Kendaraan Jeep itu melaju cepat di jalanan yang mana aktivitas ilegal bukan lagi rahasia, melainkan rutinitas harian. Mereka melaju menembus malam, Deretan bangunan tua, lampu neon kelap-kelip, dan suara bising pasar gelap menjadi latar yang perlahan tertinggal di belakang, tergilas kecepatan.
"Menunduk!" Mikhael dengan cepat membanting stirnya ke kanan, gang sempit yang setidaknya cukup untuk mobil jeep ini meneruskan pelarian dari kejaran. Suara tembakan terdengar dari belakang, semakin dekat dengan mereka seiring mobil melaju. Tembakan-tembakan itu terus meyebabkan dentuman logam menghantam bodi mobil— juga dinding-dinding yang tak bersalah.Dia menerobos taman, memaksa pejalan kaki melompat menghindar. Orang-orang berteriak, berlarian, dan beberapa jatuh terguling. Terutama para pemabuk yang baru menginjakkan kaki keluar dari kasino, Mikhael hanya bisa menyalahkan atas ketidakberuntungan mereka sendiri.
Gas dipacu untuk berlari lebih laju, Mikhael mencengkeram setir seperti itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap hidup dari pengejaran brutal di belakang. Ranting-ranting mencakar pintu mobil seperti kuku yang menggores serta menabrak pagar kayu yang roboh
Ann menjerit ketakutan, tubuhnya menghantam keras pintu mobil ketika mereka berbelok ke gang kecil. Suara ban yang mencicit dan dentuman dari tumpukan sampah yang terhantam membuat segalanya terasa seperti mimpi buruk yang bergerak terlalu cepat. Dia yang baru pertama kali mengalami situasi seperti ini mau tidak mau kembali menangis dan menggigil ketakutan.Apakah dia akan berakhir seperti ini?
"A-apa yang terjadi? Kenapa mereka menembaki kita? Siapa mereka?" suaranya nyaris tidak terdengar, tenggelam dalam suara mesin dan detak jantungnya sendiri. Mikhael tidak menjawab pertanyaan Ann atau dia tidak mendengar suara kecil yang dibuat wanita itu. Tangannya terus menginjak gas dan melaju, sambil sesekali mengawasi kaca spion yang menampilkan mobil hitam di belakangnya. Dia sedikit tersenyum kesal, kemudian memperhatikan Ann yang masih gemetar ketakutakan dan dengan patuh menunduk. "Ini mobil anti peluru. Tapi tetaplah menunduk." "Mereka tidak akan berhenti sampai berhasil menangkapku." Mikhael tersenyum sinis, tangannya mencengkeram stir dengan kekuatan penuh.Mobil jeep itu terus melaju, dari jalan luas ke jalan sempit, hingga lorong-lorong tersembunyi. Setiap putaran roda membawa mereka lebih jauh dari jantung kota. Mobil itu memilih jalan brutal untuk menghindari kejaran, menabrak pagar kayu sampai roboh, menyusup diantara rimbunnya hutan hingga mobil hitam di belakang mulai goyah. Lampu depannya terpental-pental tak stabil, berusaha meniru lintasan Jeep namun kesulitan menyesuaikan diri dengan medan liar.
Ban melaju lebih dalam ke wilayah yang tak terjamah dan penuh bahaya. Menggilas tanah berlumpur yang mengotori sebagian besar bodi mobil. Tempat di mana sinyal ponsel lenyap dan GPS hanya berputar-putar kebingungan. Pilihan yang hanya bisa dipilih bagi orang-orang yang tidak punya jalan lain.
Mikhael melihat ke arah kaca, kemudian senyum kemenangan mulai menghiasi wajahnya. Mobil yang mengikuti mereka jelas memilih putar balik daripada harus melanjutkan pengejaran gila di medan yang berbahaya ini.
"Mereka tidak akan bisa mengejar lagi." Mikhael menggenggam setir dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam sebatang rokok yang menyala di antara jari-jarinya. Asapnya naik lambat, mengisi ruang sempit mobil dengan aroma tajam dan menyengat. Ann duduk diam di kursi penumpang, tubuhnya meringkuk, mata menerawang ke luar jendela. Dia menutup mulutnya dengan satu tangan, mencoba menahan batuk yang sudah dari tadi berdesakan di tenggorokannya. Namun, semakin dia menahan, semakin matanya berair, dadanya sesak. Akhirnya, batuk kecil itu pecah. “Uhuk... uhuk...” Ia menunduk, menahan suaranya agar tidak terlalu keras, takut mengganggu dan menyinggung pria kasar di sampingnya. Mikhael menghela napas panjang. Perlahan, ia menurunkan kaca jendela sisi pengemudi, lalu menjentikkan rokok dan membuangnya keluar tanpa berkata sepatah kata pun. “Kau bisa tahan ditarik dari kehidupanmu, dijual, diculik… tapi asap rokok membuatmu tidak tahan?” katanya datar, nadanya mengandung sarkasme dingin. Ia melirik ke arah penumpang di sebelahnya—Ann—yang sejak tadi masih menegang, seolah tubuhnya tetap bersiap untuk berlari meski sudah duduk. "Kau bisa tidur, ini akan menjadi perjalanan yang panjang," ucapnya lembut, lebih terdengar seperti permintaan maaf karena telah ikut membawanya ke jurang berbahaya.Ann mengangguk lemah.
Untuk pertama kalinya sejak hari sial itu, tubuhnya terasa berat. Lelah, mental maupun fisik, seolah membanjiri sekaligus. Dia bergerak sedikit mencari postur yang nyaman di mobil yang bergejolak kemudian bersandar ke jendela. Menutup mata kemudian tertidur.
Mikhael masih fokus mengemudi. Tidak ada lagi suara isak tangis yang membuatnya frustasi, hanya nafas kecil yang naik turun terdengar dengan lembut di telinganya. Mikhael menoleh, menatap gadis di sampingnya yang tertidur dengan tenang. Kedua tangannya memeluk erat tubuhnya seolah sedang melindungi diri dari marabahaya walau ia tahu itu tidak berarti apa-apa. Mikhael berhenti sebentar, di tengah-tengah hutan yang gelap dan rimbun. Dia melepas jaket yang dipakainya, meninggalkan kaos hitam yang masih terpasang di tubuhnya. Jaket itu tebal dan berat, cukup untuk melindungi tubuh mungil yang sedang meringkuk kedinginan. "Aku tidak tahu apa yang kulakukan, mengambilmu seperti ini,” gumamnya sendiri, hampir seperti bicara pada malam. "Aku tidak pernah peracaya pada takdir kecuali saat ini, Ann." Lampu depannya seperti sepasang mata iblis, tak pernah lepas menembus ke dalam hutan, melintasi batang pohon tua dan semak liar. Kabut mulai turun pelan, membungkus malam dengan dingin yang mencekam. Lalu dia kembali menginjak pedal gas—perlahan, mobil itu bergerak lagi, menembus hutan dan malam. Meninggalkan perbatasan.Setelah makan, Ann dengan sigap membantu Mikhael membereskan piring-piring di meja. Mungkin karena ia terbiasa mengurus rumah, gerakannya lincah dan teratur ketimbang gerakan Mikhael yang tampak canggung.“Tidak perlu buru-buru. Sisanya serahkan padaku. Duduk saja di sana.” Mikhael memberi perintah dengan menunjuk sebuah sofa yang tak jauh dari tempat mereka makan."Tidak apa-apa, kamu berjanji akan meminjamkanku telepon, jadi ini tidak masalah," Ann tersenyum sedikit gembira, tanpa tahu wajah Mikhael yang sudah berubah gelap di sampingnya.Gadis ini… selalu saja menemukan cara untuk mengucapkan kalimat yang membuatnya jengkel. Walaupun Mikhael tahu dia sendiri yang menjanjikannya, tetapi mengucapkan selalu lebih mudah daripada menepatinya. Dan dia sama sekali tidak berniat meminjamkan telepon sialan yang diharap-harapkan gadis itu.“Kamu benar-benar tak sabar menelepon polisi agar mereka segera menjemputmu, ya?" Kata-katanya sarat akan sarkasme. Dingin. Menyesakkan.Mikhael menyandar
Ann terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, seperti baru saja menyeberangi mimpi buruk yang terlalu panjang. Ia menggeliat pelan, dan baru sadar bahwa dirinya kini tidak lagi berada di dalam mobil.Tubuhnya didekap erat dan ditutupi oleh jaket hitam yang hangat. "Sudah bangun?"Suara berat Mikhael membawanya kembali ke kenyataan. Mikahel menggendong Ann, mereka menaiki tangga yang cukup panjang. Menuju bagian atas rumah yang tersembunyi ini.Mereka masuk ke kamar dengan pintu besi tebal, seperti sel penjara. Dindingnya dipenuhi senjata—senapan, pistol, peluru. Semua yang selama ini Ann hanya lihat di film.Mikhael meletakkannya di kasur sebelah kanan, lembut tapi berdebu, kasur lembut yang sedikit berdebu karena sudah lama pemiliknya tidak kembali ke sini setelah melakukan pertandingan di area bawah tanah."Ada banyak orang yang ingin membunuhku."Dia melanjutkan "kau tahu? harga kepalaku sangat mahal, kau bisa mencoba membunuhku lalu menjualnya, maka kau bisa mendapatkan b
Kendaraan Jeep itu melaju cepat di jalanan yang mana aktivitas ilegal bukan lagi rahasia, melainkan rutinitas harian. Mereka melaju menembus malam, Deretan bangunan tua, lampu neon kelap-kelip, dan suara bising pasar gelap menjadi latar yang perlahan tertinggal di belakang, tergilas kecepatan."Menunduk!" Mikhael dengan cepat membanting stirnya ke kanan, gang sempit yang setidaknya cukup untuk mobil jeep ini meneruskan pelarian dari kejaran. Suara tembakan terdengar dari belakang, semakin dekat dengan mereka seiring mobil melaju.Tembakan-tembakan itu terus meyebabkan dentuman logam menghantam bodi mobil— juga dinding-dinding yang tak bersalah.Dia menerobos taman, memaksa pejalan kaki melompat menghindar. Orang-orang berteriak, berlarian, dan beberapa jatuh terguling. Terutama para pemabuk yang baru menginjakkan kaki keluar dari kasino, Mikhael hanya bisa menyalahkan atas ketidakberuntungan mereka sendiri. Gas dipacu untuk berlari lebih laju, Mikhael mencengkeram setir seperti itu s
Lampu kristal berkerlap-kerlip di langit-langit, memantulkan cahaya emas ke meja-meja judi yang dipenuhi chip dan rokok. Musik jazz tua mengalun di latar belakang, berpadu dengan suara dentingan mesin slot dan sorak rendah para penjudi. Di tengah keglamoran kotor itu, suasana terasa berat—karena semua orang di sini membawa senjata, atau membawa dosa yang cukup untuk mengubur hidup mereka sendiri.Mikhael duduk di meja VIP pojok, jauh dari keramaian. Ia menyandarkan tubuh ke sofa kulit hitam dengan malas sambil tangannya memegang kartu-kartu yang menentukan menang—kalahnya.Dengan tangan kiri yang masih memiliki perban, Mikhael melempar dua kartu ke tengah meja.“Flush. Sekop.” ucapnya sedikit bersemangat.Pria di sebelah kirinya mendecak, melempar kartunya ke meja.“Bajingan…”"Aku akan pergi dan kembali lagi ketika pertarungan minggu depan," Mikahel berbicara dengan seorang pria di sebelahnya."Kamu membelinya? apa yang terjadi tiba-tiba?""Tidak ada, hanya bosan.""Atau mulai ingin
Pichai dan orang-orangnya segera pergi setelah menerima gulungan uang yang hampir memenuhi tas hitam mereka. Langkah kaki mereka mulai meninggalkan ruang gelap ini bersama dengan gadis yang tersisa seorang diri. Menghilang di balik pintu besi yang menutup dengan dentuman berat. Ann mengkhawatirkan gadis itu, tanpa ia tahu bagaimana nasib dirinya sendiri. Mikhael masih berdiri tegak, bayangannya membungkus tubuh Ann yang sedang gemetar. Pria di depannya terlihat agung dan kasar, tingginya menjulang seperti tiang, dan Ann tidak lebih dari dadanya, bahkan sedikit kurang. Ia mengangkat dagu gadis itu dengan sentuhan dari balik tangannya yang kasar, kontras dengan kulit lembut gadis di depannya. “Lihat aku,” ucapnya—suara itu rendah, serak, dan berat. Ada rasa lelah diujungnya yang masih dapat dirasakan. Ann ragu. Matanya masih dipenuhi sisa air mata, kelopak matanya gemetar seperti daun di ujung angin Wajah pria di depannya tampak buram. Ann menyeka air matanya dengan cepat, hingga
Ann dan dua wanita lain didorong masuk ke sebuah ruangan yang tampak terpencil dari arena pertarungan. Dindingnya berlapis besi dengan pintu tebal yang berderit saat dibuka, mirip seperti penjara.Aroma tembakau mahal, alkohol tua, dan keringat bercampur menjadi satu.Ruangan itu cukup luas, Lampu kuning tua menggantung di langit-langit, berayun pelan seolah kelelahan, memancarkan cahaya redup yang hidup segan, mati pun enggan. Berusaha menerangi orang-orang di bawahnya yang sedang bermain kartu dengan santai. Asap cerutu yang menari-nari menutupi wajah sang pemenang hari ini, Mikhael. Dirinya bertelanjang dada, masih ada darah lawannya yang membuat dirinya tampak lebih berbahaya. Ada satu tas hitam besar di sampingnya, terbuka lebar tepat di samping kaki Mikhael, tergeletak begitu saja di lantai semen yang dingin, seolah isinya bukan sesuatu yang perlu dilindungi.Tumpukan uang dolar mengisi isi tas hingga penuh, diikat rapi dalam bundelan-bundelan tebal—beberapa masih segar, kertas