Setelah makan, Ann dengan sigap membantu Mikhael membereskan piring-piring di meja. Mungkin karena ia terbiasa mengurus rumah, gerakannya lincah dan teratur ketimbang gerakan Mikhael yang tampak canggung.
“Tidak perlu buru-buru. Sisanya serahkan padaku. Duduk saja di sana.” Mikhael memberi perintah dengan menunjuk sebuah sofa yang tak jauh dari tempat mereka makan. "Tidak apa-apa, kamu berjanji akan meminjamkanku telepon, jadi ini tidak masalah," Ann tersenyum sedikit gembira, tanpa tahu wajah Mikhael yang sudah berubah gelap di sampingnya. Gadis ini… selalu saja menemukan cara untuk mengucapkan kalimat yang membuatnya jengkel. Walaupun Mikhael tahu dia sendiri yang menjanjikannya, tetapi mengucapkan selalu lebih mudah daripada menepatinya. Dan dia sama sekali tidak berniat meminjamkan telepon sialan yang diharap-harapkan gadis itu. “Kamu benar-benar tak sabar menelepon polisi agar mereka segera menjemputmu, ya?" Kata-katanya sarat akan sarkasme. Dingin. Menyesakkan. Mikhael menyandarkan tubung jangkungnya di lemari belakang, kedua tangannya dilipat di dada. Kombinasi wajah dan tubuhnya membuat aura mengintimidasinya sangat kuat . Ann, yang masih berdiri di depan wastafel, bisa merasakannya menusuk punggung. Ya, tidak ada hari yang akan benar-benar aman jika ia terus berada di dekat pria ini. "Apa maksudmu? aku hanya akan menelepon nenek, kamu bahkan bisa mengawasinya di samping ku. Lagipula lebih baik kamu segera memulangkan aku, jika ketahuan, kamu tidak hanya dipenjara, tapi juga akan dikenai denda, kemudian namamu akan buruk karena memiliki catatan kriminal," Ann segera menjelaskan panjang lebar, Ia berusaha masuk akal, walau kata-katanya diselimuti rasa takut. Mikhael menyipitkan matanya. Ketika gadis yang sedang ketakutan di sampingnya sedang mengoceh panjang lebar tentang perbuatan 'kriminalnya'. Itu lucu bagaimana gadis itu menggarisbawahi kata 'kriminal' pada seorang petinju bawah tanah ilegal di kawasan distrik lampu merah. Apakah ia sedang bicara soal moral di hadapannya?. Ia ingin menghapus kepolosan itu. Ia hanya ingin segera menodai kepolosannya dan membawanya masuk ke dunia yang sebenarnya. Membuat Ann berhenti percaya bahwa logika dan hukum bisa menyelamatkannya di tempat seperti ini. Mikhael memeluk pinggang kecil Ann. Pinggang ramping yang bisa ia lingkari dengan tangannya. Tubuh mereka sangat dekat, tidak berjarak bahkan satu inci pun. Ann memalingkan wajahnya, menghindari nafas Mikhael yang membuatnya panas. Dia tidak pernah memiliki kedekatan seperti ini dengan lawan jenis, dan dia tidak pernah menyukainya. Apalagi dengan orang asing yang baru saja merenggut kebebasannya, rasa ingin melarikan diri semakin mengakar kuat dalam dirinya. "Mulai sekarang, tempatmu adalah aku. Aku adalah rumahmu, kamu tidak akan pernah pergi." Sebuah kalimat seperti bisikan yang merayap langsung ke dalam tulang. Dingin. Tuhan tahu betapa dia membenci laki-laki ini sekarang. Tuhan juga tahu... betapa kalimat itu menakutinya. Ann berusaha sedikit memberontak. Tangannya mendorong dada Mikhael, berusaha menciptakan jarak diantara tubuh mereka sekaligus melepaskan pingganya dari tangan kuat pria itu. Tetapi usahanya sia-sia. Bagaimana bisa kekuatan lembut seorang gadis seperti dirinya menandingi seorang petarung bawah tanah—pria yang hidup dari pertempuran, dari kekerasan, dari dunia gelap yang bahkan tidak ingin ia lihat? Genggaman pria itu tidak goyah sedikit pun, malah semakin erat pada tubuhnya. “Kalau kamu ingin melakukan hal-hal seperti ini... kenapa tidak menyewa seseorang saja? Seseorang yang memang menjual dirinya untuk disentuh. Aku bukan mereka,” suaranya bergetar, namun tetap tajam. “Tahukah kamu... aku semakin membencimu setiap hari? Aku mencoba bernegosiasi, aku menawarkan jalan keluar, tapi kamu menginjak semuanya.” Ann berusaha mengangkat kepalanya. Matanya berusaha mencari celah diantara mata dingin Mikhael yang menusuk. Dia sangat tidak menyukai mata yang tidak pernah bersahabat itu. Tidak akan pernah. Ann menahan napas, suaranya pecah pelan. “Kamu tidak hanya mengurungku... kamu sedang menghancurkanku.” Ann kembali menatap mata Mikhael dengan wajah yang sedih. Bahkan jika dia tidak bisa meluluhkan pria di depannya, dia ingin pria itu tahu bahwa dia sedang tidak bahagia. Terutama dibawah kekuasaannya. Mikhael mengalihkan pandangannya, mengerutkan bibir tipisnya menjadi garis dingin dan tegas, lalu mulai berbicara dengan suara yang berat. "Apakah kamu benar-benar tidak mengingatku? di panti asuhan yang sering kamu datangi, bukankah kamu berteman dengan salah satu anak laki-laki disana?" Ann mengerutkan kening, bingung. Sorot matanya menyimpan keraguan, bahkan sedikit ketakutan. Dia sama sekali tidak pernah memahami Mikhael, tetapi kali ini dia lebih mempertanyakan kejiwaan pria itu yang tampak sedang bernostalgia dengannya. Seperti seseorang yang sudah jauh mengenalnya lebih dulu. “Kamu berhenti datang. Lalu suatu hari, kamu menghilang begitu saja.” Mikhael melanjutkan pelan. “Apa kamu tahu… betapa berartinya bisa melihatmu lagi hari itu?” Mikhael megeluarkan kata demi kata yang sama sekali tidak dimengerti Ann. Genggaman di pinggangnya mengendur. Ann melangkah mundur setengah langkah. Matanya mulai berkaca-kaca, bingung dengan perasaan apa yang mulai memenuhi dadanya—takut, bingung, atau rasa bersalah atas sesuatu yang bahkan tidak dia ingat. " Ka-kamu salah mengenali orang! kita tidak pernah bertemu dan aku sama sekali tidak mengenalimu!" Mikhael menyipitkan kedua matanya. Raut wajahnya seolah menunjukkan ketidaksabaran terhadap gadis di depannya. "Salah? Aku tidak pernah salah mengenali orang. Wajahmu tidak pernah berubah, dan kalung yang ada di lehermu juga aku mengingatnya dengan jelas." "Karena aku yang memberikannya kepadamu," lanjutnya. Mata mereka bertemu. Yang satu memiliki mata yang penuh dengan kerinduan masa lalu sedangkan yang lainnya hanya menunjukkan sorot mata kebingungan. Mereka terjebak dalam perasaan yang tidak berjalan seiring. "Aku pindah setelah orang tuaku meninggal," ucap Ann dengan suara lirih, menggigit ujung bibirnya karena gugup. "Aku... aku tidak mengingat hal-hal yang terjadi sebelum aku pindah." Gadis itu berharap bahwa perkataannya bisa sedikit memberi penghiburan kepada Mikhael yang masih mencoba membuatnya untuk mengingat masa lalu. "Kamu kehilangan ingatan." Mikhael menghela napas dalam, lalu mengalihkan pandangan sejenak. Suaranya menjadi lebih lembut, nyaris seperti gumaman. "kamu menghilang, begitu juga dengan ingatanmu," lanjutnya, bibirnya sedikit tersenyum putus asa dan itu membuat Ann ikut merasa sedih tanpa dia bisa menjelaskannya. ...Setelah makan, Ann dengan sigap membantu Mikhael membereskan piring-piring di meja. Mungkin karena ia terbiasa mengurus rumah, gerakannya lincah dan teratur ketimbang gerakan Mikhael yang tampak canggung.“Tidak perlu buru-buru. Sisanya serahkan padaku. Duduk saja di sana.” Mikhael memberi perintah dengan menunjuk sebuah sofa yang tak jauh dari tempat mereka makan."Tidak apa-apa, kamu berjanji akan meminjamkanku telepon, jadi ini tidak masalah," Ann tersenyum sedikit gembira, tanpa tahu wajah Mikhael yang sudah berubah gelap di sampingnya.Gadis ini… selalu saja menemukan cara untuk mengucapkan kalimat yang membuatnya jengkel. Walaupun Mikhael tahu dia sendiri yang menjanjikannya, tetapi mengucapkan selalu lebih mudah daripada menepatinya. Dan dia sama sekali tidak berniat meminjamkan telepon sialan yang diharap-harapkan gadis itu.“Kamu benar-benar tak sabar menelepon polisi agar mereka segera menjemputmu, ya?" Kata-katanya sarat akan sarkasme. Dingin. Menyesakkan.Mikhael menyandar
Ann terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, seperti baru saja menyeberangi mimpi buruk yang terlalu panjang. Ia menggeliat pelan, dan baru sadar bahwa dirinya kini tidak lagi berada di dalam mobil.Tubuhnya didekap erat dan ditutupi oleh jaket hitam yang hangat. "Sudah bangun?"Suara berat Mikhael membawanya kembali ke kenyataan. Mikahel menggendong Ann, mereka menaiki tangga yang cukup panjang. Menuju bagian atas rumah yang tersembunyi ini.Mereka masuk ke kamar dengan pintu besi tebal, seperti sel penjara. Dindingnya dipenuhi senjata—senapan, pistol, peluru. Semua yang selama ini Ann hanya lihat di film.Mikhael meletakkannya di kasur sebelah kanan, lembut tapi berdebu, kasur lembut yang sedikit berdebu karena sudah lama pemiliknya tidak kembali ke sini setelah melakukan pertandingan di area bawah tanah."Ada banyak orang yang ingin membunuhku."Dia melanjutkan "kau tahu? harga kepalaku sangat mahal, kau bisa mencoba membunuhku lalu menjualnya, maka kau bisa mendapatkan b
Kendaraan Jeep itu melaju cepat di jalanan yang mana aktivitas ilegal bukan lagi rahasia, melainkan rutinitas harian. Mereka melaju menembus malam, Deretan bangunan tua, lampu neon kelap-kelip, dan suara bising pasar gelap menjadi latar yang perlahan tertinggal di belakang, tergilas kecepatan."Menunduk!" Mikhael dengan cepat membanting stirnya ke kanan, gang sempit yang setidaknya cukup untuk mobil jeep ini meneruskan pelarian dari kejaran. Suara tembakan terdengar dari belakang, semakin dekat dengan mereka seiring mobil melaju.Tembakan-tembakan itu terus meyebabkan dentuman logam menghantam bodi mobil— juga dinding-dinding yang tak bersalah.Dia menerobos taman, memaksa pejalan kaki melompat menghindar. Orang-orang berteriak, berlarian, dan beberapa jatuh terguling. Terutama para pemabuk yang baru menginjakkan kaki keluar dari kasino, Mikhael hanya bisa menyalahkan atas ketidakberuntungan mereka sendiri. Gas dipacu untuk berlari lebih laju, Mikhael mencengkeram setir seperti itu s
Lampu kristal berkerlap-kerlip di langit-langit, memantulkan cahaya emas ke meja-meja judi yang dipenuhi chip dan rokok. Musik jazz tua mengalun di latar belakang, berpadu dengan suara dentingan mesin slot dan sorak rendah para penjudi. Di tengah keglamoran kotor itu, suasana terasa berat—karena semua orang di sini membawa senjata, atau membawa dosa yang cukup untuk mengubur hidup mereka sendiri.Mikhael duduk di meja VIP pojok, jauh dari keramaian. Ia menyandarkan tubuh ke sofa kulit hitam dengan malas sambil tangannya memegang kartu-kartu yang menentukan menang—kalahnya.Dengan tangan kiri yang masih memiliki perban, Mikhael melempar dua kartu ke tengah meja.“Flush. Sekop.” ucapnya sedikit bersemangat.Pria di sebelah kirinya mendecak, melempar kartunya ke meja.“Bajingan…”"Aku akan pergi dan kembali lagi ketika pertarungan minggu depan," Mikahel berbicara dengan seorang pria di sebelahnya."Kamu membelinya? apa yang terjadi tiba-tiba?""Tidak ada, hanya bosan.""Atau mulai ingin
Pichai dan orang-orangnya segera pergi setelah menerima gulungan uang yang hampir memenuhi tas hitam mereka. Langkah kaki mereka mulai meninggalkan ruang gelap ini bersama dengan gadis yang tersisa seorang diri. Menghilang di balik pintu besi yang menutup dengan dentuman berat. Ann mengkhawatirkan gadis itu, tanpa ia tahu bagaimana nasib dirinya sendiri. Mikhael masih berdiri tegak, bayangannya membungkus tubuh Ann yang sedang gemetar. Pria di depannya terlihat agung dan kasar, tingginya menjulang seperti tiang, dan Ann tidak lebih dari dadanya, bahkan sedikit kurang. Ia mengangkat dagu gadis itu dengan sentuhan dari balik tangannya yang kasar, kontras dengan kulit lembut gadis di depannya. “Lihat aku,” ucapnya—suara itu rendah, serak, dan berat. Ada rasa lelah diujungnya yang masih dapat dirasakan. Ann ragu. Matanya masih dipenuhi sisa air mata, kelopak matanya gemetar seperti daun di ujung angin Wajah pria di depannya tampak buram. Ann menyeka air matanya dengan cepat, hingga
Ann dan dua wanita lain didorong masuk ke sebuah ruangan yang tampak terpencil dari arena pertarungan. Dindingnya berlapis besi dengan pintu tebal yang berderit saat dibuka, mirip seperti penjara.Aroma tembakau mahal, alkohol tua, dan keringat bercampur menjadi satu.Ruangan itu cukup luas, Lampu kuning tua menggantung di langit-langit, berayun pelan seolah kelelahan, memancarkan cahaya redup yang hidup segan, mati pun enggan. Berusaha menerangi orang-orang di bawahnya yang sedang bermain kartu dengan santai. Asap cerutu yang menari-nari menutupi wajah sang pemenang hari ini, Mikhael. Dirinya bertelanjang dada, masih ada darah lawannya yang membuat dirinya tampak lebih berbahaya. Ada satu tas hitam besar di sampingnya, terbuka lebar tepat di samping kaki Mikhael, tergeletak begitu saja di lantai semen yang dingin, seolah isinya bukan sesuatu yang perlu dilindungi.Tumpukan uang dolar mengisi isi tas hingga penuh, diikat rapi dalam bundelan-bundelan tebal—beberapa masih segar, kertas