Setelah membersihkan badannya, Renata sudah terlihat cantik kembali. Sambil mengeringkan rambutnya yang panjang menggunakan hairdryer, wanita itu mulai menceritakan kenapa dia bisa sampai mabuk berat.
"Gila, bener, 'kan dugaan gue. Kalau si Juan ntu cowok red flag," ujar Sesil geram.
"Tapi, Sil. Gue cinta banget sama dia. Juan selalu bikin gue nyaman," ungkap Renata yang membuat cairan bening itu kembali keluar.
"Sakit, Sil. Sakit banget!" isaknya perlahan.
Tak mau sahabatnya itu kembali bersedih, Sesil beranjak ke dapur dan membuatkan Renata makanan.
"Udah jangan sedih terus, laper, 'kan? Nih mie kuah ala chef Sesil spesial buat Nona Renata yang cantik."
Sesil menyodorkan semangkok mie kuah lengkap dengan topping telur setengah mateng dan sayur serta irisan cabe yang menggugah selera.
"Cuman mie? Nggak ada yang lain?" Renata mengejek pemberian Sesil.
"Ya elah, udah bagus gue bikinin. Ya udah sini, buat gue aja!" Sesil mengulurkan tangannya.
"Becanda. Gitu aja marah!" jawab Renata manja.
Cling!
Sebuah notifikasi pesan masuk di ponsel Renata. Sebuah pesan yang membuatnya ketar-ketir setengah mati.
"Napa lagi, lu? Mukanya kayak abis liat setan!" tanya Sesil saat melihat mata Renata terbuka lebar. Kemudian kembali menyeruput mie kuah yang ada di hadapannya.
"Benar-benar udah keterlaluan. Lu liat sendiri, nih!" Renata menyodorkan ponsel miliknya tepat di depan muka Sesil.
Seketika Sesil memuncratkan mie yang sedang ia makan. "Apa? Nggak salah seluruh akses keuangan diblokir ?" Sesil ikut terkejut melihat pesan itu.
"Auto kelar hidup lu, Re!"
Renata tertunduk lesu. Baru saja satu suap dia makan mie yang Sesil masak untuknya, napsu makannya langsung hilang seketika. "Gila, ini intimidasi namanya," ucapnya geram.
Mau tidak mau Renata harus menuruti kemauan ayahnya, lebih tepatnya sebuah perintah atasan yang tidak bisa dibantah. Beberapa saat kemudian, sebuah pesan kembali masuk. Renata hanya diberi waktu satu hari lagi untuk memperkenalkan kekasihnya yang ia sebut kemarin pada ayahnya itu.
"Sil, gue bisa gila ini. Gue harus apa? Juan udah nggak bisa diharapkan." Renata merasa frustasi dan bingung.
"Ya udah, lu tinggal nurut aja. Yang pasti setiap orang tua itu pengen yang terbaik untuk anaknya. Nikah, punya anak apalagi coba. Lu nggak usah pusing-pusing kerja dan cari duit kayak gue. Hidup lu udah enak Re, tinggal nikmati aja."
Renata menarik napas panjang. "Gue nggak mau dijodohin, gue pengen nikah dengan orang yang gue cinta. Titik," tegas Renata.
"Buktinya, cowok yang lu cinta malah dengan sengaja morotin lu, terus dia senang-senang sama cewek lain, 'kan" ucapan Sesil kali ini kembali membuat Renata terdiam.
Renata mencoba mencerna setiap perkataan Sesil. Dan semua yang dikatakan cewek tomboy itu memang benar adanya. Tidak ada yang benar-benar mencintai wanita blasteran Inggris itu dengan sepenuh hati. Apalagi saat mereka tahu siapa Renata sebenarnya. Seorang anak pengusaha sukses dan merupakan anak tunggal. Tak lama, Renata meneteskan air mata lagi.
"Lu bener, Sil. Tapi, gue juga berhak bahagia," ujarnya terisak-isak.
"Sorry, gue nggak maksud buat lu nangis lagi, Re." Sesil bangkit dan berniat memeluk sahabatnya itu.
Renata langsung menepis tangan Sesil. "Ternyata, lu sama aja sama papi gue, Sil. Nggak ada yang ngerti posisi gue sekarang, gue muak dengan semuanya!" Renata bangkit dan langsung pergi meninggalkan Sesil yang diam tak bergeming.
Renata melajukan kendaraan roda empatnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dengan keadaannya yang sedang tidak baik-baik saja dan tanpa tujuan pasti. Sesekali kadang ia melamun dan hampir menabrak kendaraan lain di depannya. Namun, tanpa rasa bersalah dia berlalu pergi dan meninggalkan orang-orang yang marah padanya. Hingga pada akhirnya, malang tak dapat ditepis. Renata benar-benar menabrak seorang pejalan kaki yang akan menyeberang. Padahal saat itu lampu lalu lintas berwarna merah.
Semua mata lagi-lagi tertuju padanya. Namun, bukan Renata jika dia harus merasa bersalah.
"Heh, dia yang salah. Udah tau ini bukan tempat buat nyebrang. Kalian lihat! Di sana ada jembatan penyeberangan, bukan? Terus kenapa dia nggak nyebrang di sana! Sekarang dia celaka lu semua nyalahin gue, hah!" kilahnya pada orang-orang yang melihat kejadian di sana.
Semua orang, tetap meminta wanita itu untuk bertanggung jawab. Kalau tidak dia akan dibawa ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Renata akhirnya menyerah dan membawa korban masuk ke dalam mobilnya.
Pada saat di rumah sakit, Renata lagi-lagi kebingungan saat harus membayar tagihan rumah sakit yang ternyata cukup besar. Karena korban mengalami pendarahan di kepala dan harus segera dioperasi.
"Sial, gue harus apa? Semua akses keuangan gue di blokir papi. Mana ponsel ketinggalan di kosan Sesil. Argh!" Renata semakin frustasi dengan keadaannya sekarang.
Renata terduduk dengan bersandar pada dinding rumah sakit. Rasanya kepalanya mau pecah saat ini. Tidak ada pilihan lain selain meminta pertolongan sang ayah. Tapi, saat teringat dengan perjodohan itu, dia tertunduk semakin lesu.
"Nggak! Nggak! Ini bakal dijadiin papi senjata dan gue pasti nggak bisa ngelak lagi. Sial banget sih hidup gue!" Renata mengusap mukanya kasar.
"Permisi, silakan membereskan berkas administrasi di loket pendaftaran, pasien akan segera dibawa ke ruang operasi." Seorang perawat tiba-tiba menghampirinya.
"Ya ampun!" gerutu Renata dalam hati.
"Apa ... seratus juta?" Renata sangat terkejut saat mengetahui jumlah yang harus ia bayarkan. "Gila, ini pemerasan!"
Renata sempat berdebat dengan pihak rumah sakit dan menolak dengan biaya yang harus ia bayarkan. Seandainya saja wanita itu tidak sedang bermasalah dengan ayahnya, uang seratus juta bukan hal yang besar.
"Ambil kunci mobil gue, ini jaminan kalau gue bakal tanggung jawab! Gue lagi nggak megang uang sepeserpun." Renata terpaksa menyerahkan satu-satunya benda yang ia punya saat ini.
"Tolong hubungi nomor ini!" Renata menuliskan sebuah nomor telepon pada secarik kertas dan memberikannya kepada staf rumah sakit tersebut.
Beberapa jam menunggu tapi orang yang diminta Renata untuk datang belum menampakkan batang hidungnya. Tak terasa malam menjelang. Suasana rumah sakit cukup menakutkan baginya; suara blangkar yang silih berganti memasukan pasien ke ruang operasi; suara tangisan orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya, berhasil membuat bulu kuduknya berdiri.
Dia terjebak pada situasi yang cukup sulit. Seandainya pulang pun dia tidak tahu harus menggunakan apa. Tas, ponsel semua ia tinggalkan di kosan Sesil. Mobil pun harus dijadikan jaminan karena dia belum bisa membayar biaya rumah sakit.
Kruk! Kruk!
Perut Renata mulai bergemuruh, ia hanya bisa menelan ludah yang mulai mengering. "Bener ya yang dibilang Sesil, miskin nggak enak. Gue laper banget, anjir!"
Menahan rasa lapar, malah membuatnya terlelap. Ia tertidur sambil terduduk disebuah kursi panjang di lorong dekat dengan IGD karena hanya tempat itu yang masih ada orang berlalu-lalang.
"Ayo bangun, kita pulang sekarang!" Suara seorang pria tiba-tiba membangunkannya.
"Papi?"
Renata terkejut karena ternyata yang datang adalah ayahnya beserta asisten pribadinya. Padahal dia meminta staf rumah sakit untuk menghubungi Sesil, sahabatnya.
"Sesil tadi telepon papi, dia bilang kamu lagi di rumah sakit karena nabrak orang. Sampai kapan kamu kayak anak kecil gini? Hal kayak gini aja harus papi yang beresin," ucapnya sarkas.
"Kalau papi nggak blokir semua keuangan Rery, nggak gini ceritanya, Pi?" bela Renata tak mau disalahkan.
"Ini semua karena kamu tidak mau pulang dan menerima perjodohan itu. Sekarang kita pulang, besok kamu harus bertunangan dengan Riko, laki-laki pilihan papi!" ucap pria setengah baya itu.
"Nggak! Aku nggak mau! Aku udah punya kekasih, Pi! Papi ngerti dong!" rengek Renata ingin dimengerti.
"Kalau gitu, mana orangnya? Sekarang juga bawa dia kehadapan papi!" tantang papi Renata.
Bingung harus berbuat apa, Renata clingak-clinguk melihat sekelilingnya. Tak sengaja netranya menangkap seorang pria yang sedang terduduk lemah di depan ruang IGD sambil memegang ponsel di tangannya.
"Itu!" tunjuknya pada pria tadi.
Cepat-cepat Renata menghampiri laki-laki itu. Sesaat Renata malah terpukau dengan wajahnya. "Ganteng banget!" lirihnya dalam hati.
"Rery?" ucap laki-laki itu terkejut, melihat wanita yang kini ada di depannya.
"Lu tau nama kecil gue?" Renata terkejut karena pria yang ada didepannya itu tahu nama kecilnya.
"Tapi nanti aja, gue butuh bantuan Lu sekarang, gue mohon!" Sambil menarik tangan laki-laki itu dan membawanya ke depan sang ayah.
"Kenalin, Pi, ini pacar Rery!" ucapnya lantang memperkenalkan laki-laki yang baru saja ia lihat.
Laki-laki itu memandang heran ke arah Renata. Sesaat kemudian Renata memberi tanda dan memeluk pinggang sang pria sambil sedikit mencubit perutnya.
"Udah, nurut aja!" bisiknya sambil cengengesan.
Namun, siapa sangka justru Renata-lah yang balik terkejut. "Noval? Kamu pacar anak saya?" ucap ayahnya dengan wajah bahagia.
"Apa? Papi kenal dengan orang ini?"
Noval mengernyitkan keningnya. Antara percaya dan tidak dengan apa yang dia lihat saat ini. "Bukankah seharusnya Anda berada di ruang ICU?"Pria itu berdiri dan berjalan menghampiri Noval yang mematung. Mr. William seolah mengerti dengan apa yang ada dalam pikiran Noval tentangnya saat ini."Sebenarnya, semua ini hanya sebuah sandiwara. Aku tidak tahu jika rencana ini akan berdampak buruk untuk kesehatan Rery," ungkap Mr. William merasa bersalah."Jadi, selama ini Anda telah berbohong tentang masalah kesehatan Anda sendiri?""Ya, aku hanya ingin sedikit perhatian darinya. Selama ini dia mengabaikanku bahkan sering membangkang . Mungkin semua salahku juga. Aku selalu sibuk bekerja dan bekerja sepanjang waktu, hingga aku harus kehilangan masa kecilnya. Dan di saat aku menua seperti sekarang, keadaan seolah berbalik." Sorot matanya menyiratkan penyesalan yang dalam."Aku telah gagal menjadi seorang ayah. Padahal sebelum istriku meninggal aku per
Kediaman Noval, 21.55 WIB. Gemeric air hujan masih terdengar dengar jelas mengguyur jalanan. Cukup lama hujan turun. Sejak sore hari sampai menjelang tengah malam seperti sekarang. Belum ada tanda air langit itu akan surut. Bahkan sesekali kilatan petir terlihat menyambar-nyambar kemudian menggelegar seolah membelah langit malam yang pekat. Suhu udara panas yang biasa menyelimuti setiap raga yang terlelap kini berganti, lebih sejuk bahkan cenderung lebih dingin dari biasanya. Noval mematikan AC yang ada di kamarnya. Membuka jendela lalu mendongakkan kepalanya melihat ke arah luar. Matanya terpejam seolah menikmati udara segar yang langsung mengguar masuk ke dalam paru-parunya. Ada suatu beban berat yang seakan ikut terhempas saat ia menghembuskan napasnya. Setidaknya satu masalah besar sudah bisa ia hilangkan dari hidupnya. "Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah." Tak lama berselang, terdengar suara pintu terbuka. Noval meliha
Jam dinding sudah menunjukkan angka 11.35 malam. Suasana terasa hening. Renata terbangun dari lelapnya. Menggeliat seperti bayi. Melihat sekelilingnya, ia baru ingat jika malam ini tidak ada guling kesayangan menemaninya bermimpi. "Oh iya, gue lagi di rumah sakit," ucapnya pelan. Renata berdiri, berjalan menuju dispenser yang terletak dekat sebuah meja panjang, mengambil segelas air putih dan langsung menenggak habis semua isinya. Dia menengok ke arah sofa ruang tunggu. Ada Renata yang tengah terlelap dengan memegang remot TV. "Dia ketiduran di sana rupanya." Renata menghampirinya dan menyimpan remote TV itu ke tempatnya. "Sil, bangun!" ucapnya pelan. "Sil, bangun, Sil!" Renata mencoba kembali membangunkan Sesilia. Untuk ketiga kalinya, Sesil akhirnya terbangun. "Apa?" Sambil kembali menguap, menahan matanya yang enggan terbuka. "Kok papi belum masuk ruangan? Lu temenin gue tanyain perawat di depan, ya!" "Lah, lu kan tinggal pencet tombol di sana, yang deket bed. Tar ju
"Tunggu, gue mikir apaan, sih? Terus kenapa dia berani meluk gue?" gerutunya perlahan hampir tidak terdengar oleh siapapun termasuk Noval. Tiba-tiba Renata mendorong tubuh Noval untuk menjauh darinya. "Lu ngapain meluk-meluk gue? Lu mau ambil kesempatan dalam kesempitan, hah?!" pekik Renata kencang. Membuat gempar para tenaga medis di sana. Bahkan ada beberapa perawat keluar dari ruang ICU untuk melihat keadaan di sana. Namun, mereka hanya diam saja melihat Renata memarahi Noval. Petugas kesehatan di sana sudah mengetahui siapa Renata, anak Mr William, salah satu pemenang saham di rumah sakit tempat mereka bekerja. "Maaf, aku nggak bermaksud ...." Renata langsung memotong ucapan Noval. "Alah, omong kosong." Noval mencoba menenangkan Renata yang tiba-tiba meledak amarahnya. Namun, sepertinya wanita itu tidak mengindahkan ucapan Noval. Malah terjadi adu mulut di antara keduanya. Hingga Sesil datang dan berhasil menenangkan keduanya.
Beberapa saat sebelumnya."Mana Nak Renata, Ibu mau bicara?" Ibu Wati menahan Noval yang akan masuk ke kamar."Sudah pulang. Ada urusan mendadak katanya. Dia titip maaf karena tidak bisa pamitan sama Ibu.""Kalau begitu kita bicara di depan. Ini menyangkut tentang hubungan kalian berdua.""Ibu, sudah berapa kali Noval bilang, dia nggak hamil. Dan walaupun hamil juga itu bukan anak Noval. Noval sama sekali nggak pernah sedikit pun nyentuh Renata. Ibu harus percaya sama Noval, ya! Sekarang lebih baik kita pergi ke rutan buat lihat kondisi ayah," ajaknya dengan halus. Mengalihkan perhatian ibunya untuk tidak lagi membahas tentang Renata.Noval masuk kamarnya, mengambil jaket hoody berwarna hitam yang tergantung di belakang pintu. Setelah itu mengambil tas selempang yang tergeletak di dekat meja komputer.Namun, perhatiannya teralihkan oleh sebuah tas perempuan berwarna soft pink yang tidak ia kenal. Tergant
Setelah berganti pakaian, Bu Wati langsung menyidang keduanya di ruang tengah.Renata hanya mengganti celananya saja yang basah. Untungnya ukuran celana Tiara tidak beda jauh darinya.Noval nampak tertunduk mendengarkan setiap omelan ibunya. Sedangkan Renata terlihat menahan tawa saat dirinya ikut kena omelan."Jadi gini rasanya kena omelan seorang ibu? Kok gue malah seneng, ya?" lirihnya pelan, dia seakan menikmati segala wejangan yang Ibu Wati berikan.Baru kali ini ada orang lain--selain ayahnya, yang berani memarahi dirinya. Tapi, rasanya sangat berbeda. Tidak ada rasa sakit hati ataupun amarah saat Ibu Wati mengomel terus seperti sekarang ini."Kalian itu sudah dewasa, harusnya tau mana yang dilarang oleh agama. Itu dosa, kalian belum resmi menikah.""Ibu, jangan salah paham. Tadi Renata mau jatuh karena lantainya licin. Aku mau bantu dia berdiri cuman malah ikutan jatuh. Ibu jangan berpikir buruk dulu." No