LOGIN"Mas?" Ratih berdiri terpaku di pintu rumah saat melihat Karyo turun dari motor Joko. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas. "Kok ora ngabari yen arep mulih?" (Kok tidak memberi tahu kalau mau pulang?)
Karyo mencoba tersenyum meski terasa kaku. "Piye kabare, Dik?" (Bagaimana kabarnya, Dik?)
"Sehat, Mas. Tapi... ono apa? Kok ndadak?" (Sehat, Mas. Tapi... ada apa? Kok mendadak?)
Sebelum Karyo sempat menjawab, Dani menyadari kehadiran ayahnya dan berlari dengan penuh semangat.
"Bapaaak!" teriak Dani, melompat ke pelukan Karyo.
Karyo menangkap tubuh mungil itu dan memeluknya erat, mencium pipinya berulang kali. "Piye kabare, Le? Kangen karo Bapak?" (Bagaimana kabarnya, Nak? Kangen sama Bapak?)
"Kangen banget!" (Kangen sekali!) Dani memeluk leher ayahnya erat-erat, seolah takut Karyo akan segera pergi lagi.
Joko, yang memperha
Hari-hari berikutnya berlalu dengan Ratih dan Dani berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka. Maya, meski awalnya canggung, bersikap sangat baik pada Ratih. Dia menepati janjinya menemani Ratih berbelanja kebutuhan sehari-hari, bahkan membantu memilihkan pakaian yang cocok untuk Ratih dan Dani.Dani yang awalnya excited dengan rumah besar dan mewah mulai menunjukkan tanda-tanda kebosanan. Tidak ada teman sebaya untuk diajak bermain, tidak ada hewan ternak untuk dikejar-kejar seperti di desa. Dia mulai rewel, sering menempel pada Ratih yang sibuk dengan tugas-tugas rumah tangga."Bosen, Bu," rengek Dani suatu sore, menarik-narik celemek Ratih yang sedang menyiapkan makan malam."Sedhiluk maneh, Le. Ibu isih masak," (Sebentar lagi, Nak. Ibu masih masak,) jawab Ratih sabar, meski ia sendiri mulai kewalahan membagi perhatian.Maya yang kebetulan masuk ke dapur mendengar percakapan merek
Irwan tidak berbicara seperti suami yang diselingkuhi; dia berbicara seperti seorang pemilik yang propertinya coba dicuri. Nada suaranya yang dingin dan tanpa emosi itulah yang menghancurkan Ratih. Untuk pertama kalinya, dia melihat tindakan suaminya bukan sebagai dosa atau perselingkuhan, tapi sebagai pelanggaran batas yang absolut dalam dunia dengan aturan yang tidak ia kenal. Kengerian yang sesungguhnya bukanlah pada apa yang Karyo lakukan, melainkan pada siapa yang menjadi korbannya.Saat Ratih berdiri membeku dalam realitas barunya yang mengerikan, Irwan melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, yang terasa jauh lebih mengancam."Dan yang paling mengecewakan, Ratih, adalah kami selalu berusaha memperlakukannya dengan baik di sini. Dia tidak kekurangan apa pun."Pernyataan itu menghantam Ratih dengan rasa malu yang baru, memperlihatkan betapa tidak bersyukurnya tindakan Karyo.Irwan kemudian mengangg
Sore menjelang.Cahaya keemasan matahari mulai menerobos masuk dari jendela besar kamar, menciptakan bayangan-bayangan panjang di lantai kayu yang mengilap. Langit Jakarta mulai berubah menjadi kanvas jingga keunguan—warna yang tidak pernah terlihat sama di desa mereka.Ratih duduk di pinggir tempat tidur, memandangi Dani yang akhirnya tertidur pulas. Jari-jarinya dengan lembut menyisir rambut anaknya yang lembab oleh keringat. Sepanjang hari, Dani tidak berhenti berlarian mengeksplorasi seluruh sudut rumah yang baginya terasa seperti istana. Setiap benda—mulai dari remote TV hingga shower kamar mandi—membuat mata bulatnya berbinar dengan keingintahuan yang tak terbendung."Kelelahan," bisik Ratih pada Karyo yang baru selesai menyusun pakaian mereka di lemari. "Ora biasa koyok ngene." (Tidak biasa seperti ini.)Karyo mengangguk sambil duduk di kursi dekat jendela. "Besok paling wis biasa. Bocah-b
Mereka mengikuti Irwan dan Maya masuk ke dalam rumah. Dani langsung terpesona melihat interior rumah yang mewah—lantai marmer, furnitur modern, dan ruangan yang begitu luas."Omah iki luwih gedhe tinimbang sekolahan, Bu!" (Rumah ini lebih besar daripada sekolahan, Bu!) bisik Dani pada ibunya, suaranya cukup keras hingga semua orang mendengarnya.Maya tersenyum mendengar komentar itu. "Dani suka rumah ini?" tanyanya, berusaha membangun hubungan dengan anak kecil itu.Dani mengangguk bersemangat. "Ono TV gedhe banget kae!" (Ada TV besar sekali itu!) tunjuknya ke arah televisi layar datar 65 inci di ruang keluarga."Itu namanya home theater," jelas Maya dengan suara ramah. "Nanti Dani bisa nonton kartun di sana. Kamu suka kartun apa?""Upin Ipin!" jawab Dani cepat, mulai melupakan rasa malunya. "Neng kene iso nonton Upin Ipin?" (Disini bisa nonton Upin Ipin?)
Stasiun Gambir di Jakarta memukau Dani dengan ukurannya yang besar dan keramaiannya. Matanya tak henti mengikuti setiap orang dan benda yang bergerak. Ketika mereka keluar dari stasiun, panas dan kebisingan Jakarta langsung menyambut."Pak Irwan bilang kita dijemput taksi, Dik," ucap Karyo, mengeluarkan ponselnya. Ia menelepon nomor yang diberikan Irwan, dan dalam sepuluh menit, sebuah taksi berhenti di depan mereka."Numpak mobil maneh, Pak?" (Naik mobil lagi, Pak?) tanya Dani bersemangat saat Karyo membuka pintu taksi."Iya, Le. Iki mobil sewaan kanggo neng omahe Pak Irwan." (Iya, Nak. Ini mobil sewaan untuk ke rumahnya Pak Irwan.)Begitu taksi melaju memasuki jalan-jalan Jakarta, Dani menempelkan wajahnya ke jendela, terpesona oleh gedung-gedung tinggi dan keramaian kota. Karyo sendiri masih mengingat bagaimana dulu ia pertama kali tiba di Jakarta, penuh harapan dan ketakutan.
Stasiun Purwokerto di pagi hari selalu dipadati penumpang. Karyo berdiri gugup sambil memegang tiket, sesekali melirik ke arah Ratih yang menggandeng Dani dengan satu tangan dan menenteng tas kecil berisi barang-barang penting mereka dengan tangan lain. Sesuai instruksi Irwan, mereka hanya membawa sedikit pakaian."Dani, iki jenenge sepur. Kita bakal numpak iki nganti tekan Jakarta." (Dani, ini namanya kereta. Kita akan naik ini sampai tiba di Jakarta.) Karyo membungkuk, menjelaskan pada anaknya yang mata bulatnya melebar penuh keingintahuan."Sepur?" ulang Dani, matanya berbinar saat melihat kereta api berhenti di peron. "Gedhe banget, Pak!" (Besar sekali, Pak!)Ratih tersenyum tipis melihat kekaguman anaknya, tapi Karyo bisa melihat ketegangan di wajahnya. Semalam, setelah mereka bercinta, Ratih menangis dalam pelukannya. Bukan tangisan keras, hanya aliran air mata sunyi yang membasahi dadanya. Karyo tahu istrinya







