“Ibu!” Anggita berteriak melihat Ibunya pingsan. “Puas kamu bisa membuat Ibuku pingsan!” sentaknya.“Lho? Kok aku? Aku kan Cuma menyampaikan kado terindahku buat kamu,” jawabku santai.Ayahnya ikut panik, berusaha menyadarkan istrinya. Tak berapa lama istrinya sadar setelah diolesi minyak di hidungnya. Wajahnya terlihat lemas. Sedangkan Ayah Anggita menatapku nyalang.“Om dan Tante seharusnya melarang anak kalian saat akan menikah dengan suami orang. Bukannya malah mendukung. Sekarang terima akibatnya kalau yang kaya adalah istrinya.” Kedua orang tua Anggita yang kadung malu hanya bisa terdiam. Apalagi cemoohan dari para tamu tak ada hentinya.“Heh, perempuan mandul! Aku tidak akan membayar hutang itu, kamu pikir aku percaya hah?!” Anggita tak terima“Terserah, tapi tanyakan pada suamimu apa yang sudah dia tanda tangani bersama Omku.”Mas Dani dari tadi hanya diam, mungkin masih shock dengan kedatanganku.“Dek, kalau dia benar Paman kamu, harusnya bisa memintanya agar tidak memecat
Papa memang sudah membangun untuk satpam tapi aku tak pernah menggunakannya. Tapi kini aku bersyukur Papa sudah memikirkan sampai sejauh itu. Tubuh dan pikiranku sudah lelah. Kejadian yang terjadi hari ini sangat menguras energi. Aku pun pergi ke alam mimpi setelah membersihkan diri. Lamat-lamat aku mendengar suara pintu diketuk, setelah sepenuhnya bangun aku membuka pintu. Wahyu sudah berdiri di depan pintu kamarku. “Ada apa?” tanyaku masih sedikit mengantuk. “Keluarga suami Nona ada di depan. Saya sudah mengusirnya tapi mereka tidak mau pergi sebelum bertemu Nona,” jelas Wahyu. “Suruh mereka menunggu!” Sebenarnya aku tak berniat menemui mereka, jadi sengaja aku bersantai masak, beres-beres rumah, bahkan mandi dengan berendam. Kira-kira dua jam kemudian baru kutemui mereka, itu pun karena Wahyu yang memanggilku kembali. “Ada apa?” tanyaku berada agak jauh dari mereka. Aku melihat wajah mereka sudah memerah karena panas matahari yang terik atau karena amarah. “Tega kamu, Ra! Se
Namaku, Dani. Aku seorang manajer Pemasaran di sebuah perusahaan swasta. Gajiku cukup lumayan, sebulan mencapai dua puluh lima juta, belum lagi bonus kalau tembus target atau bonus akhir tahun, bisa lebih dari itu. Aku punya seorang istri yang cantik dan penurut bernama, Rara. Atas perintah Ibu, aku tak memberikan semua gajiku sejak menikah dengannya. Kubuka rekening baru agar Rara percaya kalau gajiku hanya lima juta sebulan. Sisa gaji lainnya kuberikan pada Ibu dan kedua saudaraku. Dua tahun pernikahan tapi Rara masih belum hamil, Ibu selalu merongrongku untuk segera memiliki anak. Namun nyatanya masih belum diberi juga, padahal aku sehat, walaupun belum pernah periksa kesuburan tapi aku yakin aku tak mandul. Saat perjalanan pulang dari kantor, aku melihat seorang wanita cantik sedang kesusahan. Aku mendatanginya dan menolongnya bak pahlawan. Ternyata dia adalah Anggita, mantan pacarku dulu yang selingkuh dengan temanku yang lebih kaya, padahal secara tampang masih ganteng aku
Rara sungguh terlihat sangat cantik saat dia berjalan mendekat. Ingin rasanya memeluknya tapi Anggita memegang tanganku sangat kencang. Anehnya M C acara ini memperkenalkan Rara sebagai anak pemilik R.D Company, bukankah itu kantor tempat Anggita bekerja? Bisa gawat kalau yang diucapkan M C itu benar! Rara sudah sampai di depanku, wajahnya sungguh cantik dengan make up tipis seperti itu. Sadar posisiku tidak menguntungkan aku mencoba menjelaskan padanya. “Dek ... ini ....” Aku berusaha menjelaskan namun dia malah memberikan sesuatu yang paling aku takuti. Surat panggilan sidang perceraian. Aku shock! Apa yang kutakuti akhirnya terjadi! Rara menggugatku. Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku harus merayunya agar membatalkan gugatan ini. Aku yakin dia pun masih cinta sama aku. Belum sempat aku memikirkan cara untuk merayunya, mertuaku tiba-tiba pingsan setelah mendengar hutangku yang diberikan kepada Anggita, tapi untunglah, bosku adalah pamannya Rara, jadi tidak jadi dipenjara karena
Matahari semakin meninggi. Panasnya membuat Dani dan keluarganya kegerahan.Dani dan keluarganya masih kebingungan. Rara benar-benar tak mau membukakan pintu pagar untuknya. Istri yang dulu patuh dan taat kepadanya, sudah menjadi istri yang berani dan membuat dirinya kesusahan.“Bu, kita sementara ke pos ronda itu lagi saja, menunggu pintu dibuka baru kita terobos masuk!” saran Dani. Pos ronda letaknya memang berseberangan dengan rumah Rara.“Aku mau pergi saja! Kalau sudah bisa masuk kabari, ya!” tanpa menunggu jawaban yang lain Imron segera pergi.“Aku juga pergi ya, Sayang. Ada urusan sebentar.” Ken ikut meninggalkan rombongan itu. Nia hanya mengangguk tanpa menanyai hendak kemana suaminya itu. Tinggallah mereka bertiga duduk di pos Ronda. Menatap rumah yang dua tahun mereka tinggali, kini diambil oleh pemiliknya.“Dan, beli makanan sana! Ibu sudah lapar,” ucap Bu Intan.“Mana uangnya, Bu?” Dani meminta uang tapi malah disingkirkan tangan Dani dari hadapannya.“Pakai uangmu saja,
“Pa, boleh aku bicara berdua saja dengan Rara?” Mas Dani meminta izin pada Papa.Papa menengok ke arahku. “Terserah Rara mau bicara atau tidak,” ucap Papa.Aku pun mengangguk. Kami berdua bicara di teras. “Keluarlah sekarang, Mas. Ajak kakak dan Ibumu pergi. Pernikahan kita sudah tak bisa dilanjutkan lagi. Kamu sendiri yang merusaknya dengan menghadirkan pihak ketiga. Bahkan ia mengandung anakmu.” Aku memberi pengertian kepada Mas Dani agar meninggalkan rumah ini. “Dek, kalau mau dimadu, surga menantimu. Istri Solehah yang ikhlas menerima suaminya menikah lagi.Apa kamu tidak ingin seperti istri Nabi yang ikhlas menerima suaminya menikah lagi?” Mas Dani berusaha menggunakan dalil agama.“Jangan bicara soal Nabi, Mas. Beliau poligami menikahi janda yang sudah berumur, bukan seorang gadis dan menghamilinya. Kamu memintaku seperti Aisyah, tapi kelakuanmu sama sekali tak mencerminkan sikap suami Aisyah!” sungutku. Jarang salat tapi sok mengerti agama.“Tapi aku benar-benar tak mau ber
Dasar wanita sialan! Bisa-bisanya bilang hutang satu milyar diberikan padaku. Sok banget, memangnya dia siapa! Gara-gara dia pula Ibuku sakit dan marah padaku. Dia bilang aku bodoh karena tidak mencari tahu Mas Dani seperti apa. Kalau benar dia dipecat dan tak bisa bekerja, masa aku yang harus menafkahinya? Aku tidak mau!. Daripada uring-urinngan mending aku ke salon agar diriku semakin cantik. Baru selesei mandi, handphoneku berdering, tanda ada panggilan masuk. Nomor baru, aku pun mengangkatnya.[Halo]Aku hafal suara itu.Suara seorang laki-laki yang meninggalkanku saat mengetahui aku hamil. Ya, anak ini memang bukan anak Mas Dani. Aku masih memiliki pacar saat bertemu dengan Mas Dani kala itu. Saat mengetahui diriku hamil, aku meminta pertanggung jawaban kepada pacarku. Namun dia malah memutuskanku dan menghilang. Aku yang panik karena malu hamil diluar nikah lalu merayu Mas Dani agar mau berhubungan denganku, dan mengakui janin ini sebagai anaknya. Biarlah, daripada anakku t
Rara mulai mengepak barang-barang. Untuk sementara dia akan kembali ke rumah Papanya sampai rumahnya laku. Rumah ini sudah diberi tanda kalau dijual, tapi Rara tidak mencantumkan nomornya, melainkan nomor Papanya. Ia benar-benar sudah tak mau lagi berhubungan dengan keluarga Dani, ia mulai mengganti nomornya dan memblokir nomor Dani dan keluarganya. “Sidangmu hari ini, ya?” tanya Alex. Rara memang dibantu Alex membereskan barangnya.“Iya, nanti jam sembilan pagi, ini masih jam enam kok,” tukas Rara.“Ya sudah, nanti aku antar sekalian. Mana lagi barang yang perlu dipacking?” tanya Alex sambil mengikat kardus berisi novel-novel milik Rara.“Barang di lantai dua, bawa seperlunya saja gak usah semuanya, Lex,” kata Rara sedikit berteriak karena dia sudah berada di tangga. Rara memasukkkan beberapa peralatan memasaknya. Tak sengaja Rara menengok ke arah pintu kamar Pembantu—yang sempat dipakai Anggita— karena pintunya terbuka. Rara pun masuk kamar itu. Ia lupa belum membereskan sisa bar