MasukAcara baku hantam di sebuah night club telah selesai dan polisi telah mengamankan Eduardo. Polisi pun telah menyisiri semua tempat yang ada di night club itu untuk mencari barang bukti, akan tetapi yang ada mereka hanya menemukan seorang yang tergeletak tidak sadarkan diri di ruang ganti.
"Sial. Kita kehilangan barang bukti," runtuk Danny. "Lalu bagaimana, Pak?" "Bawa alat penyetrum itu, siapa tahu ada sidik jari si pelaku," ujar Danny pada anak buahnya. "Siap Pak!" "Bawa dia sekalian." Danny menunjuk pria yang tergeletak tidak sadarkan diri itu. "Kita kembali ke markas sekarang." Beberapa polisi mengangkat tubuh pria tersebut dan Eduardo juga di bawa ke kantor polisi untuk di interogasi lebih lanjut. Karena bagaimanapun juga antek-antek mereka sangat sulit untuk di tangkap. Lalu di manakah barang buktinya? ✒✒✒ Sebuah mobil berwarna hitam melaju dengan kecepatan rata-rata, membela jalanan ibukota. Tampak dua orang yang ada di dalam mobil itu tertawa keras. "Kita berhasil membawanya." Han Yura tersenyum sumringah. "Kau sangat pintar, sayang. Ini baru namanya wanita ku," ujar Peter tertawa dan membelai rambut wanita yang duduk di sampingnya. Mobil melaju gelapnya malam, menembus dinginnya angin malam. Han Yura mengeluarkan sebagian tubuhnya dari pintu mobil depan. Wanita itu berteriak karena begitu sangat senang telah mendapatkan barang tersebut. Terlihat jelas di wajah wanita tersebut, terpancar kebahagiaan tersendiri. Mobil berhenti di tepi jalan sebuah pemukiman. "Apa kau akan singgah sebentar?" tanya Yura. "Tentu saja aku akan singgah sebentar," jawab Peter. Keduanya turun dari mobil, berjalan di sebuah trotoar kecil yang menuju ke rumah Yura dan masuklah mereka berdua di sebuah rumah kecil. "Di mana Han Zea?" tanya Peter. "Mungkin dia masih bermain di luar sana," jawab Yura asal. "Apa aku perlu pindah rumah? Yang pasti setelah ini akan banyak masalah yang muncul," imbuhnya dan menatap Peter. "Hmm ... aku tahu. Setelah ini mungkin bahaya akan mengintai kita dan nyawa menjadi taruhannya." Peter membalas menatap Yura. Yura terdiam sebentar, "Aku akan pindah sementara di tempat kakakku." "Ide bagus." Peter mengangguk dan melihat jam tangannya. "Yura, aku tidak bisa berlama-lama di sini karena hari sudah hampir pagi. Kau simpan saja barang ini." "Baiklah." Yura tersenyum dan mendekati Peter. Sebuah ciuman panas pun terjadi di antara keduanya dan hal itu tidak sengaja di tonton oleh Han Zea dari balik pintu. Sungguh sebuah adegan yang tak patut dilihat oleh Han Zea, tapi bagi Zea pemandangan itu sudah hal biasa baginya karena sang ibu pasti selalu membawa pulang laki-laki ke rumahnya. Setelah Peter pergi, baru lah Yura mengambil sesuatu dari dalam laci. Dia mengeluarkan sebuah kotak lalu membukanya dan mengambil sebuah suntikan. Yura menyuntikan benda yang berisi sebuah cairan bening ke tangannya. Perlahan tubuh itu mengejang dan terus mengejang. Mulutnya menahan sebuah teriakan hingga akhirnya terkulai lemas di ruang tengah dan lagi Han Zea melihat kejadian itu dari balik pintu kamarnya. Perlahan air matanya meleleh membasahi pipinya. Di waktu yang sama di kantor polisi, Danny masih terus menginterogasi Eduardo. Polisi sudah tidak asing lagi dengan orang itu, dia selalu saja tertangkap tapi dengan mudahnya juga dia bisa bebas. Namun, tidak untuk sekarang. Kali ini Danny benar-benar akan memakai dia untuk memancing seseorang. "Kau yakin tidak tahu siapa yang mengambil barang bukti itu?!" gertaknya menggebrak meja. "Barang itu aku serahkan padanya." Eduardo menunjuk dengan dagu ke arah pria disampingnya. Danny menatap pria di samping Eduardo. "Aku tidak ingat setelah berada di ruang ganti. Seingat ku setelah aku melepas baju dan tiba-tiba seperti ada seseorang yang menyetrum ku dari belakang," ucapnya terlihat santai. Danny mengangkat alisnya, menatap kedua pria yang ada di depannya itu secara bergantian. "Bos, sudah kuduga ini akan terjadi lagi." Orang itu berbisik pelan pada telinga Danny. Danny mengangguk, "Baiklah. Masukkan mereka berdua ke dalam sel," perintahnya. "Bagaimana hasil pemeriksaan sidik jari pada alat penyetruman itu?" lanjutnya. "Belum keluar hasilnya, Pak." Danny menoleh, "Kita tunggu sampai besok. Kau berjaga lah, aku ingin istirahat sebentar." Danny menepuk pundak anak buahnya yang termasuk tangan kanan Danny. "Siap Pak!" jawabnya dengan lantang. ✒✒✒ Suasana pagi itu masih sunyi dan senyap. Langit masih terlihat gelap. Semilir angin dingin masih bisa dirasakan begitu menusuk kulit. Seorang wanita membereskan baju-bajunya dan di masukkan ke dalam koper. Tak lupa dia membawa barang tersebut. Dia memasukkan ke dalam tas yang berisi sebuah kamera, menyimpan rapat bungkusan tersebut lalu memasukkan lagi ke dalam tasnya yang lain. "Sebenarnya kita hendak pergi ke mana, Bu," tanya Han Zea. Anak itu masih terlihat mengantuk. "Kau diam saja. Tidak perlu banyak bertanya. Nanti juga kau akan tahu ke mana tujuan kita." "Kenapa kita selalu berpindah-pindah tempat?" celoteh Zea lagi. "Jangan banyak bertanya. Cepat kemasi barang-barang mu, kita akan segera meninggalkan tempat ini." Han Zea pun diam dan segera mengemasi barang-barangnya. Sudah beberapa kali dia harus seperti itu, benar-benar masa yang sulit. Dia harus meninggalkan tempat yang lama dan bertemu dengan tempat yang baru, dengan suasana yang baru pula. Pastinya juga dia harus menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar, itu yang membuat Zea malas. Zea menarik tas punggungnya melangkah menuju ruang tengah dan berjongkok untuk mengenakan sepatu. Yura segera menyusul Zea, dia pun memakai sepatunya dan bergegas keluar dari rumah tersebut. Sebuah taksi sudah menunggu di depan gang. Yura dan Zea melangkah menuju taksi tersebut lalu masuk ke dalam taksi. "Ke stasiun, Pak." Yura meletakkan tasnya tepat di samping. Yura sedikit melirik Zea yang sibuk mengamati suasana di luar taksi. "Baik Nyonya." Sopir taksi tersebut lalu menginjak gas, taksi pun melaju membelah jalanan yang masih lenggang. Beberapa menit setelah sampai di stasiun, Yura segera membayar taksi tersebut dan segera lah Yura menarik koper dan menyeberang jalan. "Kenapa menyebrang jalan?" tanya Zea. "Kita naik kereta bawah tanah saja," sahut Yura. "Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Zea. Anak tersebut mulai penasaran. "Kau diam saja. Cukup menurut apa yang aku bilang," gertak Yura. Han Zea akhirnya diam dan melangkah menuruni anak tangga menuju stasiun bawah tanah. Yura mengikuti di belakang Zea. Sangat terlihat sebenarnya Zea masih sangat mengantuk. Pagi itu kereta bawah tanah memang masih sepi karena masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Yura dan Zea segera naik ke dalam kereta bawah tanah. Tidak lama setelah itu kereta langsung melaju. Di dalam kereta pun belum begitu ramai, hanya ada beberapa seorang pria dan seorang wanita. Kurang lebih tiga jam perjalanan kereta bawah tanah. Akhirnya kereta itu berhenti di sebuah stasiun. Yura dan Zea turun dari kereta bawah tanah tersebut. Mereka berjalan menuju tangga untuk naik ke atas. Matahari pun sudah muncul menyinari kota. Zea menoleh menatap sebuah papan. "Emerland stasiun bawah tanah," beonya lirih. Zea menghela napas panjang dan menatap wanita yang ada di depannya itu. 'Sepertinya aku harus beradaptasi lagi di sini,' batinnya. Yura menghentikan sebuah taksi, menarik tangan Zea ke dalam taksi dan taksi pun melaju ke tempat tujuan. "Kita akan tinggal di sini?" tanya Zea mengamati sebuah rumah yang cukup sederhana. Yura mengangguk, "Aku harap kau tidak banyak protes." Yura mengeluarkan sebuah kunci dan mencoba untuk membuka pintu. Zea melangkah masuk, menaruh tasnya di sisi lemari kemudian tangannya memegang sebuah nakas. "Kotor sekali." Zea meniup tangannya. "Aku bilang jangan protes. Hari ini kita akan membersihkan rumah ini." Yura mulai membersihkan tempat itu. "Aku harap kau bisa beradaptasi di sini dan kau juga bisa mendapatkan teman baru," ucap Yura. Han Zea hanya menatap Yura, sang ibu. "Aku sudah biasa sendiri. Aku rasa di sini pun aku tidak akan mendapatkan teman," jawabnya acuh tak acuh. Mendengar hal itu, Yura hanya bisa menarik napas. "Kau bisa tidur di ruang ini. Setelah dibersihkan, kau bisa langsung istirahat," ujar Yura. "Aku lapar." Zea memegang perutnya yang sedari tadi terus menerus berbunyi. Yura meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan. "Makanlah ini. Setelah membersihkan seluruh rumah ini aku akan keluar sebentar." Yura mengulurkan tangannya, Zea menerima uluran sebuah bungkusan dari Yura. Akankah setelah pindah di Emerland City, mereka akan hidup nyaman dan tenang? Di sini lah awal mula dari kisah ini ... ::: TBC ::: See ya on next chapter, bantu vote dan komen ya manteman ☺Yura membaca kertas yang disodorkan oleh Ronald. Pria itu menyuruh Yura untuk membacanya dengan detail. Ronald tidak ingin ada kesalahpahaman atau hal yang buruk terjadi."Aku tidak ada maksud buruk denganmu atau mungkin kau berpikir aku akan mengubah isi surat itu setelah kau tanda tangani." Ronald meyakinkan Yura yang tampak masih ragu.Ada rasa takut saat Yura ingin menatap Ronald. Yura sangat tahu betul siapa Ronald. Ronald dan Benigno memang tidak jauh beda. Mereka berdua sama-sama berkecimpung di dunia hitam."Yura——namamu, bukan?" tanya Ronald dan dijawab anggukan kepala dari Yura. "Aku sudah tahu keadaanmu. Kau punya seorang anak yang masih butuh biaya banyak. Rumah yang masih mengontrak, tidak punya suami, dan terkadang susah untuk makan." Ronald menatap Yura dan Yura membalas tatapan Ronald. Yura mengangguk. Ronald mengembuskan napas dan menyandar ke head board. 'Jadi semua informasi yang dicari Pablo benar, lalu apa hubungan wanita ini dengan Peter? Apa mereka berdua sep
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 siang. Hanya ada sisa waktu satu jam tiga puluh menit. Padahal jarak tempuh dari apartemen Peter ke rumah Yura kurang lebih sekitar 45 menit. Belum lagi waktu yang ditempuh untuk sampai ke klub malam.Akhirnya Peter meminta pada Yura untuk datang ke apartemennya, jadi pria itu masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri.Beruntung Yura wanita penurut. Wanita itupun sanggup untuk datang ke apartemen Peter siang itu juga. Entah kenapa Yura begitu patuh dan nurut pada Peter atau karena Yura terlalu cinta pada Peter sehingga wanita itu rela melakukan apapun yang diperintahkan oleh Peter.Jawabannya ada pada si Author hehe ....Setelah mengiyakan panggilan dari Peter, Yura langsung mempersiapkan diri untuk segera menyusul ke apartemen Peter.Tidak butuh waktu lama Yura sampai di apartemen, karena untungnya siang itu tidak terlalu macet.Sesampainya di apartemen, Peter pun sudah siap dan dia pu
Jantung Brandon berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Apakah kesempatan dia hidup hanya sampai hari itu? Brandon berpikir jika Ronald akan akan membunuhnya. "Apa maumu?" tanya Brandon. "Mauku ... hmm, soal klub malamku yang kau porak porandakan itu." Diam menatap Brandon. "Ah, sud———" "Jadi kau ingin menuntutku?" potong Brandon. Ronald memalingkan wajahnya untuk menatap Brandon. Alis sebelah kiri terangkat. "Aku tidak akan menuntutmu, tapi aku akan menawarimu sebuah pekerjaan," balas Ronald. Kini giliran Brandon yang alisnya menukik tajam. Menatap tajam dengan tatapan seolah pria itu tengah mempermainkannya. Brandon tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. "Benar-benar aneh!" cicitnya. "Aku akan melepaskanmu jika kau menerima tawaran ku. Tentunya kau juga butuh uang untuk hidup. Sedangkan kau sudah tidak punya pekerjaan lagi," papar Ronald. Brandon kembali diam. Kepalanya menunduk. Dalam hatinya dia berkicau dan memaki. 'Persetan dengan gengsi. Aku
Brandon masih merasa asing dengan suara tersebut. Pria itu masih bertanya-tanya siapa dia? Bahkan tidak bisa dipungkiri jika hati Brandon juga tengah berdebar-debar. Ada rasa takut? Pastinya iya karena dia merasa jika dirinya sudah dikepung. Brandon terus menggerakkan kedua tangannya yang terikat dan sepertinya rasa perih sudah menjalar ke lengan atasnya.'Siap sekali aku ini, huh! Kenapa tali ini susah sekali untuk dibuka?' keluhnya dalam hati.Antara pasrah dan ikhlas jika memang hidupnya harus sampai di hari itu saja. Brandon tidak bisa berteriak dan dalam keadaan terikat. Tenaganya sudah terkuras habis hanya untuk berteriak dan bergerak berusaha melepaskan diri, akan tetapi nihil. Hal itu tidak mungkin terjadi.Brandon masih memasang telinganya dengan tajam. Pria itu masih penasaran di mana dia berada dan siapa mereka. Jika terbukti mereka adalah orang suruhan Alex, maka Brandon akan membuat perhitungan dengan pria itu."Tuan, kami sudah membawanya ke sini," ujar Pablo."Hm, jadi
Peter membawa Yura ke sebuah klub malam guna menawarkan sebuah pekerjaan. Sebenarnya bukan Peter yang menawarkan pekerjaan, tapi bos-nya Peter.Yura sendiri memang sedang membutuhkan pekerjaan karena bagaimana pun juga ketika wanita itu sedang nge-fly, dia butuh serbuk putih yang banyak. Maka dari itu tentunya dia pun butuh uang banyak.Wanita itu mengikuti saja kemauan kekasihnya. Peter pun tidak bisa terus menerus memberi Yura serbuk putih gratis, karena Peter pun mendapatkannya dengan uang juga alias membelinya."Kau yakin menyuruhku kerja di sini?" Yura menatap Peter."Terus kau ingin bagaimana? Tidak mungkin aku terus memberimu secara gratis," ucap Peter ketus.Memang sangat menyakitkan, tapi Yura pun paham akan hal itu. Wanita itu tidak mungkin harus terus bergantung pada Peter. Mengingat Yura punya rasa trauma pada sosok ayah dari Zea. Seorang pria brengsek yang tidak mau bertanggung jawab. Pria bodoh yang begitu saja menghilang bak ditelan bumi."Bagaimana?" Peter menyakinkan.
Zea melangkah naik ke atas sambil tersenyum. Senyum yang begitu bahagia dan lega ketika melihat seseorang yang baru saja sampai. "Paman pulang." Berlari menghampiri Alex. "Paman tahu kalau aku punya keyakinan paman akan pulang hari ini." Alex tidak menjawab Zea. Pria itu terus melangkah naik ke lantai dua diikuti oleh Zea. Alex menghentikan langkahnya saat melihat sesuatu. Ya, sebuah kantung berisi susu dan sandwich. Alis Alex berkerut saat mendapatkan bungkusan yang lainnya tergeletak di sudut dinding. Zea muncul dari belakang Alex dan kepalanya terangkat menatap pria itu. Kini tatapan Zea beralih ke bekas bungkus sampah botol susu dan plastik bungkus sandwich. "Maaf, paman." Zea menatap Alex dengan mimik wajah takut, lalu menundukkan kepalanya. "Aku tidak mencurinya. Aku hanya membantu memakannya agar tidak basi dan aku sudah meminta izin pada paman," lanjutnya menjelaskan. Alex menoleh menatap Zea. Bocah itu mundur satu langkah. Bahkan Zea mendengar embusan napas kasar dari







