Aku sedang sibuk merekam ketika kudengar suara seseorang menyapa. “Arin? Sehat, Rin?” tanyanya, lalu tanpa aba-aba, satu kursi sudah berpindah ke sisi kiriku yang memang paling tepi. Aku menelan saliva ketika menoleh dan terlihat sosok yang ingin aku hindari, kini sudah ada di sana.“Firman?” Reflek aku menurunkan rekaman pada sang komika. Lalu kutekan tombol matikan. Sudah dapat agak panjang juga. “Aku kira kamu gak datang tadi, Rin? Sempat kaget pas lihat Sandi sama Mia. Ikut sedih, ya!” Dia bertutur sambil tersenyum. “Oh, gak perlu sedih. Aku sudah Ikhlas.” Aku menjawab seperlunya. Kulirik Mas Reza, dia tampak tengah menunduk, diam tanpa kata. “Syukurlah … aku juga lagi sedih. Baru ditinggal almarhum istriku, Rin.” “Wah, turut berduka, Firman.” “Iya, Rin. Sudah gitu, yang bikin aku makin sedih lagi, kami punya anak balita. Dia diurus Ibuku sekarang. Dia selalu nanyain mendiang mamanya. Makanya balik ke sini, sekalian mau nyariin dia mama baru.” “Yang sabar ya, Fir.” Aku mel
Aku sudah bersiap di teras ketika tampak bayangan Mas Reza muncul. Seketika teringat lagi pesan yang kucuri baca dari gawainya tadi. Wajahku sudah tak bersahabat. Aku masih kesal dengan kelakuan Mas Reza. “Assalamu’alaikum, Dek!” Aku mendelik ketika dia datang. Bibirku mengerucut dan wajahku kutekuk. “Wa’alaikumsalam.” Aku menjawab dengan ketus.Hanya saja, dia tak menggubris apa-apa lagi. Mas Reza langsung ke kamar. Aku masih memberengut dan menunggu di depan. Dia lama sekali di kamar, entah sedang apa. Karena kesal, aku hendak menyusul ke dalam. Namun, baru juga beranjak, Mas Reza muncul. Dia mengenakan pakaian yang tadi lagi. Terlihat keren dan makin membuat aku kesal.“Mas pergi dulu, Dek! Hati-hati di rumah!” Dia berpamitan. Jaket berwarna usang dia kenakan, menutup kaos baru yang ada di sebelah dalam. “Nggak.” Aku menjawab singkat. “Loh, kok nggak, Dek?” Mas Reza menautkan alis tebalnya. “Adek mau ikut,” jawabku cepat.Mas Reza terdiam. Wah pasti dia keberatan karena gak
Usai Mas Reza shalat ashar, kami langsung pulang. Namun, tanpa kusangka sepeda motornya berbelok dan memasuki sebuah rumah dengan halaman cukup besar. Rumah itu hampir sama mewahnya dengan milik Mbak Rena. Mas Reza pun memintaku turun dan lekas mengucap salam. Aku belum sempat bertanya ini rumah siapa ketika seorang Perempuan dengan daster rumahan muncul dengan wajah sumringah. Hanya saja, ekspresinya berubah ketika melihatku yang juga berdiri di sisi Mas Reza.“Paman!” Suara anak kecil terdengar. Aku menoleh dan terlihat gadis kecil berlari menyeruak melewati Asri yang tengah mematung di depan pintu.“Aish, sehat?” Mas Reza berjongkok ketika gadis kecil mungkin sekitar empat tahunan itu melompat memburunya.“Cehat, Paman.” Gadis itu mencium punggung tangan Mas Reza, lalu mematung saja di dekatnya. “Kakinya Aish masih sakit?” tanya Mas Reza sambil menggendong tubuh mungilnya. “Macih, Paman. Sedikit." Dia menjawab sambil menunduk malu-malu.“Aish, salim sama Bibi juga!” Suara Asri te
Keesokan harinya, barang-barang bazar dari sekolahan datang. Ibu sudah sibuk mengomeliku karena boros. Namun, saat kujelaskan kalau itu donasi, barulah Ibu paham. “Terus ini barang-barang sebanyak ini mau diapain, Rin?” tanya Ibu sambil menatap berdus-dus kerajinan kesenian yang menumpuk di ruang tengah. “Hmmm … nanti tanya Mas Reza dulu lah, Bu.” Akhirnya sorenya aku brdiskusi dengan Mas Reza. Setelah mencapai kata sepakat. Aku mengambil beberapa yang paling aku suka untuk disimpan. Lalu, sisanya Mas Reza hibahkan untuk kelurahan melalui Pak RT. Nantinya akan dibagikan ke sekolah-sekolah lain untuk dijadikan contoh, katanya. Aku kembali disibukkan dengan kegiatanku di toko. Pergi berangkat kerja di antar Mas Reza, sore pulang dijemput juga. Sementara itu, Mas Reza masih meneruskan pekerjaannya di rumah besar itu.Hidupku terasa damai. Uang banyak, suami baik dan yang penting statusnya aman. Gak ada yang tahu sekaya apa Mas Reza dan penampilannya yang kampungan, membuatnya terhind
Aku pun naik ke atas boncengan sepeda motor Mas Reza. Dia mengantarku pulang. Namun, dia sendiri pamit balik lagi ke rumah itu. “Mas pamit ke sana lagi ya, Dek.” “Sibuk amet si, Mas. Dibayar berapa emang sama yang punya rumah buat urusin?” “Ahm, nggak kok, Dek. Nggak dibayar.” “Apalagi Mas gak dibayar, gak usah segitunya. Oh iya, Adek tuh tadi mau kasih tahu. Itu para tetangga sini pada sibuk mintain lauk ke dapur itu yang masak, loh. Mas tahu gak? Nanti Mas kena omel sama yang punya rumah loh. Tahu-tahu, nanti sapinya habis.” “Oh yang itu, pagi tadi memang dibagiin, Dek. Jatahnya satu paha itu dipisahin sengaja buat bagi-bagi, Dek.” Aku terdiam mendengar penuturannya. Eh, jadi? Sengaja buat dibagiin, ya? Duh, tahu gitu aku minta juga. Lumayan ‘kan ya? “Ya sudah, Dek. Mas pamit dulu. Sore nanti Mas jemput, ya! Adek jangan lupa, dandan yang cantik.” Aku belum menjawab ketika tiba-tiba aroma maskulin semakin dekat. Tanpa aba-aba, satu kecupan mendarat di keningku. Lalu Mas Reza
Jujur, di antara rasa bahagia. Kini rasa takut mulai bermunculan. Jujur, aku mulai takut kalau Mas Reza viral. Entah kenapa, hati tak rela ketika Mas Reza mulai dikenal.Apakah ini yang disebut virus bucin?Acara berjalan lancar. Usai acara pengajian, semua dipersilakan makan-makan di prasmanan. Lauknya beragam. Menu hidangan utamanya semur sapi, sop sapi, ada juga tetek bengek lauk tambahannya. Usai makan-makan, acara dilanjutkan dengan pembagian sembako. Semua terlihat sumringah. Bagaimana tidak, sembako yang dibagikan cukup membuat semua rebutan. Setiap paketnya ada 5 kg beras, minyak sayur, gula, garam, kopi dan lain-lainnya. Sangat-sangat bisa meringankan uang belanja. Apalagi saat ini sembako pada mahal. Sembako ludes tak bersisa. Satu per satu para warga yang mengikuti acara syukuran pulang. Wajah mereka sumringah. Beberapa warga meminta izin ingin masuk dan melihat-lihat rumah. Mereka berdecak kagum pada interior desain berkelas. Lampu kristal besar menggantung di ruang teng
Usai membuatkan kopi. Aku duduk di lantai sambil merapikan pakaian. Sementara itu, Mas Reza yang menyusunnya ke dalam lemari. “Mas ambil permisalan saja ya, Dek.” “Hmmm.” “Boleh nggak, Dek?” “Boleh, Mas. Masa gak boleh.” “Misal gini … Adek, punya kebun vanili itu dua ratus meter, Dek.” “Iya, Mas.” “Nah itu kita harus nunggu selama tiga tahun, Dek. Panennya ‘kan setelah usia pohon itu tiga tahun.” “Oh lama juga ya, Mas?” “Iya, Dek. Lumayan lah.” “Terus, Mas?”“Nah panen pertama, dari dua ratus meter itu, kalau harga sekarang … kita paling enggak bisa dapat lima puluh jutaan, Dek.”“Wah banyak, ya, Mas? Berarti kalau dibagi per bulan, dapat rata-rata empat jutaan lebih ya, Mas?” “Iya, Dek. Cuman dipotong buat bayar yang jaga kebun juga dikit. Cuma kalau pas masih dikit, bisa diurus sendiri, Dek.” “Terus, tahun kedua panen itu ningkat, Dek. Jadi kita bisa dapat seratus jutaan setahun.” “Wah makin banyak ya, Mas? Berarti sebulan bisa dapat delapan jutaan, ya?” Baru sampai si
"Mas mau ke mana?" Dia hanya menoleh ke arahku. “Mas, Maafin Adek, Mas!” Aku panik. Kusimpan cangkir yang tadi kuangkat. Lekas kuberlari dan kutarik lengannya karena dia tak menjawab apa yang kutanyakan.Dia masih bergeming dan hanya menatapku. “Adek sudah move on, kok. Walau ada seribu sandi, Mas tetap milih Mas Reza. Adek gak mau kehilangan Mas Reza, seriusan, Mas.” Sepasang sorot mata teduh itu menatapku lekat. Ada senyum yang dikulumnya. Kurasa suasana hatinya sudah membaik. Cuma dia tak memberikan tanggapan apapun. “Jadi, sekarang gak jadi pergi ‘kan, Mas?” tanyaku kemudian karena dia hanya diam.“Loh jadi, Dek! Ayo, Adek nggak ikut?” “Ikut ke mana?” “Jenguk Bibinya Adek.” Aku terpegun. Kukira tadi dia cemburu terus mau kabur. Sudah nurunin harga diri. Rupanya salah. Dia malah mau jenguk Bi Icah. “Sekarang?” “Iya, mumpung siang.” “Kenapa gak sore, Mas?” “Sore banyak karyawan sudah pulang. Sekarang saja.” Seketika aku mengulum senyum. Apa yang dia maksud itu kalau sore