Share

Chapter 7

Tidak ada yang tahu apa yang Nur rasakan saat ini. 

Menangis pun sudah tidak bisa, air matanya enggan keluar dari penampungan.

Diingatnya kembali momen - momen indah bersama Gewa. Ketika hanya Gewa yang merangkulnya saat ia sedih. Ketika hanya Gewa yang mengerti perasaannya.

Gewa itu ibarat rumah, tempatnya berpulang, tempatnya bersandar, tempatnya untuk beristirahat, juga berkeluh kesah.

Sekarang Nur sudah kehilangan rumahnya.

Mimpi dan rencana - rencana yang sudah mereka susun bersama hancurlah kini.

Terlepas dari lamunan, wajahnya beralih menatap pintu kamar yang lupa tidak ia tutup, beradu pandang dengan ibu yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

Ibu mengayunkan kakinya perlahan mendekati anaknya yang sedang terbaring lemas.

Mengambil posisi duduk disamping Nur, di usapnya lembut puncak kepala putrinya itu.

"Ibu dan Bapak berharap kamu akan bahagia dengan pernikahan ini Nur. Sungguh tidak ada orang tua yang berniat memberikan hal buruk pada anaknya. Kami sangat menyayangi kamu nak, kami tahu apa yang terbaik untuk kamu" Lirih ibu dengan wajah sendunya itu.

Nur yang masih terbaring menyamping menghadap ibu hanya diam tak bergeming menatap ibu.

"Pepatah mengatakan 'Jalaran tresno soko kulino'. Ibu tau saat ini kamu belum mencintai mas Danung, tapi seiring berjalannya waktu cinta akan tumbuh di dalam rumah tangga yang akan kalian jalani.

Ya sudah kamu istirahat ya nak, besok kamu kerja kan? Ibu juga capek mau istirahat" wangsul ibu sembari berdiri dari duduknya meninggalkan Nur.

Tak ada suara yang keluar dari mulut Nur, hanya mengangguk mengiyakan ibu.

Ponsel Nur bergetar, di raihnya ponsel itu, lalu dibacalah notif pesan di layar.

"Besok kita ketemu sepulang kamu kerja"

Itulah bunyi pesan yang tak lain tak bukan adalah pesan dari Gewa.

Nur meletakkan ponselnya kembali, tak membalas pesan itu. 

"Bukannya Gewa seharusnya sudah balik ke perantauan ya? Ah entahlah" pikirnya.

Lalu yang selanjutnya mengantri di kepalanya adalah bagaimana cara dia menghadapi Gewa besok? Dia merasa telah menghianati pria itu walaupun pernikahan yang akan segera terllaksana itu bukanlah kehendaknya.

Ah sudahlah! Biarkan saja.Dia sedang tidak ingin memikirkan apapun lagi, sudah terlalu capek menghadapi keadaan yang betubi - tubi memojokannya belakangan ini.

***

Hari telah berganti. Nur dan Diana melangkahkan kaki dari toko buku untuk segera berpulang. Namun, tiba - tiba mata Diana tertuju pada seseorang yang sepertinya tidak asing di penglihatannya.

"Nur! Bukannya itu Gewa ya?" 

Spontan Nur langsung mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk oleh jari telunjuk Diana.

Diana menyipitkan matanya menerawang pria itu, yang jaraknya agak jauh dari mereka. Duduk di motor matic berwarna hitam tepat di depan pagar toko buku tempat mereka bekerja. Sepertinya dia sedang menunggu Nur, tentu saja, siapa lagi? Nur hanya diam dengan wajah sendu menatap pria itu.

Gewa yang melihat mereka segera mendekat menghampiri Nur.

Diana yang merasa tidak enak karena takut mengganggu akhirnya pamit pulang duluan.

Kemudian Gewa pun mengajak Nur ke cafe yang letaknya tak jauh dari toko buku itu, kira - kira hanya berjarak sekitar 70 meteran.

Coklat panas yang masih mengebul menemani pertemuan mereka yang terkesan dingin dari pada pertemuan - pertemuan sebelumnya. Nur hanya terduduk diam, mengalihkan pandangan pada pria yang terus menatapnya dengan wajah melas. Nur tak kuasa menatap mata Gewa yang memperlihatkan ada luka yang teramat dalam disana.

Gewa pun mengangkat mulutnya memulai percakapan.

"Nur! Kita..."

belum sempat gewa meneruskan kalimat yang akan keluar dari mulutnya, Nur memotong dengan perkataannya yang tajam.

"Hubungan kita sudah berakhir Gew! 2 minggu lagi aku akan menikah sama mas Danung " Nur menegaskan Gewa dengan suara lantang untuk menutupi tenggorokannya yang sesak menahan tangis sedari tadi.

Deg! Jantung Gewa berdetak semakin kencang mendengar hal itu. Seperti ada sesuatu yang memekik dadanya sehingga terasa sakit. Tubuhnya tiba - tiba saja langsung melemas mendengar berita yang bagi dia sangatlah buruk. Sebentar lagi pujaan hatinya menjadi milik orang lain.

Setelah itu dia tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk bersama Nur lagi.

"Nur aku cinta sama kamu, bagaimana mungkin kamu tega dengan ku? gimana dengan rencana - rencana kita? mimpi - mimpi kita? hubungan yang sudah lama kita jalani? sebegitu mudahkah kamu melepas?" pertanyaan demi pertanyaan pun akhirnya meledak keluar dari mulut Gewa.

 

"Apa kamu bilang? mudah? apa aku terlihat bahagia dengan semua ini? Aku juga cinta sama kamu. Bahkan aku tega membantah bapakku sendiri sampai membuat penyakitnya kambuh, cuma untuk membela kamu. Keadaan yang membuatku terpojok Gew. Aku juga hancur, berat bagiku untuk mengakhiri hubungan kita, tapi aku bisa apa? " Nur menjawab dengan suara yang gemetar,tangis yang sedari tadi ditahan pun akhirnya pecah mmembasahi pipinya.

"Kita kawin lari aja Nur. Kita masih punya kesempatan bersama. Kita akan hidup bahagia" Gewa berusaha meyakinkan wanita itu.

Nur terbelalak mendengar ajakan Gewa.

Kira-kira Nur mau diajak kawin lari gak ya?

Cari tau di chapter berikutnya ya guys!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status