Suasana di dalam kamar Putri Wen Mei riuh rendah oleh celoteh para dayang yang sibuk mendandani Bai Xiang. Wangian bunga peony dan mawar memenuhi udara, bercampur dengan aroma halus bedak dan pewangi tubuh."Tidak, aku tidak bisa seperti ini," gerutu Bai Xiang, mencoba menarik kembali rambutnya yang sedang ditata seorang dayang. "Rambut ini terlalu rumit, dan gaun ini ... terlalu sempit!"Wen Mei yang duduk di sampingnya tersenyum geli. "Diamlah, Xiang. Kau terlihat cantik. Lihatlah dirimu di cermin."Bai Xiang melirik ke arah cermin perunggu di seberangnya. Bayangan yang terpantul memang membuatnya terkesiap. Dengan riasan yang halus dan gaun sutra berwarna biru muda, ia tampak seperti putri bangsawan sejati. Yang paling mengejutkan, wajahnya sekarang seperti cerminan Wen Mei sendiri."Kau sengaja, Tuan Putri? Membuatku mirip denganmu?" tanya Bai Xiang curiga.Wen Mei mengangkat bahu, senyumnya masih mengembang. "Kebetulan belaka. Tapi kau harus berjanji, malam ini kau adalah Guru Ba
Di paviliun Giok, Bai Xiang duduk membelakangi meja cermin, tubuhnya dibalut kain putih sederhana. Luka di lengannya masih segar, tapi ia menekan kain herbal ke sana tanpa mengeluarkan suara. Dari pengembaraannya dan ilmu pengobatan yang dipelajari dari Liu Wei, kakak kedua seperguruannya, membuat ia bisa mengobati sendiri saat terluka. Uap teh di atas meja perlahan mendingin, sementara lilin bergetar tertiup angin malam.Ular Perak … gumamnya dalam hati. Nama Kelompok yang terkenal sebagai pembunuh bayaran yang bergerak di bawah tanah.Jadi bukan hanya aku yang menginginkan nyawa Han Feng.Ia meremas perban di lengannya, menahan desis perih. Dendam di dadanya terasa kian rumit; di antara mereka yang mengincar Han Feng, mungkin ada seseorang yang juga terkait dengan pembantaian keluarganya dulu. Tapi siapa? Kerumitan ini membuatnya semakin waspada. Misi utamanya adalah Han Feng, tapi jika ada benang merah dengan masa lalunya yang kelam, ia harus menariknya perlahan agar tidak semua re
Angin malam berembus lembut, membawa aroma tanah lembap dan suara jangkrik dari kejauhan. Bulan sabit menggantung redup di langit, separuh wajahnya tersembunyi di balik kabut tipis.Di atas atap gedung barak militer Longyan, sosok berpakaian serba hitam berjongkok diam. Hanya matanya yang berkilat menembus kegelapan. Bai Xiang menahan napas, tubuhnya nyaris menyatu dengan bayangan. Ia memandangi halaman markas, tempat para prajurit berbaris melakukan pergantian jaga.“Jenderal Han Feng…,” bisiknya, hampir tak terdengar.Matanya memantul cahaya obor yang berjejer di sepanjang pagar kayu. Di bawah sana, Han Feng berjalan di antara prajurit, mengenakan zirah ringan dan jubah hitam. Wajahnya tampak dingin, tak tersentuh cahaya hangat obor. Sementara Li Rui, pengawal pribadinya berada tak jauh dari sang Jenderal.Selama hidupku, pikir Bai Xiang, aku mencari jejak pria ini.Dan kini, hanya selempar pisau jarak aku dan dia.Namun, langkah Han Feng berhenti di depan barisan. Ia memberi aba-a
Langkah-langkah Bai Xiang terdengar mantap menuju kudanya. Di tangannya tergenggam kantung kain berisi pakaian dan perlengkapan seperlunya, sementara pedang kesayangannya terselip rapi di punggung. Hei Yun, kudanya yang berwarna hitam legam, meringkik pelan seolah tahu majikannya akan pergi jauh.Di tepi halaman, Liu Wei berdiri diam. Saat Bai Xiang hendak menaiki kudanya, Liu Wei melangkah maju dan menahan.“Xiang’er …,” suaranya lirih namun tegas, “hati-hati di sana. Istana bukan tempat sederhana. Intrik di sana lebih tajam dari pedang.”Bai Xiang menoleh, sorot matanya dingin “Aku tahu, Kakak. Tapi mungkin di sanalah jalanku menanti. Jika aku menolak, sama saja aku menolak titah Kaisar.”Liu Wei ingin berkata lagi, tapi hanya mampu menggenggam pundak adik seperguruannya erat-erat. “Jaga dirimu baik-baik.”Bai Xiang tersenyum tipis, lalu melompat ke punggung Hei Yun. Dengan hentakan kecil, ia memacu kudanya, meninggalkan Gunung Yang menuju ibukota.Perjalanan panjang ditempuh hing
Di paviliun utama yang dikelilingi pepohonan pinus tua, suasana terasa begitu hening. Bai Xiang duduk bersila di hadapan meja rendah, sementara di seberangnya, Jin Peng, Ketua Sekte Gunung Yang, menatapnya dengan sorot mata yang tenang dan dalam.“Xiang’er,” ucap Jin Peng perlahan, suara pria paruh baya itu berat seakan membawa beban, “ada hal yang harus kau ketahui tentang kakak keduamu, Liu Wei.”Bai Xiang menegakkan duduknya. Sejenak ia menebak kalau gurunya akan memberikan penjelasan mengenai Kakak Keduanya dan perempuan di gerbang kemarin malam.“Liu Wei sudah menikah. Aku perlu memberikan penjelasan padamu karena itu menjadi tugasku. Kau dan Liu Wei sudah bersama sejak kecil. Aku tak mau kau merasa menjadi orang terakhir yang mengetahui pernikahan kakakmu itu.”Tebakannya benar. Bai Xiang terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang mencelos, meski wajahnya berusaha tetap datar.Jin Peng melanjutkan ceritanya dengan nada tenang. Enam bulan setelah kepergian Bai Xiang meninggalkan pergur
Bai Xiang kecil duduk di meja kayu reyot di ruang tengah. Jemarinya yang mungil sibuk memetik kelopak bunga liar, menatanya dengan hati-hati hingga membentuk lingkaran kecil yang mirip mahkota. Senyum polos menghiasi wajahnya yang belum mengerti apa itu duka.Namun suasana tenang itu seketika pecah. Suara langkah tergesa, berat, bahkan seperti tersandung, bergema dari luar rumah. Pintu berderak keras terbuka.Ibunya masuk dengan nafas terengah.Bocah itu tertegun. “Ibu?” tanyanya pelan, kepala mungilnya menoleh ke arah pintu.Wanita yang sudah kehilangan kemampuan bicaranya itu masuk dengan wajah pucat, matanya merah basah. Tangan kurusnya segera menggenggam jemari mungil Bai Xiang erat.“Ibu, kenapa—”Ia tidak menjawab namun genggamannya makin mengerat. Ia menyeret putrinya ke kamar, lalu mengangkat tubuh mungil itu ke dalam keranjang rotan besar tempat menyimpan kain.“Ibu, Xiang’er takut ... ada apa ibu?” Mata bocah itu berkaca-kaca.Wanita itu meraih wajah anaknya dengan kedua ta