Makan malam berakhir dengan senyuman-senyuman hangat yang terasa palsu bagi Nayla. Ibunya terlihat sangat bahagia, tertawa dengan Om Pratama, seakan lupa semua luka masa lalu. Sementara Arsen hanya duduk tenang, menatap piring, seakan-akan dirinya hanyalah tamu biasa di meja itu.
Namun tatapan mata mereka berdua. Nayla dan Arsen, tidak bisa berbohong. Sesekali tanpa sengaja beradu, lalu buru-buru teralihkan. Ada sesuatu yang menyesakkan, sesuatu yang hanya mereka berdua tahu dan tidak seorang pun boleh mengetahuinya. Ketika pelayan terakhir kali mengangkat piring dari meja, Deeva menepuk lembut tangan Nayla. “Sayang, Om Pratama dan mama akan bicara sebentar dengan manajer restoran tentang rencana acara keluarga. Kau tak keberatan, kan? Mungkin Arsen bisa menemanimu.” “Tidak perlu, Ma,” Nayla buru-buru menolak, namun ibunya hanya tersenyum dan berdiri. Akhirnya, tinggal mereka berdua di meja panjang itu. Sunyi. Hanya suara dentingan sendok dari meja lain dan musik klasik yang terdengar samar. Arsen bersandar ke kursinya, menatap Nayla dengan senyum miring. Masih teringat dengan jelas kejadian tadi pagi di kepala Nayla. Di mana pagi itu tangisnya semakin menjadi, ia memeluk tubuhnya, bergetar hebat. “Aku butuh pertanggung jawabanmu, Arsen. Kau harus tanggung jawab!” Arsen terdiam. Rahangnya mengeras, wajahnya muram. “Aku… aku bahkan tidak tahu harus bertanggung jawab atas apa, Nayla. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak tahu apakah benar aku yang—” “BERHENTI!!!” Nayla menutup telinganya dengan kedua tangan. “Jangan bicara lagi! Kamu yang ada di sampingku! Kamu yang tidur denganku! Kamu yang… menghancurkan aku!” Hening. Hanya suara isakan Nayla yang memenuhi ruangan. Arsen berdiri kaku, menatap darah di sprei itu dengan perasaan campur aduk. "Nayla, aku benar-benar nggak tahu semua ini akan terjadi, aku akan tanggung jawab jika sesuatu terjadi kepadamu," ucapnnya terhenti sesaat. "Tetapi jika tidak terjadi apa-apa, tolong kubur rahasia ini!" Nayla menatap Arsen dengan tidak percaya, pria di depannya mengatakan hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Mengubur semua rahasia besar yang terjadi dalam satu malam. Itu bukan permintaan, tetapi itu perintah untuknya. Tatapan mereka masih beradu. Arsen terlihat seperti pria brengsek di hadapan Nayla. “Dunia ini ternyata… kecil sekali ya, Nay?” suaranya rendah, namun cukup tajam untuk membuat Nayla merinding. Nayla mengepalkan tangannya di pangkuan, berusaha menahan emosi. “Jangan panggil namaku dengan suara seperti itu. Kita… kita harus pura-pura tidak pernah saling kenal.” Arsen tertawa pendek, getir. “Pura-pura? Kau pikir mudah bagiku duduk di hadapanmu, melihat wajahmu, sementara tadi pagi—” “Cukup!” Nayla membentak pelan, matanya berkilat. “Kau pikir aku tidak merasa jijik? Aku ingin melupakan semua itu, Arsen. Jadi jangan pernah sebutkan lagi.” Arsen mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya menusuk. “Kalau memang kau ingin melupakan, kenapa aku melihat ketakutan di matamu setiap kali melihatku? Kau takut… karena sebenarnya kau juga merasakannya, kan?” Pipi Nayla memanas. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia ingin menyangkal, ingin menampar wajah Arsen, tetapi kata-katanya terhenti di tenggorokan. “Aku tidak takut. Aku hanya muak,” bisiknya akhirnya. Arsen menyandarkan punggung, menghela napas panjang. “Bagus. Kalau begitu, mari kita sepakati satu hal. Mulai sekarang, di depan orang tua kita, kita hanyalah kakak dan adik tiri. Tidak ada masa lalu, tidak ada cerita lain.” “Dan kalau kau membuka mulut?” tanya Nayla, suaranya bergetar. Arsen menatapnya lama, sebelum tersenyum dingin. “Kalau aku membuka mulut, kau yang lebih dulu hancur. Bukan aku.” Nayla berdiri dengan cepat, kursinya bergeser hingga menimbulkan suara berdecit yang membuat beberapa orang menoleh. Nafasnya memburu. Ia tidak sanggup lagi berada di dekat pria itu. Namun saat ia melangkah pergi menuju balkon untuk menenangkan diri, Arsen bangkit dan menyusulnya. Di balkon yang sepi, hanya ada angin malam yang berembus. Nayla memeluk dirinya, menatap kota yang berkilauan di bawah sana. “Apa lagi yang kau inginkan, Arsen?” tanyanya tanpa menoleh. Arsen berdiri di sampingnya, jarak mereka hanya beberapa langkah. “Aku hanya ingin memastikan kita berdua tidak melakukan kebodohan. Ibumu terlihat bahagia bersama ayahku. Kalau kau merusaknya dengan membuka mulut… kau tahu akibatnya.” Nayla menoleh dengan mata basah. “Jadi kau mengancamku lagi?” Arsen menatapnya balik, kali ini lebih lembut. “Aku memperingatkanmu. Untuk kebaikan kita berdua.” Nayla menggeleng, air matanya jatuh. “Aku benci kenyataan ini. Aku benci melihatmu ada di dalam hidupku. Andai saja aku tidak pernah bertemu denganmu…” Senyum tipis muncul di wajah Arsen, meski matanya tampak kelam. “Sayangnya, kita sudah bertemu. Dan sekarang… kita akan menjadi keluarga.” Tepat saat itu, suara pintu balkon terbuka. Deeva dan Pratama muncul dengan wajah penuh senyum, tampak tidak sadar ketegangan yang menggantung di udara. “Nayla, Arsen, ayo pulang. Besok kita ada acara lagi,” ujar Deeva riang. Nayla buru-buru menghapus air matanya, sementara Arsen melipat kedua tangannya di dada, wajahnya kembali datar. Saat mereka berjalan kembali menuju pintu keluar restoran, ponsel Nayla bergetar di dalam tasnya. Dengan gugup, ia meraihnya. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal. “Kau dan Arsen… sudah terlalu jauh. Kalau kau tidak bicara, aku yang akan ungkapkan semuanya.” Jantung Nayla serasa berhenti berdetak.Dua minggu berlalu sejak tragedi itu. Dua minggu Nayla hidup dalam bayangan rumah sakit, doa, dan ketakutan akan pesan-pesan misterius yang tak kunjung berhenti. Namun ajaibnya, Deeva akhirnya pulih, meski harus menjalani fisioterapi. Kini, hari besar itu tiba. Pernikahan Deeva dan Pratama. Villa mewah di tepi pantai berubah menjadi lokasi resepsi indah. Kursi-kursi berbalut kain putih berderet rapi, bunga segar menghiasi setiap sudut, dan hamparan laut biru menjadi latar belakang. Semua orang tersenyum bahagia… kecuali Nayla. Tatapannya kosong. Gaun cantik yang membalut tubuhnya tak mampu menutupi kegelisahan di hatinya. Senyum yang ia berikan hanyalah topeng. Arsen memperhatikannya dari jauh. Berkali-kali ia mendapati gadis itu menarik napas panjang, menunduk, atau menggenggam jemarinya sendiri hingga memutih. Sejak kejadian di rumah sakit, entah mengapa, Nayla selalu muncul dalam pikirannya. Kenapa aku tak bisa berhenti memperhatikannya? batinnya. Di ruang rias, beberapa meni
Jeritan pecah di udara, memecah keheningan pagi. Nayla yang baru saja membuka mata di kamarnya langsung terlonjak. Suara itu… suara ibunya. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar. “Ma!!!” teriaknya panik. Di ruang tengah villa, pemandangan mengerikan menyambutnya. Deeva tergeletak di lantai, tepat di bawah tangga. Tubuhnya kaku, darah merembes dari kepalanya. “MAMAAA!!” Nayla berlari, jatuh berlutut, mengguncang tubuh ibunya yang tak sadarkan diri. “Ma! Bangun, Ma! Tolong!!” Om Pratama muncul dari arah dapur, wajahnya pucat pasi. “Astaga, Deeva!” Ia buru-buru berlari, sementara Arsen yang datang dari belakang langsung menahan Nayla. “Jangan guncang tubuhnya, Nay!” suara Arsen tegas, namun tangannya bergetar saat menarik Nayla menjauh. “Lepasin aku! Itu ibuku! Arsen, lepaskan!!” Nayla meronta, tangisnya pecah. Om Pratama langsung menghubungi ambulans, suaranya panik. “Cepat, ada kecelakaan! Istri saya jatuh dari lantai dua villa! Cepat ke sini!” Nayla hanya bisa menangis histe
Liburan keluarga itu dimulai pada pagi yang cerah. Mobil mewah milik Om Pratama melaju mulus di jalanan menuju villa tepi pantai. Di dalam mobil, suasana tampak hangat, setidaknya di mata orang luar. Deeva duduk di kursi depan, terlihat riang saat berbincang dengan Pratama tentang jadwal kegiatan mereka nanti. Sementara di kursi belakang, Nayla duduk menempel pada jendela, sesekali memandang laut yang mulai terlihat di kejauhan. Arsen duduk di sampingnya, tenang, tanpa ekspresi berlebih. Namun sesekali, saat Nayla tidak menyadari, mata Arsen mencuri pandang. Ada gurat lelah di wajah gadis itu, tapi juga cahaya samar ketika ia melihat ke luar jendela. Dan entah kenapa, melihat Nayla begitu diam membuat dada Arsen terasa sesak. "Nikmati liburan ini Nay. Om sengaja liburkan kantor, biar kita bisa liburan bersama." Nayla hanya menganggukan kepalanya, sedangkan Mama Deeva terus menatap dari kaca depan. "Arsen juga. Kalian berdua harus terlihat akur, harus saling mengenal." Nayla men
Mobil yang dikendarai Nayla melaju begitu xepat, sesekali tatapannya menatap ke arah ponsel yang berada di hadapannya. Dengan tangan gemetar, Nayla akhirnya memberanikan diri mengirim pesan pada Arsen dan menunggu balasannya. “Kita harus ketemu? Sekarang?” Balasan datang cepat, singkat. “Di taman belakang hotel. 10 menit lagi.” Jawabannya seakan tidak ingin ada bantahan, ia hanya ingin bertemu dan menyelesaikan semua masalah yang sedang terjadi. Nayla tiba lebih dulu. Angin pagi membuat rambutnya berantakan, sementara jantungnya berdegup tak terkendali. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, bersiap melampiaskan semua yang menyesakkan di dadanya. Tak lama, Arsen muncul dengan langkah santai, tangan dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tenang, terlalu tenang, seakan tidak ada badai yang sedang berkecamuk. “Ada apa, Nay?” suaranya datar. Nayla langsung melotot, menahan diri agar tidak berteriak. “Jangan pura-pura bodoh, Arsen! Pesan itu… semua pesan yang kuterima, itu dari kamu, ka
Pagi itu, matahari baru saja menembus tirai tipis kamar Nayla. Ia duduk di tepi ranjang dengan mata sembab, semalaman tak bisa tidur memikirkan ucapan Arsen di balkon semalam. Ancaman itu masih terngiang jelas, membuat dadanya sesak. Namun bukan hanya Arsen yang mengganggu pikirannya, melainkan ibunya. Senyum Deeva saat bersama Om Pratama terasa begitu tulus, seakan wanita itu baru menemukan kembali arti bahagia dan Nayla terlalu takut ibunya kembali jatuh ke lubang luka yang sama. Nayla menghela napas panjang, lalu memberanikan diri turun ke ruang makan. Di sana, ia mendapati ibunya sudah rapi dengan gaun santai, sedang menyeduh teh sambil bersenandung kecil. “Pagi, Sayang. Tidur nyenyak?” sapa Deeva cerah, seolah dunia baik-baik saja. Nayla memaksakan senyum. “Lumayan, Ma.” Ia duduk, menatap ibunya yang tampak begitu bahagia. Sejenak, rasa bersalah menghantam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa menghancurkan senyum itu dengan kenyataan pahit yang ia simpan bersama Arsen? “Ma… .
Makan malam berakhir dengan senyuman-senyuman hangat yang terasa palsu bagi Nayla. Ibunya terlihat sangat bahagia, tertawa dengan Om Pratama, seakan lupa semua luka masa lalu. Sementara Arsen hanya duduk tenang, menatap piring, seakan-akan dirinya hanyalah tamu biasa di meja itu.Namun tatapan mata mereka berdua. Nayla dan Arsen, tidak bisa berbohong. Sesekali tanpa sengaja beradu, lalu buru-buru teralihkan. Ada sesuatu yang menyesakkan, sesuatu yang hanya mereka berdua tahu dan tidak seorang pun boleh mengetahuinya.Ketika pelayan terakhir kali mengangkat piring dari meja, Deeva menepuk lembut tangan Nayla.“Sayang, Om Pratama dan mama akan bicara sebentar dengan manajer restoran tentang rencana acara keluarga. Kau tak keberatan, kan? Mungkin Arsen bisa menemanimu.”“Tidak perlu, Ma,” Nayla buru-buru menolak, namun ibunya hanya tersenyum dan berdiri.Akhirnya, tinggal mereka berdua di meja panjang itu. Sunyi. Hanya suara dentingan sendok dari meja lain dan musik klasik yang terdengar