Share

Kita yang Terlambat Jatuh Cinta
Kita yang Terlambat Jatuh Cinta
Author: Sefryana Khairil

1

last update Last Updated: 2025-05-20 20:29:44

Sungguh ironis. Di saat seperti ini, Samsara Kuswandana menyadari betapa sedikit yang ia tahu tentang Ezra Jusuf selain namanya. Lelaki itu jelas bukan orang sembarangan, pikirnya saat matanya menyapu ruang tamu rumah keluarga Jusuf yang megah—pilar marmer menjulang, jendela kaca patri dengan motif bunga musim gugur, dan langit-langit tinggi tempat lampu gantung kristal berayun pelan. Semuanya terasa asing, mewah... dan menghimpit.

Samsara berdiri mematung di dalam foyer megah yang terasa asing. Kaki Samsara yang mengenakan sepatu datar seolah menempel kaku di lantai marmer dingin, seolah menegaskan betapa kecil dirinya di tengah semua kemewahan ini. Ia menarik napas dalam-dalam, tapi aroma eukaliptus kering di vas kuningan besar justru menyesakkan perutnya.

Di luar, langit Jakarta mulai meremang. Di sana, suara-suara lantang ayahnya, Ajat Kuswandana, dan balasan tenang tapi penuh tekanan dari Aidan Jusuf—putra sulung keluarga Jusuf—yang kebetulan sedang berada di sana.

Samsara menunduk. Ia tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Tapi ketegangan itu sudah terpatri dalam dinding rumah ini. Meja antik, kursi beludru, cermin besar berbingkai emas—semuanya diam, tapi menyaksikan. Ketegangan menggantung pekat di udara, seperti awan badai yang siap menyambar.

Lalu, suara pintu depan terbuka.

Langkah ringan masuk, diiringi aroma udara sore Jakarta yang lembap bercampur wangi parfum maskulin dengan sentuhan kayu dan rempah. Samsara menoleh perlahan. Sosok itu muncul, mengenakan kaus abu-abu tua, dipadukan dengan celana chino krem bersih dan sandal kulit cokelat model selop yang biasa dikenakan lelaki mapan ibu kota. Di pergelangan tangannya, jam tangan klasik dari kulit berkilau samar. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Itu Ezra Jusuf. Ia tampak terlalu tenang untuk badai yang sedang menanti.

Ezra menyapukan pandangannya ke dalam rumah, bersiul kecil. Sempat melirik beberapa surat di meja, lalu menaiki tangga—dua anak tangga sekaligus. Ia tidak menyadari kehadiran Samsara dan keluarganya, yang duduk tegang di sana.

Tapi langkahnya tertahan oleh suara berat dari ruang tamu. "Ezra, sini!"

Suara Aidan Jusuf. Tegas. Lugas.

Ezra menghela napas dan berbalik turun. Dia memasuki ruang tamu. Semua mata mengarah padanya yang memandang dengan wajah tanpa rasa bersalah. Melihat Ainur, ibunya berada di sana, Ezra segera menghampirinya dan mencium tangannya.

Saat itulah Ezra menyadari kehadiran seorang perempuan. Ia melihat Samsara. "Oh," ucapnya, nyaris kaget. "Kamu..."

"Hai, Ezra," kata Samsara.

Ainur memicingkan mata pada putranya, lantas bertanya, "Kamu kenal dia, Ezra?"

"Nggak, Mi," jawab Ezra.

Samsara tersentak mendengar jawaban itu. Hatinya bergemuruh karena gejolak emosi. Pembohong! Lelaki itu benar-benar bajingan.

Ezra menatap Samsara sekali lagi. Kali ini seolah mengamati lebih diam. Ada secercah sinar di mata lelaki itu, yang seolah menjadi penanda kalau lelaki itu mengenali Samsara. Kemudian, Ezra menatap sekelilingnya dengan sorot bingung. "Ini ada apa sih?" Matanya kembali ke Samsara. "Kamu menjebakku?"

"Sama sekali nggak," balas Samsara. Dia bertanya-tanya dalam hati berapa lama dirinya mampu mempertahankan ketenangan yang pura-pura ini.

Tiba-tiba Ajat berdiri dengan wajah berang. Dia menunjuk Ezra. "Berani-beraninya ngomong begitu! Kamu itu harus tanggung jawab dan harus bayar mahal! Anak saya hamil!"

"Pak Ajat, tolong tenang dulu," tukas Aidan.

"Gimana saya bisa tenang di saat seperti ini? Cepat buat dia mengaku atau saya bisa buat dia babak belur sekarang juga, tahu nggak?!" seru Ajat.

Sesuatu yang licik tampak merayap di dalam diri Ezra. Dia melirik tajam ke arah gadis itu, tetapi Samsara tetap tenang. Belum ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Namun, Ajat tidak sabar. Dia kembali bersuara, "Kenapa diam saja? Kamu takut? Berani berbuat, tapi tidak mau tanggung jawab, iya?" cecarnya. "Bilang sama kakak dan ibu kamu, kamu sudah meniduri anak saya! Jangan kira karena kamu anak orang kaya, bisa seenaknya mainin anak gadis orang!" Ajat menunjukkan tinjunya di depan hidung Ezra. "Kamu harus tanggung jawab menikahi anak saya, kasih saya lima milyar, atau saya akan buat keributan di sini!"

Ezra menarik napas tajam. Masih berusaha menjaga ketenangannya.

"Dan jangan kira saya nggak tahu siapa kamu! CTO, ya? Dynasty Group? Percuma punya jabatan tinggi kalau nggak punya moral!" pekik Ajat. Ia menempelkan telunjuknya ke dada Ezra. "Laki-laki macam kamu harus diajarin caranya bertanggung jawab!"

"Sabar, Pak. Biar saya tanya anak saya sekali lagi." Ainur menahan Ajat. "Jawab Ami, Ezra. Kamu kenal perempuan ini?"

Sebelum Ezra menjawab, Ajat bangun dari kursinya. Dia mendorong tubuh Ezra ke dekat tubuh Samsara. "Bilang sama keluarganya, Sam! Bilang ke mereka kalau anak ini yang sudah menghamilimu!"

Secara naluriah, Samsara menjauh dari aroma napas ayahnya yang menyengat oleh alkohol. Tetapi ayahnya meraih pipinya, menangkup dengan kasar, dan berkata tak sabar, "Bilang sama mereka, Nak."

Ezra menarik tangan Ajat dari wajah Samsara. "Lepaskan dia! Dia kesakitan!" Dia berdiri di antara ayah dan anak itu. "Saya bilang, saya tidak kenal anak Bapak. Tapi saya ingat dia."

Samsara memandang Ezra dengan tatapan penuh peringatan. Pipinya terasa sakit akibat cengkeraman ayahnya tadi.

"Tuh, dengar sendiri semua! Anak saya nggak bohong!" Ajat mengarahkan matanya pada Ainur dan Aidan yang tampak pias setelah mendengar ucapan Ezra.

Aidan menatap Ezra. "Jadi, bayi di kandungan Samsara itu bener anak lo, Zra?"

"Gue nggak bilang begitu, Bang," ungkap Ezra. "Gue ingat, gue pernah ketemu dia."

"Kapan?" desak Aidan.

"Mm... sebulan atau dua lalu, kalau nggak salah," kata Ezra.

"Sebulan atau dua bulan lalu? Yang jelas, Ezra. Biar kita pastikan apakah sama dengan usia kandungannya," sambung Ainur.

"Sebulan lalu. Tanggal 16 Juli." Kali ini Samsara yang menjawab. Dia menahan rasa malu yang semakin membuncah. "Kami dikenalkan sepupu saya, Ruci. Ruci itu pacarnya Fajrin—teman dekatnya Ezra."

Ekspresi puas terlihat di wajah Ajat Kuswandana, semakin membuatnya tampak menjijikkan.

"Benar begitu, Ezra?" tanya Aidan kepada adiknya.

Ezra mengepalkan tangan dan memejamkan mata. Dia mendenguk ludah sebelum menjawab, "Iya, Bang."

"Setelah saling kenalan, kalian ke mana?" ujar Ainur.

"Ezra mengajak saya jalan-jalan ke Sea Aquarium di Bintaro. Kami lama di sana." Samsara bertutur lagi sambil menunduk. "Pas mau pulang, Ezra mencium saya di mobil. Terus, dia mengajak saya ke apartemennya. Semua terjadi di sana. Tapi, itu terjadi atas persetujuan kami berdua."

Ajat mengangguk penuh kemenangan.

"Benar, Ezra?" Aidan bertanya lagi.

Ezra mengangguk.

Ainur bangkit dari kursinya. Matanya menatap putra keduanya dengan penuh gelegak amarah. Tanpa diduga, Ainur melayangkan tangannya menampar pipi keras Ezra. "Otak kamu di mana, Ezra?! Memperlakukan perempuan seperti itu! Di mana akal sehat kamu?!"

Ezra terdiam. Pipi kirinya memerah. Kepalanya tertunduk, tak sanggup menatap ibunya.

"Ami nggak mau tahu, kamu selesaikan masalah ini!" Ainur melangkah meninggalkan ruang tamu. "Aidan, kamu ikut Ami."

Aidan pun bangkit dan berjalan di belakang ibunya. Sementara Ezra masih terpaku di tempatnya berdiri.

Ajat mendesah keras. Dia berkata pada Ezra. "Kita buat semua cepat beres. Kamu nikahi anak saya dan kasih saya lima milyar sebagai ganti rugi."

Ezra mengangkat kepalanya perlahan, menatap Ajat dengan sorot mata yang tajam tapi dingin. Suasana di ruang tamu menegang lagi. "Pak Ajat," katanya. "Saya akan bertanggung jawab, tapi saya mau semuanya jelas dulu. Dan, jangan pernah berpikir Bapak bisa memeras saya seperti ini."

Ajat melotot. "Kamu pikir ini main-main?! Saya bisa bikin viral semua ini. Anak saya—"

Ezra mengangkat tangan, memotong. "Izinkan saya bicara berdua dulu dengan Samsara. Tanpa interupsi siapa pun."

Ajat terkekeh sinis. "Nggak usah sok drama. Apa pun yang mau kalian bisik-bisikkan, ujungnya sama aja—kamu nikahi anak saya, saya terima kompensasi."

Ezra mengabaikan komentar itu. Ia berjalan mendekati Samsara yang duduk kaku. Sorot matanya melembut saat bertemu tatapan Samsara. "Sara, mau ikut aku sebentar?"

Samsara menatap Ezra sejenak. Di balik kecewa dan marah yang belum sempat ia uraikan, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk akhirnya mendengar penjelasan. Ia mengangguk pelan.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   6

    Ezra duduk di belakang meja besar, menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Memar di rahangnya sudah hampir hilang, tapi kerutan di keningnya menunjukkan beban pikiran yang tak kunjung reda. Tapi sebelum dia sempat memutuskan langkah berikutnya, pintu ruangannya diketuk."Masuk," kata Ezra.Prima, asisten pribadinya, masuk dengan langkah cepat, memegang tablet dan map tipis. Perempuan berusia awal tiga puluhan itu tampak tegang, alisnya berkerut. "Pak Ezra, ada update soal kasus Pak Ajat," katanya tanpa basa-basi. Ia berdiri di depan meja.Ezra menegakkan tubuh, matanya menyipit. "Apa kabarnya?"Prima menarik napas, lalu menjelaskan, "Pak Ajat dibebaskan pagi ini. Polisi bilang cuma penganiayaan ringan, nggak cukup bukti buat dakwaan berat. Luka Bapak nggak parah dan saksi cuma pembantu rumah yang nggak lihat jelas kejadiannya. Jadi, mereka lepasin dia dengan peringatan."Ezra mengangguk pelan, rahangnya mengeras. "Terus?"Prima ragu sejenak, lalu melanjutkan, "Pak Ajat mengancam

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   4

    Dari warung kecil di ujung gang, Samsara mengintip ke arah jalan, memastikan bayangan ayahnya, tak terlihat. Jantungnya masih berdegup kencang setelah berlari keluar dari rumah dengan tas di bahunya. Ia buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku, menelpon sepupunya, Ruci, sebelum bergegas menemuinya di ujung jalan. Ruci seumuran dengan Samsara. Berusia 23 tahun. Tahun lalu, Ruci baru menyelesaikan kuliahnya jurusan bisnis. Lalu merintis toko baju online bernama Chic Click. Samsara sendiri ingin kuliah, tapi tidak punya biaya. Berbeda dengan rumah Samsara yang penuh kekerasan, rumah keluarga Ruci hangat dan penuh tawa, selalu menjadi tempat perlindungan bagi Samsara sejak kecil. Kedua sepupu ini tak pernah menyimpan rahasia satu sama lain.Bunyi klakson membuat Samsara tersadar. Mobil Toyota Agya warna merah berhenti di sampingnya. Wajah Ruci muncul ketika kaca jendela diturunkan. "Ayo!" kata Ruci.Samsara pun buru-buru masuk ke mobil. Dia menaruh tasnya di jok belakang. Lantas mengemb

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   5

    Kamar itu sunyi. Kamar itu kecil dan pengap. Jendela terbuka lebar membiarkan cahaya matahari siang menyusup masuk bersama angin. Di sudut ranjang kayu yang mulai rapuh, Samsara duduk bersila dengan ponsel di tangan. Ia membuka Google, mengetikkan nama yang sejak pagi tertahan di benaknya.EZRA MAULANA JUSUFBeberapa detik kemudian, layar ponsel menampilkan sebuah artikel dengan tajuk besar dan foto wajah yang amat ia kenali.CTO Muda, Ezra Jusuf Dorong Transformasi di Bidang Properti.Samsara membaca pelan, matanya terpaku pada kalimat-kalimat yang memuji: inovatif, visioner, harapan baru sektor properti. Tapi pikirannya justru tertahan pada foto Ezra. Kemeja putih bersih, jas yang rapi, tatapan percaya diri—wajah yang sempat ia lihat begitu dekat malam itu. Bahkan terlalu dekat.Tanpa sadar, senyum samar mengembang di bibirnya. Senyum yang ditarik oleh kenangan—sentuhan Ezra yang hangat, genggaman lembut di pinggangnya, dan suara dalam yang membisikkan janji semu. Saat itu, Ezra sep

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   3

    Samsara melangkah masuk ke pekarangan rumah. Bau tanah basah dan sisa hujan masih tercium di udara. Tapi, begitu ia mendorong pintu kayu yang sudah reyot, suara gaduh memecah kesunyian. Teriakan kasar, benturan keras, dan isak tangis yang tertahan. Jantung Samsara langsung mencelat. Ia tahu suara itu—suara ayahnya, Ajat, dan rintihan ibunya, Esti.Samsara berlari ke ruang tengah. Matanya membelalak. Di sudut ruangan, Esti meringkuk di lantai, wajahnya penuh luka lebam, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ajat berdiri di atasnya, tangannya terkepal, wajahnya merah padam penuh amarah. "Kamu perempuan tak tahu diri!" maki Ajat, suaranya menggelegar. Ia mengayunkan tangan lagi, menampar wajah Esti yang sudah tak berdaya."Ibu!" Samsara menjerit. Tanpa pikir panjang, ia berlari dan berlutut di samping Esti, memeluk tubuh ibunya yang gemetar. "Ibu, maafkan aku... maafkan aku..." Tangisnya pecah. Tubuh Esti terasa dingin, lemah, tapi ia masih berusaha menggenggam tangan Samsara."Buah tak ja

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   2

    Garasi keluarga Jusuf luas dan teratur, dindingnya putih bersih dengan lampu-lampu LED yang menerangi deretan mobil mewah seperti showroom. Ezra berjalan ke sebuah Range Rover putih kini terparkir, tepat di belakang sedan tua milik keluarga Samsara.Samsara tidak menunjukkan reaksi, seakan tidak peduli pada kemewahan itu. Ia berdiri di dekat Range Rover yang dinaiki Ezra. Ia melipat tangan di dada, mengamati Ezra yang sudah duduk di balik kemudi."Kamu mau ajak aku ke mana?" tanya Samsara."Ke mana aja," jawab Ezra.Samsara mengangkat alis. "Biar apa?"Ezra menarik napas panjang, menahan sabar. "Biar kita bisa bicara.""Kalau kamu mau bicara, kita bisa bicara di sini," tukas Samsara."Kita nggak bisa bicara kalau banyak gangguan," tutur Ezra. "Sebaiknya kamu masuk."Samsara mencoba menimbang risiko untuk ikut jalan-jalan dengan Ezra. Dia sama sekali tidak mengenal lelaki itu. Apakah Ezra punya sifat pemarah seperti ayahnya? Apakah Ezra bisa bertindak kasar kalau terpojok seperti ini?

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   1

    Sungguh ironis. Di saat seperti ini, Samsara Kuswandana menyadari betapa sedikit yang ia tahu tentang Ezra Jusuf selain namanya. Lelaki itu jelas bukan orang sembarangan, pikirnya saat matanya menyapu ruang tamu rumah keluarga Jusuf yang megah—pilar marmer menjulang, jendela kaca patri dengan motif bunga musim gugur, dan langit-langit tinggi tempat lampu gantung kristal berayun pelan. Semuanya terasa asing, mewah... dan menghimpit.Samsara berdiri mematung di dalam foyer megah yang terasa asing. Kaki Samsara yang mengenakan sepatu datar seolah menempel kaku di lantai marmer dingin, seolah menegaskan betapa kecil dirinya di tengah semua kemewahan ini. Ia menarik napas dalam-dalam, tapi aroma eukaliptus kering di vas kuningan besar justru menyesakkan perutnya.Di luar, langit Jakarta mulai meremang. Di sana, suara-suara lantang ayahnya, Ajat Kuswandana, dan balasan tenang tapi penuh tekanan dari Aidan Jusuf—putra sulung keluarga Jusuf—yang kebetulan sedang berada di sana.Samsara menund

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status