Share

Bab 4

Jangan lupa subscribe, ya agar selalu mendapatkan notifikasi update jika ada part baru🤗

 

#Saat istriku tak lagi kerja

 

 

Setelah perkataan Rania yang mengejekku agar mencari istri yang baru dengan sifat sabar dalam mengurus Mama dan Ica, aku mulai mendekati beberapa wanita. Baik di sosial media, ataupun teman-teman kerja.

 

"Kamu ngapain tadi pake gombalin Nita?" dengan tubuhnya yang kurus dengan sorot mata tajamnya, Bara menghampiriku.

 

"Aku enggak gombal."

 

"Kau!" Bara semakin melebarkan matanya ketika mendengar perbuatanku.

 

"Kenapa kaget gitu? Bukankah lebih banyak lebih baik?" Daripada melihatnya emosi seperti ini, aku memilih mencari aman dengan memintanya duduk dan membuatkan segelas kopi kesukaannya.

 

"Sekeras apapun usahamu untuk meredakan amarahku, itu tidak akan ngaruh. Karena aku sudah lebih dulu tahu bagaimana sifatmu pada seorang bidadari yang bernama istri," ucapnya masih menajamkan tatapan.

 

Bidadari? Mimpi kali si Bara ini. Mana ada seorang istri jadi bidadari, kecuali dia bisa membantu mamaku dan Ica, baru aku acungi jempol dan dia berhak untuk menjadi bidadariku.

 

"Harusnya kau itu nasehati ibu dan adikmu agar hidup mandiri, jangan apa-apa dibelikan oleh Rani. Karena dia kan juga pasti punya titik dimana uangnya kurang dan tidak bisa membelikan apa yang mereka inginkan." Lagi, Bara menyalahkan mamaku dan Ica.

 

Padahal mamalah yang dulu banyak berjasa dalam hidupku, bukan orang lain yang tiba-tiba menjadi status sebagai seorang istri. 

 

Aku hanya terdiam menanggapi perkataannya. Malas. Itulah yang hatiku katakan ketika Bara sudah bicara.

 

 

 

***

 

 

Sepulang kerja, aku melihat mama dan Ica berbaring lemas di sofa.

 

"Mas, Ca, kenapa?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu.

 

Mereka pun duduk dengan lemas dan menghadap ke arahku.

 

"Mama belum makan dari siang," ucap Mama merajuk.

 

"Aku juga sama." Ica pun berkata dengan lemah.

 

Rahangku seketika mengeras.

 

 "Dimana Rania?"

 

Mereka hanya saling tatap ketika aku tanyai.

 

"Jawab saja! Apa dia keluar?"

 

"Tidak, Mas. Tadi Mbak Rania masuk ke dalam rumah dengan membawa banyak makanan."

 

Ica menjawab dengan mata yang mulai berurai air mata.

 

Aku masih menunggu jawabannya.

 

"Lihat itu istrimu, dia membawa makanan ke rumah ini, tapi tidak membaginya dengan kita," sambung Mama dengan terisak.

 

"Keterlaluan Rania itu!"

 

Dengan langkah besar, aku berjalan ke kamar untuk menemui Rania, dan mengetuk pintu dengan keras. Kupikir tidak dikunci, tapi ternyata....

 

Dasar kau Rani, beraninya kau memperlakukan adik dan mamaku seperti ini.

 

"Rani! Buka pintunya!"

 

Beberapa kali aku mencoba untuk mendorong pintu, tapi tidak bisa. Aku baru tahu kalau ternyata mendobrak pintu itu bukan hal yang mudah dan yang di film-film itu kebanyakan bohong.

 

"Kau enggak akan bisa diobrak, Mas." Rania mulai menjawab. "Jangan kau kira mendobrak pintu itu akan langsung berhasil hanya dengan tiga kali usaha seperti di film. Tapi kau juga jangan menyalahkan filmnya, karena itu murni kesalahanmu sendiri, Mas. Orang fiksi kok," jelasnya yang membuatku diam sejenak.

 

Kenapa dia bisa tahu isi hatiku? Apa mungkin dia bisa baca pikiran orang?

 

"Aku memang bisa baca pikiran orang, Mas, terutama kamu. Orang yang paling pintar di dunia kerja tapi kebalikannya di dunia nyata."

 

Kali ini emosiku meningkat berkali-kali, beraninya dia mengatai aku tidak pintar.

 

"Jangan salahkan aku seperti ini, Mas. Kau sendiri yang sudah dzolim pada istrimu sendiri," ucapnya lagi.

 

Jelas-jelas dia yang lebih dulu dzolim pada keluargaku, kalau dia baik aku pun akan ikut baik.

 

"Dobrak lagi saja pintu!" titah Mama yang ternyata sudah berada di samping kananku.

 

"Enggak bisa, Mas. Seperti ada benda yang sengaja di simpan di depan pintu," jawabku pasrah.

 

"Kamu jangan loyo gitu, dong. Dia itu sudah durhaka sama surga suaminya sendiri, jadi enggak bisa dibiarkan." Mama tetap ngotot.

 

"Pake ini, Kak!"

 

Aneh, Ica tiba-tiba datang dengan seorang laki-laki yang membawa gergaji mesin. Apa dia membawa orang ini dari pabrik kayu yang di depan?

 

"Enggak usah, nanti rusak. Mas belum ada uang untuk beli yang baru," tolakku halus.

 

"Lakukan saja, Riko! Ini perintah Mama dan kamu tidak perlu ganti pintu ini nanti, jadi kita bisa terus mengecek apa saja yang sudah dilakukan nanti yang kurang akhlak itu," jelas Mama emosi.

 

Aku hanya menggangguk. Benar juga apa yang dikatakan Mama, nanti-nanti mereka bisa mengambil makanan atau apapun yang Rania punya tanpa izinnya.

 

Kupinta orang itu untuk menggergaji pintu yang menjadi penghalang untuk kami masuk tanpa memberitahu Rania terlebih dahulu.

 

Biarkan saja, biar dia tahu rasa.

 

Tidak butuh waktu lama, pintu langsung terbuka dan jatuh di hadapan kita. Karena di dalam ada meja kecil yang menghalanginya, jadi tidak jatuh ke belakang.

 

Rania sudah kelewatan.

 

Kami langsung masuk ke dalam kamar, tapi anehnya ternyata Rania tidak ada di sana. Lelah kami mencari, tapi tetep tidak ditemukan. Lantas siapa tadi yang berbicara??

 

 

 

 

Next enggak?  Nanti ya kalau sudah rame, Yuk subscribe, ya, dan tinggalkan jejak 😘

 

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Supriatno
baru bab 5 terus minta koin,, nggak jadi baca aaah ceritanya aja nggak ngejamin seru
goodnovel comment avatar
Icha Bella
mana sudi beli koin good novel kere najiiiis
goodnovel comment avatar
Kamalia
thor kurang banyak minta koin nya minta nya satu bab 50koin. biar ndak laku sekalian.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status