Mobil mewah Porsche 911 melintas dengan pelan di jalanan yang cukup sepi, seorang wanita di depannya menatap kosong ke arah depan.
Sedikit polesan make up membuat wajahnya terlihat lebih sempurna, tetapi siapa saja yang melihat kedua matanya, dapat menebak bahwa saat ini pikirannya dipenuhi dengan banyak masalah. Malam ini ia akan bertemu calon papa tirinya. Belum selesai masalahnya karena tadi pagi, karena dia terbangun di ranjang seseorang, terus sekarang dia harus berhadapan dengan masalah baru yaitu ibunya yang akan menikah lagi. "Berat ternyata!" Helaan nafas terdengar jelas. Ketika tiba di tempat tujuan. Ia disambut dengan cahaya hangat dari lampu gantung kristal. Musik klasik mengalun pelan, menciptakan suasana elegan. Aroma wine dan hidangan mewah menyeruak di udara, berpadu dengan gemerlap lilin yang menghiasi tiap meja. "Sayang, kamu terlihat begitu cantik." Hanya sebuah senyuman yang ia pancarkan untuk menerima pujian dari sang ibu. "Oh iya sayang, nanti anak dari calon papa tiri kamu juga hadir, tolong bersikap yang baik yah," pinta ibunya. Nayla hanya mengangguk kecil, meski hatinya terasa dicekik. Ia tahu apa pun yang ia lakukan malam ini hanyalah pura-pura, demi membuat sang ibu bahagia. Namun entah kenapa, langkah kakinya terasa semakin berat begitu pelayan mengantar mereka ke sebuah meja besar yang sudah disiapkan. Di sana, seorang pria paruh baya berdiri. Rambutnya sedikit beruban, namun tubuhnya tegap dan terawat. Jas hitam elegan membalut tubuhnya, senyum ramah terpancar ketika melihat kedatangan Deeva bersama putrinya. “Deeva,” sapanya dengan suara hangat, kemudian menatap Nayla. “Dan ini pasti putri cantikmu.” Ibunya tersenyum bahagia. “Betul, Pratama. Ini Nayla.” Nayla mengangguk sopan, meski senyumnya terasa dipaksakan. “Selamat malam, Om.” Om Pratama mengulurkan tangan, Nayla pun menjabatnya. Telapak tangan itu hangat, genggamannya mantap. “Selamat malam, Nayla. Senang sekali akhirnya bisa bertemu denganmu. Ibumu sering bercerita banyak tentangmu. Katanya kamu pintar, cantik, dan punya hati lembut.” Nayla hanya menunduk, hatinya makin sesak. Ia merasa seakan-akan dirinya sedang dipamerkan. Mereka pun duduk. Percakapan mengalir, sebagian besar antara Deeva dan Pratama. Keduanya tertawa kecil, membicarakan rencana pernikahan, perjalanan bulan madu, hingga hal-hal kecil yang membuat Deeva tersipu seperti remaja lagi. Nayla hanya menatap kosong ke piringnya, sesekali mengangguk ketika ibunya melibatkan dirinya dalam percakapan. Tapi hatinya berteriak. Semua terasa salah. “Om Pratama,” Nayla akhirnya bersuara, mencoba terdengar sopan. “Maaf kalau saya bertanya terlalu langsung. Kenapa Om memilih Mama saya?” Pertanyaan itu membuat ibunya menatap Nayla kaget, takut kalau ia terdengar kasar. Tapi Pratama justru tersenyum. “Karena ibumu wanita yang luar biasa,” jawabnya mantap. “Dia kuat, lembut, dan penuh kasih. Jarang sekali aku bertemu wanita seperti itu. Dan aku tahu, aku ingin menjaganya… juga menjagamu, Nayla.” Kata-kata itu menusuk. Nayla hanya bisa menunduk lagi. Menjagaku? Kata-kata yang sering aku dengar ketika ibu mengenalkan beberapa pria kepadaku. "Om serius dengan apa yang om katakan?" tanya Nayla. "Kalian baru berkenalan beberapa bulan." "Nayla, kenapa bertanya seperti itu?" Kedua mata cantiknya terpejam sesaat. "Maaf om, tetapi aku tidak ingin ibuku terluka lagi." Om Pratama tersenyum hangat. "Om mengerti dengan apa yang Nayla rasakan. Om tidak akan memberikan sebuah janji lewat kata-kata, tetapi lewat pembuktian, jadi Nayla tolong percaya, yah." "Buktikan dulu dan buat aku percaya." "Baiklah, suatu saat Nayla pasti akan menerima om dengan sepenuh hati, untuk menjadi papa tiri Nayla." Malam semakin larut, dan suasana mulai terasa nyaman, setidaknya bagi Deeva dan Pratama. "Mas, anakmu mana?" tanya Mama Deeva. Om Pratama menatap jam yang bertengger di lengannya. "Tadi dalam perjalanan, kenapa belum tiba." "Nayla," panggil Mama Deeva. "Anak Om Pratama satu sekolah sama kamu." Lagi dan lagi hanya sebuah senyum yang Nayla berikan, ia tidak tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang calon kakak tirinya. "Dia juga anak yang baik, semoga dia bisa menjadi kakak yang dapat menjagamu juga, yah." Nayla mengalihkan pandangannya menatap layar ponsel, ingin sekali ia kembali ke rumah dan menenangkan pikirannya. Seorang pemuda tinggi dengan jas semi formal muncul dari arah pintu restoran. Rambutnya sedikit berantakan, namun tetap memberi kesan karismatik. Matanya tajam, dan cara ia berjalan menunjukkan percaya diri. Pratama berdiri, senyumnya melebar. “Ah, ini dia. Anakku baru datang.” Nayla mengangkat kepalanya. Seketika darahnya berhenti mengalir. Napasnya tercekat. “Kenalkan,” suara Pratama terdengar jelas, penuh kebanggaan. “Ini Arsen, putraku. Dia akan segera jadi kakakmu, Nayla.”Dua minggu berlalu sejak tragedi itu. Dua minggu Nayla hidup dalam bayangan rumah sakit, doa, dan ketakutan akan pesan-pesan misterius yang tak kunjung berhenti. Namun ajaibnya, Deeva akhirnya pulih, meski harus menjalani fisioterapi. Kini, hari besar itu tiba. Pernikahan Deeva dan Pratama. Villa mewah di tepi pantai berubah menjadi lokasi resepsi indah. Kursi-kursi berbalut kain putih berderet rapi, bunga segar menghiasi setiap sudut, dan hamparan laut biru menjadi latar belakang. Semua orang tersenyum bahagia… kecuali Nayla. Tatapannya kosong. Gaun cantik yang membalut tubuhnya tak mampu menutupi kegelisahan di hatinya. Senyum yang ia berikan hanyalah topeng. Arsen memperhatikannya dari jauh. Berkali-kali ia mendapati gadis itu menarik napas panjang, menunduk, atau menggenggam jemarinya sendiri hingga memutih. Sejak kejadian di rumah sakit, entah mengapa, Nayla selalu muncul dalam pikirannya. Kenapa aku tak bisa berhenti memperhatikannya? batinnya. Di ruang rias, beberapa meni
Jeritan pecah di udara, memecah keheningan pagi. Nayla yang baru saja membuka mata di kamarnya langsung terlonjak. Suara itu… suara ibunya. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar. “Ma!!!” teriaknya panik. Di ruang tengah villa, pemandangan mengerikan menyambutnya. Deeva tergeletak di lantai, tepat di bawah tangga. Tubuhnya kaku, darah merembes dari kepalanya. “MAMAAA!!” Nayla berlari, jatuh berlutut, mengguncang tubuh ibunya yang tak sadarkan diri. “Ma! Bangun, Ma! Tolong!!” Om Pratama muncul dari arah dapur, wajahnya pucat pasi. “Astaga, Deeva!” Ia buru-buru berlari, sementara Arsen yang datang dari belakang langsung menahan Nayla. “Jangan guncang tubuhnya, Nay!” suara Arsen tegas, namun tangannya bergetar saat menarik Nayla menjauh. “Lepasin aku! Itu ibuku! Arsen, lepaskan!!” Nayla meronta, tangisnya pecah. Om Pratama langsung menghubungi ambulans, suaranya panik. “Cepat, ada kecelakaan! Istri saya jatuh dari lantai dua villa! Cepat ke sini!” Nayla hanya bisa menangis histe
Liburan keluarga itu dimulai pada pagi yang cerah. Mobil mewah milik Om Pratama melaju mulus di jalanan menuju villa tepi pantai. Di dalam mobil, suasana tampak hangat, setidaknya di mata orang luar. Deeva duduk di kursi depan, terlihat riang saat berbincang dengan Pratama tentang jadwal kegiatan mereka nanti. Sementara di kursi belakang, Nayla duduk menempel pada jendela, sesekali memandang laut yang mulai terlihat di kejauhan. Arsen duduk di sampingnya, tenang, tanpa ekspresi berlebih. Namun sesekali, saat Nayla tidak menyadari, mata Arsen mencuri pandang. Ada gurat lelah di wajah gadis itu, tapi juga cahaya samar ketika ia melihat ke luar jendela. Dan entah kenapa, melihat Nayla begitu diam membuat dada Arsen terasa sesak. "Nikmati liburan ini Nay. Om sengaja liburkan kantor, biar kita bisa liburan bersama." Nayla hanya menganggukan kepalanya, sedangkan Mama Deeva terus menatap dari kaca depan. "Arsen juga. Kalian berdua harus terlihat akur, harus saling mengenal." Nayla men
Mobil yang dikendarai Nayla melaju begitu xepat, sesekali tatapannya menatap ke arah ponsel yang berada di hadapannya. Dengan tangan gemetar, Nayla akhirnya memberanikan diri mengirim pesan pada Arsen dan menunggu balasannya. “Kita harus ketemu? Sekarang?” Balasan datang cepat, singkat. “Di taman belakang hotel. 10 menit lagi.” Jawabannya seakan tidak ingin ada bantahan, ia hanya ingin bertemu dan menyelesaikan semua masalah yang sedang terjadi. Nayla tiba lebih dulu. Angin pagi membuat rambutnya berantakan, sementara jantungnya berdegup tak terkendali. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, bersiap melampiaskan semua yang menyesakkan di dadanya. Tak lama, Arsen muncul dengan langkah santai, tangan dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tenang, terlalu tenang, seakan tidak ada badai yang sedang berkecamuk. “Ada apa, Nay?” suaranya datar. Nayla langsung melotot, menahan diri agar tidak berteriak. “Jangan pura-pura bodoh, Arsen! Pesan itu… semua pesan yang kuterima, itu dari kamu, ka
Pagi itu, matahari baru saja menembus tirai tipis kamar Nayla. Ia duduk di tepi ranjang dengan mata sembab, semalaman tak bisa tidur memikirkan ucapan Arsen di balkon semalam. Ancaman itu masih terngiang jelas, membuat dadanya sesak. Namun bukan hanya Arsen yang mengganggu pikirannya, melainkan ibunya. Senyum Deeva saat bersama Om Pratama terasa begitu tulus, seakan wanita itu baru menemukan kembali arti bahagia dan Nayla terlalu takut ibunya kembali jatuh ke lubang luka yang sama. Nayla menghela napas panjang, lalu memberanikan diri turun ke ruang makan. Di sana, ia mendapati ibunya sudah rapi dengan gaun santai, sedang menyeduh teh sambil bersenandung kecil. “Pagi, Sayang. Tidur nyenyak?” sapa Deeva cerah, seolah dunia baik-baik saja. Nayla memaksakan senyum. “Lumayan, Ma.” Ia duduk, menatap ibunya yang tampak begitu bahagia. Sejenak, rasa bersalah menghantam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa menghancurkan senyum itu dengan kenyataan pahit yang ia simpan bersama Arsen? “Ma… .
Makan malam berakhir dengan senyuman-senyuman hangat yang terasa palsu bagi Nayla. Ibunya terlihat sangat bahagia, tertawa dengan Om Pratama, seakan lupa semua luka masa lalu. Sementara Arsen hanya duduk tenang, menatap piring, seakan-akan dirinya hanyalah tamu biasa di meja itu.Namun tatapan mata mereka berdua. Nayla dan Arsen, tidak bisa berbohong. Sesekali tanpa sengaja beradu, lalu buru-buru teralihkan. Ada sesuatu yang menyesakkan, sesuatu yang hanya mereka berdua tahu dan tidak seorang pun boleh mengetahuinya.Ketika pelayan terakhir kali mengangkat piring dari meja, Deeva menepuk lembut tangan Nayla.“Sayang, Om Pratama dan mama akan bicara sebentar dengan manajer restoran tentang rencana acara keluarga. Kau tak keberatan, kan? Mungkin Arsen bisa menemanimu.”“Tidak perlu, Ma,” Nayla buru-buru menolak, namun ibunya hanya tersenyum dan berdiri.Akhirnya, tinggal mereka berdua di meja panjang itu. Sunyi. Hanya suara dentingan sendok dari meja lain dan musik klasik yang terdengar