Suasana kafe sore itu yang tenang, tidak mampu menenangkan bara di dada Danang. Ia duduk di pojok ruangan, matanya mengawasi setiap orang yang masuk. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di atas meja. Sorot matanya tajam menatap pintu masuk, hingga sosok yang ditunggu akhirnya muncul.
Rizal.
Pria itu tampak santai, mengenakan kemeja biru muda. Ia tersenyum kecil saat melihat Danang, lalu melangkah menghampiri.
“Duduk!” perintah Danang tajam, bahkan sebelum Rizal sempat menyapa.
Rizal sedikit terkejut mendengar nada suara itu. Ia duduk dengan hati-hati, mencoba tersenyum dan senyumnya itu sia-sia. Aura kemarahan terpancar jelas di wajah Danang, sehingga tidak bisa menerbitkan senyuman balasan untuk Rizal.
“Mas Danang, ada apa?” tanyanya pelan.
“Kau masih berani tanya ada apa?!” Danang membentak. “Kau permainkan hati adikku, dan sekarang kau bertanya seperti orang tak bersalah? Kau itu tidak punya hati ya ??"
Rizal menelan ludah. “Saya nggak main-main, Mas. Dinda tahu saya serius menjalin hubungan dengannya. Hubungan kami sudah lama, mas."
“Sudah lama?!” Danang mencondongkan tubuhnya ke arah Rizal. “Sudah lama, tapi kau putuskan dia hanya karena orang tuamu menolak. Itu juga karena tahu aku cerai?! Aku yang salah ! Bukan adik aku. Aku yang harus menanggung akibat kesalahanku. Tapi, kenapa adikku jadi korban?!”
Suasana meja itu mulai menarik perhatian beberapa pengunjung. Seorang waitress menatap khawatir, tapi ia hanya mengamati dan berjaga-jaga untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan terjadi di cafenya.
“Mas, saya minta maaf... Saya pun bingung ingin melakukan apa. Saya nggak pengin nyakitin Dinda. Tapi... saya juga nggak bisa melawan orang tua saya.”
Danang mengetukkan jarinya ke meja dengan keras.
Tok! Tok! Tok!
“Dengar baik-baik, Rizal. Cinta itu bukan tentang yang senang-senang saja. Cinta itu butuh perjuangan. Kalau kau menyerah hanya karena terhalang restu, kau itu tidak benar-benar cinta dengan Dinda.”
“Mas... saya sayang Dinda. Tapi saya juga harus mikirin masa depan saya. Orang tua saya bilang—”
“Cukup!” sergah Danang.
“Jangan bawa-bawa orang tuamu untuk jadi tameng! Kau laki-laki, Rizal! Berdirilah di atas keputusanmu sendiri! Atau jangan pernah dekati perempuan manapun kalau cuma bisa jadi pengecut!”
Rizal membalas tatapan Danang.
"Aku bukan pengecut, mas. Aku tidak ingin melangkah tanpa restu orang tua. Aku tidak ingin jadi ada durhaka !" Suaranya mulai meninggi, terdesak.
"Dapatkan restu ! Bukan menyerah !" kata Danang.
"Tidak mungkin untuk mendapatkan restu, mas." Rizal diam. Lalu, ia melanjutkan lagi.
“Orang tua saya takut Dinda akan mengikuti jejak Mas,” katanya hati-hati. Ia tahu, kalimat itu bisa menjadi pemantik kemarahan Danang.
"Apaa ?!" suara Danang keras. Ia lupa di mana ia berada.
Pengunjung kafe mulai memperhatikan lebih intens. Seorang barista tampak ingin menegur, tapi mengurungkan niat saat melihat ekspresi Danang yang marah.
Danang lalu memejamkan mata menahan emosinya. Rahangnya mengeras. Tapi ia tak membalas dengan amarah, melainkan suara pelan dan dingin—suara seseorang yang terluka.
“Dan karena itu... kau tinggalkan Dinda? Karena dosa orang lain? Dinda... bukan aku. Kami berbeda! Dinda tidak mungkin melakukan apa yang aku lakukan! Sepertinya kau tidak cukup mengenal adikku."
Danang menggelengkan kepalanya perlahan sembari tersenyum sinis pada Rizal.
“Kau nggak layak jadi pria. Kau lebih memilih kehendak orang tuamu, daripada berjuang untuk mendapatkan restu."
Rizal menunduk.
“Saya... benar-benar minta maaf.” suaranya terdengar bergetar.
Danang berdiri. Wajahnya memerah, mata tajam memandangi Rizal beberapa detik, sebelum berkata lirih,
“Sekarang aku tahu... bukan hanya aku yang gagal jadi suami. Tapi kau juga gagal jadi pria untuk gadis yang kau bilang kau cintai."
"Jangan kembali, ketika kau akhirnya menyesal nanti. Adikku bukan pilihan kedua setelah kau menyesal."
Tanpa menunggu jawaban Rizal, Danang membalikkan badan dan pergi Meninggalkan Rizal.
Sedangkan Rizal terduduk lemas. Ia menatap kosong ke cangkir kopinya yang tak tersentuh.
"Maafkan aku."
Entah untuk siapa kata maaf yang terucap.
~~~
Langkah Danang terdengar memasuki ruang tengah. Di sana, Dinda sedang duduk sendiri di sofa, memeluk bantal kecil di dadanya. Wajahnya lesu, mata masih terlihat sembab, dan tak ada senyum seperti biasanya. Melihat adiknya, Danang langsung membuka suara tanpa basa-basi.
“Aku baru saja menemui Rizal,” ucapnya.
Dinda mendongak. Wajahnya seketika berubah. “Apa?” tanyanya dengan suara bergetar. “Mas... nemuin dia?”
Danang mengangguk pelan, lalu duduk di kursi seberang. “Aku perlu tahu kenapa orang tuanya menyeret-nyeret namaku ke dalam hubungan kalian.”
Dinda berdiri dengan cepat, napasnya memburu. “Kenapa Mas lakukan itu?! Mas pikir Mas siapa, sampai merasa berhak ikut campur?”
“Aku kakakmu, Dinda!” suara Danang mulai meninggi. “Aku nggak terima kau disakiti hanya karena kesalahan yang aku buat di masa lalu!”
“Mas pikir, dengan menemui dia, semuanya akan selesai?” Dinda memotong, suaranya tajam. “Yang ada, Mas cuma mempermalukan aku!”
“Aku hanya ingin dia tahu bahwa kau nggak layak diperlakukan seperti itu,” balas Danang sengit.
Dinda menggeleng pelan, matanya mulai basah. “Mas terlambat... semuanya sudah selesai. Dia sudah memilih untuk pergi. Aku sudah terima itu. Tapi sekarang... Mas malah membuatku terlihat menyedihkan mengharapkan agar dia kembali."
Danang terdiam. Ada rasa sesak yang menyelip di dadanya melihat air mata adiknya.
“Aku hanya ingin melindungimu...” gumam Danang lirih.
“Tapi aku nggak butuh diselamatkan dengan cara seperti itu, Mas,” Dinda menyeka air matanya. “Yang kubutuhkan sekarang ini, jangan ada yang mengungkit-ungkit pria itu."
Dinda membalikkan badan, menahan air matanya agar tidak jatuh lebih deras. Sementara Danang meremas jemarinya sendiri, merasa bersalah sekaligus tidak tahu harus berkata apa.
“Aku cuma gak bisa diam waktu tahu dia nyakitin kamu, Din…” suara Danang lebih lembut sekarang. “Apalagi alasannya karena aku. Aku... aku merasa bertanggung jawab.”
Dinda menghela napas panjang. Ia berbalik menatap kakaknya, mata yang basah kini menunjukkan luka lebih dalam.
“Mas Danang, aku memang kecewa... Tapi bukan berarti aku ingin Mas menyelesaikannya dengan marah. Apa pun yang Mas lakukan, gak akan bisa ubah keputusan Rizal... atau keluarganya.”
Danang mengangguk pelan, tapi matanya masih menatap adiknya penuh penyesalan.
“Aku cuma pengin dia tahu... bahwa kamu berharga. Dan kamu pantas dicintai dengan sepenuh hati, bukan dilihat dari masa lalu kakaknya.”
"Aku tidak butuh itu, mas. Aku tidak butuh pembelaan dari siapapun"
"Aku harus melakukannya. Karena aku yang membuat hubunganmu dengan Rizal hancur !" balas Danang dengan suara yang tidak kalah kerasnya.
Tiba-tiba suara langkah terdengar. Endang, ibu mereka, masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dua gelas air putih.
“Astaghfirullah… ada apa ini ? Suara kalian sampai ke dapur," kata Endang cemas, meletakkan nampan di meja.
“Ma, Mas Danang pergi menemui Rizal,” kata Dinda ketus. “Dan dia merasa perlu mencampuri urusan pribadiku.”
Endang menoleh pada Danang. “Kamu temui Rizal?”
“Ya, ma. Saya gak bisa diam saat Dinda ditinggalkan begitu saja hanya karena aku,” jawab Danang tegas.
Endang mendesah panjang, lalu duduk di antara keduanya. “Dan... Mama tahu kamu merasa bersalah. Tapi menyelesaikan semuanya dengan emosi, itu bukan cara yang benar.”
“Tapi ma…” Danang bersikeras. “Apa saya harus diam saja lihat adik saya diperlakukan seperti itu?”
“Diam bukan berarti membiarkan,” kata Endang pelan tapi dalam. “Kadang, lebih baik kita menata hati orang yang terluka daripada menantang orang yang menyakitinya. Dinda butuh dukunganmu, bukan kemarahanmu.”
Danang terdiam. Ia tahu ibunya benar, meski egonya sulit mengakuinya.
Endang menatap keduanya. “Kalian ini saudara. Kalau bukan kalian yang saling menguatkan, siapa lagi? Mama nggak mau lihat kalian saling menyalahkan. Sudah cukup luka yang kita punya. Jangan ditambah lagi.”
Dinda menunduk. Danang menghela napas panjang.
“Maaf, ma… Din…” ucap Danang lirih. “Aku cuma gak tahu cara lain buat melindungi kalian. Aku begitu marah mendengar Dinda putus karena aku."
Dinda menatap kakaknya, kali ini dengan mata yang mulai melembut. “Mas gak harus melindungi aku dengan kemarahan. Cukup ada buatku. Itu sudah lebih dari cukup. Aku sudah iklas melepasnya. Mungkin, tidak jodoh. Mas juga sudah iklas melepas kak Dina, kan ?"
Danang diam mendengar pertanyaan Dinda.
Endang tersenyum kecil, “Sudahlah. Kalian sama-sama keras kepala, tapi juga sama-sama saling sayang. Yuk, kita saling jaga, bukan saling salahkan.”
"Sekarang, lupakan masa-masa yang suram."
Malam merambat sunyi di kamar rumah sakit. Hanya suara mesin pendingin udara dan deru halus napas orang-orang yang tertidur di dalamnya. Kegelapan malam seolah menyelimuti semuanya, menciptakan suasana yang tenang namun penuh ketegangan. Aini, sang bunda, sudah terlelap di kursi dengan selimut tipis menutupi bahunya. Tidur yang tampak damai, meskipun di balik itu, hatinya penuh kekhawatiran. Hanum pun sama, kepalanya bersandar di pinggiran sofa, tidur dengan posisi miring. Keduanya berusaha mencari kenyamanan dalam keletihan, namun bayang-bayang kekhawatiran tetap menghantui.Dina, justru terbangun. Matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Keheningan malam membuat pikirannya melayang jauh, mengingat kembali kenangan-kenangan yang menyakitkan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Gelisah. Perasaan itu seperti benang kusut yang sulit diurai, menimbulkan rasa tidak nyaman yang terus mengganggu pikirannya.Ia menghela napas panjang, lalu mengulurkan tangan pelan mengambil ponsel d
Sore itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan hanya karena angin sore yang menyelinap malas lewat jendela ruang tamu yang terbuka setengah, tapi juga karena aura kelam yang menyelimuti Danang. Ia terduduk di sofa, kemeja kerja yang kusut menjadi saksi bisu betapa berat hari yang baru saja dilaluinya. Pijatan di pelipisnya tak mampu mengusir bayangan-bayangan yang berputar di kepalanya. Endang keluar dari dapur, tangannya sibuk mengeringkan sisa air ditangannya. Langkahnya terhenti di depan sofa, sorot matanya menyelami wajah putranya yang pucat.“Dan, Mama mau tanya soal usaha restoran itu,” suara Endang lirih, seolah takut membuyarkan lamunan Danang.Danang hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap kosong ke arah dinding. “Nggak jadi, Ma.”Kening Endang berkerut dalam. “Nggak jadi? Kok bisa? Bukannya kamu dulu semangat sekali? Uang yang Mama kasih… terus gimana?”Helaan napas berat lolos dari bibir Danang. Ia menunduk, menyembunyikan matanya yang menyimpan segudang beban.
Pagi itu, suasana kantor seperti biasa, ramai oleh aktivitas dan obrolan ringan di antara para karyawan. Namun, tidak semua obrolan hanya sekadar basa-basi.Di sudut dekat pantry, dua orang karyawan sedang berbicara pelan-pelan, seolah membagikan kabar penting.“Aku baru tahu, ternyata Pak Danang itu udah nikah. Tapi katanya istrinya tuh biasa aja, tidak cantik."“Iya, makanya dia sembunyiin. Malu mungkin, soalnya istrinya katanya gak menarik. Eh, sekarang malah cerai katanya. Tidak tahu kapan nikah, tahunya sudah cerai saja."“Denger-denger sih ketahuan selingkuh, ya?”“Gila… tampang boleh, tapi kelakuan… Ehm... minus .'Tawa kecil menyusul.Tanpa mereka sadari, langkah Danang yang hendak menuju pantry terhenti tak jauh dari situ. Kalimat-kalimat itu menusuk telinganya dan hatinya.Pelipisnya berdenyut. Napasnya berat. Matanya menajam menatap dua orang itu, yang masih asyik berbicara tanpa sadar sedang membakar emosi seseorang yang sedang menjadi target pembicaraan keduanya."Kurang
Tirai ruang IGD perlahan terbuka.“Dokter Eva...” ucapnya lirih.Dokter Eva tersenyum hangat dan segera mendekat ke sisi tempat tidur Dina.“Malam, Bu Dina. Saya dengar dari perawat kamu masuk IGD. Apa keluhannya, Bu ?”"Tiba-tiba perutnya sakit, Dok. Terutama di bagian bawah perut... nyerinya tajam banget. Tadi juga sempat keluar darah.”Wajah dokter Eva langsung menunjukkan keprihatinan. Ia menatap Dina penuh perhatian.“Baik, Ibu tenang dulu ya. Saya akan periksa untuk melihat kondisi ketiga janinnya.”Ia lalu menoleh ke perawat.“Tolong siapkan alatnya, kita lakukan USG sekarang.”“Siap, Dok,” jawab suster yang langsung bergerak cepat.Dokter Eva mengangguk dan mengenakan sarung tangan.“Kita mulai, ya, Bu Dina. Coba tarik napas pelan dan rileks.”Dina mengangguk pelan. Ia berbaring dengan tegang. Perutnya dilumuri gel dingin, lalu alat USG mulai digerakkan perlahan di atas kulit perutnya.“Santai, Bu. Jangan tegang, ya,” ujar dokter Eva sambil melirik ke arah mata Dina yang menat
Detik berikutnya, terdengar langkah tergesa dari luar. Pintu kamar, dan Bundanya muncul dengan wajah panik."Dina !""Sini Bun."Aini berlari menuju kamar mandi dan Aini terkejut melihat Dina duduk di lantai kamar mandi. "Ya Allah... kenapa?!" "Bun… sakit banget. Perut aku..." Dina menunjuk ke arah bercak darah di celana dalamnya. "Ada ini, Bun… darah. Keluar..."Aini langsung menghampiri dan jongkok di samping putrinya, wajahnya pucat. "Ya Allah... sejak kapan, Din?""Baru banget... tadi pas di ranjang. Sakitnya nyentak, Bun. Aku pikir cuma kram biasa. Tapi makin nyeri waktu aku jalan ke kamar mandi...""Kamu jatuh, Din?""Nggak Bun. Cuma pas buka celana mau buang air... aku lihat bercak darah. Bun... nyeri... badan lemas." Dina menunduk, memegangi perutnya. "Aku takut, Bun... takut kenapa-napa sama kandungan aku..."Aini menggenggam tangan Dina erat, berusaha menenangkan. "Dina, dengerin bunda... kandunganmu baik-baik saja. Sekarang kita harus ke rumah sakit," kata Aini
Senja merambat turun perlahan, membalut langit dengan semburat jingga dan abu-abu. Danang berdiri termenung di balkon kamarnya. Jemarinya menggenggam pagar besi, mata menerawang jauh ke ujung langit. Suasana rumah terasa lengang, hanya suara burung pulang sarang dan angin sore yang berbisik pelan.Ia memejamkan mata sebentar, menghela napas panjang. Kepalanya masih dipenuhi bayangan pertengkarannya dengan Dinda. Hatinya remuk.“Apa aku selalu jadi alasan orang yang kusayangi terluka?"Perutnya berbunyi pelan, mengingatkannya kalau sejak pagi hanya meneguk kopi. Tapi bukan sekadar lapar. Ada rasa aneh... Entah kenapa, ia tiba-tiba ingin makan semur jengkol, makanan yang seumur hidup selalu ia hindari.Dengan langkah berat, Danang turun ke lantai bawah. Di dapur, Endang sedang mencuci piring, punggungnya membelakangi pintu.“Mama…” panggil Danang lirih.Endang menoleh. “Iya, Dan. Mau apa ? Kopi ?" tanyanya saat melihat Danang yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu dapur.Danang mendekat