Share

Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!
Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!
Penulis: nanadvelyns

Bab 1. Kematian Penuh Dendam

Penulis: nanadvelyns
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-26 14:10:13

Bunyi rantai yang digerakkan lemah terdengar jelas di sudut ruang gelap yang saat ini ditempati Dalia Ishraq, putri kandung sang perdana menteri. Hanfu miliknya penuh darah.

Sudah beberapa hari ini Dalia disiksa habis-habisan demi mengakui bahwa ia telah meracuni selir kesayangan sang kaisar, Nadine Guifei. Selain seluruh kuku jari tangan dan kakinya yang dicabut dicabut, wajah Dalia tampak bengkak. Salah satu telinganya bahkan sudah tidak bisa mendengar saking banyaknya mendapatkan tamparan.

Namun, Dalia tetap bertahan. 

Ia tidak meracuni sang selir, dan ia memilih untuk tetap mengatakan fakta itu.

BRAK!

Tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar.

Dalia dengan lemas mengangkat wajahnya, pandangan matanya berbayang, tak dapat menentukan siapa yang datang. 

Namun dari aroma melati semerbak yang ia cium, Dalia tahu bahwa itu adalah adik angkatnya, Salsa Haris. 

"Bagaimana kabar kakakku tersayang hari ini?" Suara Salsa yang terdengar manis bertanya. 

“Masih sama saja, Nona Besar.”

Salsa menghela napas. Ia kemudian duduk di kursi yang diletakkan pelayan dengan anggun. Ditatapnya Dalia yang tampak menyedihkan.

“Halo, kakakku tersayang. Hari ini aku datang lagi.” Salsa tersenyum manis. Setiap hari adik angkatnya tersebut datang hanya untuk mengolok, entah tingkah apa lagi yang akan wanita itu perbuat. “Mungkin ini kali terakhir aku bisa mengunjungi Kakak, sebelum Kakak dibawa pergi.”

Dalia tidak bereaksi.

Dua hari yang lalu, keputusannya turun. Bahwa Dalia bersalah dan akan mendapatkan hukuman. Putusan ini diberikan akibat pengakuan dari Odine, pelayan Dalia, yang mengatakan bahwa ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Dalia memang mencampurkan sesuatu ke makanan yang dikonsumsi Nadine Guifei.

Odine mengatakan kebohongan itu dengan takut-takut karena ancaman Dalia. Namun, hati nuraninya tidak tega dengan penderitaan Salsa dan anggota keluarga Ishraq. Pelayan pengkhianat itu bersaksi demi keutuhan kediaman Ishraq. 

Sementara Dalia? Kemudian dicap pembohong dan pembuat onar. 

Bahkan ayah dan kakaknya pun tidak memercayai Dalia. Mereka lebih percaya pada Salsa dan kesaksian palsu pelayan Dania.

“Kakak. Ayo lihat aku. Ini akan jadi terakhir kalinya aku melihat wajah Kakak yang cantik itu.” Suara Salsa penuh cemooh.

Ia kemudian mengangkat kaki kanannya dan menepuk-nepuk ujung sepatunya ke pipi memar Dalia saat Dalia tidak kunjung merespons. 

“Oh ya, apakah Kakak sudah dengar kabar terbaru dari Kak Gian?” Salsa menghela napas. “Sayang sekali nasib Kakak Pertama harus berakhir seperti itu gara-gara ulah Kakak. Andai saja Kakak mengaku lebih cepat….”

Ucapan itu akhirnya membuat Dalia bereaksi.

“Apa … maksudmu?” tanya Dalia, nada bicaranya lemas dan serak. 

Giandra Ishraq, kakak pertama Dania, adalah satu-satunya anggota Ishraq yang dengan tulus peduli padanya.

Beberapa bulan lalu, kakaknya tersebut pergi ke medan perang di perbatasan. Surat terakhir sang Kakak yang Dalia terima beberapa minggu lalu menunjukkan bahwa Giandra baik-baik saja, dan bahkan mengatakan bahwa misinya nyaris berakhir.

Namun, ucapan Salsa membuat Dalia khawatir. Apa terjadi sesuatu pada sang kakak?

“Ah, Kakak belum tahu?” Mata Salsa langsung tampak berkaca-kaca, seakan-akan ia bisa mengaturnya dengan mudah. “Kakak Pertama … tewas di medan perang.”

Tubuh Dalia seketika menegang. Sepasang matanya membelalak, meski salah satunya tampak lebam.

“Jangan membohongiku, Salsa,” ucap Dalia dengan suara serak. Air matanya perlahan menetes. “Kak Gian tidak mungkin–”

“Ini semua salahmu! Karena kamu meracuni sang selir terhormat, Kaisar menolak mengirim bantuan pada Kak Giandra!” Tiba-Tiba Salsa berdiri dan mencengkeram bagian depan hanfu Dalia. “Kakak sudah bilang kalau ada pengkhianat dan serangan tiba-tiba, tapi Kaisar tidak percaya. Beliau mencurigai keluarga kita!”

Dalia menatap Salsa dengan tatapan nanar. Kabar mengenai sang kakak membuatnya mati rasa. 

“Kalau saja Kakak segera mengaku kalau Kakak memang bergerak sendiri dan meracuni selir, pasti Kak Gian masih bisa selamat,” ucap Salsa lagi. Nada suaranya terdengar sedih dan menyayangkan. 

“Tapi tidak apa-apa,” lanjut Salsa, dengan nadanya yang lebih ceria. “Aku masih punya ayah dan Kakak Kedua. Mereka lebih penurut dibandingkan Kakak Pertama, dan pasti akan sangat berguna bagiku. Apalagi, sebentar lagi aku akan diangkat menjadi selir oleh Huanghou.”

Ucapan itu membuat Dalia mengernyit. “Selir?”

"Dengar, Dalia." Salsa kembali bicara. Namun, kali ini suaranya terdengar culas dan penuh ejekan. “Huanghou mendukungku secara penuh agar diangkat menjadi selir Kekaisaran.” Ia menyeringai sebelum menambahkan dalam sebuah bisikan:

“Karena aku sudah membantunya meracuni Nadine Guifei.”

Dalia terbelalak mendengar kalimat Salsa. Sorot mata tajam menatap adik angkatnya tersebut. Sekujur tubuhnya menegang. Napasnya memburu, tapi bukan karena sakit, melainkan karena amarah.

Semua hal mulai tersambung dalam pikirannya. Fitnah. Pengkhianatan. Kematian Kak Giandra. Dan kini, pengakuan Salsa sendiri.

Ada yang patah dalam diri Dalia—dan sesuatu yang lain mulai tumbuh.

Dendam.

Perasaan ingin membalas semua hal yang dilakukan Salsa menyala begitu kuat hingga rasa sakit, lapar, dan haus yang selama ini menghantam tubuhnya terasa menghilang.

Yang tersisa hanya satu hal: keinginan untuk membalas.

Mata Dalia yang masih berlinang menatap tajam Salsa. Lalu, tiba-tiba, ia tersenyum. Dingin. Dan mulai tertawa pelan.

Tawa Dalia cukup membuat raut wajah Salsa berubah bingung, raut wajah manisnya pun kembali menghilang. 

"Apa?"

Dalia masih terus tertawa, sampai akhirnya Salsa memerintahkan pelayan untuk menampar pipinya. 

PLAK!

Dalia tertunduk lemas, perlahan ia mengangkat pandangannya lagi dan menatap miris ke arah Salsa. 

"Cuma sekadar putri angkat, tapi bisa-bisanya bersikap seperti tuan rumah,”ucap Dalia, membuat Salsa melotot marah.

"Kamu mau mati, hah?!" 

“Bunuh saja aku,” desis Dalia. Suaranya terdengar makin keras. “Tapi kupastikan jiwaku akan menghantuimu seumur hidup–bahkan sampai ajalmu datang! Kematianmu akan lebih mengenaskan dariku, Salsa. Camkan itu!”

PLAK!

Salsa menampar keras pipi Dalia, sekarang bentuk bengkaknya sudah tidak karuan lagi. 

"Tampar tanpa henti wanita jalang ini!" Perintah Salsa yang belum puas.

"Baik, nona." 

Odine dan satu pelayan lainnya melangkah maju, mereka bergantian menampar Dalia. Namun, Dalia tidak bereaksi. Gadis itu hanya memandang Salsa yang tampak risih dengan sorot mata membunuh milik putri bungsu keluarga perdana menteri tersebut. 

Ia akan mati di sini. Ia tahu.

Sepuluh tahun lalu ayahnya membawa Salsa pulang ke kediaman perdana menteri, dan itu  adalah awal mula mimpi buruk Dalia. Sejak saat itu, semua perhatian dan kasih sayang keluarganya tercurah untuk Salsa yang selalu tampil menyedihkan. Tak lama setelahnya, Dalia dituduh sebagai putri yang culas dan iri hati karena fitnah Salsa.

Dalia sudah berjuang sejauh ini. Tapi sekarang … tampaknya memang ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Kakak, semuanya … maafkan aku, batin Dalia sebelum kemudian kesadarannya menghilang.

Sementara, Dalia semakin tak bisa merasakan apa pun. 

Tetapi perlahan, indra perasanya kembali. Dalia merasakan udara dan tubuhnya lagi. 

Kedua matanya kembali terbuka cepat, namun kebingungan juga dengan cepat menyelimutinya. 

Atap kamarnya? Bukankah tadi dia ada di gudang tahanan perdana menteri?

Tak lama suara pintu yang dibuka pelan terdengar. 

"Nona, Anda sudah bangun?" 

Dalia mengepalkan kedua tangannya, menatap penuh tidak percaya pada apa yang dia lihat. Dengan cepat dia menyingkap selimut dan memeriksa kaki dan tangannya. 

Kening Dalia terlipat dalam. Bersih, tidak ada luka. 

Ada apa ini? Bukankah seharusnya tubuhnya hancur karena disiksa berminggung-minggu? Dan .. bukannya ia sudah mati? 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (7)
goodnovel comment avatar
Amira Nawang Wulan
huft kasian dalia ......
goodnovel comment avatar
nanadvelyns
Hai, terima kasih banyak sudah mampirr. Dukung terus cerita Dalia, yaa◝(⑅•ᴗ•⑅)◜..°♡! IG penulis: @nadhirazahrak
goodnovel comment avatar
nanadvelyns
Hai, terima kasih banyak sudah mampirr. Dukung terus cerita Dalia, yaa◝(⑅•ᴗ•⑅)◜..°♡! IG penulis: @nadhirazahrak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 206. Hanya Teman

    Perayaan besar kekaisaran masih berlangsung meriah, seolah seluruh daratan Timur dan Barat bersatu dalam satu harmoni kemenangan. Dari aula utama yang dipenuhi lampu kristal hingga halaman luar yang dipadati rakyat biasa, setiap sudut Istana dipenuhi gelak tawa, musik, tepuk tangan, dan doa-doa hangat yang dipersembahkan untuk Kaisar baru Timur—Gara Abimayu. Nama itu bergema di mana-mana, diagungkan tidak hanya karena kejeniusannya sebagai pemimpin, tetapi karena keberaniannya menyatukan dua daratan besar yang sebelumnya hidup saling curiga.Namun bagi Dalia, hiruk pikuk itu justru terasa semakin menjauh dan samar. Lagu-lagu ceria yang dimainkan musisi kerajaan terdengar bagai gema yang tak mampu menyentuh pikirannya. Sejak Cahya meninggalkan aula dengan langkah tergesa yang berusaha disamarkan, hati Dalia terasa seperti ditarik-tarik oleh sesuatu yang tidak ia pahami.Ia masih duduk di samping kakaknya, Giandra, dengan punggung tegap dan senyum sopan yang diajarkan sejak kecil.

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 205. Nada Terakhir Di Hari Kemenangan

    Hari perayaan besar itu akhirnya tiba.Seluruh daratan, dari ujung Timur hingga batas paling jauh di Barat, bersinar dengan warna yang sama—warna kejayaan Kekaisaran Timur. Tidak peduli mereka bangsa asli atau pendatang, rakyat biasa atau bangsawan, semuanya larut dalam arus kebanggaan. Spanduk berwarna merah marun dan emas berkibar di setiap sudut kota, menandakan hari kemenangan besar setelah perang panjang yang mengubah sejarah dua daratan.Kaisar Gara Abimayu menjadi nama yang dielu-elukan, disebut dengan doa, dikagumi dengan nyanyian, bahkan dipuja dengan air mata syukur oleh rakyat yang menganggapnya pahlawan penutup zaman kelam. Ia bukan hanya Kaisar muda dengan kekuatan luar biasa di medan perang, tetapi juga simbol harapan baru—sebuah lambang perdamaian yang lahir dari luka yang mendalam.Di dalam Aula Utama Istana, cahaya ribuan lentera berpantulan di dinding-dinding batu putih mengilap. Lantai marmer yang terhampar sejauh mata memandang berkilau seperti permukaan air ya

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 204. Janji Di Bawah Langit Senja

    Kereta Dalia bergerak perlahan di sepanjang jalan berbatu yang membelah taman istana. Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, awan tipis berarak lembut seperti kapas terbakar mentari. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan suara gemerincing lonceng kecil di leher kuda terdengar ritmis, menenangkan.Dalia menyingkap sedikit tirai jendela kereta, membiarkan angin sore menerpa wajahnya. Setelah seharian penuh berbicara dengan Dara mengenai urusan keluarga kekaisaran dan rencana perayaan besar yang akan digelar dua hari lagi, hatinya terasa lebih ringan. Dara, dengan segala ketegasannya sebagai Ibu Suri, tetaplah Dara yang dikenalnya—hangat, penuh canda, namun diam-diam membawa beban besar sebagai penjaga kestabilan kekuasaan Timur.Dalia tersenyum kecil. “Dara... siapa sangka kau akan sejauh ini,” gumamnya pelan.Namun pikirannya tak lama diam. Saat kereta berbelok ke arah jalan utama menuju kediamannya, Hana, pelayan muda yang duduk di hadapannya, mencondongkan tubuh.“Nona, se

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 203. Nada Kecapi dan Tatapan Kaisar

    Suara pintu besar berlapis emas itu berderak berat, mengeluarkan gema panjang di seluruh aula megah yang berhiaskan ukiran naga dan phoenix di pilar-pilarnya. Dua penjaga yang mengenakan zirah hitam berukir merah membungkuk dalam saat sosok pria berwajah teduh dan berpenampilan elegan melangkah masuk. Cahya Sudiro. Tuan muda keluarga bangsawan pedagang paling berpengaruh.Langkah kakinya mantap, berirama lembut, namun setiap langkah mengandung rasa percaya diri yang tajam seperti pedang terasah. Mata cokelatnya menatap lurus ke arah singgasana naga emas di ujung ruangan. Di sana, duduk seorang pria dengan aura yang begitu kuat hingga udara di sekitarnya seakan menegang.Gara Abimayu. Kaisar Timur.Pria yang dulu hanya dikenal Cahya sebagai saingan dalam urusan hati, kini duduk di takhta tertinggi kekuasaan.Cahya berhenti di jarak tiga meter dari singgasana, menunduk sopan dengan sedikit senyum basa-basi di bibirnya.“Bawahan kecil ini menyapa Yang Mulia Kaisar,” ujarnya dengan su

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 202. Bayangan Yang Kembali Menantang

    Suara tawa Dara tiba-tiba pecah memenuhi ruangan. Suara itu bergema ringan, tetapi cukup membuat Cahya tersadar dari keterkejutannya yang belum reda sejak tadi. Ia masih menatap Dara dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan ekspresi tidak percaya, seolah otaknya belum benar-benar bisa menerima kenyataan bahwa gadis yang dulu sering meminjam uang darinya untuk membeli permen kini duduk di atas kursi emas berukir phoenix sebagai seorang Ibu Suri Kekaisaran Timur.“Dara Maneer…” gumam Cahya pelan, nada suaranya seperti seseorang yang baru saja disadarkan dari mimpi panjang. “Jangan bilang… ini semua sungguhan?”Dara mengangkat dagunya anggun, senyum kecil masih bermain di bibirnya. “Apa aku terlihat sedang bercanda sekarang?”“Ya, sebenarnya iya,” sahut Cahya cepat, nada suaranya masih dipenuhi nada tidak percaya. “Karena tidak mungkin aku baru pulang sebentar dan dunia tiba-tiba jungkir balik seperti ini.”Dara menautkan kedua

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 201. Bayangan Masa Lalu Di Istana

    Dalia menyingkap sepenuhnya tirai jendela keretanya. Udara ibu kota sore itu lembut dan sejuk, langit biru memantulkan warna keemasan yang lembut dari matahari yang mulai turun ke barat. Di antara lalu lintas kuda dan pedagang yang bersliweran, mata Dalia tertuju pada sosok yang berdiri tegak di samping kereta yang menabraknya. Senyumnya merekah—senyum yang jarang muncul belakangan ini.“Cahya,” ucapnya pelan, seperti mengulang sebuah nama dari masa silam.Pria itu menundukkan kepala sedikit, membalas senyum lembut Dalia dengan keteduhan yang selalu ia miliki sejak dulu. “Lama tidak bertemu, Dalia. Kau masih sama seperti dulu. Anggun, tapi tetap menatap orang dengan tatapan yang membuat jantung berhenti sepersekian detik.”Dalia terkekeh kecil, “Kau tidak berubah. Masih suka berbicara dengan kata-kata yang terlalu manis untuk seorang pedagang.”Cahya menaikkan bahunya sambil menahan senyum, “Aku belajar berbicara sepe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status