Share

Bab 6 Marah

Penulis: Lin shi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-03 16:37:12

Suasana kafe sore itu yang tenang, tidak mampu menenangkan bara di dada Danang. Ia duduk di pojok ruangan, matanya mengawasi setiap orang yang masuk. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di atas meja. Sorot matanya tajam menatap pintu masuk, hingga sosok yang ditunggu akhirnya muncul.

Rizal.

Pria itu tampak santai, mengenakan kemeja biru muda. Ia tersenyum kecil saat melihat Danang, lalu melangkah menghampiri.

“Duduk!” perintah Danang tajam, bahkan sebelum Rizal sempat menyapa.

Rizal sedikit terkejut mendengar nada suara itu. Ia duduk dengan hati-hati, mencoba tersenyum dan senyumnya itu sia-sia. Aura kemarahan terpancar jelas di wajah Danang, sehingga tidak bisa menerbitkan senyuman balasan untuk Rizal.

“Mas Danang, ada apa?” tanyanya pelan.

“Kau masih berani tanya ada apa?!” Danang membentak. “Kau permainkan hati adikku, dan sekarang kau bertanya seperti orang tak bersalah? Kau itu tidak punya hati ya ??"

Rizal menelan ludah. “Saya nggak main-main, Mas. Dinda tahu saya serius menjalin hubungan dengannya. Hubungan kami sudah lama, mas."

“Sudah lama?!” Danang mencondongkan tubuhnya ke arah Rizal. “Sudah lama, tapi kau putuskan dia hanya karena orang tuamu menolak. Itu juga karena tahu aku cerai?! Aku yang salah ! Bukan adik aku. Aku yang harus menanggung akibat kesalahanku. Tapi, kenapa adikku jadi korban?!”

Suasana meja itu mulai menarik perhatian beberapa pengunjung. Seorang waitress menatap khawatir, tapi ia hanya mengamati dan berjaga-jaga untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan terjadi di cafenya.

“Mas, saya minta maaf... Saya pun bingung ingin melakukan apa. Saya nggak pengin nyakitin Dinda. Tapi... saya juga nggak bisa melawan orang tua saya.”

Danang mengetukkan jarinya ke meja dengan keras.

Tok! Tok! Tok!

“Dengar baik-baik, Rizal. Cinta itu bukan tentang yang senang-senang saja. Cinta itu butuh perjuangan. Kalau kau menyerah hanya karena terhalang restu, kau itu tidak benar-benar cinta dengan Dinda.”

“Mas... saya sayang Dinda. Tapi saya juga harus mikirin masa depan saya. Orang tua saya bilang—”

“Cukup!” sergah Danang.

“Jangan bawa-bawa orang tuamu untuk jadi tameng! Kau laki-laki, Rizal! Berdirilah di atas keputusanmu sendiri! Atau jangan pernah dekati perempuan manapun kalau cuma bisa jadi pengecut!”

Rizal membalas tatapan Danang.

"Aku bukan pengecut, mas. Aku tidak ingin melangkah tanpa restu orang tua. Aku tidak ingin jadi ada durhaka !" Suaranya mulai meninggi, terdesak.

"Dapatkan restu ! Bukan menyerah !" kata Danang.

"Tidak mungkin untuk mendapatkan restu, mas." Rizal diam. Lalu, ia melanjutkan lagi.

“Orang tua saya takut Dinda akan mengikuti jejak Mas,” katanya hati-hati. Ia tahu, kalimat itu bisa menjadi pemantik kemarahan Danang.

"Apaa ?!" suara Danang keras. Ia lupa di mana ia berada.

Pengunjung kafe mulai memperhatikan lebih intens. Seorang barista tampak ingin menegur, tapi mengurungkan niat saat melihat ekspresi Danang yang marah.

Danang lalu memejamkan mata menahan emosinya. Rahangnya mengeras. Tapi ia tak membalas dengan amarah, melainkan suara pelan dan dingin—suara seseorang yang terluka.

“Dan karena itu... kau tinggalkan Dinda? Karena dosa orang lain? Dinda... bukan aku. Kami berbeda! Dinda tidak mungkin melakukan apa yang aku lakukan! Sepertinya kau tidak cukup mengenal adikku."

Danang menggelengkan kepalanya perlahan sembari tersenyum sinis pada Rizal.

“Kau nggak layak jadi pria. Kau lebih memilih kehendak orang tuamu, daripada berjuang untuk mendapatkan restu."

Rizal menunduk.

“Saya... benar-benar minta maaf.” suaranya terdengar bergetar.

Danang berdiri. Wajahnya memerah, mata tajam memandangi Rizal beberapa detik, sebelum berkata lirih,

“Sekarang aku tahu... bukan hanya aku yang gagal jadi suami. Tapi kau juga gagal jadi pria untuk gadis yang kau bilang kau cintai."

"Jangan kembali, ketika kau akhirnya menyesal nanti. Adikku bukan pilihan kedua setelah kau menyesal."

Tanpa menunggu jawaban Rizal, Danang membalikkan badan dan pergi Meninggalkan Rizal.

Sedangkan Rizal terduduk lemas. Ia menatap kosong ke cangkir kopinya yang tak tersentuh.

"Maafkan aku." 

Entah untuk siapa kata maaf yang terucap.

~~~

Langkah Danang terdengar memasuki ruang tengah. Di sana, Dinda sedang duduk sendiri di sofa, memeluk bantal kecil di dadanya. Wajahnya lesu, mata masih terlihat sembab, dan tak ada senyum seperti biasanya. Melihat adiknya, Danang langsung membuka suara tanpa basa-basi.

“Aku baru saja menemui Rizal,” ucapnya.

Dinda mendongak. Wajahnya seketika berubah. “Apa?” tanyanya dengan suara bergetar. “Mas... nemuin dia?”

Danang mengangguk pelan, lalu duduk di kursi seberang. “Aku perlu tahu kenapa orang tuanya menyeret-nyeret namaku ke dalam hubungan kalian.”

Dinda berdiri dengan cepat, napasnya memburu. “Kenapa Mas lakukan itu?! Mas pikir Mas siapa, sampai merasa berhak ikut campur?”

“Aku kakakmu, Dinda!” suara Danang mulai meninggi. “Aku nggak terima kau disakiti hanya karena kesalahan yang aku buat di masa lalu!”

“Mas pikir, dengan menemui dia, semuanya akan selesai?” Dinda memotong, suaranya tajam. “Yang ada, Mas cuma mempermalukan aku!”

“Aku hanya ingin dia tahu bahwa kau nggak layak diperlakukan seperti itu,” balas Danang sengit.

Dinda menggeleng pelan, matanya mulai basah. “Mas terlambat... semuanya sudah selesai. Dia sudah memilih untuk pergi. Aku sudah terima itu. Tapi sekarang... Mas malah membuatku terlihat menyedihkan mengharapkan agar dia kembali."

Danang terdiam. Ada rasa sesak yang menyelip di dadanya melihat air mata adiknya.

“Aku hanya ingin melindungimu...” gumam Danang lirih.

“Tapi aku nggak butuh diselamatkan dengan cara seperti itu, Mas,” Dinda menyeka air matanya. “Yang kubutuhkan sekarang ini, jangan ada yang mengungkit-ungkit pria itu."

Dinda membalikkan badan, menahan air matanya agar tidak jatuh lebih deras. Sementara Danang meremas jemarinya sendiri, merasa bersalah sekaligus tidak tahu harus berkata apa.

“Aku cuma gak bisa diam waktu tahu dia nyakitin kamu, Din…” suara Danang lebih lembut sekarang. “Apalagi alasannya karena aku. Aku... aku merasa bertanggung jawab.”

Dinda menghela napas panjang. Ia berbalik menatap kakaknya, mata yang basah kini menunjukkan luka lebih dalam.

“Mas Danang, aku memang kecewa... Tapi bukan berarti aku ingin Mas menyelesaikannya dengan marah. Apa pun yang Mas lakukan, gak akan bisa ubah keputusan Rizal... atau keluarganya.”

Danang mengangguk pelan, tapi matanya masih menatap adiknya penuh penyesalan.

“Aku cuma pengin dia tahu... bahwa kamu berharga. Dan kamu pantas dicintai dengan sepenuh hati, bukan dilihat dari masa lalu kakaknya.”

"Aku tidak butuh itu, mas. Aku tidak butuh pembelaan dari siapapun"

"Aku harus melakukannya. Karena aku yang membuat hubunganmu dengan Rizal hancur !" balas Danang dengan suara yang tidak kalah kerasnya.

Tiba-tiba suara langkah terdengar. Endang, ibu mereka, masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dua gelas air putih.

“Astaghfirullah… ada apa ini ? Suara kalian sampai ke dapur," kata Endang cemas, meletakkan nampan di meja.

“Ma, Mas Danang pergi menemui Rizal,” kata Dinda ketus. “Dan dia merasa perlu mencampuri urusan pribadiku.”

Endang menoleh pada Danang. “Kamu temui Rizal?” 

“Ya, ma. Saya gak bisa diam saat Dinda ditinggalkan begitu saja hanya karena aku,” jawab Danang tegas.

Endang mendesah panjang, lalu duduk di antara keduanya. “Dan... Mama tahu kamu merasa bersalah. Tapi menyelesaikan semuanya dengan emosi, itu bukan cara yang benar.”

“Tapi ma…” Danang bersikeras. “Apa saya harus diam saja lihat adik saya diperlakukan seperti itu?”

“Diam bukan berarti membiarkan,” kata Endang pelan tapi dalam. “Kadang, lebih baik kita menata hati orang yang terluka daripada menantang orang yang menyakitinya. Dinda butuh dukunganmu, bukan kemarahanmu.”

Danang terdiam. Ia tahu ibunya benar, meski egonya sulit mengakuinya.

Endang menatap keduanya. “Kalian ini saudara. Kalau bukan kalian yang saling menguatkan, siapa lagi? Mama nggak mau lihat kalian saling menyalahkan. Sudah cukup luka yang kita punya. Jangan ditambah lagi.”

Dinda menunduk. Danang menghela napas panjang.

“Maaf, ma… Din…” ucap Danang lirih. “Aku cuma gak tahu cara lain buat melindungi kalian. Aku begitu marah mendengar Dinda putus karena aku."

Dinda menatap kakaknya, kali ini dengan mata yang mulai melembut. “Mas gak harus melindungi aku dengan kemarahan. Cukup ada buatku. Itu sudah lebih dari cukup. Aku sudah iklas melepasnya. Mungkin, tidak jodoh. Mas juga sudah iklas melepas kak Dina, kan ?"

Danang diam mendengar pertanyaan Dinda.

Endang tersenyum kecil, “Sudahlah. Kalian sama-sama keras kepala, tapi juga sama-sama saling sayang. Yuk, kita saling jaga, bukan saling salahkan.”

"Sekarang, lupakan masa-masa yang suram."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 62 Firasat

    Lorong rumah sakit terasa begitu panjang dan dingin bagi Dina. Langkah kakinya terasa berat, napasnya tersengal, seolah udara di sekitarnya ikut menekan dadanya. Begitu tiba di depan ruangan dokter anak yang menangani Alya, tangannya gemetar saat mengetuk pintu.Suster yang berjaga di depan mempersilakan mereka masuk. Dina, Hanum, dan Seno segera melangkah ke dalam ruangan. Dokter anak itu berdiri dari kursinya, menyambut dengan senyum tipis namun wajahnya tampak serius.“Silakan duduk dulu, Bu Dina,” ujar sang dokter lembut.Dina mencoba duduk, tetapi tubuhnya terasa kaku. Tangannya saling menggenggam di pangkuannya, bergetar hebat. Suaranya nyaris tak keluar ketika ia berkata, “Bagaimana kondisi Alya, Dok?”Namun sebelum dokter menjawab, suaranya pecah dan matanya langsung basah. Hanum segera meraih bahu Dina, menenangkannya. “Tenang dulu, Nak. Dengar baik-baik apa kata dokter, ya?”Seno yang sedari tadi berdiri di belakang kursi, menatap dokter dengan tegas namun sopan. “Silakan, D

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 61 Kabar dari rumah sakit

    Malam itu, suasana rumah terasa sepi. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar pelan. Aida duduk di tepi ranjang kamarnya, memandangi lantai tanpa fokus. Wajahnya pucat, matanya kosong. Malam ini, dia sendiri dalam kamar, karena sang suami pergi keluar kota.Ucapan Rima siang tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya.“Tante itu bukan siapa-siapa di keluarga ini, hanya ibu sambung Rizal.”Kata-kata itu berputar dalam pikirannya, menusuk lebih dalam setiap kali ia berusaha melupakannya. Rasanya seperti belati yang tajam, menggores luka yang sudah ada.Aida menarik napas panjang, menahan sesak yang tiba-tiba naik ke dada. “Kenapa hatiku terasa sakit sekali...” bisiknya lirih. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir pikiran itu, tapi yang muncul justru kenangan, saat Rizal masih kecil, berlari ke arahnya sambil memanggil ‘Mama Aida!’ dengan tawa polosnya.Ia ingat bagaimana dulu, setelah ia menikah dengan Salman, dialah yang menidurkan bocah itu setiap malam. Dialah yang merawat saat

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 60 Menunggu bahagia

    Setiap hari, Dina selalu datang ke rumah sakit untuk melihat ketiga buah hatinya. Ia tak pernah absen, bahkan di hari hujan sekalipun. Ketiga bayi mungilnya menjadi alasan terkuatnya untuk terus bertahan.Hari ini, suasana ruang NICU terasa berbeda. Wajah dokter anak yang biasanya tenang kini tampak tersenyum hangat. “Perkembangan kedua bayi laki-laki Ibu sangat baik,” ujarnya sambil menatap Dina. “Rayan dan Revan sudah cukup kuat untuk dibawa pulang. Tapi untuk Alya… mohon bersabar, ya, Bu. Berat badannya belum stabil, dan pernapasannya masih perlu dipantau beberapa hari lagi.”Dina mengangguk, namun hatinya terasa berat. “Dok, apakah ada kemungkinan Alya bisa segera pulang dalam waktu dekat ini?” tanyanya penuh harap.Dokter itu tersenyum lembut. “Kami akan terus memantau kondisinya, Bu. Kami optimis, tapi kita harus sabar. Setiap bayi memiliki waktu yang berbeda untuk pulih.”Ucapan dokter itu seperti dua sisi mata uang bagi Dina, bahagia sekaligus sedih. Ia menatap ketiga bayinya

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 59 Mengharapkan bahagia

    “Bun, uang dari mana?” tanya Dina memberanikan diri, suaranya bergetar menahan cemas yang menggelayuti pikirannya. Udara sore yang lembap semakin menekan dadanya. Ia menatap bundanya yang duduk di sudut ruang tamu sederhana mereka, dikelilingi tumpukan kain dan benang warna-warni. Bau lembut kain baru bercampur aroma kopi dingin di meja kecil di sebelah mesin jahit.Aini, yang serius memasang kancing pada baju yang baru saja dijahitnya dengan penuh ketelitian, menoleh perlahan. Gerakannya terhenti, jarum di tangannya melayang di udara. Keningnya berkerut, memperlihatkan garis-garis halus yang semakin jelas seiring bertambahnya usia. Tatapannya beralih ke wajah putrinya yang tampak gelisah.“Uang apa?” jawab Aini, nada suaranya datar namun terdengar ragu, seolah menimbang apakah pertanyaan itu perlu dijawab sekarang.“Untuk bayar rumah sakit?” Dina bertanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, meski tetap gemetar. “Tadi… hampir enam puluh juta keluar, Bun. Uang dari mana? Apa bunda ber

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 58 Kecewa

    Sore itu, udara di gang kecil itu terasa lembap dan berdebu. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya jingga di dinding-dinding rumah yang rapat berjejer. Danang berjalan di belakang Pak RT dengan langkah mantap tapi hati yang was-was. Di sampingnya, Yoga ikut melangkah pelan, menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu.“Rumahnya di ujung sana, Mas,” kata Pak RT sambil menunjuk sebuah rumah sederhana bercat hijau muda dengan pagar besi yang mulai berkarat. “Pemuda itu jarang keluar, tapi beberapa kali warga lihat dia belanja di warung depan.”Danang mengangguk. Hatinya berdebar pelan. Entah kenapa, ada harapan kecil yang tumbuh, semoga kali ini benar-benar Deni.Setelah mengetuk beberapa kali, pintu rumah itu terbuka. Seorang pemuda muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya teduh, dan sekilas... mirip sekali dengan Deni. Bahkan cara dia menatap membuat dada Danang bergetar sesaat.Namun, begitu pemuda itu berbicara, harapannya perlahan runtuh.“Iya, Pak? Ada perlu?” suaranya datar, d

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 57 Tiga nama, Tiga doa'

    Kamar rawat Dina siang itu terasa lebih hidup dari biasanya. Suara tawa kecil dan obrolan riuh memenuhi ruangan. Hanum duduk di sisi ranjang sambil mengupas buah, sementara Seno sibuk menyiapkan kursi tambahan untuk tamu dari kampung, Paman Amar dan istrinya, Bik Sarti, yang baru saja tiba.“Ya Allah, Din, kamu kurusan, tapi cantiknya tetap aja nggak ilang,” ucap Bik Sarti sambil menepuk lembut tangan Dina. “Anak tiga sekaligus, kamu harus banyak makan, biar kuat.”Dina tersenyum lemah tapi hangat. “Iya, Bik... capeknya memang dobel, tapi waktu lihat mereka bertiga, semua rasa letih langsung hilang.”Hanum menimpali sambil menatap Dina dengan bangga. “Iya, mereka kuat... sama seperti ibunya.”Dina hanya tersenyum tipis. Ada cahaya lembut di matanya, kelegaan sekaligus rindu, sebab hingga kini ia belum bisa memeluk bayi-bayinya. Mereka masih dirawat di ruang NICU, di balik kaca tebal yang memisahkan dunia kecil mereka dari dekapan ibunya.Tawa ringan pun terdengar. Setelah cukup lama b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status