Share

Bab 3

Author: Wei Yun
last update Last Updated: 2025-08-22 12:31:30

Langkah-langkah Bai Xiang terdengar mantap menuju kudanya. Di tangannya tergenggam kantung kain berisi pakaian dan perlengkapan seperlunya, sementara pedang kesayangannya terselip rapi di punggung. Hei Yun, kudanya yang berwarna hitam legam, meringkik pelan seolah tahu majikannya akan pergi jauh.

Di tepi halaman, Liu Wei berdiri diam.  Saat Bai Xiang hendak menaiki kudanya, Liu Wei melangkah maju dan menahan.

“Xiang’er …,” suaranya lirih namun tegas, “hati-hati di sana. Istana bukan tempat sederhana. Intrik di sana lebih tajam dari pedang.”

Bai Xiang menoleh, sorot matanya dingin  “Aku tahu, Kakak. Tapi mungkin di sanalah jalanku menanti. Jika aku menolak, sama saja aku menolak titah Kaisar.”

Liu Wei ingin berkata lagi, tapi hanya mampu menggenggam pundak adik seperguruannya erat-erat. “Jaga dirimu baik-baik.”

Bai Xiang tersenyum tipis, lalu melompat ke punggung Hei Yun. Dengan hentakan kecil, ia memacu kudanya, meninggalkan Gunung Yang menuju ibukota.

Perjalanan panjang ditempuh hingga menjelang malam, gerbang istana yang menjulang tinggi akhirnya tampak di depan mata. Penjaga bersenjata berdiri tegak di setiap sudut. Bai Xiang sempat menahan napas, sadar bahwa mulai saat itu setiap langkahnya diawasi.

Ia dibawa langsung menuju kediaman Putri Wen Mei di istana Mingyue. Ketika bertemu, Bai Xiang tertegun. Sosok yang beberapa hari lalu ditemuinya di hutan, sederhana dengan pakaian rakyat jelata, kini tampak anggun. Hanfu sutra berwarna biru langit melambai lembut, rambut hitamnya ditata indah dengan berbagai hiasan giok.

Bai Xiang segera berlutut memberi hormat. “Hamba Bai Xiang, memberi salam pada Yang Mulia Putri.”

Wen Mei tertawa kecil, lalu melangkah mendekat. “Xiang, jangan begitu. Jika hanya ada kita berdua, buang saja semua formalitas itu. Aku muak dengan aturan-aturan istana. Bersikaplah sama seperti saat di hutan.”

Bai Xiang mengangkat wajahnya, masih agak kaku. “Tapi … hamba tetap harus menghormati Yang Mulia.”

Wen Mei menatapnya lekat, senyum lembut tersungging. “Panggil saja aku Wen Mei.”

Tak lama, seorang kasim datang mengantar mereka menuju aula tempat Kaisar menunggu. Bai Xiang berusaha menenangkan degup jantungnya. Begitu memasuki ruangan, matanya langsung tertumbuk pada sosok berjubah naga emas yang duduk di singgasana.

“Anak muda ini kah yang bernama Bai Xiang?” suara Kaisar berat namun hangat. Bai Xiang segera berlutut. “Hamba memberi salam pada Baginda Kaisar.”

Kaisar menatapnya penuh minat. “Kau lebih muda dari yang kubayangkan. Tetapi mata itu … tajam, penuh tekad. Baiklah, aku titipkan Wen Mei padamu. Aku sudah terlalu letih mengurus segala tingkah lakunya.”

“Ayah terlalu berlebihan,” sela Wen Mei sambil tersenyum nakal. “Aku hanya ingin sedikit kebebasan.”

Kaisar mendengkus kecil, lalu melambaikan tangan. “Mulai hari ini, kau akan jadi pengawal pribadinya. Lindungi dia, meski nyawamu taruhannya.”

Bai Xiang menunduk dalam. “Hamba akan menjaga Putri dengan segenap jiwa.”

Malam itu, saat kembali ke istana Mingyue, Wen Mei tampak bersemangat. Ia mendekati Bai Xiang dengan senyum penuh arti. “Besok, aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Aku ingin memperkenalkanmu pada sepupuku.”

“Sepupumu?” Bai Xiang mengernyit.

“Ya,” jawab Wen Mei santai.

“Jenderal Han Feng. Panglima militer Longyan sekaligus pelindung garis depan kekaisaran. Aku ingin dia tahu bahwa kini aku sudah punya pengawal sendiri, jadi dia tak perlu repot mencari-cariku kalau aku menghilang lagi.”

Bai Xiang terdiam. Hatinya bergetar mendengar nama itu. Han Feng. Ternyata ia bukan hanya seorang jenderal, melainkan kerabat dekat Kaisar. Itu berarti setiap tindakannya nanti langsung bersinggungan dengan pusat kekuasaan.

Lapangan latihan militer Longyan dipenuhi suara dentuman kaki prajurit yang sedang berlatih barisan. Namun di salah satu sisi, suasana hening karena seorang pria bertubuh tinggi tegap tengah berdiri dengan busur di tangan. Tatapannya dingin, penuh konsentrasi. Dialah Jenderal Han Feng, sosok yang namanya ditakuti banyak pihak.

Bai Xiang berdiri beberapa langkah di belakang bersama Putri Wen Mei. Ia mencoba mengatur napasnya. Baru kali ini ia melihat Han Feng tanpa topeng kebesaran Pasukan Longyan. Wajahnya tegas, tampan, tapi kaku, tanpa seulas senyum. Dan justru wajah itulah yang membuat darah Bai Xiang mendidih.

“Orang ini ...  dia yang membunuh ayah dan ibuku,” batinnya.

Putri Wen Mei yang terkenal suka jahil, memecah keheningan. “Sepupu! Aku membawakanmu seseorang.” Ia mendorong Bai Xiang maju. “Ini Bai Xiang, pengawal pribadiku. Ia yang waktu itu menyelamatkanku dari bandit gunung."

Bai Xiang menunduk memberi hormat. “Hormatku pada Jenderal Han Feng.” Han Feng hanya melirik sekilas, lalu kembali menyiapkan anak panah. “Hm.” Tak lebih dari itu.

Kening Bai Xiang berkerut. Ketidakacuhan itu menusuk harga dirinya.

Wen Mei, dengan sifat cerianya, menambahkan bumbu. “Kau tahu, Xiang sangat piawai. Bagaimana kalau kau beradu memanah dengannya?”

Ia tertawa kecil, “atau kau takut kalah, Sepupu?”

Han Feng menghentikan gerakannya, lalu menoleh. “Aku tidak melawan wanita. Itu membuang waktu," jawabnya pendek.

Bai Xiang merasakan dadanya sesak, tapi ia tetap menjaga sikap. “Jenderal, dalam dunia bela diri, tak ada bedanya laki-laki atau perempuan. Yang ada hanyalah kemampuan.”

Han Feng menyingkirkan pandangannya, lalu melepas anak panah. Panah meluncur cepat, nyaris tepat di tengah target. Namun tiba-tiba ---sret!--- sebuah panah lain menghantam, membelah batang panah Han Feng hingga dua, kedua anak panah menancap di tengah sasaran.

Suasana hening sesaat. Para prajurit yang melihat langsung bersorak kecil, tak percaya.

Han Feng berbalik, menatap Bai Xiang. Sebuah busur kini ada di tangan gadis itu. Sebuah senyum tipis terlukis di bibirnya, tapi sinis. “Hmph ... jadi kau ingin memamerkan kebolehanmu?”

Bai Xiang menunduk hormat, meski hatinya bergejolak. “Hamba hanya ingin menunjukkan, Putri tak salah memilih pengawal. Walaupun tentunya, Ilmu hamba ini,  tak seberapa dibandingkan kebesaran Jenderal.”

Tatapan Han Feng meruncing. Ada sesuatu pada gadis muda ini yang membuatnya ingin menguji lebih jauh. Ia meraih tiga pisau kecil di pinggang, lalu melemparkan ke arah Bai Xiang dengan kecepatan tinggi.

Trang! Trang! Trang! Tiga-tiganya berhasil ditangkis pedang Bai Xiang dengan mudah.

“Bagus,” ujar Han Feng pendek. Ia maju, mengambil tombak, lalu menyerangnya dengan ringan.

Bai Xiang menangkis. Suasana makin menegang. Gerakan demi gerakan berubah dari sekadar ujian menjadi duel sungguhan.

Hingga akhirnya, keduanya menghunus pedang. Bai Xiang terkesiap ketika melihat bilah pedang Han Feng. Di dekat pangkalnya ada ukiran bunga lotus dengan tiga kelopak - ciri khas senjata buatan ayahnya.

“Benar! Pedang itu … bisa jadi pedang ayahku yang dicurinya!” batin Bai Xiang menahan amarah.

Emosi menyelimuti Bai Xiang ditambah hasrat ingin menuntaskan dendam, mengambil alih pikirannya.  Serangannya lebih cepat, lebih bertenaga, tapi kurang terkontrol. Terlalu tergesa-gesa. Pertarungan itu seharusnya  menjadi latihan biasa saja, namun berubah jadi pertarungan yang sesungguhnya.

Han Feng, dengan ketenangannya, menemukan celah. Sret! Bilah pedangnya melukai pangkal lengan Bai Xiang, darah segar menetes.

“Xiang!” teriak Putri Wen Mei panik. Ia berlari menghampiri. “Berhenti! Kau sudah melukainya, Sepupu!”

Han Feng menurunkan pedang perlahan. Tatapannya tajam menusuk Bai Xiang. “Ilmumu masih rendah. Tapi kau punya nyali … menjadi pengawal putri. Menarik.” Ia menyarungkan pedangnya, lalu berjalan pergi.

Sebelum benar-benar berlalu, ia sempat melirik dan menambahkan, “Jangan mati terlalu cepat. Aku ingin melihat sampai mana kau bisa berkembang.” Senyum sinisnya kembali terukir.

Bai Xiang menahan sakit di lengannya, tapi yang jauh lebih besar adalah luka di hatinya. Tangannya mengepal, urat di pelipisnya menegang. Suatu hari … aku akan membalas ini.

Putri Wen Mei memegangi bahunya dengan cemas. “Xiang, kau baik-baik saja?” Bai Xiang hanya mengangguk pelan, meski tatapannya masih tajam menembus punggung Han Feng yang menjauh.

Dibalik bayangan tiang pelataran, sepasang mata bijaksana mengawasi sejak awal. Senyum tipis terbentuk di wajah paruh bayanya.  “Bagus …  setelah sekian lama, akhirnya aku  menemukanmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rayhan Rawidh
Siapakah dia? Besok kita lanjut baca.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 75

    Han Feng terus memacu kudanya bagaikan petir membelah malam. Debu berhamburan setiap kali kaki kuda menghantam tanah. Hembusan angin dingin menusuk wajahnya, tetapi ia tidak memperlambat laju sedikit pun. Hatinya bergemuruh, pikirannya hanya terisi satu nama “Xiang … tunggulah aku.” Rasa panik yang membara membuat napasnya terasa sesak. Ketika akhirnya cahaya lentera dermaga sungai Lian He terlihat di kejauhan, ia memacu kudanya lebih cepat lagi. Hingga ketika ia tiba di dermaga, pemandangan pertama yang dilihatnya membuat darahnya membeku. Sebuah kapal kayu besar baru saja melepaskan tali tambang terakhir dan mulai bergerak menjauh ke arah selatan. ​Istrinya telah diculik dan kemungkinan besar disembunyikan dalam gulungan karpet yang ada di dalam kapal itu. Waktu adalah musuh, dan setiap detik yang terbuang berarti Li Hua semakin mendekati maut. ​"Hentikan! Hentikan kapal itu!" teriak Han Feng, suaranya serak dan putus asa. Namun, dermaga itu adalah lautan manusia, hiruk pikuk te

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 74

    Malam turun di Qing Hua, membawa serta kemeriahan yang jarang terjadi. Para bangsawan, pangeran, dan putri tamu undangan hadir dengan pakaian mewahnya. Bangsawan Hou adalah salah satu keluarga paling berpengaruh di Qing Hua. Dialah pemilik dermaga terbesar yang mengatur lalu lintas barang di sepanjang Sungai Lian He. Maka tidak mengherankan bila pesta ulang tahunnya malam itu dipenuhi tokoh penting yang datang mempersembahkan hadiah dan ucapan hormat.​Lentera gemerlap menerangi setiap sudut ruang. Suasana sungguh ramai. Para artis penghibur silih berganti naik ke atas panggung, berusaha menghibur para tamu. Nyonya Lan tampak hilir mudik mengatur para penarinya, wajahnya tegang memastikan semuanya berjalan sempurna.Namun, di tengah keramaian itu, Han Feng tidak menikmati satu pun pertunjukan. ​Ia berdiri di sudut yang strategis, matanya tajam mencari-cari keberadaan Li Hua. Sebagai penampil utama, sudah barang tentu ia pasti akan menjadi yang paling ditunggu-tunggu.​Ia mengamati ru

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 73

    Tepat saat Tuan Muda Hou mencondongkan tubuhnya, suara derap langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar di luar paviliun. Seorang pengawal masuk dengan napas terengah-engah, raut wajahnya panik.​“Tuan Muda! Maafkan hamba!” lapor pengawal itu. “Ada tamu undangan penting dari Nanzhou. Adipati Yuan telah tiba!”​Kehadiran sang pengawal begitu mengagetkan Tuan Muda Hou. Ia buru-buru melepaskan tangan Li Hua, wajahnya menunjukkan kekesalan karena momen intimnya diganggu.​“Pergi!” perintah Tuan Muda Hou dengan nada dingin kepada pengawal itu. Ia merapikan jubahnya yang kusut. “Suruh mereka menunggu sebentar di ruang tamu.”​Pengawal itu segera mundur. Tuan Muda Hou kembali menoleh pada Li Hua dan tersenyum menggoda. “Maaf gangguan kecil,” ujarnya, mengambil tangan Li Hua dan mengangkatnya ke dekat bibir. “Sampai nanti malam, Li Hua.”​Namun, sebelum punggung telapak tangan Li Hua berhasil dicium, Li Hua sudah lebih dulu berhasil menarik tangannya kembali. Penolakan itu halus, tetapi jelas.

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 72

    Li Hua menatap Han Feng tajam, matanya dingin seperti embun pagi yang tak mengenal belas kasih. Tanpa memperdulikan Tuan Muda Hou yang menunggu, ia menarik pergelangan tangan Han Feng mengajaknya agak menjauh dari kereta kuda mewah milik Tuan Muda Hou. Han Feng mengikuti tanpa melawan.​​“Tuan Pendekar,” ujar Li Hua dengan suara berbisik, tetapi nadanya tegas. “Dengar, aku hanyalah seseorang yang bekerja untuk Nyonya Lan.”​Ia melepaskan genggaman tangannya dari lengan Han Feng.​“Nyonya Lan adalah orang yang memberiku tempat tinggal, memberiku pakaian, dan memberiku makan. Aku berhutang budi padanya,” kata Li Hua. “Semua perintah Nyonya Lan harus saya ikuti. Termasuk memenuhi panggilan Tuan Muda Hou.”Han Feng membuka mulut hendak berbicara, namun Li Hua mengangkat tangan, menghentikannya.​Dengan mata berkaca-kaca dan nada penuh emosi, Li Hua meminta Han Feng untuk tidak menghalanginya. “Kita adalah dua orang asing yang kebetulan bertemu saja. Jadi, tolong jangan campuri urusanku.

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 71

    Han Feng baru keluar dari penginapannya, berjalan di sepanjang jalanan Qing Hua yang dipenuhi pedagang yang berjualan hasil bumi dan kerajinan. Semalaman ia tidak bisa tidur. Pikirannya tertuju sepenuhnya pada seseorang di Paviliun Begonia, Li Hua.​Bagaimana keadaannya setelah ia hampir jatuh saat menari? Dan yang paling mengganggu Han Feng adalah kenyataan bahwa gadis itu, yang memiliki wajah istrinya, harus menemani tamu laki-laki. Tanpa sadar, sebuah rasa yang tidak rela, rasa cemburu murni seorang laki-laki, melintas dalam hatinya.​Apa yang salah denganku? gumamnya dalam hati. ​Ia masih belum tahu kepastian, apakah perempuan itu Bai Xiang atau bukan. Apakah istrinya sedang menyamar? Namun, dari tatapan matanya semalam, Han Feng mendapatkan tatapan kosong tak bermakna dari gadis itu. Ia sama sekali tidak mengenali Han Feng. Jarak dari ibu kota ke Qing Hua harus ditempuh berhari-hari. Jika ia harus kembali ke ibu kota dahulu untuk memastikan istrinya ada di kediamannya, ia khawat

  • Ketika Dendam Berujung Cinta   Bab 70

    Teriakan Li Hua nyaris tak terdengar di tengah gemuruh musik dan tepuk tangan. Tubuhnya meluncur ke bawah panggung seiring selendang merah yang menopang tubuhnya terlepas dari balok langit-langit. Namun, sebelum ia menyentuh lantai, sebuah bayangan cepat melompat dari barisan penonton.​Han Feng melakukan beberapa kali salto di udara, tubuhnya berotasi sempurna, mengubah momentumnya untuk mencegat titik jatuh Li Hua. Gerakannya sangat cepat, presisi yang hanya dimiliki oleh Jenderal militer terbaik.​Ia berhasil menangkap tubuh Li Hua yang melayang. Musik berhenti. Para penonton terkesima melihat adegan dramatis itu. Sebagian besar penonton mengira itu bagian dari pertunjukan, bukan kecelakaan nyaris maut. Mereka menyangka itulah sebuah puncak yang mengagumkan dari Tarian Ayunan Selendang Merah.Penonton bangkit berdiri, tepuk tangan bergemuruh. “Luar biasa!” teriak seseorang dengan penuh kekaguman. “Benar-benar pertunjukan mahal!” sorak yang lain. “Hebat! Mereka pasti latihan bertahu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status