Share

Chapter 5

Nur yang baru saja memasuki pintu rumah teriak-teriak memanggil bapak, mencari keberadaannya. Namun yang dia temukan malah ibunya yang sedang mencuci piring di dapur.

"Ada apa sih Nak?baru datang kok teriak - teriak ?" tanya ibu.

"Bapak mana buk ?"

"Bapak lagi mandi, ada apa Nur?" mengulangi lagi pertanyaan ibu yang sedari tadi tidak mendapat jawaban dari Nur.Ibu bingung dengan putrinya, baru saja pulang kerja tiba - tiba emosi.

"Ya sudah, aku tunggu bapak aja buk" masih tidak menjawab pertanyaan ibu.

"Ada apa Nur ?" bapak sedari tadi mendengar Nur sedang memanggil - manggilnya, karena jarak antara dapur dan kamar mandi cuma sekitar 2 meter. Maklum saja memang rumah mereka tidak besar.

Nur yang mengetahui kemunculan bapaknya langsung melemparkan pertanyaan dengan nada tinggi.            "Tadi Gewa datang ke rumah terus bapak usir pak?"

"Oh, anak itu mengadu rupanya? hehm!" bapak tersenyum kecut lalu memalingkan wajahnya.

"Bapak itu cuma nggak enak sama calon mertua kamu Nur. Rumah mereka tepat di depan rumah kita. Kalau salah satu dari mereka ada yang tahu bagaimana?  Jadi terlihat nggak baik kan ? Anak gadis sudah punya calon suami kok masih di datangi pria lain. Mengertilah sedikit nak." 

Pandai sekali orang tua ini membuat alasan.

Mendengar hal yang dikatakan bapak, mata Nur langsung melotot tajam menyorot wajah bapak. Dia seperti tersulut api,ingin rasanya dia mengobrak - abrik seluruh isi rumah.

"Apa bapak bilang? mengerti pak?! bapak sendiri nggak bisa ngertiin Nur. Apa tadi ? Nggak enak dan gimana kalo mereka sampai tahu ? sekalian pak, biarin dibatalin pernikahan ini!Nur muak!"

"Nur!" bentak bapak. Tangannya mengayun ke pipi Nur. Belum sempat telapak tangan itu mendarat tiba-tiba bapak terjatuh ke lantai. 

Bapak kesakitan menahan napasnya yang sesak. Penyakit asma bapak kambuh.

Ibu yang dari tadi hanya diam gusar menyimak perdebatan anak dan bapak itu segera memberikan pertolongan ke bapak. Nur pun spontan ikut menolong bapak,raut wajah mereka begitu khawatir. Ibu memanggil si kembar yang sedang asik main game di teras untuk membantu mengangkat bapak, karena tenaga 2 wanita itu tak cukup kuat.

Bising suara lantang seorang wanita memenuhi kamar sempit tempat bapak terbaring. Suara itu adalah milik ibu, di tujukan pada Nur yang malang. 

Dengan alis yang berdempetan dan mata tajam menyorot manik bola mata putrinya, pertanda ia sedang marah.

Kejadian yang menimpa bapak membuat ibu menyalahkan Nur, menyebutnya sebagai penyebab kambuhnya penyakit bapak. 

Kedua adik hanya diam berdiri di samping ranjang bapak, prihatin melihat mbaknya yang hanya bisa menunduk pasrah ketika di marahi ibu, tidak sekalipun mereka melihat mbak Nur membantah apa yang dikatakan ibu kepadanya. 

Walau tanpa di salahkan pun sebenarnya Nur sangat merasa bersalah dan menyesal telah berdebat sampai sempat membentak bapak. 

Dalam hatinya berulangkali ia memaki dirinya sendiri.

Memang benar asma bapak kambuh karena hal itu. 

Nur bukannya tak sayang bapak, justru dia sangat menyayangi bapak, ibu juga. Tapi saat amarahnya sedang memuncak dia tidak bisa mengendalikan emosi, beberapa hari ke belakang dia berusaha menahan emosinya yang sedang acak - acakan. Memendam rasa sedihnya seorang diri. 

Keadaan bapak sudah membaik setelah minum obat. Tapi bapak  masih merasa kecewa terhadap sikap Nur, berani pada orang tua hanya karena membela pria  bernama Gewa. Bapak memalingkan wajah, enggan menatap putrinya yang sedang berdiri disampingnya. Bapak juga hanya diam sedari tadi, bahkan ketika dia tahu baru saja ibu memarahi Nur. Padahal biasanya bapak yang membela Nur saat Nur sedang dimarahi Ibu. 

Diamnya bapak padanya membuat Nur semakin sedih. 

Nur tak tahan menanggung rasa bersalahnya lebih lama lagi, dengan berbesar hati dia mengkesampingkan ego dan perasaannya sendiri demi bapak dan ibu.

Dia berpikir selama ini orang tuanya memang tidak pernah menuntut apapun dari dia. Mungkin ini adalah waktu baginya  untuk berbakti membalas kasih sayang kedua orang tuanya, dengan menuruti kemauan mereka. Dia tidak mau menjadi anak durhaka.

Nur mendekat pada bapak,meraih tangan bapak untuk meminta maaf atas apa yang sudah dia perbuat pada bapak. Tak ingin menjadi penyebab kedua orang tuanya bersedih bahkan sampai sakit lagi, dengan berat hati Nur akhirnya bertekad melepaskan pria pujaan hatinya,Gewa dan dia berkata pada bapak bahwa dia akan mencoba ikhlas menerima perjodohannya dengan mas Danung. Cintanya pada bapak dan ibu kandungnya sendiri memang harusnya lebih besar dari pada cintanya pada pria yang baru 3 tahun dia temui.

Raut wajah bapak dan ibu seketika berubah berseri, mendengar apa yang ingin mereka dengar dari mulut putrinya. Walau sebernarnya tanpa persetujuan putrinya mereka akan tetap menjodohkannya dengan putra pak kyai itu. 

Ya, memang faktanya dia tega mengorbakankan hati putrinya hanya untuk kehendaknya yang selalu digadang - gadang adalah menjadi pilihan terbaik dari pada apa yang di pilih putrinya sendiri.

Nur sudah pasrah dengan takdir kedepannya. Apapun yang terjadi akan dia jalani.

Bapak menghela napasnya pelan.

"Bapak dan ibu senang kamu sudah legowo. Besok mas danung balik kampung, sepulang kamu kerja mas Danung dan kedua orang tuanya akan datang ke rumah untuk menentukan tanggal pernikahan kalian" terang bapak.

Perkataan bapak tak membuat Nur bersuara, hanya mengangguk lemah mengiyakan.

Dengan hatinya yang penuh beban, segala yang terjadi sudah ia pasrahkan pada Tuhan. Biar jalan takdir yang menuntunnya.

Kita buktikan yuk! Pilihan siapa yang lebih tepat? Apakah mas Danung benar-benar pria yang tepat untuk Nur ?

Lanjut chapter berikutnya ya guys!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status