Share

Chapter 6

Waktu begitu cepat, ayam berkokok menandakan hari kembali berganti pagi. Setelah menghabiskan menu sarapan dia buru - buru mengaktifkan motor kesayangannya melaju ke arah tempat dia bekerja. Nur terlihat tidak bersemangat hari ini. 

Ketika toko sepi, Diana menghampiri Nur sedang merapikan buku yang berantakan di etalase, akibat tangan ceroboh para pelanggan toko ketika sedang memilah - milah buku yang mereka cari.

"Nur!" panggil Diana.

Hening tak ada sahutan dari sabatnya.

Tangan Nur memang sedang bekerja menata buku - buku yang berjejeran itu, tapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Terlihat jelas bahwa dia sedang bengong, dan tampak kacau.

"Nuurrr!" Panggilnya sekali lagi dengan suara yang lebih keras dari pada sebelumnya.

"Hisss apa sih Di teriak - teriak ?" Nur menoleh ke kanan menatap Diana yang tanpa dia sadari ternyata sudah berdiri di sampingnya sedari tadi.

Diana mendengus kesal.

"Ya habis kamu aku panggil dari tadi nggak ada sahutan,kebanyakan ngelamun kan ?" protes Diana.

"Ya maaf Di enggak denger tadi" jawab Nur dengan suara pelan dan lemas.

"Kamu kenapa sih Nur ? Kok keliatan lesu ?Kamu ada masalah ?" tanya diana.

"Bentar lagi aku mau nikah Di " Nur menundukkan kepala menyembunyikan raut sedih di wajahnya.

"Ya harusnya kamu seneng dong Nur, akhirnya Gewa nikahin kamu".

Nur mengalihkan pandangan dari sahabatnya, sebelum mengambil napas dalam - dalam lalu menghembuskannya secara kasar.

"Bukan sama Gewa Di, tapi sama mas Danung".

Mendengar jawaban dari Nur, jelas saja Diana kaget. Setahu dia pacar Nur kan Gewa.

"Hah?! mas Danung anak pak kyai Nur? Emangnya kamu udah putus sama Gewa?" lagi - lagi Diana melemparkan pertanyaan, berusaha mencari jawaban atas rasa penasaran di kepalanya.

Nur menjelaskan kepada Diana, sekaligus mencurahkan kesedihan yang dia alami. 

Diana yang merupakan sahabat Nur ikut merasa sedih atas apa yang di alami sahabatnya itu.

Dipeluknya tubuh ramping sahabatnya itu, berusaha menguatkan dan membuat Nur tenang.

***

Nur dan orang tuanya tampak rapih mengenakan pakaian terbaik mereka. Bersiap menyambut calon suami Nur dan calon besan yang sebentar lagi akan datang untuk musyawarah menentukan tanggal pernikahan. 

Beberapa jenis makanan dan buah sudah tersaji di meja. Nampak dari jendela kaca di ruang tamu Nur beberapa orang melangkah keluar dari pintu rumah dengan dinding berwarna biru muda yang terletak tepat di depan rumah Nur. Tentu saja itu mereka, rombongan yang sudah di tunggu sedari tadi.

Tak butuh waktu lama, hanya perlu beberapa langkah sudah sampai ke rumah calon istri. 

Mata mas Danung terpusat pada Nur, terpesona melihat Nur tampak anggun dan manis dengan dress broklat merah muda yang ia kenakan, serasi dengan jilbab pasmina yang menutupi kepalanya.

"Subhanallah cantiknya calon menantuku" puji bu yai kepada calon menantunya itu.

Nur hanya tersenyum mendapati pujian tersebut.

Keluarga Nur begitu excited, menyambut mereka dengan hangat. Mempersilahkan masuk dan menikmati hidangan yang mereka sajikan. 

Setelah berbasa - basi dan bercanda ringan mereka lantas melanjutnya tujuan mereka, yaitu menentukan tanggal pernikahan.

"Emm sebentar, sebelum kita benar - benar menentukan tanggal, saya ingin bertanya dulu ke nak Nur" Pak kyai menatap Nur yang duduk ditengah kedua orang tuanya, lalu melanjut pertanyaannya.

"Nak, karena ini merupakan sebuah perjodohan saya harus memastikan apakah nak Nur ini merasa terpaksa? jika iya, lebih baik mengatakan sekarang dari pada sudah terlanjur jauh nantinya." tanya pak kyai memastikan.

Mas Danung terdiam, terlihat serius menunggu jawaban dari calon istrinya.

Nur menoleh secara bergantian pada kedua orang tua yang mengapitnya disisi kanan dan kirinya.

"Putri kami tidak merasa terpaksa kok pak kyai" bapak segera menjawab pertanyaan pak kyai untuk mewakili putrinya, dengan percaya diri.

"Biarkan Nur sendiri yang menjawab nggih pak, saya kepingin mendengar jawaban dari Nur sendiri biar sama - sama enak " titah pak kyai halus sembari tersenyum pada mereka.

Nur menatap mas Danung sejenak, dia melihat mas danung yang raut wajahnya menunjukkan penasaran atas jawaban yang belum di utarakan oleh calon istrinya.

Dalam hati Nur berkata "Tentu saja aku terpaksa". Tapi dia sudah pasti tidak bisa mengatakan yang sejujurnya, karena sudah berjanji pada bapak bahwa dia sudah menerima dan menyetujui perjodohan ini.

"Mboten pak kyai. Nur sendiri yang mau menerima perjodohan ini" ungkap Nur dengan penuh kebohongan.

Setelah mendapat jawaban dari Nur mereka semua merasa lega.Tanggal pernikahan pun ditetapkan. Sesuai kesepakatan bersama, resepsi akan di gelar di rumah mempelai pria.

"13 april? Bukankah itu terlalu cepat?" Nur melempar pertanyaan,setelah mengerutkan dahinya.

"Nur tanggal 13 itu merupakan hari yang baik. Masih 2 minggu lagi, dan 2 minggu sudah cukup untuk  menyiapkan acara resepsi kalian" terang bapak.

"Bapakmu benar nak, rencana baik harus disegerakan. Apalagi menikah kan juga merupakan ibadah." tambah pak kyai.

Mas Danung yang sedari tadi hanya diam menyimak 

rencana - rencana orang tua, kini mengangkat mulut  memulai pembicaraan.

"Nur, ngomong - ngomong mas sudah memutuskan untuk resign dari pekerjaan. Mas akan membuka bengkel sendiri dengan uang tabungan mas dan modal tambahan dari Abi"

"Alhamdulillah semoga usahanya lancar ya nak" mendengar hal itu membuat ibu Nur yang dari tadi juga diam ikut menimpali calon mantunya itu.

Wajah kedua orang tua Nur menonjolkan ekspresi sumringah.

Sedangkan Nur hanya tersenyum tak memberi tanggapan calon suaminya itu.

Setelah 2 jam kedua keluarga ini bermusyawah, acara pun akhirnya usai, calon suami Nur telah berpamitan pulang.

Nur mengambil langkah memasuki kamarnya meninggalkan ibu dan bapak yang masih duduk di ruang perjamuan. Menjatuhkan tubuh ramping itu ke kasur miliknya, sebelum membenamkan wajah melasnya ke bantal.

Tanggal pernikahan yang ditentukan terlalu terburu-buru nggak sih ?

Simak chapter selanjutnya ya guys!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status