LOGIN“Mas Dito!”Suara Aini terdengar bergetar saat matanya menangkap sosok yang sudah lama tak ia lihat. Tubuhnya refleks berhenti bergerak, seolah tak percaya dengan apa yang ada di depan matanya.Pria bertubuh tinggi itu tersenyum lebar. “Surprise!” serunya sambil membuka kedua tangan.Aini menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. “Ya Allah… Mas Dito beneran datang?”Ia langsung melangkah mendekat dan memeluk abang tertuanya itu erat-erat, seakan takut kalau sosok itu hanya bayangan.Dari samping, Amar tertawa kecil melihat reaksi adiknya. “Gimana? Kaget, kan?”Aini melepaskan pelukan, lalu menoleh ke Amar. “Mas Amar tahu?” tanyanya setengah protes, setengah senang.Amar mengangguk santai. “Tahu dong. Kalau enggak, mana mungkin kejutan ini berhasil.”Belum sempat Aini menimpali, seorang perempuan anggun melangkah mendekat. Wajahnya ramah dengan senyum hangat yang familiar.“Mbak Ami,” ucap Aini cepat.“Iya, Aini,” jawab Aminah sambil merentangkan tangan. “Apa kabar?”Aini langsung memelu
Malam itu, Danu duduk di ruang keluarga rumahnya. Badannya bersandar ke sofa, kedua tangannya saling mengait, sementara pandangannya kosong menatap lantai. Di kepalanya masih terngiang kalimat terakhir yang ia ucapkan di kantor siang tadi, surat pengunduran diri. Itu adalah satu keputusan besar yang akhirnya benar-benar ia ambil.Endang keluar dari dapur sambil membawa dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kecil di depan Danu, lalu duduk di seberangnya. Sejak tadi, ia memperhatikan anak laki-lakinya itu dengan perasaan campur aduk, bangga, khawatir, sekaligus penuh harap.“Minum dulu,” kata Endang pelan.Danu mengangguk, meraih gelasnya, lalu menghela napas panjang sebelum menyesap teh itu.“Ma… Senin nanti aku resmi jadi pengangguran,” ucapnya, mencoba bercanda, tetapi suaranya tetap terdengar berat.Endan
Sejak hari Danu resmi mengajukan resign dari perusahaan, kabar itu menyebar lebih cepat dari yang ia perkirakan. Bukan hanya rekan kerja, tetapi juga orang-orang yang pernah mengenalnya, yang dulu hanya sekadar saling sapa mulai mengetahui keputusan itu. Setiap kali bertemu, pertanyaan yang sama selalu muncul, dengan nada yang berbeda-beda.“Kenapa keluar, Dan?”“Sudah dapat tempat baru?”“Atau ada masalah?”Danu hanya tersenyum tipis. Ia menjawab seperlunya, singkat dan tanpa emosi berlebih. Baginya, tidak semua orang berhak mengetahui alasan hidupnya berubah arah. Ia sudah terlalu lelah menjelaskan, apalagi membela diri.Namun, bukan hanya pertanyaan langsung yang harus ia hadapi. Ada selentingan yang sampai ke telinganya, cerita yang beredar diam-diam, disampaikan setengah berbisik namun terasa lebih bising dari suara keras.
Aini tiba di rumah menjelang magrib. Wajahnya terlihat lelah, namun sorot matanya menyimpan kegembiraan yang tak bisa ia sembunyikan. Setiap langkahnya menuju pintu terasa berat, tetapi semangat di dalam hatinya membuatnya terus melangkah. Begitu pintu terbuka, aroma masakan Dina yang menguar dari dapur menyambutnya, menambah kehangatan suasana.Dina, yang sedang memberi susu Alya, langsung menoleh ketika mendengar suara pintu. Senyum lega menghiasi wajahnya saat melihat Aini. "Cepet sampe, Bun?” tanyanya, suaranya lembut dan penuh kasih.“Nggak macet. Nggak ada pasar tumpah,” jawab Aini sambil meletakkan tasnya di sudut ruangan. “Capek, tapi alhamdulillah… ada kabar baik.” Suara Aini bergetar, mencerminkan perasaan campur aduk antara kelelahan dan kebahagiaan.Deni, yang baru keluar dari kamar, langsung mendekat dengan wajah penuh rasa ingin tahu. “N
Menjelang sore, suasana di rumah Dina berubah menjadi lebih ramai, namun bukan karena suara tawa. Tangisan kecil bersahut-sahutan, tidak keras, dan tidak juga histeris, lebih seperti rengekan panjang yang membuat hati siapa pun terasa diremas pelan. Rayan meringkuk di pelukan Aini. Pipinya memerah, dan tubuhnya terasa lebih hangat dari biasanya. Ia merengek kecil setiap kali Aini mencoba menurunkannya ke kasur. “Sebentar saja, Nak… bentar ya,” bujuk Aini lembut. Namun, begitu punggung Rayan menyentuh kasur, tangisnya kembali pecah.Di sisi lain, Dina menggendong Alya. Bayi perempuan itu tidak menangis keras; ia hanya merengek pelan, dengan alis yang berkerut seolah merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Setiap kali Dina duduk, Alya akan menggeliat, kakinya menendang-nendang kecil, tanda bahwa ia tidak mau dilepas dari dekapan. “Badannya anget, Bun,” kata Dina lirih, cemas tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Ia menyentuh kening Alya lagi untuk memastikan. “Tapi tidak panas ting
Rabu pagi itu, suasana di puskesmas sudah cukup ramai, dipenuhi oleh berbagai aroma khas antiseptik yang bercampur dengan tangis bayi yang bersahut-sahutan. Ruang tunggu imunisasi dipenuhi oleh para ibu yang terlihat cemas namun penuh harapan. Dina duduk di bangku panjang dekat dinding, kedua bahunya sedikit tegang, menandakan betapa besar perhatian dan kekhawatirannya terhadap ketiga buah hatinya. Di sampingnya, Aini menggendong Rayan dengan lembut, sementara Revan berada dalam gendongan Dina, terlihat mengantuk namun tetap waspada. Alya, si bungsu, terbaring tenang di dalam stroller, tertidur pulas seolah tidak terganggu oleh hiruk-pikuk di sekitarnya.“Namanya siapa, Bu?” tanya bidan yang bertugas sambil mengecek buku KIA dengan teliti. “Rayan, Revan, dan Alya, Bu,” jawab Dina dengan cepat, nada suaranya menggambarkan kebanggaan. “Kembar tiga.” Bidan itu mengangkat wajahnya, matanya membesar sesaat, lalu tersenyum lebar. “Masya Allah… kembar tiga ya, Bu. Ini jarang-jarang ter







