Share

Kejutan di Rumah Majikan
Kejutan di Rumah Majikan
Penulis: Emmy Liana

Pergi

"Jadi, bagaimana Hani? Selama ini, ibu pernah meminjam uang pada pak Joko. Bunganya sudah bertambah banyak. Dari pada ibu tak bisa melunasinya, lebih baik ibu jual aja rumah ini," ucap ibu mertua pada Hani.

Baru saja, Mas Bram, suami Hani, meninggal secara tragis dan mengguncang hatinya, kini ibu mertua dan iparnya datang ingin menjual harta sang peninggalan suami. Mereka seakan tidak peduli bahwa Mas Bram yang menjalani profesi sebagai supir truk, meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal. Bahkan, tubuhnya hangus terbakar, hingga tak dapat diidentifikasi oleh pihak kepolisian. Tega sekali mereka.

"Setelah ibu pikir tadi bersama Nita, rumah ini kan milik putra ibu. Kamu sudah nggak punya hak tinggal di rumah ini. Lagian, kamu juga akan pergi bekerja ke kota. Ibu meminta agar kamu mau berbesar hati menyerahkan hak putra ibu kepada ibu kandungnya."

Tanpa beban, mereka menjadikan rumah warisan dari suami Hani sebagai pelunas utang mereka.

Pak Joko membuka lembaran surat tanahnya membacanya sebentar lalu tersenyum kecil. Dia lalu membuka tasnya dan menyimpan surat-surat itu di dalam tasnya.

Kemudian, rentenir tua itu mengeluarkan beberapa ikat uang lembaran merah dari dalam tasnya. Disodorkan di hadapan ibu mertuanya yang kini matanya berubah menjadi hijau saat melihat tumpukan uang di depannya.

"Sudah lunas utang ibu sekarang, sisanya tinggal ibu hitung semuanya ini sebanyak 50 puluh juta," ucap pak Joko pada ibu mertua sambil menyodorkan tumpukaan uang yang katanya puluhan juta itu di atas meja.

Ibu mertua dengan cepat mengambil tumpukan uang itu lalu memasukkannya ke dalam tas. Entah berapa banyak utang ibu pada pak Joko, Ibu mertua pun tak menceritakan apa-apa pada Hani.

'Ada apa ini? Kenapa ibu yang berhutang, tapi rumah milik mas Bram yang dijadikan pelunasnya?' batin Hani. Namun, dia tak bisa berkata apa-apa melihat kelakuan ibu mertua yang sama sekali tak menganggapnya.

Mbak Nita bahkan sekarang tersenyum, mendukung penuh perbuatan ibunya. Tak sedikitpun dia bisa sembunyikan kebahagiaannya. Mereka terlihat bersiap bersenang-senang dengan uang itu.

"Berarti, sudah clear, ya. Jadi, saya minta Ibu Siti menyuruh menantu ibu untuk mengosongkan rumah ini secepatnya, ya. Terima kasih." Pak Joko berdiri, lalu melirik wajah Hani dengan genit. "Oh, iya kalau tawaran yang lain gimana?"

Hani menatapnya bingung. Tawaran lain? Apa itu?

"Tawaran menjadi selir saya. HAHAHA!" Pak Joko tiba-tiba berbicara dan tertawa keras, menampakkan mulutnya yang gigi depannya sudah tak ada lagi.

"Bagaimanana Hani, tawaran pak Joko?" Ibu mertua menghampiri Hani dengan nada dibuat-buat, seakan dia peduli pada Hani.

Sambil mengelus lembut lengan Hani, ibu mertua berbisik padanya, "Terima saja Hani. Hitung-hitung, ada yang akan menanggung hidup kita ke depannya."

Hani menatap heran pada ibu mertuanya. "Apa? Kita? Apa maksudnya dengan kita, bu?"

"Kalau kamu menjadi istri pak Joko, dia pasti akan memberikan banyak materi pada kamu. Yang pastinya, kamu harus membagi hasil penghasilan kamu itu pada ibu. Sama seperti saat putra ibu masih ada."

Hani menatap wajah ibu mertuanya. Bagaimana bisa ibu mertuanya berpikir picik seperti itu? Sudah menjual rumah peninggalan suami Hani, kini dia ingin menjual Hani? Gila!

"Iya, Hani! Setujui saja tawaran pak Joko! Daripada kamu menyesal kemudian, kan?" Kini Mbak Nita, iparnya, menimpali kata-kata ibunya.

Hani menggelengkan kepalanya. Bagaimanapun hinanya kehidupan Hani selama ini, dia terus mengalah. Namun, hari ini, dia akan menolak!

"Saya dengan tegas menolak tawaran Anda, Pak Joko!" jawab Hani dengan lantang.

"Hani, lancang sekali kamu! Jangan coba-coba bicara kasar pada Pak Joko, ya!" teriak ibu mertua dan Mbak Nita bersamaan.

"Terserah apa kata ibu, Hani nggak peduli. Cukup selama ini Hani mengalah, tidak untuk kali ini!"

Hati Hani terasa tertusuk benda tajam. Saat memberi jawaban, Hani bahkan menahan air matanya agar tak tumpah. Mudah sekali ibu mertuanya menyerahkan dia menjadi istri pak Joko?

Hani menggelengkan kepalanya dan tak ingin melakukannya! Rasa cintanya pada mas Bram belum hilang, suaminya baru tiga bulan yang lalu meninggal dunia. Bagaimana bisa ibu mertua lalu menawarkan dirinya menjadi istri dari pria tua bangka itu?

"Ya sudah, kalau kamu nggak mau. Sekarang juga kamu keluar kamu dari rumah ini!" perintah ibu mertua Hani. Dia begitu kesal karena tidak mendapatkan jawaban yang diinginkannya dari Hani.

"Tanpa ibu usir pun, saya sudah akan pergi, Bu."

"Semoga kamu gak menyesal, ya!" ejek Mbak Nita.

Hani segera masuk ke dalam kamarnya, mengambil tas yang sudah dia siapkan untuk berangkat malam nanti. Dia memang sudah bersiap untuk keluar dari rumah ini. Namun, rencananya harus berubah. Siang ini, dia harus segera meninggalkan rumah yang menjadi saksi kenangannya dengan sang suami. Apa yang ingin dia pertahankan, sementara tak ada lagi pria yang dicintainya sebagai alasan dia bertahan dalam rumah milik suaminya itu? Belum lagi, mertua dan ipar yang menganggapnya seperti objek yang bisa diperjual-belikan?

Hani keluar tanpa mengucap apapun. Betapa memilukan hidupnya, semoga saja dengan rencanaya bekerja di kota akan merubah hidupnya. Setidaknya, jauh dari kekacauan--dan kelaparan tentunya.

Hani berjalan kaki, menuju rumah ibu penyalur yang akan membawanya ke kota. Panas terik matahari, membuat sesekali Hani mengusap peluh di keningnya. Namun, dia terus berjalan dengan penuh tekad: sekali keluar dari rumah itu, dia tak akan lagi untuk berbalik kembali ke belakang!

Hidupnya harus berubah dan tak boleh lagi ada kepedihan yang menyakitkan!

Setelah dua puluh menit berjalan kaki, Hani tiba di rumah ibu Sukma, penyalur yang akan membantunya untuk ke kota. Perlahan, dia mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Setelah itu, Hani langsung meminta maaf pada Ibu Sukma. "Maaf, bu! Saya kemari lebih cepat karena ada satu dan lain hal."

"Nggak apa-apa Hani, kamu bisa beristirahat dulu di kamar tamu hingga malam nanti."

Hani mengucapkan terima kasih pada ibu penyalur itu yang bernama Sukma.

Ibu Sukma sangat ramah! Pengalamannya bekerja mencari tenaga kerja untuk dibawa ke kota sudah bertahun-tahun lamanya. Sudah banyak anak gadis, maupun wanita dewasa yang dibawa ke kota. Rata-rata, di kota, mereka menjadi asisten rumah tangga atau pengasuh bayi.

Dan selama bertahun-tahun, tak ada keluhan dari para pekerja yang dia bawa. Semuanya baik-baik saja! Itulah mengapa Hani memutuskan utuk ikut ajakan ibu Sukma.

Beruntung sekali, Hani bisa bertemu dengan ibu Sukma, yang membuka jalan baginya keluar dari kehimpitan hidupnya saat ini.

*****

Mini bus telah menunggu di depan rumah ibu Sukma, tepat pukul 19.00. Hani, bersama lima orang lainnya, berangkat dengan ibu Sukma. Sepanjang perjalanan melewati hutan pinus, Hani memilih tidur. Dia ingin mengubur semua cerita masa lalu bersama suami tercintanya.

Kini, dia harus berusaha sendirian-- bermimpi akan bisa menjadi lebih baik baginya. Ini baru pertama kalinya Hani keluar dari kampungnya. Apa yang akan dihadapi olehnya, dia belum tahu. Semoga saja, ya, semoga saja!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status