Dalam kegelapan malam, langit membentang luas di atas pegunungan Tethra, diterangi hanya oleh cahaya bintang-bintang. Di bawah langit yang tenang itu, kerajaan Drakonik berjaga dalam keheningan. Di tengah pusat kerajaan, berdiri sebuah kastil megah yang dipahat dari batu hitam, tempat Raja Naga, Drakonis, memerintah dengan bijaksana. Sebagai penguasa naga terakhir, ia memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi di dunia manusia. Drakonis telah menjaga keseimbangan antara manusia dan makhluk magis selama berabad-abad.
Namun, di malam itu, ketenangan hanya menjadi ilusi tipis. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan tidak terlihat sedang bersembunyi di balik tembok kastil. Jenderal Arkanis, salah satu panglima perang terpercaya Raja Naga, berjalan cepat melewati koridor batu yang dingin, matanya penuh tekad dan niat busuk. Dalam diam, ia menggenggam erat sebuah permata hitam, artefak kuno yang selama ini tersembunyi dari pandangan Drakonis. Raja Naga duduk di singgasananya, tubuhnya yang megah berbalut sisik emas yang berkilauan di bawah cahaya lilin. Matanya yang besar dan berwarna kuning memandang lurus ke depan, menatap langit-langit yang tinggi di atasnya, seolah bisa merasakan ada sesuatu yang salah. Namun, sebelum ia dapat bereaksi, pintu besar di ruangan itu terbuka dengan suara bergemuruh. Arkanis melangkah masuk dengan langkah pasti. "Arkanis," suara Raja Naga terdengar dalam dan menggetarkan dinding-dinding kastil, "Apa yang terjadi? Mengapa kau datang dengan terburu-buru di tengah malam begini?" Arkanis berhenti beberapa langkah dari singgasana, menyembunyikan permata hitam di balik jubahnya. Wajahnya tetap tenang, tetapi di balik ketenangan itu ada kemarahan dan dendam yang telah lama tumbuh. "Yang Mulia," kata Arkanis dengan suara rendah, "Aku datang dengan berita yang tak mengenakkan. Dunia manusia mulai bergolak. Kerajaan di utara mulai menentang kedamaian yang kita bangun. Mereka merencanakan pemberontakan, dan aku khawatir kita harus bertindak sebelum mereka menghancurkan segalanya." Drakonis menatap Arkanis dengan pandangan tajam. Dia sudah terlalu lama hidup untuk tidak bisa mencium pengkhianatan, namun dia masih meragukan bahwa Arkanis, prajurit yang paling dia percayai, akan menjadi musuhnya. "Aku lebih tahu apa yang terjadi di dunia manusia daripada denganmu, Arkanis," jawab Drakonis, matanya kini penuh dengan kewaspadaan. "Kita tidak akan bertindak gegabah. Perseteruan kecil antar umat manusia bukan sesuatu hal yang dapat kita campuri seenaknya, selama dunia ini tetap dalam keseimbangan, dan tidak merugikan kita maka biarkan saja." Arkanis memandang Raja Naga dengan tatapan dingin. Di hatinya, kedamaian yang diinginkan Drakonis hanyalah kelemahan. Sebuah dunia di mana manusia harus terus-menerus tunduk kepada naga, tidak pernah bisa berkembang menjadi lebih kuat. Ia tidak bisa menerima itu. Kekuasaan seharusnya berada di tangan mereka yang tahu bagaimana menggunakannya, bukan mereka yang hanya ingin mempertahankan status quo. "Tapi Yang Mulia," katanya dengan suara lebih mendesak, "Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan kesempatan. Kedamaian yang kau pertahankan tidak akan berarti apa-apa jika umat manusia semakin mengganas seiring waktu." Drakonis menggelengkan kepalanya, sisik emasnya berkilau dalam cahaya. "Kita tidak akan kalah, Arkanis. Aku memiliki kekuatan untuk melindungi dunia ini, dan aku akan melakukannya dengan kebijaksanaan, bukan dengan kekerasan." Arkanis tahu bahwa inilah saatnya. Tidak ada jalan kembali. Ia mengangkat tangannya, menunjukkan permata hitam yang kini bersinar dengan kekuatan jahat yang mencekam. Mata Drakonis membelalak, menyadari bahaya yang mengancam, tetapi sebelum dia bisa bergerak, Arkanis telah merapal mantra gelap yang telah ia pelajari dari sudut-sudut dunia yang terlarang. "Cukup sudah," teriak Arkanis, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Hari ini, kau akan jatuh, Drakonis! Dengan kekuatan ini, aku akan mengambil alih dunia ini dan membawa manusia ke puncak kekuasaan!" Drakonis mengerang marah, tubuhnya mulai bertransformasi menjadi sosok naga raksasa yang mengerikan, sayapnya membentang hingga hampir menyentuh dinding kastil. Tetapi mantra Arkanis bekerja cepat, memerangkap Raja Naga dalam lingkaran sihir gelap yang memancarkan cahaya ungu suram. Drakonis mencoba melawan, memanggil kekuatan Drakonik dalam dirinya, tetapi kekuatan gelap yang dimiliki Arkanis terlalu kuat. “!!!” “Pengkhianat!” Suara Drakonis menggelegar di udara, menggetarkan dinding-dinding kastil hingga retak. "Aku ternyata salah mempercayaimu!" "Aku tidak butuh kepercayaanmu lagi, naga tua," balas Arkanis dingin. "Dengan ini, kekuatanmu akan menjadi milikku!" Tubuh Drakonis mulai melemah. Mantra hitam perlahan menghisap energinya, menyegel kekuatan naga itu ke dalam permata hitam yang digenggam Arkanis. Sebagai pertahanan terakhir, Drakonis melemparkan kutukan ke langit, memanggil hujan petir yang menghantam bumi dengan kemarahan yang tak terbendung. Namun, itu tidak cukup. Dalam hitungan detik, tubuh besar Drakonis terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah. Kilau sisiknya meredup, dan matanya yang kuning kini memudar. Kekuatan yang selama ini menjaga keseimbangan dunia perlahan menghilang, menyisakan tubuh naga besar yang tak bernyawa di hadapan Arkanis. Dengan senyum penuh kemenangan, Arkanis melangkah maju, memandangi tubuh raksasa naga yang dulu merupakan rajanya. "Sekarang, dunia ini akan tunduk padaku," gumamnya dengan penuh kepuasan. "Dan tidak ada lagi yang bisa menghalangiku." Tapi di kejauhan, di balik reruntuhan kastil, sebuah kekuatan tersembunyi mulai bergerak. Kekuatan terakhir dari Drakonis mulai bekerja, melesat ke cakra wala dan menembus ruang-waktu tak terbatas, kejadian kecil yang tidak diketahui oleh siapa pun. Sang Raja Naga mungkin telah jatuh, tapi warisannya belum berakhir. Langit malam itu, yang tadinya begitu damai, kini berubah menjadi panggung bagi kemarahan alam. Hujan deras turun, angin berhembus liar, dan petir terus menyambar seolah meratapi kejatuhan Drakonis. Demikian Raja Naga yang pernah menguasai dunia hanya menjadi sebuah legenda ribuan tahun kemudian.Malam yang terasa panjang penuh darah dan kehancuran akhirnya berakhir. Pertarungan besar antara cahaya dan kegelapan mencapai puncaknya dengan kemenangan mutlak Darrel dan pasukan dari pihaknya. Ketika fajar pertama mulai menyingsing di ufuk timur, sinarnya menerangi medan perang yang sunyi, menyisakan jejak kehancuran. Bangkai monster raksasa tergeletak di atas tanah yang retak, bersama dengan mayat-mayat undead yang sebelumnya dikendalikan para penyihir kegelapan. Kini, semua ancaman itu telah musnah tanpa sisa. Darrel berdiri di tengah medan perang, tubuhnya yang masih diselimuti aura keemasan perlahan memudar. Wujudnya kembali seperti semula, seorang pemuda dengan tekad baja yang telah memenuhi kewajibannya sebagai pewaris Drakonis. Ia memandang sekeliling, melihat para prajurit yang tersisa mulai bergerak untuk mengumpulkan rekan-rekan mereka yang gugur. Duke Davin dan Duke Melwyn mendekati Darrel, keduanya membawa luka pertempuran yang terlihat jelas. Mata mereka penuh ra
Darrel mengangkat tangannya perlahan, memperlihatkan sebuah artefak berbentuk sarung tangan yang bersinar gelap, Abyssal Zephyrion. Cahaya kemerahan dari artefak itu tampak kontras dengan aura keemasan yang mengelilingi tubuhnya."Artefak ini…" gumam Darrel, sambil memandangi sarung tangan itu dengan tatapan penuh keyakinan. "Sudah terlalu lama aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin menggunakannya, kecuali di saat terakhir. Kini waktunya telah tiba."Arkanis menggeram, mencoba menyeret tubuh raksasanya untuk mendekat. "Kau pikir benda itu bisa menghancurkanku?!" Ia meraung, memaksakan dirinya berdiri meski tubuhnya terus kehilangan energi.Namun, Darrel hanya menggeleng. "Waktumu sudah habis," katanya sembari mengulurkan tangannya ke depan.Aura keemasan di sekeliling Darrel semakin terang, menyatu dengan energi dari artefak di tangannya. Pusaran energi besar mulai terbentuk, menarik setiap partikel di sekitarnya ke dalam putaran dahsyat.Arkanis menyadari bahaya itu. "Tidak! Aku tida
Pemuda itu, yang sebelumnya terkapar tak berdaya, kini berdiri dengan teguh. Tubuhnya dilingkupi aura keemasan yang berkilauan, retakan-retakan pada sisiknya telah menyatu sempurna.Matanya bersinar terang, memancarkan kekuatan Drakonis yang sepenuhnya terbangkitkan. Udara di sekelilingnya terasa berat, penuh dengan energi yang mendebarkan.“Arkanis,” suara Darrel terdengar rendah namun jelas, dipenuhi dengan ketegasan. “Aku tidak akan membiarkanmu menginjak-injak kehormatan ras Drakonik lagi. Usaha sia-siamu berakhir di sini.”Arkanis menatap Darrel dengan mata penuh kemarahan dan keterkejutan. “Kau…! Kau seharusnya sudah mati!” raungnya dengan suara serak. “Tidak mungkin kau bisa bangkit setelah seranganku tadi!”Darrel melangkah maju, auranya yang memancar membuat tanah di bawah kakinya retak. “aku harus berterimakasih pada Falkor, berkatnya kekuatan Drakonis dalam diriku bangkit kembali setelah kristal hitam itu hancur.”Sementara itu, Arkanis memandang Darrel dengan tatapan tajam
Langit yang kelam menjadi saksi atas kehancuran yang perlahan-lahan menghampiri Arkanis. Kristal hitam, yang menyimpan usahanya selama ribuan tahun, kini telah hancur berkeping-keping. Energi keemasan menyapu medan perang, menciptakan gelombang yang mengguncang tanah sejauh ribuan mil. Arkanis menoleh dengan mata yang penuh keterkejutan. Mulutnya menganga, tak mampu menyembunyikan ekspresi ngeri. “T-tidak mungkin…! Bagaimana bisa ini terjadi?!” suaranya menggema di antara sisa-sisa kehancuran, penuh kemarahan dan kebingungan. Falkor, naga kecil yang baru saja terpental akibat ledakan energi dari kristal hitam itu, mencoba bangkit dengan tubuh yang gemetar. Sayap kecilnya berkibar penuh getaran, namun matanya tetap terpancang pada sosok Arkanis yang kini dilingkupi aura gelap yang semakin pekat. Falkor menggeram pelan, matanya membara dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. Arkanis, dalam kemarahannya yang membara, membiarkan tubuhnya bergetar hebat. Aura hitam menyel
Di bawah langit yang gelap dan berkabut, Arkanis berdiri tegak dengan tangan terangkat, memegang kristal hitam yang berkilau. Kristal itu memancarkan cahaya samar yang berkilau dalam dua elemen yang saling bertabrakan—sebuah cahaya gelap yang menyatu dengan kilatan keemasan yang berputar di dalam intinya. Aura yang begitu kuat mengelilingi Arkanis, menciptakan suasana menegangkan yang mencekam seluruh medan pertempuran.Tawa puas Arkanis menggema di tengah heningnya mendan perang. Suaranya penuh dengan kemenangan yang sudah terasa di ujung jari. Wajahnya yang dingin kini dipenuhi kebanggaan, dan matanya yang bercahaya dengan kegembiraan yang hampir tak terkendali, mencerminkan keyakinannya bahwa ia akan segera mengakhiri semuanya. Semua usaha dan pengorbanan ribuan tahun lamanya, semuanya menuju satu titik—kekuasaan absolut di tangannya.“Bocah…” gumamnya dengan penuh kebencian, matanya yang tajam menatap Darrel yang terkapar tak berdaya di tanah. Setiap kata yang keluar dari bibi
Baru saja pasukan Duke Melwyn Lionheart tiba di medan perang, mereka disambut oleh kekacauan yang sulit dipercaya. Pasukan monster terus mengamuk, menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Para prajurit Duke Melwyn, yang dikenal sebagai pasukan elit kerajaan, tetap bertahan dan mencoba mengendalikan situasi.Namun, perhatian mereka teralihkan ketika suara ledakan besar menggema di langit. Gelombang kejutnya terasa hingga ke permukaan tanah, membuat banyak prajurit terjatuh. Ketika mereka menoleh ke atas, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang tak masuk akal."Astaga... apa itu?" salah satu prajurit bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan.Di atas langit, kepulan asap hitam mengepul tebal, menutupi pandangan. Namun, di balik asap itu, kilauan keemasan yang samar terlihat seperti bintang yang jatuh ke bumi.“Apa itu…” gumam Duke Melwyn, yang berdiri di atas kudanya. Matanya tajam menatap ke arah cahaya itu.Dari kilauan itu, sosok Darrel terjatuh dengan kecepatan tinggi. Tubuhn