Home / Romansa / Kepemilikan / "Kamu Bisa Meminta Apa pun, Kecuali yang Satu Itu"

Share

"Kamu Bisa Meminta Apa pun, Kecuali yang Satu Itu"

Author: Yiyuan chi
last update Last Updated: 2025-07-10 16:20:21

Lampu kristal berkerlap-kerlip di langit-langit, memantulkan cahaya emas ke meja-meja judi yang dipenuhi chip dan rokok. Musik jazz tua mengalun di latar belakang, berpadu dengan suara dentingan mesin slot dan sorak rendah para penjudi. Di tengah keglamoran kotor itu, suasana terasa berat—karena semua orang di sini membawa senjata, atau membawa dosa yang cukup untuk mengubur hidup mereka sendiri.

Mikhael duduk di meja VIP pojok, jauh dari keramaian. Ia menyandarkan tubuh ke sofa kulit hitam dengan malas sambil tangannya memegang kartu-kartu yang menentukan menang—kalahnya.

Dengan tangan kiri yang masih memiliki perban, Mikhael melempar dua kartu ke tengah meja.

“Flush. Sekop.” ucapnya sedikit bersemangat.

Pria di sebelah kirinya mendecak, melempar kartunya ke meja.

“Bajingan…”

"Aku akan pergi dan kembali lagi ketika pertarungan minggu depan," Mikahel berbicara dengan seorang pria di sebelahnya.

"Kamu membelinya? apa yang terjadi tiba-tiba?"

"Tidak ada, hanya bosan."

"Atau mulai ingin punya kucing yang menyambutmu pulang?" canda pria itu sambil tertawa.

Mikhael mengangguk. "Itu juga bukan ide buruk."

Pria di sampingnya tampak mengerti sesuatu, dia sedikit tersenyum. "Kau sadar, kan? Dunia ini tidak memberi belas kasihan pada orang sepertimu. Apapun yang kau sayangi, akan jadi titik lemah. Dan titik lemah akan jadi target."

Mikhael menutup mata sebentar. Tempat seperti ini… penuh suara tawa palsu, asap rokok, dan cahaya mencolok sudah tak memberinya sensasi apapun.

Bir ditangannya masih tersisa setengah, tetapi Mikhael tidak berniat untuk lebih lama menghabiskan waktunya di sini. Setelah kemenangan singkatnya di meja kartu, dia segera berdiri. Pergi sambil melambaikan tangan ke temannnya sebagai tanda perpisahan.

Mikhael berjalan ke lorong tirai beludru tebal.

Melewati orang-orang dari segala usia—semuanya terjebak dalam momen intim masing‑masing.

Kasino ini terhubung dengan rumah bordil melalui lorong-lorong tersembunyi, membentuk labirin larut malam yang memadukan judi dan bisnis gelap. Di ruang-ruang privat yang disewakan, para pelacur dari distrik lampu merah dipanggil untuk menemani minum atau berjudi.

Langkahnya berhenti di depan pintu bernomor 3—angka logam kusam yang berkedip samar dari cahaya lampu. Tangannya sibuk merogoh saku dalam celananya, mengeluarkan kartu akses ruangan. Dengan perlahan, ia menempelkan kartu ke pemindai di sebelah gagang pintu. Suara 'bip' lembut mengakhiri keheningan lorong—pintu terbuka.

Menampilkan seorang gadis yang duduk diam di atas kasur. Gadis itu memeluk lututnya sendiri, dagunya menempel di atas tempurung kakinya, seolah ingin menyusut, lenyap dari pandangan siapa pun.

Rambutnya menjuntai ke depan, menutupi sebagain wajahnya. Menyembunyikan ekspresi yang Mikhael ingin tahu seperti apa bentuknya. Mikhael berjalan mendekat perlahan, bayangan besar yang mengikuti tubuhnya makin menambah aura intimidasi yang kuat.

Langkah Mikhael masuk membuat lantai berderak pelan. Tubuh tingginya yang nyaris dua meter—membuatnya tampak seperti bayangan besar yang memenuhi ruang, menghimpit udara. Setiap langkahnya menambah berat suasana. Gadis itu tidak bergerak, tapi bahunya sedikit bergetar, pertanda ia sadar akan kehadirannya.

Mikhael berlutut, tangannya melingkari tubuh gadis itu, seolah membuat benteng untuknya.

"Apa lagi yang kamu tangisi?" suara beratnya berusaha serendah dan selembut yang ia mampu.

Tapi tetap saja ada gurat frustrasi tipis di sana—bukan pada gadis itu, melainkan pada dirinya sendiri yang tak tahu bagaimana cara menenangkan seseorang tanpa menggunakan tinju.

Dia lebih suka bertarung di arena daripada membujuk perempuan yang menangis. Dia bersumpah.

"Kamu.. bisakah kamu membiarkanku pulang?" suara gadis itu ia keluarkan dengan ragu-ragu. Takut kalimatnya membangkiktkan amarah pria di depannya.

Mikhael mengambil beberapa helai rambut yang lengket oleh air mata dan keringat di wajah gadis itu. Dengan gerakan tenang dan lembut, ia menyelipkan helaian rambut itu ke belakang telinganya. Ia bahkan tampak seratus kali lebih cantik ketika menangis, bagaimana bisa dia meminta untuk dilepaskan?.

Ann menatap pria di hadapannya—dan untuk pertama kalinya, benar-benar memperhatikan wajahnya. Alisnya seperti digambar dengan kuas tajam; tebal dan melengkung sempurna, kini tampak sedikit berkerut, menandakan ketidaksenangan.

Hidungnya tinggi dan mancung, rahangnya kokoh dengan garis yang tegas, seperti pahatan marmer yang dingin dan tak tergoyahkan. Jika dia tidak melihatnya saat bertarung di arena, mungkin Ann akan jatuh cinta dengan wajahnya, tapi sekarang hanya ada ketakutan yang mengalir dalam tubuhnya.

"Kamu bisa meminta apapun kecuali yang satu itu." Nada suaranya tidak membuka ruang untuk negosiasi.

Dia melanjutkan "Aku lebih suka jika kamu meminta perhiasan berlian langka yang sulit ditemukan sekalipun."

"Itu bahkan lebih mudah untukku," lanjutnya.

Ann mengangkat wajahnya perlahan.

"Tapi...," Ann menunjukkan wajah yang penuh dengan kesedihan, hidungnya memerah dan matanya tampak berkaca-kaca—hendak menangis. Tetapi semuanya tampak sia-sia, itu tak akan menggerakkan ketangguhan pria di hadapannya.

Dia menundukkan kepalanya ke bawah, berhenti menatap mata dingin pria itu.

Di leher Mikhael tergantung sebuah kalung dengan liontin batu hitam kecil. Tali hitamnya terbuat dari kain kasar yang dikepang rapi. Kalung itu terlihat sederhana, tapi batu hitamnya memantulkan kilau samar di bawah cahaya lampu, menarik perhatian Ann yang sedang menunduk.

Tanpa aba-aba, Mikhael naik ke atas kasur, meluruskan tubunya untuk tidur. Lengannya menarik tubuh gadis itu mendekat dan memeluknya erat . Tubuhnya mengisi sebagian besar kasur, sementara Ann hanya membutuhkan sedikit tempat kecil untuk tubuh mungilnya. Ia meraih selimut tebal yang tersedia di ujung tempat tidur, lalu menyelimutkannya ketubuh mereka berdua.

Sambil memperbaiki postur tubuhnya, Mikhael juga mendaratkan sebuah ciuman di rambut Ann. Sedikit membuat pipi gadis itu memerah dan malu. Syukurnya itu semua tersembunyi karena ia menyembunyikan kepalanya di dada Mikhael . Seperti kelinci yang menggali lubang untuk meminta tempat perlindungan.

"Ini..," Ann bergerak menggeliat tidak nyaman. Tubuhnya sedikit merinding dengan kedekatan fisik yang tiba-tiba. Dia bahkan tidak pernah berkencan seumur hidupnya dan fokus pada akademiknya.

Bagaimana bisa dia membiarkan perlakuan intim seperti itu?.

Jika neneknya tahu, mungkin ia akan menangis dan merasa telah gagal membesarkannya. Sungguh dia semakin merindukan rumahnya.

"Tidur!" Suara pria itu terdengar kasar seolah ia sedang marah dan menahan kesabarannya yang sudah di ujung tanduk.

Ann mengecilkan tubuhnya dalam pelukan Mikhael. Ia terdiam untuk beberapa waktu dengan mata yang masih enggan untuk terpejam. Dia menatap lengan yang mengelilingi tubuhnya. Pelukan erat yang membuatnya sedikit sesak, seperti pagar kokoh yang tak membiarkannya menjauh, bahkan setengah jengkal pun. Suhu tubuh pria itu terlalu panas, tetapi ia tidak berani bergerak untuk menggesernya.

Segala hal tentang lelaki ini membuatnya bingung. Serta perasaan akrab yang tak dapat dijelaskan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kepemilikan   "Apakah kamu tidak mengenaliku?"

    Setelah makan, Ann dengan sigap membantu Mikhael membereskan piring-piring di meja. Mungkin karena ia terbiasa mengurus rumah, gerakannya lincah dan teratur ketimbang gerakan Mikhael yang tampak canggung.“Tidak perlu buru-buru. Sisanya serahkan padaku. Duduk saja di sana.” Mikhael memberi perintah dengan menunjuk sebuah sofa yang tak jauh dari tempat mereka makan."Tidak apa-apa, kamu berjanji akan meminjamkanku telepon, jadi ini tidak masalah," Ann tersenyum sedikit gembira, tanpa tahu wajah Mikhael yang sudah berubah gelap di sampingnya.Gadis ini… selalu saja menemukan cara untuk mengucapkan kalimat yang membuatnya jengkel. Walaupun Mikhael tahu dia sendiri yang menjanjikannya, tetapi mengucapkan selalu lebih mudah daripada menepatinya. Dan dia sama sekali tidak berniat meminjamkan telepon sialan yang diharap-harapkan gadis itu.“Kamu benar-benar tak sabar menelepon polisi agar mereka segera menjemputmu, ya?" Kata-katanya sarat akan sarkasme. Dingin. Menyesakkan.Mikhael menyandar

  • Kepemilikan   "Pernikahan?"

    Ann terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, seperti baru saja menyeberangi mimpi buruk yang terlalu panjang. Ia menggeliat pelan, dan baru sadar bahwa dirinya kini tidak lagi berada di dalam mobil.Tubuhnya didekap erat dan ditutupi oleh jaket hitam yang hangat. "Sudah bangun?"Suara berat Mikhael membawanya kembali ke kenyataan. Mikahel menggendong Ann, mereka menaiki tangga yang cukup panjang. Menuju bagian atas rumah yang tersembunyi ini.Mereka masuk ke kamar dengan pintu besi tebal, seperti sel penjara. Dindingnya dipenuhi senjata—senapan, pistol, peluru. Semua yang selama ini Ann hanya lihat di film.Mikhael meletakkannya di kasur sebelah kanan, lembut tapi berdebu, kasur lembut yang sedikit berdebu karena sudah lama pemiliknya tidak kembali ke sini setelah melakukan pertandingan di area bawah tanah."Ada banyak orang yang ingin membunuhku."Dia melanjutkan "kau tahu? harga kepalaku sangat mahal, kau bisa mencoba membunuhku lalu menjualnya, maka kau bisa mendapatkan b

  • Kepemilikan   Meninggalkan Distrik Lampu Merah

    Kendaraan Jeep itu melaju cepat di jalanan yang mana aktivitas ilegal bukan lagi rahasia, melainkan rutinitas harian. Mereka melaju menembus malam, Deretan bangunan tua, lampu neon kelap-kelip, dan suara bising pasar gelap menjadi latar yang perlahan tertinggal di belakang, tergilas kecepatan."Menunduk!" Mikhael dengan cepat membanting stirnya ke kanan, gang sempit yang setidaknya cukup untuk mobil jeep ini meneruskan pelarian dari kejaran. Suara tembakan terdengar dari belakang, semakin dekat dengan mereka seiring mobil melaju.Tembakan-tembakan itu terus meyebabkan dentuman logam menghantam bodi mobil— juga dinding-dinding yang tak bersalah.Dia menerobos taman, memaksa pejalan kaki melompat menghindar. Orang-orang berteriak, berlarian, dan beberapa jatuh terguling. Terutama para pemabuk yang baru menginjakkan kaki keluar dari kasino, Mikhael hanya bisa menyalahkan atas ketidakberuntungan mereka sendiri. Gas dipacu untuk berlari lebih laju, Mikhael mencengkeram setir seperti itu s

  • Kepemilikan   "Kamu Bisa Meminta Apa pun, Kecuali yang Satu Itu"

    Lampu kristal berkerlap-kerlip di langit-langit, memantulkan cahaya emas ke meja-meja judi yang dipenuhi chip dan rokok. Musik jazz tua mengalun di latar belakang, berpadu dengan suara dentingan mesin slot dan sorak rendah para penjudi. Di tengah keglamoran kotor itu, suasana terasa berat—karena semua orang di sini membawa senjata, atau membawa dosa yang cukup untuk mengubur hidup mereka sendiri.Mikhael duduk di meja VIP pojok, jauh dari keramaian. Ia menyandarkan tubuh ke sofa kulit hitam dengan malas sambil tangannya memegang kartu-kartu yang menentukan menang—kalahnya.Dengan tangan kiri yang masih memiliki perban, Mikhael melempar dua kartu ke tengah meja.“Flush. Sekop.” ucapnya sedikit bersemangat.Pria di sebelah kirinya mendecak, melempar kartunya ke meja.“Bajingan…”"Aku akan pergi dan kembali lagi ketika pertarungan minggu depan," Mikahel berbicara dengan seorang pria di sebelahnya."Kamu membelinya? apa yang terjadi tiba-tiba?""Tidak ada, hanya bosan.""Atau mulai ingin

  • Kepemilikan   Kepemilikan

    Pichai dan orang-orangnya segera pergi setelah menerima gulungan uang yang hampir memenuhi tas hitam mereka. Langkah kaki mereka mulai meninggalkan ruang gelap ini bersama dengan gadis yang tersisa seorang diri. Menghilang di balik pintu besi yang menutup dengan dentuman berat. Ann mengkhawatirkan gadis itu, tanpa ia tahu bagaimana nasib dirinya sendiri. Mikhael masih berdiri tegak, bayangannya membungkus tubuh Ann yang sedang gemetar. Pria di depannya terlihat agung dan kasar, tingginya menjulang seperti tiang, dan Ann tidak lebih dari dadanya, bahkan sedikit kurang. Ia mengangkat dagu gadis itu dengan sentuhan dari balik tangannya yang kasar, kontras dengan kulit lembut gadis di depannya. “Lihat aku,” ucapnya—suara itu rendah, serak, dan berat. Ada rasa lelah diujungnya yang masih dapat dirasakan. Ann ragu. Matanya masih dipenuhi sisa air mata, kelopak matanya gemetar seperti daun di ujung angin Wajah pria di depannya tampak buram. Ann menyeka air matanya dengan cepat, hingga

  • Kepemilikan   Transaksi

    Ann dan dua wanita lain didorong masuk ke sebuah ruangan yang tampak terpencil dari arena pertarungan. Dindingnya berlapis besi dengan pintu tebal yang berderit saat dibuka, mirip seperti penjara.Aroma tembakau mahal, alkohol tua, dan keringat bercampur menjadi satu.Ruangan itu cukup luas, Lampu kuning tua menggantung di langit-langit, berayun pelan seolah kelelahan, memancarkan cahaya redup yang hidup segan, mati pun enggan. Berusaha menerangi orang-orang di bawahnya yang sedang bermain kartu dengan santai. Asap cerutu yang menari-nari menutupi wajah sang pemenang hari ini, Mikhael. Dirinya bertelanjang dada, masih ada darah lawannya yang membuat dirinya tampak lebih berbahaya. Ada satu tas hitam besar di sampingnya, terbuka lebar tepat di samping kaki Mikhael, tergeletak begitu saja di lantai semen yang dingin, seolah isinya bukan sesuatu yang perlu dilindungi.Tumpukan uang dolar mengisi isi tas hingga penuh, diikat rapi dalam bundelan-bundelan tebal—beberapa masih segar, kertas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status