Maaf ada yang terlewat sebelumnya. ****"Ibu … Wildan kangen." Bocah tujuh tahun itu merentangkan tangannya saat melihatku masuk rumah budenya. "Apa lagi Ibu. Sangat kangen sama anak Sholeh ini." Kubalas pelukannya dengan kedua tangan setelah berjongkok. Mensejajarkan dengan tubuh mungil yang kini ada dalam dekapan. Bertubi-tubi kuciumi pipi dan kening putra semata wayangku. "Gimana kabarnya Wildan? Nakal nggak?" Kutatap wajah polos di hadapan. Bujang kecil itu menggelengkan kepalanya kemudian berlalu pergi setelah dipanggil oleh Deri. Anaknya Mbak Niswa yang bontot."Wildan mah anaknya pinter, Lin. Tidak rewel sama sekali. Dia begitu dewasa di usianya yang segitu. Mandiri." Mbak Niswa meletakkan segelas air putih dan sepiring gorengan.Aku akuin itu meskipun, menjadi anak tunggal tidak menjadikan Wildan anak yang manja. Dia tergolong anak yang mandiri. Aku sengaja mendidik seperti itu. "Gimana kabar Bi Wiwin? Sudah ada perubahan? Maaf, Mbak belum sempat menjenguknya di rumah saki
Pandangan ku alihkan ke arah Bapak yang kini duduk di sisi Bunda. Segera, aku mengambil mengambil tempat di seberang mereka."Ngaco kalau ngomong! Duitku banyak. Tak perlu menggadaikan kartu tanda penduduk. Justru yang aku takutkan kamu akan menyalahgunakan KTP itu!" Nada sengit terdengar jelas dari suaranya."Aku percaya duitmu banyak. Kamu kan memang pintar cari uang. Buktinya sekarang setiap berapa hari sekali terima uang. Padahal, tanpa modal dan kerja keras terlebih dahulu, hanya ongkang-ongkang kaki kini tiap seminggu sekali memetik hasilnya, ya, kan, Mas?" ucapku sarkas. "Apa maksudmu?" Nada suaranya kembali tinggi. Aku yakin dia tersinggung. "He he he … nggak ada maksud. Lagian, segitu curiganya kamu sama aku, Mas? Kamu tenang aja, KTPmu hanya aku pinjam buat difotokopi. Besok pun sudah aku kembalikan." Berusaha setenang mungkin menjawabnya meski, dada ingin meledak bila ingat tentang semua ini."Malam ini kamu harus balik lagi ke sini! Tidak mungkin Mas menunggu ibu sendiri
Segera kubawa tubuhnya ke dekapanku. Hatiku sakit saat melihatnya tergugu, begitu pilu dan menyayat. Ada dengan anakku ya Allah? Apa mungkin dia mendengar obrolan kami? Rasanya tidak. Dari kamar Wildan tidak terdengar percakapan di ruang tamu. Lalu, apa yang membuatnya sedih seperti itu? "Wildan kenapa, Nak?" tanyaku dengan lembut setelah isaknya reda. Sekian lama ia berada dalam dekapanku. Kerudung ini pun basah oleh air mata Wildan."Bu, Wildan tadi mimpi," jawabnya sembari mengusap ingusnya."Mimpi apa, Sayang?" Kupandangi wajah yang tampak sedih itu dengan seksama. Tangan ini mengusap pucuk kepalanya yang tampak acak-acakan."Ayah pergi dari rumah ini dan dia bilang tidak mau kembali lagi karena marah sama Bunda. Wildan takut Bu. Wildan tidak mau Ayah pergi. Kata Ayah tadi, tidak mau ketemu Wildan lagi." Tangisnya kembali pecah."Sini, Sayang." Tubuh bujang kecil itu kembali kutarik dalam pelukan. "Apa Ayah sudah tidak sayang lagi sama Wildan, Bu? Apa Ayah marah beneran sama Wil
"Bun, Pak, gimana kabarnya? Kapan datangnya?" Pertanyaan yang dilontarkan Mas Radit ketika bertemu dengan kedua orang tuaku di lobi rumah sakit. Lelaki itu sengaja menemui kami di sini. Jam besuk masih beberapa menit lagi."Alhamdulillah kami baik, Dit." Punggung tangan Bapak dicium Mas Radit, tadzim. Sopan terlihatnya."Gimana kabar ibumu, Dit?" Kini Bunda yang bertanya sembari membiarkan punggung tangannya dicium mas Radit. "Sudah membaik, Bun. Maaf kalau kami tidak bisa menyambut kedatangan Bapak dan Bunda di rumah." Mas Radit sedikit membungkuk di depan kedua orang tuaku. "Tak apa. Kami memang sengaja untuk menjenguk besan. Tapi, maafkan kami baru sempat kemari. Kemarin capek. Maklum habis perjalanan jauh. Sudah gitu Alina juga terlihat sangat lelah." Mas Radit manggut-manggut mendengar uraian panjang Bunda. Aku menahan senyum saat mendengar penjelasan Bunda. Aku baru tahu kalau Perempuan itu juga sangat pandai bermain kata. Dan ini sama sekali tidak kami rencanakan terlebih da
"Lin, please. Akan aku lakukan apa pun agar kamu tidak menjual mobil itu." Lelaki itu berjongkok di depanku. Celingak-celinguk aku menatap sekitar. Ada beberapa pasang mata memperhatikan kami. Aku harus bagaimana ini? Ah, bodo amat!" Ya Allah … Mas, segitunya kamu mencintai mobil itu. Kamu takut banget aku mau menjual mobil. Padahal, itu tadi hanya misalnya, Mas. Nggak usahlah tegang gitu. Ada lagi yang mau dibahas? Kalau tidak aku akan menyusul kedua orang tuaku." Aku melangkah meninggalkannya. Tapi, aku kembali memutar badan. "Pantes kamu bilang aku ada maksud mengundang orang tuaku. Ternyata kamu takut sesuatu. Eh, Mas biasanya orang yang suka menuduh tanpa bukti serta marah-marah tidak jelas pada orang lain, itu sebenarnya ia sedang menutupi kesalahannya sendiri. Dia pikir dengan marah ke orang lain, maka kesalahannya akan terselamatkan dan tidak akan ada yang mengungkit, gitu, Mas? Kamu sedang menyembunyikan sesuatu kan?" Lelaki itu mematung di tempatnya. Wajahnya memucat seket
Di saat seperti ini aku kangen Desti. Biasanya perempuan itu akan berusaha menenangkan hatiku yang sedang gundah dengan caranya sendiri. Dia wanita yang sangat pandai mengembalikan moodku.Sayang, aku tidak bisa segera pulang ke sana karena Ibu sedang sakit seperti ini. Ah, sebaiknya aku telepon saja sekarang. [Assalamu'alaikum, De. Lagi apa, Sayang?] Aku tersenyum saat mendengar suaranya[Waalaikummussallam, Bang. Alhamdulillah Adek di sini sehat. Gimana kabarnya Ibu, Sayang?] Suaranya yang mendayu membuatku rindu.[Ibu, Mungkin besok sudah bisa dibawa pulang. De, nggak papa Abang di sini agak lama sedikit?] Aku takut perempuan itu marah kalau diri ini kelamaan di sini.[Ya nggak papalah, Bang. Kan di situ ada Ibu yang sedang membutuhkan. Sebagai anak lelaki satu-satunya Abang bertanggung jawab terhadap Ibu.] Inilah yang selalu aku suka dari Desti. Selalu menyenangkan dan menenangkan. [Bang, kok pesan WhatsAppku tidak dibalas?] Aku tepuk jidat seketika.[Maaf, Sayang. Handphone A
"Toko Ralia grosir lumayan ramai, ya?" ucapnya di dekat telingaku. Suaranya pelan tapi cukup membuatku tersentak. Aku membeku seketika. Kata-kata Bowo bagai air es yang mengguyur seluruh tubuh ini. Dari nama dia tahu masalah itu? "Saya pernah mampir ke sana dan melihat mobil Pak Radit parkir di samping toko. Saya hapal betul itu mobil Anda. Seketika saya bertanya dengan pemilik toko, siapa pemilik mobil plat BE tersebut? Perempuan berwajah manis itu menjawab milik suami saya. Dari situ saya tahu," ungkapnya di samping telinga ini dengan suara yang sangat pelan. Nyaris tak terdengar malah.Gleg!Susah payah aku menelan ludah. Keringat dingin mengucur di kening. Aku tak bisa membantahnya.Degup jantung bekerja lebih cepat dari biasanya. Ada rasa tak nyaman yang menyelimutiku. Baru kali ini ada lelaki yang suka ikut campur urusan rumah tangga orang.Jangan-jangan dia yang telah membongkar semua ini pada Alina. Ya, aku yakin sekali dia yang membuat istriku berubah. "Kalau sudah tak menc
Kubawa kaki melangkah meninggalkan taman, meninggalkan manusia picik nan li cik itu. Mas Radit adalah definisi manusia tak tahu diri. Tak sadar diri. Peng khi anat berteriak kh ian at. Satu telunjuk mengarah padaku tapi tidak sadar empat jari yang lain mengarah pada dirinya sendiri. Dadaku kembali bergemuruh saat mengingat ucapan lelaki itu. Tuduhan tanpa dasar itu menunjukkan kualitas dirinya yang pi cik. Menambah alasan mati rasanya hati ini.Di dalam sini magma emosi sudah meletup-letup. Namun, aku sudah tidak ingin lagi berdebat dengan manusia tak tahu diri itu. Aku sudah tidak ingin lagi berurusan dengannya. Biarlah akan segera kuurus hartaku dari jarak jauh. Mungkin aku harus merubah rencana. Akan aku jalan rencana yang lain, tidak sesuai dengan rancangan yang pertama.Rasa sakit di hati ini membuatku enggan bermalam di rumah sakit. Terserah mau dianggap apa. Radit yang telah membuatku hilang rasa. Aku harus segera menghubungi bapak meminta dijemput. Aku tidak ingin lagi meliha