Share

Kimmy vs Hantu Tampan
Kimmy vs Hantu Tampan
Author: Cerah pagi

Bab 1

Author: Cerah pagi
last update Last Updated: 2025-09-09 20:18:57

"Kim, lo yakin mau tinggal di apartemen ini?" tanya Nala lagi begitu kami tiba di depan gedung apartemen yang aku sewa. Suaranya penuh keraguan, dan aku bisa merasakan keinginannya agar aku mempertimbangkan ulang keputusanku.

"Yakin banget!" jawabku dengan semangat, mencoba menepis semua keraguan yang tergambar jelas di wajahnya.

"Lo gak takut apa?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah berbisik seolah takut sesuatu mendengar.

"Takut? Kenapa mesti takut?" aku menjawab santai, bahkan mungkin terlalu santai hingga Nala mengernyit. Aku tahu apa yang ada di pikirannya.

"Kimmy...!!! Lo gak dengar cerita tentang apartemen nomor 14 itu? Kan terkenal banget angker," lanjut Nala dengan suara mendesak, berusaha keras membuatku goyah.

Aku tersenyum, memperhatikan wajah paniknya yang begitu tulus. "Dengar kok," jawabku ringan.

Nala tampak terkejut dengan reaksiku. "Terus, lo kok masih mau tinggal di sana? Gue gak mau nanti keperawanan lo diambil sama hantu perjaka tua di sana," sergahnya setengah bercanda, setengah serius, meskipun jelas matanya menyiratkan kekhawatiran nyata.

Aku tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangannya. "Nala sayang... Lo kan cuma masih dengerin gosip-gosip yang enggak jelas dari sana-sini aja. Kalau kita gak buktiin sendiri, buat apa percaya sama omongan orang lain?" ucapku dengan nada lembut, tetapi pasti.

"Lagian, ketemu hantu itu udah hal biasa buat gue. Lo sendiri juga tahu, kan, apa kerjaan gue?" aku menambahkan sambil menatapnya penuh arti.

Nala terdiam, tapi aku tahu dia tidak sepenuhnya puas dengan jawabanku. Aku mengerti kekhawatirannya, tapi di saat yang sama, aku tidak mau terjebak dalam ketakutan yang diciptakan orang lain. Aku memilih percaya pada penilaianku sendiri, bukan cerita yang beredar di luar sana.

"Kim, gue tau Lo gak takut sama namanya hantu karena Lo sendiri bisa lihat makhluk-makhluk astral itu. Apalagi kerjaan Lo kan dukun tukang usir hantu!" ucap Nala sambil menunduk.

"Nala, gue bukan dukun! Jangan bilang dukun dong," sergahku, nada protes langsung muncul di suaraku.

"Pekerjaan gue itu gadis pengusir hantu. Ngerti, gak? Itu beda!"

"Iya, itu maksud gue. Meski Lo kuat dan bisa usir hantu, masalahnya di sana itu hantunya hantu perjaka tua, Kim!" ucap Nala, seakan mencoba memperingatiku.

Tatapan khawatir terpancar jelas di matanya. Aku menghela napas, berusaha sabar menghadapi ketakutannya yang buatku,terasa agak berlebihan. "Nala, denger ya, Lo mesti percaya sama gue. Gue gak akan kenapa-napa. Gue udah biasa hadapin yang kayak gitu." Suaraku pelan tapi tegas, mencoba menenangkan.

"Lagipula, kapan lagi gue bisa dapat apartemen mewah dengan harga murah banget? Lo tau sendiri gimana keuangan gue sekarang. Gue harus ngumpulin uang buat operasi mata ke luar negeri."

Aku terdiam sejenak, lalu melanjutkan lebih lirih, "Gue pengen jadi gadis normal, kayak orang lain di luar sana. Gadis yang enggak harus lihat makhluk-makhluk aneh ini setiap hari. Hidup kayak gue itu gak enak, Nala... beda banget sama orang-orang biasa." Tatapanku beralih padanya, berharap dia mengerti.

Meskipun dia mungkin enggak akan pernah sepenuhnya paham, aku butuh dia tahu bahwa aku enggak takut. Aku cuma ingin kesempatan untuk berubah, untuk merasa normal.

"Yaudah gue percaya. Tapi gue cuma bisa antar lo sampai sini aja. Sumpah, gue takut banget!" kata Nala sambil meletakkan koperku di depan apartemen nomor 14, tempat yang akan aku tinggali. Setelah itu, dia langsung berlari terbirit-birit seperti dikejar sesuatu, tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Aku hanya bisa tersenyum kecil, geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabat terdekatku itu.

Aku menarik napas panjang dan berdiri di depan pintu apartemen ini. Ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini, sebuah hawa yang berbeda dan menyeruak di sekelilingku. Entah kenapa, aku merasa seperti ada energi lama yang terperangkap di dalam ruangan di balik pintu ini. Nala mungkin terlalu berlebihan dengan ceritanya tentang si "perjaka tua", tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. "Ah, sudahlah. Aku nggak boleh takut," batinku menguatkan diri.

Rasa takut adalah senjata mereka, kan? Aku nggak boleh membiarkan ketakutan menguasai pikiranku. Dengan tangan sedikit bergetar, aku mulai meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Dan di saat pintu itu terbuka, mataku terbelalak. Sesaat aku tidak bisa berpikir. Sebuah tongkat golf melesat ke arahku dari dalam, cukup cepat untuk membuatku nyaris kehilangan keseimbangan. Untung saja refleksku sigap, tubuhku dengan cepat menghindar sebelum tongkat itu mendarat tepat di kepalaku.

"Apa-apaan ini?" gumamku dengan suara tertahan.

Aku memandang ke sekeliling ruangan. Sepi. Tak ada tanda-tanda seseorang—atau apapun yang bisa melempar tongkat itu kepadaku. Tapi hawa itu, hawa yang mengganggu tadi, makin terasa kuat di sini.

"Apakah benar ada sesuatu di tempat ini?" pikirku, sambil mencoba menenangkan debaran jantungku.

Nala mungkin nggak sepenuhnya salah. Tapi siapa atau apa si "perjaka tua" yang katanya mendiami tempat ini? Aku belum tahu jawabannya, tapi satu hal yang pasti—aku nggak boleh menunjukkan ketakutan. Tempat ini, bagaimanapun caranya, akan menjadi rumahku. Setidaknya untuk sekarang.

"Ternyata ada yang mau main-main cantik dengan saya!" Ucapku tersenyum semangat.

"Kalau mau aman, kamu hanya perlu tinggal diam dan jangan ganggu saya. Atau kamu mau langsung aku kirim ke alam baka?" Tanyaku dengan lantang, suaraku menggema di sudut-sudut ruangan yang sunyi.

Tanganku mengeluarkan tongkat dari dalam tas ranselku, siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Namun, bukannya mundur atau berhenti, makhluk menyebalkan itu justru semakin mempermainkan kesabaranku. Dia terus melempar barang tak tentu arah—lemari bergoyang, kursi bergerak, buku-buku berserakan—tetapi tetap tak memperlihatkan wujudnya. Aku tahu dia sengaja bermain petak umpet denganku.

Kesabaranku yang serasa hanya setipis tisu ini hampir habis. Amarah yang semula hanya berdesis kini mulai menyala seperti api kecil yang dipantik bensin. Mataku liar mengitari ruangan. Berantakan di mana-mana, setiap sudut tampak kacau seperti medan perang, kecuali satu benda—sebuah piano besar berwarna putih, berdiri kokoh tanpa goresan sedikit pun. Tidak ada debu yang berani hinggap di permukaannya, seolah benda itu dilindungi oleh semacam aura magis. Aku tersenyum sinis.

"Ah, jadi ini yang paling kau sayangi, ya?" gumamku, akhirnya menangkap kelemahannya.

Sudut bibirku terangkat, penuh dengan rasa puas akan rencanaku berikutnya. Dengan langkah tegas, aku berjalan menghampiri piano itu, tangan mengangkat tongkatku tinggi-tinggi, siap menghantamkan kekesalanku pada benda itu. Jika dia tidak mau berhenti, aku akan memastikan ini menjadi tamparan keras baginya—baik secara fisik maupun emosional.

"Mau terus bermain? Lihat saja apa yang akan terjadi pada benda kesayanganmu." Aku menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gemuruh di dadaku sebelum tongkatku bergerak.

"Kalau kamu tidak menampakkan wujudmu juga, aku jamin benda kesayanganmu ini akan kuhancurkan berkeping-keping!" Aku mengucapkan ancamanku dengan tegas, meski di dalam hati sebenarnya aku mulai ragu apakah ini cara yang benar.

Tiba-tiba, suara yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar. “Jangan...!!” teriaknya memohon.

Lalu, sosok yang sudah menguras habis kesabaranku akhirnya muncul dari bayang-bayang di depanku. Aku menatapnya dengan mata membelalak.

“Jangan hancurkan piano ini! Aku mohon!” Suaranya gemetar penuh emosi. Wajahnya terlihat begitu jelas—tidak seperti yang aku bayangkan sama sekali. Aku terpaku.

"Wow... tampannya?" gumamku dalam hati, tercengang.

Jadi ini hantu perjaka tua yang disebut Nala? Mana ada kesan tua di wajah itu? Yang kulihat justru sesosok pria tampan nan menawan, meskipun sorot matanya sedikit menyebalkan. Sejenak, aku bingung harus berkata apa.

“Kamu… bisa melihatku?” tanyanya, ekspresinya campuran antara rasa heran dan ketidakpercayaan. Tatapannya tertuju langsung kepadaku, dan aku tidak bisa berpaling. Napasku memburu, bukan karena ketakutan, tapi karena penasaran yang mendadak muncul.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 6

    Keesokan harinya, aku terjaga dari tidur agak siang. Usai merapikan tempat tidur dan mandi, rencanaku hari ini adalah mampir ke rumah Nala sebelum menuju ke tempat kerja malam hari. Saat aku sedang bersiap-siap, si hantu tampan mendekat."Kamu mau kemana? Aku ikut!" serunya penuh semangat."Kamu disini saja! Saya ada perlu keluar sebentar," jawabku tegas, sambil menolak usulnya.Wajahnya yang semula cerah berubah muram, seakan ada awan gelap yang mendung di atasnya. Dengan lesu, dia duduk di pojokan, matanya menerawang lemah. Aku menghela nafas melihat ekspresi laparnya, serupa anak yang terlupa makan selama seminggu."Kamu juga gak bakalan bisa ikut. Kamu lihat di luar sana, matahari bersinar terang. Kamu mau hancur terbakar matahari?" tegas ku lagi."Eh iya ya... aku lupa kalau sekarang sudah siang," katanya dengan senyum malu-malu. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal."Makanya kamu tunggu di sini dulu. Aku juga pergi sebentar. Jangan tanya oleh-olehnya apa, karena kamu gak bakal

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 5

    Aku yang sudah mandi dan berganti pakaian kini duduk di depan si hantu tampan, menatapnya tajam tanpa ragu. Matanya tertunduk, seperti paham bahwa aku tengah kesal dan marah padanya. Dia tampak seolah tak bersalah, tapi aku tak akan begitu saja terkecoh."Kamu," ujarku sambil menunjuknya dengan telunjuk yang masih sedikit gemetar karena emosi."Sorry, aku nggak tahu kamu lagi mandi. Siapa juga yang mandi telanjang kayak gitu!" balasnya santai, tanpa rasa bersalah.Mendengar itu, amarahku semakin memuncak. "Kamu sendiri ngapain ke kamar mandi?" tanyaku penuh selidik, menahan diri agar suaraku tidak meledak."Mau mandi juga," jawabnya ringan.Aku memutar mata, berusaha mencerna absurditas jawabannya. Mana ada hantu yang mau mandi? Apa dia pikir aku sebodoh itu untuk mempercayainya? Ini jelas hanya alasan. Alibi murahan untuk menutupi kebiasaan mesumnya. Aku yakin di balik wajah tampannya, dia menyimpan niat-niat tersembunyi yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Aku harus tetap waspada—

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 4

    Tak ada ketakutan sedikit pun di dalam diriku saat berhadapan dengan sosok hantu wanita berbadan tambun itu. Meski napasku sedikit memburu, aku tetap menatapnya dengan penuh keyakinan. Dengan gerakan cepat, kulempar tongkat di tanganku ke arah bahu kanannya, tepat mengenai sasaran. Dia meringis kesakitan, tetapi matanya segera membara penuh kemarahan."Tidak kusangka, ternyata kamu bisa melihatku dan memiliki keahlian semacam ini," ucap hantu itu dengan nada heran, senyumnya menipis, seolah meremehkanku."Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi denganmu. Mari kita akhiri semua ini sekarang juga!" balasku tegas, tanpa ada keraguan.Dalam benakku, aku tahu percuma memperpanjang obrolan dengannya. Meski tubuhnya tambun, gerakannya ternyata jauh dari perkiraan. Ia bergerak begitu lincah, bahkan larinya secepat bayangan yang membuatku cukup kewalahan untuk mengimbangi. Hatiku mulai gelisah.Bagaimana aku bisa menghentikannya? Langkahku sedikit terhenti saat kucoba mencari titik kelemahann

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 3

    Mau tak mau, suka tak suka, aku menyeret si hantu tampan yang kini terlihat lebih ketakutan dari sebelumnya ke depan apartemen nomor 13. Wajahnya pucat, tapi dia tidak berkata apa-apa. Mungkin sadar bahwa jika dia melawan, aku bisa saja benar-benar mengusirnya mentah-mentah dari sini.Kami kini berdiri di depan pintu apartemen yang terlihat sunyi. Sayangnya, pintu itu terkunci rapat, dan kami sama sekali tidak memiliki kuncinya. Aku menatap pintu tersebut sambil menghela napas. Apa sekarang harus menyerah saja? Tidak, aku bukan tipe yang mudah menyerah tanpa mencoba. Aku memutuskan untuk mencari bantuan.Langkah kakiku membawa aku ke bagian pos satpam. Seorang pria penjaga tua berdiri di sana, wajahnya penuh dengan keraguan begitu aku mulai mengajaknya berbicara."Pak, apa Bapak tahu sesuatu tentang apartemen nomor 13?" tanyaku sambil mencoba terdengar biasa saja, walaupun ada rasa ingin tahu yang mendesak di hatiku.Dia mengernyit sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan dan hati-hat

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 2

    "Tunggu, kamu serius bisa melihatku?" tanyanya sekali lagi, matanya berbinar penuh antusias."Hmm," sahutku sambil mengangguk pelan. Aku tetap waspada."Akhirnya..." bisiknya, terlihat ada kebahagiaan terpancar di wajahnya.Akhirnya? Apa maksudnya? Jantungku berdegup semakin kencang. Apa mungkin benar yang Nala bilang, kalau dia membutuhkan manusia perawan seperti aku agar tetap kekal di dunia ini? Ya ampun, kalau itu benar, aku dalam bahaya besar! Tidak boleh menunggu lebih lama lagi, ini saatnya! Aku harus menghentikannya sekarang juga!"Dasar makhluk menjijikkan! Kau tidak akan bisa memanfaatkan aku!" teriakku dalam hati sebelum mulai mengayunkan tongkat ke arahnya dengan penuh tekad.Namun, sebelum tongkatku sempat mengenainya, dia tiba-tiba menyatukan kedua tangannya dan berteriak. "Jangan! Jangan pukul aku! Tolong, jangan pukul aku!" katanya memohon dengan suara memelas.Aku mendengus, menguatkan hati. "Tidak bisa! Kamu ini sudah cukup lama mengganggu orang-orang di sekitar sini

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 1

    "Kim, lo yakin mau tinggal di apartemen ini?" tanya Nala lagi begitu kami tiba di depan gedung apartemen yang aku sewa. Suaranya penuh keraguan, dan aku bisa merasakan keinginannya agar aku mempertimbangkan ulang keputusanku."Yakin banget!" jawabku dengan semangat, mencoba menepis semua keraguan yang tergambar jelas di wajahnya."Lo gak takut apa?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah berbisik seolah takut sesuatu mendengar."Takut? Kenapa mesti takut?" aku menjawab santai, bahkan mungkin terlalu santai hingga Nala mengernyit. Aku tahu apa yang ada di pikirannya."Kimmy...!!! Lo gak dengar cerita tentang apartemen nomor 14 itu? Kan terkenal banget angker," lanjut Nala dengan suara mendesak, berusaha keras membuatku goyah.Aku tersenyum, memperhatikan wajah paniknya yang begitu tulus. "Dengar kok," jawabku ringan.Nala tampak terkejut dengan reaksiku. "Terus, lo kok masih mau tinggal di sana? Gue gak mau nanti keperawanan lo diambil sama hantu perjaka tua di sana," sergahnya s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status