Sasikirana
Hah? Menikah dua minggu lagi? Belum sempat rasa gugup ini hilang, aku dibuat kaget lagi dengan permintaan dari Ibu Fani, Mama Pak Melviano. Beliau lagi bercanda, ‘kan?
“Mama jangan bercanda. Nggak mungkin kami menikah secepat itu,” protes Pak Melviano mewakili isi kepalaku.
Aku hanya diam, menutup rapat bibir ini. Biarkan Pak Melviano yang berpendapat, karena diri ini nggak memiliki hak untuk melakukannya.
“Mama tidak sedang bercanda, Vian.”
Oh, jadi panggilannya Vian, bukan Mel. Haha!
“Mama pikir sah-sah saja kalian menikah dalam waktu dekat. Nanti tinggal diberitakan di media kalau kalian berdua sudah lama saling kenal dan memang berencana menikah,&rdquo
MelvianoSetelah mengambil surat perjanjian yang akan ditandatangani, aku kembali lagi ke kamar menemui Sasi. Ah, rasanya tidak percaya melihat dia menerima begitu saja permintaan Mama untuk memajukan waktu pernikahan. Dan … hei, Mama sampai mempersiapkan akomodasi untuk kami berbulan madu. Ck!Jujur, harus diakui. Sekarang aku merasa bersalah kepada Sasi, karena telah melibatkannya dalam pernikahan ini. Meski demikian, ada sedikit kelegaan di hati ketika mendengar penuturannya tadi.“Selagi itu bisa bikin Bu Fani bahagia, saya nggak keberatan.”Aku bisa melihat ketulusan dari tatapan matanya, ketika mengatakan tanggapan tentang Mama. Dia merasa nyaman dan damai ketika disentuh oleh beliau. Paling tidak aku bisa tenang, karena Sasi mungkin bisa menjadi teman untuk Mama yang
SasikiranaTangan ini naik ke atas bersamaan dengan kaki yang meregang ke bawah. Tubuh rasanya ringan banget, kayak mau terbang. Akhirnya bisa tidur nyenyak juga tanpa terbangun tengah malam. Tumben penghuni kosan ini anteng banget. Pengertian kalau aku capek banget habis pindahan.Duh, kok jadi ngawur begini sih? Astaga, aku sekarang nggak ngekos lagi tapi udah tinggal di apartemen punya Pak Melviano.“Pantes aja bisa tidur nyenyak. Apartemen ini steril dari roh gentayangan,” gumamku dengan mata masih terpejam.Apartemen? Bukannya aku masih di rumah Pak Melviano ya? Ya ampun!Mata yang masih berat ini perlahan mengerjap. Pelan-pelan mulai terbuka, meski belum bisa melihat dengan jelas wajah orang yang sedang berbaring di sampingku?
MelvianoAku hanya bisa merutuki diri setelah Sasi meninggalkan rumah satu jam yang lalu. Apa yang sebenarnya kuinginkan? Menuduhnya sengaja menjebakku, sementara aku tahu dia tidak mungkin melakukannya atau menumpahkan kekesalan karena dia berhasil menipuku? Jiwa kompetitifku terinjak, karena telah dikelabui oleh gadis seperti Sasi.Come on, Vian. Sasi atau bukan hasilnya tetap saja, kamu harus menikah dengannya seperti permintaan Mama. Bukannya semua jadi mudah karena memang dia orangnya?“Ko.” Terdengar suara Bi Aya memanggil diselingi ketukan pintu.“Ya, Bi?” sahutku dari dalam kamar.“Madam panggil Koko dan Cici untuk sarapan ke bawah.”
SasikiranaSeketika diri ini tertegun melihat sosok yang berlutut di depan. Apakah dia benar-benar Melviano Stanley yang begitu angkuh dan terkenal kejam itu? Kenapa dia melakukannya dan menanggalkan keangkuhan agar aku nggak membatalkan pernikahan?“Kamu nggak tahu apa-apa tentang saya, Sasi.” Dia masih bersimpuh dengan kepala tertunduk sekarang.“Emang saya nggak tahu apa-apa tentang Bapak. Baru tahu Bapak pengusaha aja waktu ketemu di kantor,” ketusku masih merasa kesal.“Saya sangat sayang sama Mama.” Pak Melviano nggak menanggapi perkataanku barusan. “Hanya beliau yang saya punya setelah Papa dan Kalila pergi.”Pria itu menarik napas panjang sebelum meneruskan kalimatnya. “Mama frustasi de
MelvianoAku mendengar Sasi mengucapkan sesuatu sebelum meninggalkan flat, tapi tidak begitu jelas. Hanya dua kata yang terdengar; cemburu dan dunia. Dia berbicara dengan siapa? Tidak ada orang lagi selain aku di flat ini.“Itu, Pak. Tadi saya bilang,”—dia menjepit bibir sambil mengusap tengkuk,—“apa nggak ada yang cemburu kalau nanti kita menikah. Bapak ‘kan terkenal di dunia bisnis. Pasti banyak yang mau.”Benarkah itu yang diucapkannya barusan? Sepertinya tidak sepanjang itu kalimat yang dikatakannya.Aku menggelengkan kepala. “Kalaupun ada saya nggak peduli. Sebaiknya ki
SasikiranaSungguh nggak pernah menyangka bisa tinggal di rumah mewah kayak gini. Sejak kecil, aku dan Papa hidup di rumah sederhana yang terletak di dekat pantai. Ah, jadi rindu dengan deru ombak, aroma air laut dan melihat matahari terbenam di ufuk barat.Ngomong-ngomong soal Papa, kenapa Papa Pak Melviano nggak pernah kelihatan di tempat lain ya? Apa beliau hanya berada di ruangan itu? Kayaknya sih itu ruang kerja. Kenapa juga roh beliau masih gentayangan di rumah ini? Apa ada sesuatu?Ketika ingin memutar balik tubuh menghadap ke kanan. Tiba-tiba sosok roh wanita berparas pucat muncul di sampingku. Siapa lagi jika bukan Kalila, almarhumah istri dari lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suamiku. Perut terasa diaduk-aduk ketika mengingat kami akan menikah dalam waktu dekat.“Mbak.
MelvianoRasanya tidak percaya besok aku dan Sasi akan menikah. Masa duda yang telah dilewati selama lima tahun, segera berakhir. Dalam dua minggu ini, kami cukup sering bertemu. Ternyata dia orang yang menyenangkan juga. Paling tidak, kami bisa bekerjasama dengan baik setelah menikah nanti.“Besok udah nggak jadi duda lagi lo, Mel,” celetuk Franky saat duduk di sofa kamarku. “Yakin nggak mau nomor ponsel dokter operasi plastik yang gue rekomendasikan kemarin?”Hingga detik ini, aku belum menceritakan bahwa Sasi adalah wanita yang bersamaku waktu itu. Franky juga belum tahu bagaimana wajah asli calon istriku. Biarkan saja dia terkejut melihatnya besok.“Nggak perlu, Frank. Lagian pernikahan kami cuma di atas kertas aja, nggak beneran,” tanggapku menahan taw
SasikiranaAku menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya kembali. Dua jam lagi pernikahanku dengan Pak Melviano akan dilaksanakan. Nggak pernah menyangka pria yang diidam-idamkan kaum hawa itu sebentar lagi akan menjadi suamiku.Selama dua minggu ini, nggak banyak yang terjadi. Hanya hubunganku dengan Bu Fani yang semakin hangat dan juga Pak Melviano yang mulai bersahabat. Kami berdua jarang bertengkar seperti sebelumnya.Tapi masih ada yang mengganjal di hati ini. Kalila dan keanehan interaksi rohnya dengan Vidya waktu itu. Dia terlihat naik pitam saat melihat wanita itu, melebihi kemarahannya denganku. Terasa ada yang terjadi di antara mereka sebelumnya. Ya Tuhan, kenapa aku jadi penasaran kayak gini?“Ya ampun, cantik banget sih. Sahabat siapa ini?” Anin tiba-tiba memeluk