“Kok Adek tahu?” tanyanya heran.“Tadi pas nomor Asri nelepon, itu … muncul gambar Mas sama anak kecil di foto profilnya. A—Apa Mas … hmmm … masih ada hubungan sama dia?” tanyaku ragu. Namun, aku benar-benar ingin mendapatkan jawaban dari Mas Reza.“Iya, Dek.” Astaghfirulloh … hatiku mencelos luar biasa ketika mendengar jawaban itu dari dia. Rasanya mataku memanas dan mungkin kini sudah berkaca-kaca.“L—Lalu … Mas anggap aku ini apa, Mas?” lirihku dengan sisa-sisa tenaga. “Loh, Adek ‘kan istrinya, Mas? Kok nanyanya gitu, sih?” Mas Reza menatap wajahku lekat. Alis tebalnya saling bertaut. Wajahnya tampak kaget mendengar pertanyaanku. Ish, dasar cowok! “Buat apa aku dijadikan istri, kalau Mas masih ada hubungan sama Asri.” Aku bicara sambil membuang muka. Aku membelakangi Mas Reza, memberengut dan bersedekap angkuh. “Loh, loh, loh, Dek. Kenapa Adek sangkut-sangkutin status Adek sama hubungan Mas? Asri orang tua tunggal, Dek. Kasihan kalau nggak boleh kerja di kebun Mas.”Aku bergemi
“Kalau nanti Mas ada rejeki, Adek mau dibeliin rumah kayak gimana?” tanyanya. “Gak tahu, Mas. Belum kepikiran. Yang penting nyaman saja ditinggali.” “Oke, Dek.” “Mas mau beliin Adek rumah? Adek gak mau jauh-jauh dari Ibu sama Bapak, Mas.” “Oh gak jauh, kok, Dek.” “Gak jauh? Maksudnya?” “Ahm, anu … maksudnya, nanti nyari rumahnya yang gak jauh, Dek.” Hening lagi. Kami sudah melewati rumah bekas Pak Lurah yang sudah membuat seluruh warga heboh karena, katanya sedang dipasang lift. Hanya saja, tampilan luarnya terlihat biasa saja. Masih sama dengan model rumah yang dulu. Cuma saja terlihat cat dan gentingnya baru, itu saja.“Mas rumahnya kelihatannya biasa ya padahal, Cuma memang luas saja dan dua lantai. Tapi yang pada lihat ke dalam pada heboh, katanya dalemnya mewah. Adek jadi pengen lihat!” tuturku. “Oh, ya sudah siang nanti Mas jemput. Adek mau lihat-lihat?” “Ish, malu lah, Mas.” “Gak apa-apa, Dek. Mia juga sering ke sana. Hampir tiap hari, Dek.” Deg!Hatiku berdentum. Mi
“Oh, kalau ini kami dapatkan borongan satu M lebih, Mbak. Soalnya kayak keramik saja, dirombak total pake marmer yang mahal. Terus kayu-kayu kusen juga diganti semua pakai yang paling bagus!” tuturnya menjelaskan. Aku hampir tergelak ketika melihat ekspresi wajah Mia. Persis seperti orang kehabisan napas ketika mendengar angka yang disebutkan oleh lelaki itu. Hanya saja tepukan pada pundak, membuatku menoleh. “Adek!” “Eh, Mas. Aku cariin dari tadi.” Mia dan lelaki itu menoleh karena suara kami. Aku bisa melihatnya dengan ekor mataku. “Mbak Arin! Tumben ke sini?” tanya Mia. Dia tergesa meninggalkan lelaki yang tadi dan mendekat ke arah kami.“Iya, ini lagi masak banyak. Buat Mas Reza. Kamu lagi ngapain di sini, Mi?” tanyaku.“Ooo … suami kesayangan ceritanya, ampe dibekelin makan kayak anak TK. Aku lagi cari inspirasi, Mbak. Abisnya warga heboh banget katanya rumah bekas Pak Lurah direnov mewah banget.” “Ooo … mau rombak rumah kamu lagi, Mi? Bukannya baru kelar kemarin?” “Iya, M
“Ooo … syukurlah, Mbak. Kirain lihat-lihat mau buat rumah kayak gini juga. Secara suami Mbak Arin kadang aneh, tiba-tiba punya duit banyak walau gak kerja. Ini M M an loh, Mbak. Milyar. Mungkin tabungannya gak akan sampe juga, ya? Paling banter punya seratus jutaan ‘kan? Itu pun pasti sudah habis ‘kan buat beli perhiasan sama perabotan kemarin itu? Aku cuma kasihan saja sama kamu, Mbak. Cita-citanya sederhana dulu saja. Mending ngontrak dulu saja, Mbak kalau mau misah sama orang tua. Ada kok kontrakan di dekat jalan raya sana yang kemarin aku baca mau disewakan!”Heran, sesibuk itu Mia mengurusi hidup kami. Aku juga gak peduli dia mau bikin rumahnya seperti apa. Kenapa dia malah sibuk ngatur-ngatur aku harus gini dan gitu. Jadinya aku malah berharap kalau beneran Mas Reza bakal ngasih kejutan lagi, biar mulutnya Mia gak berkutik lagi dan diam.“Iya, makasih, Mia.” Sebelku pun bertambah ketika dia malah berterima kasih pada Mia. Apa sih Mas Reza ini, ish. “Iya, Mas. Sama-sama. Oh iya
Aku hanya menggeleng. Penjaga toko itu menarik napas kasar. Dia lalu menyebutkan total yang harus aku bayar. Lekas aku memberikan uang sejumlah yang dia sebutkan, lalu bergerak pulang. Hanya saja baru aku hendak mendorong pintu kaca, aku terkejut ketika melihat sosok yang begitu familiar sedang berjalan ke arah sini.“F--Firman?” lirihku menggumam. Namun, reflek aku memutar tubuh agar membelekanginya, ketika lelaki bertubuh jangkung itu mendorong pintu kaca. Dia berjalan lurus dan syukurlah tak menoleh ke arahku. Fiuh, selamat. Firman? Kenapa tiba-tiba dia muncul di sini? Bukankah dia sudah pergi ke Kalimantan semenjak aku memutuskan untuk menerima Sandi dan menolaknya. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Hanya mendengar selentingan jika dia sudah menikah di Kalimantan sana. Masih teringat jelas ketika hari itu dia berpamitan.“Selamat ya, San! Ternyata lo yang dia pilih! Gue titip dia. Jangan pernah sakitin dia atau lo harus berhadapan dengan gue.” “Lo tenang
Pagi itu, kami sudah rapi. Acara reuninya diadakan hari minggu. Mas Reza sudah libur dari tempat kulinya, dia terlihat bersemangat sekali. Dia menurut memakai pakaian apa saja yang kupilih. Kemarin waktu menukar sepatu, aku membelikannya celana jeans dan kaos. Melihat dia memakai kemeja, terlihat terlalu resmi. Akhirnya aku membelikannya baju lainnya lagi. Setelah dari toko pakaian, kami ke tempat pangkas rambut. Rambut ikal Mas Reza yang sudah agak panjang, kini dipangkas rapi. Jadi, hari ini … untuk penampilannya sudah terlihat sempurna. Jadi hari ini, Mas Reza mengenakan sepatu warna hitam, celana jeans warna biru gelap dan kaos warna army. Tubuhnya terlihat gagah dan maskulin. Kenapa jadi makin tampan, ya? Sementara itu, aku mengenakan gamis warna army juga dengan kerudung senada, sengaja kupilih yang warnanya sama biar keliatan kami ini pasangan. Hanya saja memang sikapnya ya tetap sama, seperti malu-malu kucing. Dia pun terlihat gak percaya diri dengan penampilannya saat ini.
Aku sedang sibuk merekam ketika kudengar suara seseorang menyapa. “Arin? Sehat, Rin?” tanyanya, lalu tanpa aba-aba, satu kursi sudah berpindah ke sisi kiriku yang memang paling tepi. Aku menelan saliva ketika menoleh dan terlihat sosok yang ingin aku hindari, kini sudah ada di sana.“Firman?” Reflek aku menurunkan rekaman pada sang komika. Lalu kutekan tombol matikan. Sudah dapat agak panjang juga. “Aku kira kamu gak datang tadi, Rin? Sempat kaget pas lihat Sandi sama Mia. Ikut sedih, ya!” Dia bertutur sambil tersenyum. “Oh, gak perlu sedih. Aku sudah Ikhlas.” Aku menjawab seperlunya. Kulirik Mas Reza, dia tampak tengah menunduk, diam tanpa kata. “Syukurlah … aku juga lagi sedih. Baru ditinggal almarhum istriku, Rin.” “Wah, turut berduka, Firman.” “Iya, Rin. Sudah gitu, yang bikin aku makin sedih lagi, kami punya anak balita. Dia diurus Ibuku sekarang. Dia selalu nanyain mendiang mamanya. Makanya balik ke sini, sekalian mau nyariin dia mama baru.” “Yang sabar ya, Fir.” Aku mel
Aku sudah bersiap di teras ketika tampak bayangan Mas Reza muncul. Seketika teringat lagi pesan yang kucuri baca dari gawainya tadi. Wajahku sudah tak bersahabat. Aku masih kesal dengan kelakuan Mas Reza. “Assalamu’alaikum, Dek!” Aku mendelik ketika dia datang. Bibirku mengerucut dan wajahku kutekuk. “Wa’alaikumsalam.” Aku menjawab dengan ketus.Hanya saja, dia tak menggubris apa-apa lagi. Mas Reza langsung ke kamar. Aku masih memberengut dan menunggu di depan. Dia lama sekali di kamar, entah sedang apa. Karena kesal, aku hendak menyusul ke dalam. Namun, baru juga beranjak, Mas Reza muncul. Dia mengenakan pakaian yang tadi lagi. Terlihat keren dan makin membuat aku kesal.“Mas pergi dulu, Dek! Hati-hati di rumah!” Dia berpamitan. Jaket berwarna usang dia kenakan, menutup kaos baru yang ada di sebelah dalam. “Nggak.” Aku menjawab singkat. “Loh, kok nggak, Dek?” Mas Reza menautkan alis tebalnya. “Adek mau ikut,” jawabku cepat.Mas Reza terdiam. Wah pasti dia keberatan karena gak