sisa salju ke dalam ruangan. Aroma dupa tipis bercampur wangi teh hangat menyeruak.Di dalam, seorang wanita duduk tenang. Rambutnya disanggul rapi, hanfu sutra ungu tua membalut tubuh rampingnya. Lina Wanda. Wanita yang selama ini duduk di sisi Kaisar, menyandang gelar tertinggi, Permaisuri Timur.Namun malam ini, aura yang terpancar darinya berbeda.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status