Waktu begitu cepat, ayam berkokok menandakan hari kembali berganti pagi. Setelah menghabiskan menu sarapan dia buru - buru mengaktifkan motor kesayangannya melaju ke arah tempat dia bekerja. Nur terlihat tidak bersemangat hari ini.
Ketika toko sepi, Diana menghampiri Nur sedang merapikan buku yang berantakan di etalase, akibat tangan ceroboh para pelanggan toko ketika sedang memilah - milah buku yang mereka cari."Nur!" panggil Diana.
Hening tak ada sahutan dari sabatnya.Tangan Nur memang sedang bekerja menata buku - buku yang berjejeran itu, tapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Terlihat jelas bahwa dia sedang bengong, dan tampak kacau."Nuurrr!" Panggilnya sekali lagi dengan suara yang lebih keras dari pada sebelumnya.
"Hisss apa sih Di teriak - teriak ?" Nur menoleh ke kanan menatap Diana yang tanpa dia sadari ternyata sudah berdiri di sampingnya sedari tadi.
Diana mendengus kesal.
"Ya habis kamu aku panggil dari tadi nggak ada sahutan,kebanyakan ngelamun kan ?" protes Diana."Ya maaf Di enggak denger tadi" jawab Nur dengan suara pelan dan lemas.
"Kamu kenapa sih Nur ? Kok keliatan lesu ?Kamu ada masalah ?" tanya diana.
"Bentar lagi aku mau nikah Di " Nur menundukkan kepala menyembunyikan raut sedih di wajahnya.
"Ya harusnya kamu seneng dong Nur, akhirnya Gewa nikahin kamu".
Nur mengalihkan pandangan dari sahabatnya, sebelum mengambil napas dalam - dalam lalu menghembuskannya secara kasar.
"Bukan sama Gewa Di, tapi sama mas Danung".Mendengar jawaban dari Nur, jelas saja Diana kaget. Setahu dia pacar Nur kan Gewa.
"Hah?! mas Danung anak pak kyai Nur? Emangnya kamu udah putus sama Gewa?" lagi - lagi Diana melemparkan pertanyaan, berusaha mencari jawaban atas rasa penasaran di kepalanya.Nur menjelaskan kepada Diana, sekaligus mencurahkan kesedihan yang dia alami.
Diana yang merupakan sahabat Nur ikut merasa sedih atas apa yang di alami sahabatnya itu.Dipeluknya tubuh ramping sahabatnya itu, berusaha menguatkan dan membuat Nur tenang.***
Nur dan orang tuanya tampak rapih mengenakan pakaian terbaik mereka. Bersiap menyambut calon suami Nur dan calon besan yang sebentar lagi akan datang untuk musyawarah menentukan tanggal pernikahan.
Beberapa jenis makanan dan buah sudah tersaji di meja. Nampak dari jendela kaca di ruang tamu Nur beberapa orang melangkah keluar dari pintu rumah dengan dinding berwarna biru muda yang terletak tepat di depan rumah Nur. Tentu saja itu mereka, rombongan yang sudah di tunggu sedari tadi.Tak butuh waktu lama, hanya perlu beberapa langkah sudah sampai ke rumah calon istri. Mata mas Danung terpusat pada Nur, terpesona melihat Nur tampak anggun dan manis dengan dress broklat merah muda yang ia kenakan, serasi dengan jilbab pasmina yang menutupi kepalanya."Subhanallah cantiknya calon menantuku" puji bu yai kepada calon menantunya itu.
Nur hanya tersenyum mendapati pujian tersebut.
Keluarga Nur begitu excited, menyambut mereka dengan hangat. Mempersilahkan masuk dan menikmati hidangan yang mereka sajikan.
Setelah berbasa - basi dan bercanda ringan mereka lantas melanjutnya tujuan mereka, yaitu menentukan tanggal pernikahan."Emm sebentar, sebelum kita benar - benar menentukan tanggal, saya ingin bertanya dulu ke nak Nur" Pak kyai menatap Nur yang duduk ditengah kedua orang tuanya, lalu melanjut pertanyaannya.
"Nak, karena ini merupakan sebuah perjodohan saya harus memastikan apakah nak Nur ini merasa terpaksa? jika iya, lebih baik mengatakan sekarang dari pada sudah terlanjur jauh nantinya." tanya pak kyai memastikan.
Mas Danung terdiam, terlihat serius menunggu jawaban dari calon istrinya.Nur menoleh secara bergantian pada kedua orang tua yang mengapitnya disisi kanan dan kirinya.
"Putri kami tidak merasa terpaksa kok pak kyai" bapak segera menjawab pertanyaan pak kyai untuk mewakili putrinya, dengan percaya diri.
"Biarkan Nur sendiri yang menjawab nggih pak, saya kepingin mendengar jawaban dari Nur sendiri biar sama - sama enak " titah pak kyai halus sembari tersenyum pada mereka.
Nur menatap mas Danung sejenak, dia melihat mas danung yang raut wajahnya menunjukkan penasaran atas jawaban yang belum di utarakan oleh calon istrinya.
Dalam hati Nur berkata "Tentu saja aku terpaksa". Tapi dia sudah pasti tidak bisa mengatakan yang sejujurnya, karena sudah berjanji pada bapak bahwa dia sudah menerima dan menyetujui perjodohan ini."Mboten pak kyai. Nur sendiri yang mau menerima perjodohan ini" ungkap Nur dengan penuh kebohongan.
Setelah mendapat jawaban dari Nur mereka semua merasa lega.Tanggal pernikahan pun ditetapkan. Sesuai kesepakatan bersama, resepsi akan di gelar di rumah mempelai pria.
"13 april? Bukankah itu terlalu cepat?" Nur melempar pertanyaan,setelah mengerutkan dahinya.
"Nur tanggal 13 itu merupakan hari yang baik. Masih 2 minggu lagi, dan 2 minggu sudah cukup untuk menyiapkan acara resepsi kalian" terang bapak.
"Bapakmu benar nak, rencana baik harus disegerakan. Apalagi menikah kan juga merupakan ibadah." tambah pak kyai.
Mas Danung yang sedari tadi hanya diam menyimak
rencana - rencana orang tua, kini mengangkat mulut memulai pembicaraan."Nur, ngomong - ngomong mas sudah memutuskan untuk resign dari pekerjaan. Mas akan membuka bengkel sendiri dengan uang tabungan mas dan modal tambahan dari Abi""Alhamdulillah semoga usahanya lancar ya nak" mendengar hal itu membuat ibu Nur yang dari tadi juga diam ikut menimpali calon mantunya itu.
Wajah kedua orang tua Nur menonjolkan ekspresi sumringah.Sedangkan Nur hanya tersenyum tak memberi tanggapan calon suaminya itu.Setelah 2 jam kedua keluarga ini bermusyawah, acara pun akhirnya usai, calon suami Nur telah berpamitan pulang.
Nur mengambil langkah memasuki kamarnya meninggalkan ibu dan bapak yang masih duduk di ruang perjamuan. Menjatuhkan tubuh ramping itu ke kasur miliknya, sebelum membenamkan wajah melasnya ke bantal.
Tanggal pernikahan yang ditentukan terlalu terburu-buru nggak sih ?
Simak chapter selanjutnya ya guys!
Jarum jam bertengger tepat di angka empat. Nur masih menunggu di depan gerbang toko buku, tempat Diana bekerja, dan merupakan bekas tempat kerja Nur dulu. Tak lama kemudian, nampak para karyawati yang melangkahkan kaki keluar dari toko yang besar itu. Tentu saja, itu toko buku terbesar di kota ini.Di sana juga terlihat Bela yang sedang terburu - buru keluar dari toko."Hey, Nur!" sapa Bela."Eh, Bela. Diana belum keluar ya?" tanya Nur."Tadi sih Diana masih ngambil tasnya di loker. Mungkin bentar lagi keluar kok." jawab Bela.Bela menengok ke belakang, ke pintu keluar toko. Dan benar saja, Diana baru saja melangkahkan kaki keluar dari toko itu."Tuh Diana. Ya udah, aku duluan ya Nur." Nur mengangguk sembari tersenyum.Pandangan Nur beralih ke arah Diana yang semakin mendekat ke arahnya. "Nur, kamu ngapain di sini?" tanya Diana."Aku nungguin kamu Di." jawab Nur."Kok nggak ngabarin dulu?" tanya Diana lagi.Wajah Nur berubah sendu."Hp ku hilang Di." "Hilang? Ya udah yuk pulang du
Retina Nur terpaku pada bias Indah dari wujud pria yang bernama Gewa itu. Lalu, tersadar oleh pertanyaan iseng yang Gewa lemparkan kepadanya."Ngomong - ngomong kita selalu bertemu secara tidak sengaja ya Nur? hehe..." tanya Gewa. Beberapa menit setelah pertemuan tadi, kini dia sudah duduk di kursi kosong tepat di depan Nur."Iya. Apa jangan - jangan kamu buntuti aku terus ya? haha... enggak deh bercanda." kata Nur sembari tertawa.Setelah semua masalah yang Nur hadapi, baru kali ini Nur tertawa lewas. Seakan ia lupa atas semua beban yang sedang di pikul pada pundaknya."Ah, mana berani aku buntuti istri orang." jawab Gewa. Gewa pun tertawa kecil, namun, tawa itu sangat terlihat ia paksakan.Nur sontak terdiam, lalu, termenung sejenak. Melihat ekspresi Nur, Gewa tahu bahwa Nur tak nyaman dengan jawaban darinya. Sehingga membuat Gewa jadi tak enak hati."Emm... Nur, aku salah ngomong ya? Ma.." Nur segera membuka mulutnya, dan memotong kalimat Gewa."Tidak Gew! Tidak usah minta maaf da
"Apa kamu sudah merasa senang dan merasa bebas sekarang? Apa kamu merasa bangga menjadi janda di usia semuda ini?" bunyi pertanyaan ibu Nur yang tiba - tiba saja ia lontarkan kepada putrinya yang malang.Nur masih hanyut dengan tangisnya, ia tak ingin mendengar ataupun menjawab pertanyaan - pertanyaan ibunya yang semakin melukai hati Nur.Sedangkan bapak terduduk kaku, menatap Nur yang tak berdaya. Ada rasa kecewa di hati bapak. Bapak marah, namun, di satu sisi bapak tak tega melihat keadaan dan situasi putrinya yang sulit dan telah menjadi berantakan."Memalukan! Karena ulahmu, semua anggota keluarga kami harus menanggung malu!" imbuh ibu Nur.Nur yang mendenger hal itu, sontak menatap tajam mata ibunya, lalu meninggalkan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu. "Hei! orang tuamu belum selesai bicara!" bentak ibu Nur."Buk, sudah buk." kata bapak menenangkan ibu, lalu bapak pun berdiri dan meninggalkan ruangan itu.Nur mengambil kunci motornya yang ada di kamar lalu bergeg
Suasana pada pagi ini begitu cerah. Namun, tidak dengan suasana hati Nur. Hatinya berdebar, tubuhnya sedikit gemetar. Sebentar lagi Ummi, Abi, dan mas Danung akan kembali mendatangi rumahnya. Lebih tepatnya menemui Nur, untuk mencari penyelesaian dari bab permasalahan rumah tangga Nur dan mas Danung yang tak kunjung tamat. Selesai Nur mandi, dia ingin mengambil ponsel yang tadinya ia simpan di kasur, tapi sekarang ponselnya sudah tidak ada."Kemana ponsel ku?" gumam batin Nur.Nur mengingat - ingat kembali dimana ia meletakkan ponselnya sebelum ia pergi mandi. Padahal ia ingat betul bahwa ia meletakkan ponselnya di atas kasurnya.Ia cari - cari di laci make up dan di meja samping ranjangnya pun tak ada. Nur kebingungan. Nur mencurigai bapak, bahwa mungkin saja bapak mengambil ponselnya lagi.Belum tuntas kebingungan Nur, ada suara salam dari teras rumah.Suara yang tak asing di telinga Nur, yaitu suara Ummi.Nur menarik napas dalam - dalam, lalu men
Sepasang mata mas Danung mendelik, menatap Nur dengan penuh kemarahan. Lalu yang membuat Nur semakin tak enak hati adalah tatapan kecewa kedua mertuanya. Nur menundukkan kepalanya, sebab ia merasa malu.Abi memberi isyarat dengan arahan tangannya, menyuruh Nur untuk duduk di kursi kosong samping mas Danung. Karena sedari tadi ia memang berdiri saja."Jadi, bagaimana Nur?" tanya Abi mengawali pembicaraan.Nur masih terdiam sembari menundukkan kepala. Sama hal nya dengan mas Danung, ia tak berbicara sekecap pun."Waktu itu sebelum penentuan pernikahan kalian, bukankah Abi sudah bertanya 'apakah pernikahan itu atas kemauan nak Nur sendiri atau atas dasar keterpaksaan?'. Lantas nak Nur sendiri yang menjawab bahwa pernikahan itu atas kemauan nak Nur. Tapi kenapa sekarang nak Nur malah seperti ini?" lanjut Abi.Dengan amat sangat berat Nur memberanikan diri untuk berkata sejujurnya pada kedua mertua."Sebelumnya Nur minta maaf Abi, Ummi. Saat
Tubuh Nur gemetaran. Keringat dingin pun membasahi pipinya. Ia memberanikan diri mengarahkan pisau ke pergelangan tangan kirinya. Belum sempat ia menggoreskan benda tajam itu ke tubuhnya sendiri, tiba - tiba seseorang menampik tangan kanan Nur.Seketika Nur shock.Seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri di samping Nur dan tampak membelalakkan mata itu adalah Ibu Nur.Ternyata sedari tadi Nur tak menyadari bahwa pintu kamarnya lupa tak ia tutup. Ibu yang tadinya berniat akan ke teras rumah pun harus berjalan melewati kamar Nur terlebih dahulu dan Ibu tak sengaja melihat anaknya akan melakukan hal bodoh itu.Syukurlah Ibu masih sempat mengetahuinya sebelum Nur benar - benar melakukannya.Ibu mengambil pisau yang terjatuh di atas lantai lalu melemparnya ke luar pintu kamar.Bunyi lemparan yang cukup keras pun membuat Nur kaget."Apa kamu sudah tidak waras?" tanya ibu dengan nada tinggi.Nur tak menjawab, hanya terdengar suara sese