“Suaminya si per4w4n tua ganteng juga, ya? Padahal katanya dari gunung, terus sudah berumur. Bayangan saya awalnya sudah kayak kakek-kakek gitu. Eh ternyata lebih ganteng dari mantannya, ya.”
“Iya saya juga kaget pas kemarin datang, kok malah kelihatan gagah gitu, kulitnya hitam manis bikin kesemsem, apalagi idungnya beuh mantep banget mancung ke depan!”“Mau seganteng apapun, tetap saja gak bisa nyaingin Sandi---anak saya. Sampe si Arina jadi per4w4n tua ‘kan gara-gara gak bisa move on dari Sandi. Apalagi masalah dompet, pasti kalah ke mana-mana. Cuma ya saya lebih suka sama Mia waktu itu, soalnya lebih modis. Gak kampungan kayak si Arina.Lagian males banget sama Bapaknya si Arina, kata suami saya utangnya bekas Ibunya si Arina dulu operasi belum dibayar-bayar juga. Dua puluh juta loh, Bu Ibu. Saya curiga kalau Bapaknya Arina sengaja suruh anaknya deketin Sandi biar utangnya lunas, heh, enak saja.Jadi saya suruh si Sandi deketin Mia saja. Buktinya mereka bener-bener bahagia. Si Arina juga cuma dapet bujang lapuk dari gunung, kerjanya paling kuli serabutan, bisa jadi cuma tukang bangunan, jauh ama Sandi, anak saya yang sudah karyawan tetap!”Deg!Aku tertegun. Fakta mengejutkan ini baru kutahu sekarang. Pantas saja ketika dulu Mas Sandi mengajakku ke rumahnya, Ibunya selalu bersikap tak acuh. Hanya Bapaknya Mas Sandi saja yang ramah. Jadi, ternyata selama ini, Ibunya Mas Sandi yang gak setuju dan menyuruh Mas Sandi nikahin Mia---sepupuku dan Membatalkan rencana pernikahan kami yang sudah di depan mata.Tiba-tiba saja kelebat bayangan menyakitkan beberapa tahun silam itu kembali berlarian. Pagi itu, aku diminta Ibu mengantar nasi kuning ke rumah Bi Icah. Rumahnya terhalang dua rumah dari rumah Ibu. Hanya saja, tanpa sengaja aku melihat Mas Sandi baru saja keluar dari dalam rumah Bi Icah dan mendorong sepeda motornya.“Loh, Mas? Kok pagi-pagi ada di sini?” tanyaku seraya menetralkan degub jantung yang tiba-tiba menjadi lebih cepat.Mas Sandi salah tingkah, dia menggaruk kepala tak gatal dan lekas menstandardkan sepeda motornya. Kulihat, dia hanya memakai kolor dan kaos oblong saja dan satu lagi, kulihat rambutnya basah. Sangat tak pantas, seorang lelaki keluar dari rumah pemilik anak gadis dengan pakaian seperti itu. Apalagi, seminggu lagi, kami akan menikah.“Ahm anu itu, Rin. Tadi malem, motor Mas mogok.” Dia tampak kebingungan mau menjawab.“Sayang! Sarapannya sudah siap!” Suara itu membuatku terperangah. Lalu tak lama, keluarlah Mia---adik sepupuku dengan rambutnya yang juga basah. Dia tampak sama-sama terkejutnya ketika melihatku sudah ada di depan.“Eh, Mbak Arin? Tumben ke sini pagi-pagi?” tanyanya kikuk. Dia merapikan rambutnya untuk menutupi lehernya dan pandanganku ikut tertuju pada beberapa tanda merah yang tergambar di sana.“Ini, Ibu minta Mbak nganterin nasi kuning buat Bi Icah.” Aku mengangsurkan nasi kuning dalam wadah.“Eh, Ibu sama Bapak lagi nginep di rumah Nenek, Mbak. Tadi malem Nenek kumat. Mas Sandi habis nganterin mereka, eh motornya mogok.” Mia menjelaskan dengan kikuk.Aku tak lagi bisa mencerna kata-kata mereka dengan baik. Hati sudah sesak. Jadi semalaman mereka hanya berdua di dalam rumah ini, Ya Tuhaaan. Kuletakkan saja nasi kuning itu di teras rumah. Lalu aku bergegas pulang dengan air mata yang perlahan tumpah.Aku berharap, Mas Sandi mengejarku dan memberi penjelasan. Namun, hingga siang, tak ada sama sekali dia menghubungiku. Hatiku semakin kacau. Aku memilih mengurung diri di dalam kamar seharian. Hari itu, aku bolos kerja, rasanya sudah gak mood sama sekali. Bahkan, ponsel yang kugeletakkin sama sekali tak berbunyi. Dia tak berniat menghubungiku.Keesokan harinya, kabar mengejutkan baru datang. Bi Icah datang pada Ibu sambil nangis-nangis, dia meminta pernikahanku dengan Mas Sandi dibatalkan. Mia mengaku, kalau mereka berdua semalam kebablasan. Mas Sandi harus bertanggung jawab menikahi Mia.Hari itu, Bapak memaki-maki Bi Icah, amarah yang meledak-ledak membuat bapak terkena serangan jantung. Beruntung, nyawanya masih bisa diselamatkan. Namun, sepulangnya dari rumah sakit, kondisi kesehatan Bapak tak lagi normal. Aku sendiri, sejak hari itu menelan trauma, apalagi setelah lima bulan menikah, Mia melahirkan. Pantas saja beberapa bulan ini, selalu memakai baju yang kebesaran. Rupanya, bukan hanya malam itu saja mereka melakukannya, tapi, sudah lama.Sejak saat itulah, aku kesulitan untuk percaya lagi pada lelaki. Bukan tak ada yang mendekatiku lagi. Namun, rasa trauma itu selalu membuatku menutup diri. Bertahun-tahun berlalu, tapi kejadian menyakitkan itu tak kunjung sembuh. Hingga akhirnya aku menyerah untuk menikah pada usia tiga puluh tiga tahun itu pun karena Bapak. Dia memilihkan calon untukku. Seorang anak sahabatnya di masa lalu. Katanya, lelaki yang sudah membujang hingga usianya empat puluh tahunan itu, tak jua mendapatkan jodoh. Demi Bapak, akhirnya pernikahan itu terlaksana.Hebohlah seisi kampung membicarakan pernikahanku yang mereka sudah sematkan gelar per4w4n tua. Jodohku, bujang lapuk, katanya. Meskipun sebagian mengakui kagum ketika melihat tampang Mas Reza. Di usianya yang sudah empat puluh tahun, tak terlihat kalau dia sudah setua itu. Dia terlihat gagah dengan rambut ikal, hidung mancung, tubuh tinggi dan kulitnya yang hitam manis. Meskipun, aku sendiri tak tahu, apa pekerjaannya, apa pendidikannya, yang aku tahu, Bapak sudah memilihkannya dan dia adalah lelaki yang tak suka bermain wanita.“Permisi, Mang! Tadi Ibu nelepon, tapi gak diangkat katanya! Itu mau jual beras hasil hajatan!” Aku berjalan melewati Ibu-ibu tersebut dan langsung menghampiri Mang Muh---pemilik toko beras ini.Mendengar suaraku, obrolan mereka terhenti. Namun tak lama, kudengar suara Ibunya Mas Sandi."Kalau habis jual beras hasil hajatannya! Jangan lupa bilang sama Ibu kamu, Rin! Bayar utangnya! Dua puluh juta loh, sudah lama!” Suara Ibunya Mas Sandi kudengar cempreng. Aku menelan saliva lalu menoleh. Namun, belum sempat aku menjawab, perhatianku teralihkan pada sosok lelaki tinggi tegap yang baru saja turun dari sepeda motor butut. Kemeja sederhana dan celana panjang dia kenakannya.“Mohon maaf kalau mertua saya punya utang, Bu! Berapa utangnya tadi, Bu?” tuturnya dengan santun dan wajah tetap terlihat ramah.Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi