Panas matahari mulai menerobos masuk melalui celah kisi kisi jendela. Satria menatap jauh ke arah luar balkon kamarnya. Di luar sana langit tampak cerah dihiasi gumpalan awan putih pada hamparan langit biru. Usai membereskan laptopnya Satria masih berdiri tegap menatap jauh menerawang entah kemana tujuannya. Satria tengah memijit pelipisnya dengan mata terpejam. Bayangan mantan istrinya kini kembali hadir di dalam ingatannya. Padahal beberapa tahun ke depan, Satria sudah mencoba melupakannya dan tak memikirkannya. Namun saat membeli bunga itu wajahnya kembali lagi hadir dalam bayangan semu.Satria menghela napas pelan, ia kembali berjalan menuju kamar mandi. Lalu bersiap untuk ke kantor. "Satria, hari ini, Cika dioperasi…." Suara Yolanda terdengar memelas di pendengaran Satria. Satria terdiam, kembali sibuk memakai dasi. "Aku salah, oke aku tahu, Satria, tapi Cika itu darah dagingmu bukan?"Satria berjalan mendekat ke arah Yolanda.dan memberikan kartu ATM itu. "Apa kamu gak ngera
Waktu seolah lama sekali berputar, Satria menatap jauh di area persawahan. Satria hanya buang-buang waktu untuk meratapi kesedihannya. Dilema saat ini yang ia rasa bahkan disini di tempat ini pertama kali ia bertemu dengan gadis pujaan hatinya Eliana. Di sebuah desa yang begitu asri juga ramah lingkungan. Mereka berjalan beriringan melewati bentangan sawah penduduk suasana yang selalu ramai oleh para petani yang akan pergi ke sawah. Membuat Satria teringat akan kisah cintanya dengan Eliana saat itu. "Cantik kamu pagi ini." Ucapan itu membuat Eliana terkejut dan tentu menjadikan pipinya bersemu merah. Karena saat itu Satria merasakan hangatnya."Pagi-pagi sudah dapat rayuan gombal." Kala itu ia sedang menaiki sepeda mininya. "Kamu nanti bisa semangat untuk mengayuh sepedamu itu. Dan untuk melewati hari-hari selanjutnya bersamaku." Terlihat senyum terukir di bibir Elina."Alah merayu saja kau ini, awas aku mau lewat jangan dihalangi.""Tidak stop ....""Awas ich ... mau di tabrak?" An
Langit cerah mulai menampakkan sinarnya, menemani langkah Eliana menuju dapur, membantu Simbok memasak untuk sarapan pagi. Meskipun sudah sangat besar perut Eliana, namun ia tak ingin jika bermalas-malas. "Ma, dapat tugas tadi dari sekolah, Dafa lupa," wajah Dafa cemberut ke arah Eliana. Eliana tersenyun dan memegang kesua pundak anaknya. "Kenapa bisa begitu, kok tidak dikerjakan semalam.""Daffa lupa, Ma.""Baiklah sini, Mama bantuin kerjakan ya."Terlihat senyum mengembang dari wajah Dafa. "Iya, makasih, Mah."Eliana tersenyum ke arah Simbok. Sambil memotong sayuran, dan mencucinya ke wastafel sambil menyiapkan bumbu yang sudah di uleg. Mbok Siti tersenyum melihat Eliana meskipun hamil besar namun masih saja bantu-bantu si Mbok. Lalu berjalan mendekati Dafa dan membantunya Selesai membantu Dafa, Eliana bersiap ke toko bunga miliknya, Meski belum yakin akan mendapatkan izin dari suaminya. Karena akhir-akhir ini suaminya overprotective, tetapi Eliana pastikan semangatnya pasti sang
Welcome my baby"Maksudnya bagaimana, Zian...?" tanya Satria pada adiknya. "Ya, Mas Satria harus berani ngomong sama, Mbak Eliana, " jawab Zian sambil tersenyum, berharap kakanya bisa mengerti. Satria mengatur napasnya yang sedikit naik turun, dadanya seolah sulit untuk bernapas kini. "A---apa itu akan berhasil?" tanya Satria lagi tak percaya akan apa yang di ucapkan oleh adiknya. "Tidak ada yang salah, Mas, bahkan Ibu begitu merindukan Daffa."Satria menggangguk. "Entahlah apa aku berani melakukannya, Zian."Zian tersenyum. "Demi Ibu, Mas."Wajah Satria membulat menahan gejolak rindu yang lama ia abaikan. Seorang anak, bahkan apakah Daffa mengenalinya atau tidak. Rasanya Satria mengingat ke beberapa tahun yang lalu, saat ia memutuskan meninggalkan Eliana sendirian menanggung beban hingga ia mengusirnya tanpa rasa manusiawi. Dengan seluruh sesal menguasai relung jiwa Satria. Seketika, pandangannya buram tak bisa membayangkan jika Eliana begitu menderita selama ini. Satria menelan
"Dia, Ayah kamu, Daffa." Eliana berusaha setenang mungkin agar anaknya tidak syok. Daffa terlihat begitu bingung. "Maksudnya, Ayah. Ma?" tanya Daffa tak mengerti. Entah apa kesalahan Satria tidak termaafkan? Sehingga anak kandungnya tak mengenalinya seperti ini. "Iya sayang jadi ....""Jadi, aku adalah teman, Mama kamu saat kamu masih kecil kau sering memanggilku dengan sebutan, Ayah." Sahut Satria pada Eliana. "Benar begitu, Ma?" tanya Daffa pada Mamanya. Eliana menelan saliva yang terasa pahit. Ia tak ingin membuat anaknya terluka dan menjadi anak yang merasa terkucilkan. Air matanya jatuh membasahi pipi, entah ia tak bisa berpikir kali ini. "Sayang, Daffa, dia adalah Ayah kamu namanya Ayah Satria, beliau sama kayak Papa Rein. Jadi kalian ada ikatan darah mengerti sayang." Jelas Eliana pada Daffa. Daffa terdiam ... wajah yang ceria terlihat sangat murung, dan menatap ke arah Eliana. Sesaat hening tak ada satu kata suarapun yang keluar. "Ayah ... Ma? Tidak," tanya Daffa lagi.
Kehidupan seolah-olah tidak berpihak pada Satria. Hidupnya terasa membosankan saat Satria kehilangan arah tentang tujuan hidup. saat ini ia sudah tak memiliki suatu target, Satria merasa hidupnya begitu hampa. Satria merasa kehilangan arah, ia merasa terombang-ambing dan rasa bosanpun hadir menyelimutinya saat ini. Sinar mentari mulai masuk melalui celah jendela rumah sakit. Satria mengerjap beberapa kali sambil meraba sisi sebelum membuka mata dengan sempurna. Ternyata ia tertidur di sofa ruangan kamar Ibunya. Zian sudah bangun terlebih dahulu. Mengelap tubuh Ibunya dan menyuapinya. Selesai sarapan di kantin, bergegas Satria ke ruangan Ibunya dan kata Dokter sang Ibu diperbolehkan pulang. Entah... Saat ini rasa senang mendera dihati Satria. Mungkin keajaiban itu tiba sang Ibu pulih sesaat setelah bertemu dengan cucunya Daffa. "Satria, apa Ibu gak pulang kampung saja? Gak enak Ibu kalau harus di rumah kamu?" tanya Ibu pada putranya. "Tidak Bu, biarkan Ibu pulih dulu, baru kita pind
Selesai memakai baju Yolanda berlari mengejar Satria, tanpa menghiraukan panggilan, Anton kekasih sahabat karib Satria."Berhenti, Satria. Please jangan usir aku dari rumahmu.""Apanya, apa kurang jelas, mau aku bongkar videomu di sosmed?"Yoalnda menggalang kasar. "Pernikahan kita, bagaimana?"Satria tidak bereaksi, wajahnya datar. Namun, dalam hatinya berkecamuk hebat. Rasa muak mendapati selama ini affair dengan sahabatnya sendiri. "Kau lucu Yolanda,bahkan kau sudah tertangkap basah.""Plis ... tolong Satria maafkan aku!""Coba pikir, apa skandalmu bisa dimaafkan?""Aku mohon, Satria, setidaknya demi Cika."Keduanya sama-sama diam."Aku yang akan mengurus, Cika," ujar Satria dengan penuh amarah. Yolanda tidak menyahut."Kau tetap boleh berhubungan dengan perempuan yang kau suka. Yang penting biarkan aku di rumahmu!""Yolanda, aku sudah tidak peduli!""Maaf," ucap Yolanda menangis histerisDalam suatu hubungan pasti ada yang namanya masalah dan konflik, yang pada akhirnya membuat S
A few years laterSatria berada di samping putrinya Cika, yang sedang belajar menulis. Alhamdulillah setelah beberapa terapi dilakukan ia jadi bisa sedikit bicara dan bercanda bersama sang Ayah Satria. Ia pun tak lupa mengirimkan sejumlah uang tiap bulan untuk Daffa putranya. Satria berusaha untuk tegar dan ia jauh lebih berubah dari sebelumnya, lebih menghabiskan waktu di rumah dan kadang-kadang bermain bersama Daffa.Ya setidaknya Eliana masih mau mengizinkan nya bertemu dengan Daffa putranya. Sejenak Satria menarik napas dengan kasar, lalu membuangnya. Setelah kejadian itu Satria tak pernah lagi berurusan dengan wanita. Bahkan adiknya Zian sudah menikah dan membeli rumah baru. Tinggallah Bibi juga Ibu yang menemai hari-hatinya. Bagi Satria semua sudah berakhir, apa pun yang Eliana katakan itu sudah sangat membuat Satria puas. Meskipun sudah tak bisa memilikinya lagi. Namun, Satria diberi kesempatan untuk dimaafkan itu susah cukup bagi Satria. Saat Satria baru bercengkrama dengan Ci