Share

Kejutan Suami Lugu
Kejutan Suami Lugu
Author: Evie Yuzuma

Bab 1

“Suaminya si per4w4n tua ganteng juga, ya? Padahal katanya dari gunung, terus sudah berumur. Bayangan saya awalnya sudah kayak kakek-kakek gitu. Eh ternyata lebih ganteng dari mantannya, ya.”

“Iya saya juga kaget pas kemarin datang, kok malah kelihatan gagah gitu, kulitnya hitam manis bikin kesemsem, apalagi idungnya beuh mantep banget mancung ke depan!”

“Mau seganteng apapun, tetap saja gak bisa nyaingin Sandi---anak saya. Sampe si Arina jadi per4w4n tua ‘kan gara-gara gak bisa move on dari Sandi. Apalagi masalah dompet, pasti kalah ke mana-mana. Cuma ya saya lebih suka sama Mia waktu itu, soalnya lebih modis. Gak kampungan kayak si Arina.

Lagian males banget sama Bapaknya si Arina, kata suami saya utangnya bekas Ibunya si Arina dulu operasi belum dibayar-bayar juga. Dua puluh juta loh, Bu Ibu. Saya curiga kalau Bapaknya Arina sengaja suruh anaknya deketin Sandi biar utangnya lunas, heh, enak saja.

Jadi saya suruh si Sandi deketin Mia saja. Buktinya mereka bener-bener bahagia. Si Arina juga cuma dapet bujang lapuk dari gunung, kerjanya paling kuli serabutan, bisa jadi cuma tukang bangunan, jauh ama Sandi, anak saya yang sudah karyawan tetap!”

Deg!

Aku tertegun. Fakta mengejutkan ini baru kutahu sekarang. Pantas saja ketika dulu Mas Sandi mengajakku ke rumahnya, Ibunya selalu bersikap tak acuh. Hanya Bapaknya Mas Sandi saja yang ramah. Jadi, ternyata selama ini, Ibunya Mas Sandi yang gak setuju dan menyuruh Mas Sandi nikahin Mia---sepupuku dan Membatalkan rencana pernikahan kami yang sudah di depan mata.

Tiba-tiba saja kelebat bayangan menyakitkan beberapa tahun silam itu kembali berlarian. Pagi itu, aku diminta Ibu mengantar nasi kuning ke rumah Bi Icah. Rumahnya terhalang dua rumah dari rumah Ibu. Hanya saja, tanpa sengaja aku melihat Mas Sandi baru saja keluar dari dalam rumah Bi Icah dan mendorong sepeda motornya.

“Loh, Mas? Kok pagi-pagi ada di sini?” tanyaku seraya menetralkan degub jantung yang tiba-tiba menjadi lebih cepat.

Mas Sandi salah tingkah, dia menggaruk kepala tak gatal dan lekas menstandardkan sepeda motornya. Kulihat, dia hanya memakai kolor dan kaos oblong saja dan satu lagi, kulihat rambutnya basah. Sangat tak pantas, seorang lelaki keluar dari rumah pemilik anak gadis dengan pakaian seperti itu. Apalagi, seminggu lagi, kami akan menikah.

“Ahm anu itu, Rin. Tadi malem, motor Mas mogok.” Dia tampak kebingungan mau menjawab.

“Sayang! Sarapannya sudah siap!” Suara itu membuatku terperangah. Lalu tak lama, keluarlah Mia---adik sepupuku dengan rambutnya yang juga basah. Dia tampak sama-sama terkejutnya ketika melihatku sudah ada di depan.

“Eh, Mbak Arin? Tumben ke sini pagi-pagi?” tanyanya kikuk. Dia merapikan rambutnya untuk menutupi lehernya dan pandanganku ikut tertuju pada beberapa tanda merah yang tergambar di sana.

“Ini, Ibu minta Mbak nganterin nasi kuning buat Bi Icah.” Aku mengangsurkan nasi kuning dalam wadah.

“Eh, Ibu sama Bapak lagi nginep di rumah Nenek, Mbak. Tadi malem Nenek kumat. Mas Sandi habis nganterin mereka, eh motornya mogok.” Mia menjelaskan dengan kikuk.

Aku tak lagi bisa mencerna kata-kata mereka dengan baik. Hati sudah sesak. Jadi semalaman mereka hanya berdua di dalam rumah ini, Ya Tuhaaan. Kuletakkan saja nasi kuning itu di teras rumah. Lalu aku bergegas pulang dengan air mata yang perlahan tumpah.

Aku berharap, Mas Sandi mengejarku dan memberi penjelasan. Namun, hingga siang, tak ada sama sekali dia menghubungiku. Hatiku semakin kacau. Aku memilih mengurung diri di dalam kamar seharian. Hari itu, aku bolos kerja, rasanya sudah gak mood sama sekali. Bahkan, ponsel yang kugeletakkin sama sekali tak berbunyi. Dia tak berniat menghubungiku.

Keesokan harinya, kabar mengejutkan baru datang. Bi Icah datang pada Ibu sambil nangis-nangis, dia meminta pernikahanku dengan Mas Sandi dibatalkan. Mia mengaku, kalau mereka berdua semalam kebablasan. Mas Sandi harus bertanggung jawab menikahi Mia.

Hari itu, Bapak memaki-maki Bi Icah, amarah yang meledak-ledak membuat bapak terkena serangan jantung. Beruntung, nyawanya masih bisa diselamatkan. Namun, sepulangnya dari rumah sakit, kondisi kesehatan Bapak tak lagi normal. Aku sendiri, sejak hari itu menelan trauma, apalagi setelah lima bulan menikah, Mia melahirkan. Pantas saja beberapa bulan ini, selalu memakai baju yang kebesaran. Rupanya, bukan hanya malam itu saja mereka melakukannya, tapi, sudah lama.

Sejak saat itulah, aku kesulitan untuk percaya lagi pada lelaki. Bukan tak ada yang mendekatiku lagi. Namun, rasa trauma itu selalu membuatku menutup diri. Bertahun-tahun berlalu, tapi kejadian menyakitkan itu tak kunjung sembuh. Hingga akhirnya aku menyerah untuk menikah pada usia tiga puluh tiga tahun itu pun karena Bapak. Dia memilihkan calon untukku. Seorang anak sahabatnya di masa lalu. Katanya, lelaki yang sudah membujang hingga usianya empat puluh tahunan itu, tak jua mendapatkan jodoh. Demi Bapak, akhirnya pernikahan itu terlaksana.

Hebohlah seisi kampung membicarakan pernikahanku yang mereka sudah sematkan gelar per4w4n tua. Jodohku, bujang lapuk, katanya. Meskipun sebagian mengakui kagum ketika melihat tampang Mas Reza. Di usianya yang sudah empat puluh tahun, tak terlihat kalau dia sudah setua itu. Dia terlihat gagah dengan rambut ikal, hidung mancung, tubuh tinggi dan kulitnya yang hitam manis. Meskipun, aku sendiri tak tahu, apa pekerjaannya, apa pendidikannya, yang aku tahu, Bapak sudah memilihkannya dan dia adalah lelaki yang tak suka bermain wanita.

“Permisi, Mang! Tadi Ibu nelepon, tapi gak diangkat katanya! Itu mau jual beras hasil hajatan!” Aku berjalan melewati Ibu-ibu tersebut dan langsung menghampiri Mang Muh---pemilik toko beras ini.

Mendengar suaraku, obrolan mereka terhenti. Namun tak lama, kudengar suara Ibunya Mas Sandi.

"Kalau habis jual beras hasil hajatannya! Jangan lupa bilang sama Ibu kamu, Rin! Bayar utangnya! Dua puluh juta loh, sudah lama!” Suara Ibunya Mas Sandi kudengar cempreng. Aku menelan saliva lalu menoleh. Namun, belum sempat aku menjawab, perhatianku teralihkan pada sosok lelaki tinggi tegap yang baru saja turun dari sepeda motor butut. Kemeja sederhana dan celana panjang dia kenakannya.

“Mohon maaf kalau mertua saya punya utang, Bu! Berapa utangnya tadi, Bu?” tuturnya dengan santun dan wajah tetap terlihat ramah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status