Starla tidak langsung memberi jawaban. Berbagai tanya berkumpul di kepalanya.Dari mana sahabat mantan atasannya itu mendapat nomor Starla? Lantas apa tujuannya mengajak bertemu?“Bapak tahu nomor telfon saya dari mana? Bertemu untuk apa, Pak?” Starla menyuarakan kumpulan pikiran di benaknya.“Nanti akan saya jelaskan setelah kita meet up. Saya tunggu ya, setelah ini saya share loc.”“Baik, Pak.” Starla terpaksa mengiakan karena ia merasa penasaran pada tujuan Bjorka.Setelah panggilan tersebut berakhir Starla segera bersiap-siap. Ia tidak ingin terlambat. Tidak enak kalau Bjorka sampai menunggu terlalu lama.Keluar dari kamar, Starla berpapasan dengan ibu tirinya. Perempuan itu menatapnya tajam setelah memindai dari puncak kepala hingga ujung kaki.“Kamu mau ke mana?”“Ke luar sebentar, Tante.”“Ke luar?” Mayang menyipit mengulangi perkataan Starla.“Hanya sebentar, nanti aku akan langsung pulang.”“Keadaan genting begini kamu masih bisa mikirin main dan hangout di mall?”“Aku bukan
Baru berpisah selama lebih kurang tiga minggu tapi rasanya seakan tiga tahun tidak bertemu. Radev benci mengakui kalau dirinya merindukan Starla atas alasan yang tidak mampu ia jelaskan.Apa? Kangen?Gila kali gue kangen sama Starla.Radev menolak keras perasaaan itu. Ia tidak mungkin merindukan Starla. Memangnya siapa dia? Apa kelebihannya? Selain cantik tentu saja, lalu baik, lalu sangat mengerti Radev. Lalu …Arghhh …Kenapa juga dirinya mengurai satu demi satu poin positif gadis itu?Radev baru menyadari bahwa Starla tidak datang sendiri. Ada Bjorka sedang berdiri di sisi pintu. Temannya itu mengedipkan sebelah mata seakan ingin mengatakan, ‘mission complete.’Radev melempar senyum samar sebelum Bjorka pergi dari sana. Pria itu dengan kilat menyimpan senyumnya lalu mengganti dengan raut dingin seperti biasa saat menyadari ada Starla yang saat ini sedang berdiri di depannya. Starla tidak boleh tahu kalau Radev begitu mengharapkan gadis itu kembali.“Duduk,” suruhnya pada Starla.Pa
Starla terpaksa duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Radev. Ia baru tahu kalau tadi pria itu menyuruhnya membeli dua porsi bukanlah untuk dihabiskan sendiri, tetapi juga untuk Starla.Ini bukanlah untuk pertama kalinya Starla menemani Radev makan. Mereka sering makan siang bersama, entah itu di restoran, di café, saat meeting bersama klien ataupun di saat dan di tempat-tempat random lain. Namun, entah mengapa atmosfir kali ini terasa berbeda.Starla pikir Radev akan mengizinkannya kembali ke ruangan setelah makan siang. Nyatanya lelaki itu meminta Starla tetap berada di ruangannya. Tidak ada yang dilakukan Starla. Ia hanya duduk diam menemani Radev, sementara lelaki itu asyik sendiri dengan ponselnya. Radev seakan menganggap Starla tidak ada di sana.Hampir setengah jam berlalu dan pria itu tidak memberi instruksi apa pun pada Starla hingga Starla merasa tidak tahan untuk tetap bungkam.“Pak, ada yang bisa saya kerjakan?”Radev tidak merespon. Lelaki itu tetap terpaku dalam gaw
“Starla, kamu nggak dengar saya bicara?” tegur Radev pada Starla yang masih berdiri tegak di hadapannya.“Dengar, Pak,” jawab Starla kelu.“Lalu tunggu apa lagi?” Radev melebarkan pintu kamar mandi agar gadis itu bisa masuk. “Masuk!”Starla menyeret langkah berat memasuki area kamar mandi. Ia hampir tidak mampu menatap Radev yang saat itu hanya menggunakan selembar handuk untuk melapisi tubuhnya.Starla dan Radev sama-sama berdiri menyamping berhadapan di depan kaca wastafel. Lelaki itu menyuruh agar Starla segera mulai mencukur facial hair-nya.Dengan tangan gemetar Starla mengoleskan shave cream ke bagian rahang, dagu, serta bagian atas bibir Radev. Ini adalah pengalaman pertama Starla. Dan ia tidak tahu kenapa lelaki itu menyuruh melakukannya.Setelah krim tersebut terpulas secara merata Starla mulai menyapukan pisau cukur dengan hati-hati. Ia takut teledor yang akan melukai kulit Radev.Sementara Starla bekerja, Radev terus mengawasi dengan sepasang matanya. Cara laki-laki itu men
“Makasih, Pak Radev,” ucap Starla pelan.Radev tidak memberikan respon apa pun. Entah itu jawaban melalui kata-kata atau sekadar anggukan kepala. Lelaki itu berlalu pergi begitu saja meninggalkan Starla yang berdiri terpaku di depan pintu rumah. Padahal Starla ingin menawarkan pada Radev untuk mampir dulu.Starla tersentak Ketika mendengar suara petir menggelegar. Entah berapa lama dirinya berdiri sendiri memikirkan sikap Radev yang begitu manis malam ini. Bahkan terlalu manis untuk ukuran seorang Radev yang sehari-hari begitu dingin dan tidak pernah memerhatikan Starla.Starla membuka pintu rumah dan ia langsung disambut oleh Mayang dan Tantri yang sudah menunggunya sejak tadi.“Mana uangnya?” Mayang menengadahkan tangan pada Starla.“Uang apa, Tante?”“Lo nggak usah pura-pura bego deh, La,” sela Tantri yang berdiri di sebelah ibunya.“Aku baru aja diterima, nggak mungkinlah langsung gajian.”“Terus semesteran gue gimana? Lo beneran mau bikin gue malu?”Starla mengembuskan napas pela
“Pagi, Mbak Ajeng,” sapa Starla ramah setelah berhasil meredakan rasa kagetnya. Tidak hanya karena bertemu Ajeng sepagi itu di apartemen Radev, namun juga karena jenis pakaian yang digunakan perempuan itu. Ajeng mendengkus pelan lalu memandang Starla tidak suka. “Mau apa?” tanyanya ketus.“Saya mau ketemu Pak Radev. Semalam dia menyuruh saya ke sini.”“Apa?” Ajeng mengerutkan dahinya. “Buat apa Radev menyuruh kamu ke sini?”“Saya mau menyiapkan perlengkapan Bapak, Mbak.” Starla menjawab apa adanya sesuai yang dikatakan Radev kemarin.“Bukannya kamu udah dipecat ya?”“Saya sudah kerja lagi, Mbak.”“Kok bisa?” Ajeng menaikkan intonasi suaranya. Dadanya berkecamuk. Bagaimana mungkin ia tidak tahu hal sekrusial ini?“Saya bicara sama Pak Radev dan minta kesempatan satu kali lagi. Pak Radev menerima saya.”‘Kok Radev nggak bilang sama aku?’ Ajeng membatin menahan emosi.“Sejak kapan kamu kembali jadi asisten Radev?” tanyanya lagi pada Starla.“Sejak kemarin. Maaf, Mbak Ajeng, saya sudah b
“Starla sakit? Dia di rumah sakit mana?” buru Radev cepat.“Saya juga nggak tahu di rumah sakit mana, Pak, tapi tadi katanya izin mau ke rumah sakit.”Radev merogoh saku lalu mengambil ponsel dari sana. Sambil berjalan masuk ke ruangannya ia bermaksud menelepon Starla. Tapi sebelum panggilan tersambung Radev mengurungkan niatnya. Starla bisa besar kepala kalau Radev terkesan memerhatikannya.Alhasil lelaki itu mondar-mandir sendiri di ruangannya dengan perasaan khawatir sambil mengira apa yang terjadi pada asistennya itu.‘Ngapain juga gue mikirin dia. Apa urusannya gue sampe secemas ini. Memang siapa Starla? Nggak lebih dari seorang asisten biasa.’ Pria itu berkata di dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri.Starla memang jarang sakit, tapi bukan berarti tidak pernah. Namun, Radev merasa biasa saja. Ia bahkan tidak memerhatikannya. Radev hanya peduli pada pekerjaan yang ditangani Starla harus selesai dengan baik.***Sudah berjam-jam Starla berada di rumah sakit. Tadi saat sedan
“Saya tahu, Pak, nanti gaji saya dipotong.”“Bukan hanya itu. Seperti yang saya bilang tadi bulan ini udah nggak ada slot peminjaman uang. Tapi karena saya berbaik hati maka sebagai imbalannya kamu harus mau menemani saya ke acara nanti malam.”Starla seketika terdiam. Ia tidak mungkin pergi dengan Radev di saat orangtuanya sedang terbaring di rumah sakit. Sementara di hadapannya Radev sedang memandang padanya. Starla tahu Radev tidak perlu menunggu jawabannya. Radev tidak butuh persetujuan Starla. Jadi percuma juga ia menolak. Masalahnya kali ini Starla benar-benar tidak bisa. Ia harus menjaga ayahnya di rumah sakit. Mayang pasti akan menyuruhnya. Starla berani bertaruh untuk itu.“Pak, bukannya saya nggak mau, tapi saya harus menjaga Papa saya di rumah sakit.” Starla menyampaikan alasannya dan berharap atasannya itu bisa mengerti. Namun, bukan Radev namanya jika tidak memaksa.“Kalau kamu nggak bersedia saya bisa batalkan approval tadi,” ancam lelaki itu.Starla meremas ujung bajuny