Share

2

last update Last Updated: 2025-05-20 20:30:15

Garasi keluarga Jusuf luas dan teratur, dindingnya putih bersih dengan lampu-lampu LED yang menerangi deretan mobil mewah seperti showroom. Ezra berjalan ke sebuah Range Rover putih kini terparkir, tepat di belakang sedan tua milik keluarga Samsara.

Samsara tidak menunjukkan reaksi, seakan tidak peduli pada kemewahan itu. Ia berdiri di dekat Range Rover yang dinaiki Ezra. Ia melipat tangan di dada, mengamati Ezra yang sudah duduk di balik kemudi.

"Kamu mau ajak aku ke mana?" tanya Samsara.

"Ke mana aja," jawab Ezra.

Samsara mengangkat alis. "Biar apa?"

Ezra menarik napas panjang, menahan sabar. "Biar kita bisa bicara."

"Kalau kamu mau bicara, kita bisa bicara di sini," tukas Samsara.

"Kita nggak bisa bicara kalau banyak gangguan," tutur Ezra. "Sebaiknya kamu masuk."

Samsara mencoba menimbang risiko untuk ikut jalan-jalan dengan Ezra. Dia sama sekali tidak mengenal lelaki itu. Apakah Ezra punya sifat pemarah seperti ayahnya? Apakah Ezra bisa bertindak kasar kalau terpojok seperti ini? Apa yang akan Ezra lakukan untuk mencegah ayahnya mengacaukannya hidupnya?

Setelah mengetik sesuatu di ponselnya, Ezra menoleh lagi. "Ayo, kita selesaikan ini," katanya tegas.

"A—aku nggak mau," ujar Samsara tergagap.

"Jangan bilang kamu takut sama aku ya?" ejek Ezra sambil tertawa sinis. "Sudah terlambat buat takut, kan?" Ezra menyalakan mesin mobilnya tanpa mengalihkan pandangan dari Samsara.

Samsara akhirnya bergerak. Tapi begitu masuk ke mobil, dia baru menyadari satu kemungkinan yang tak terpikir sebelumnya. Ezra bisa membunuh mereka berdua—dirinya dan bayinya—sebelum semuanya selesai!

"Kenapa?" ujar Ezra begitu menyadari ketegangan perempuan di sampingnya.

"Kamu nggak berniat macam-macam, kan?"

"Niat macam-macam seperti apa?"

Samsara mendenguk ludah. "Seperti menghabisiku, terus membuang mayatku di hutan atau tempat yang jauh?"

Ezra melongo sesaat, lantas tertawa. "Wow," katanya. "Kamu benar-benar mikir aku segitu gilanya?"

"Aku bahkan nggak tahu siapa kamu," balas Samsara.

Ezra menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia mulai menjalankan mobil meninggalkan garasi.

***

Cara Ezra mengemudi seperti orang gila. Pepohonan tinggi di sepanjang jalan Kebayoran Baru terlihat kabur lewat jendela. Di jalan raya, Ezra hampir tak mengerem. Mobil melaju kencang menembus lalu lintas sore Jakarta menuju arah luar kota, menuju Sentul. Dia menyentuh panel audio, mengalirkan musik rock keras yang mengguncang kabin mobil.

Samsara tak bisa berbuat apa-apa soal gaya mengemudinya, tapi dia menyentuh panel dan mengecilkan volume. Ezra melirik sekilas, lalu menginjak gas lebih dalam. Dengan keras kepala, Samsara duduk tegak dan mencoba mengabaikan tingkah kekanak-kanakannya, memilih untuk membiarkannya.

Ezra mengemudi dengan satu tangan, hanya untuk menunjukkan kalau dia bisa melakukan itu. Samsara duduk tenang, hanya untuk menunjukkan dia juga bisa tidak peduli.

Mereka melaju melewati tikungan tajam, menanjak bukit menuju kawasan Sentul, lalu rambu-rambu jalan asing sampai Samsara benar-benar kehilangan arah. Ezra mengambil belokan tajam ke kanan, memecut Range Rover-nya ke kiri lebih tajam lagi, melesat di antara dua tugu batu menuju jalan berkerikil, berputar-putar sebelum mendaki ke area hutan kecil. Di puncak tanjakan terakhir, mereka masuk ke area parkir yang dikelilingi pepohonan lebat. Ezra menghentikan mobil dengan gaya yang sama seperti mengemudinya—terlalu cepat hingga ban berdecit!

Samsara terpaksa menahan tubuhnya ke dasbor agar tak melesat ke kaca depan. Tapi dia tetap tak mau berkomentar atau menatap Ezra. Puas karena berhasil menggoyahkan sikap angkuh Samsara, Ezra mematikan mesin dan menoleh ke arahnya. Namun perempuan itu diam saja. Ezra memandangi profil samar Samsara, tahu itu membuatnya tak nyaman—tepat seperti yang dia inginkan.

"Baiklah," kata Ezra akhirnya dengan nada datar, "permainan apa yang sedang kamu mainkan?"

"Kuharap ini cuma permainan. Tapi sayangnya, ini nyata."

Ezra mendengus. "Aku cuma bingung, kenapa kamu milih aku buat bertanggung jawab?"

"Aku ngerti kamu bingung buat jelasin di depan orang tua kita. Tapi di sini, cuma ada kita berdua. Jadi, kamu nggak perlu pura-pura bodoh lagi. Kita kan tahu kebenarannya," timpal Samsara.

"Kebenaran apa?"

"Kebenarannya, aku hamil dan kamu ayah dari bayi di kandunganku."

"Aku ayahnya?!" Ezra meledak.

Samsara merasa teriakan Ezra lebih baik daripada gaya mengemudinya tadi. "Kenapa kamu marah?"

"Asal kamu tahu, ini semua nggak lucu!" Ezra menatap tajam.

"Memang nggak," jawab Samsara. "Kalau ini lucu, aku udah ketawa dari tadi. Well, aku pikir tadi kamu bakal tegas bilang nggak pernah ketemu aku, terus ini selesai. Kita lanjut hidup masing-masing seperti dulu."

Sikap tenang dan acuh Samsara membuat semangat Ezra meredup. "Sepertinya tadi seharusnya aku begitu."

"Aku nggak peduli," kata Samsara tanpa ekspresi.

Bingung, pikir Ezra, Samsara ini aneh—tenang, hampir dingin, tak peduli. "Kalau kamu nggak peduli, jelasin kenapa kamu tadi bikin keributan di rumahku?"

"Bukan aku. Tapi ayahku."

"Jadi ini sepenuhnya ide ayahmu buat datang ke rumahku?"

"Yap."

"Aku nggak yakin kamu nggak ada kaitannya," sindir Ezra dengan nada sarkastik.

Samsara kesal, kehilangan kendali untuk tetap tenang. Dia berpaling menyamping di kursinya. "Sebelum kamu terus menuduhku, aku harus memperjelas ya. Aku nggak menginginkan apa-apa darimu! Sama sekali nggak!"

"Terus, kenapa kamu datang ke rumahku? Minta uang lima milyar?"

"Lima milyar?" balas Samsara tajam. "Satu rupiah pun dari uangmu, aku nggak mau!"

Ezra sengaja mengabaikan kata-kata itu. "Kamu harap aku percaya setelah ayahmu mengancam akan menghajarku tadi?"

"Kamu silakan percaya apa pun yang kamu mau," kata Samsara pasrah, berbalik lagi. "Aku cuma pengen dibiarkan sendiri."

"Terus, kenapa kamu datang?" Saat Samsara cuma diam, Ezra mendesak lagi, "Kenapa!"

Dengan keras kepala, Samsara tetap bungkam. Dia tidak mau simpati, uang, atau nama besar keluarga Ezra. Yang dia mau cuma hari esok cepat datang dan ini selesai.

Kesal dengan sikap dinginnya, Ezra mencengkeram bahunya kasar. "Dengar, ya, Samara, aku nggak—"

Samsara menyentak bahunya, berusaha lepas dari genggaman Ezra. "Namaku Samsara," geramnya.

"Ya itulah!"

"Kamu butuh waktu buat inget semuanya, kan?"

"Maksud kamu?"

"Lepasin bahuku! Kamu nyakitin aku," pinta Samsara.

Ezra melepaskan tangannya. "Oh, aku ngerti. Kamu merasa dilecehkan karena aku nggak inget kamu, ya?"

Samsara menolak menjawab, tapi wajahnya memanas dalam kegelapan. Langit di luar sudah gelap. "Aku ulangi ya, aku nggak pengen apa-apa dari kamu selain diantar pulang."

"Pulang? Kamu mau pulang setelah mengancamku tadi?"

"Aku nggak mengancam apa-apa."

"Kehadiran kamu dan ayahmu di rumahku aja udah ancaman!" Ezra menukas tak sabar. "Sekarang, bilang apa yang mau sebagai ganti rugi... kalau kamu beneran hamil."

Samsara benar-benar tidak menyangka Ezra akan meragukan anaknya. "Oh, aku beneran hamil. Kita bisa ke klinik buat USG."

"Maksud nggak begitu," kata Ezra tegas. "Maksudku, aku mau pastiin bayi itu bukan anakku."

Kegelapan menyembunyikan alis Samsara yang terangkat ke arah Ezra. "Inti omongan kamu barusan tuh apa?"

"Bisa aja ada selusin cowok yang tidur sama kamu." Ezra mengangkat bahu.

Samsara sudah menyangka ini bakal datang cepat atau lambat. Tapi dia tidak siap dengan kemarahan yang muncul. Dia harus melawan meski direndahkan. "Berani kamu bilang begitu!"

"Aku nggak tahu kamu. Nggak tahu keseharian kamu. Perempuan yang suka gonta-ganti pasangan ya harus siap diragukan. Lagian, nggak ada cara buat buktiin ayahnya siapa. Aku juga nggak mau repot-repot tes DNA," kata Ezra.

"Aku baru pernah berhubungan seks sama kamu!" Samsara panas, bingung kenapa dia repot-repot ngomong begitu ke Ezra.

Tanpa peringatan, lampu kabin menyala. Dalam cahaya itu, Ezra Jusuf kelihatan kaget seperti disiram air es. "Apa?" ucapnya tercengang.

"Matikan lampunya," perintah Samsara seraya memalingkan wajah tajam.

"Liat aku." Ada perubahan di suara Ezra, tapi itu malah membuat Samsara makin sulit menghadapi dia.

Pemandangan di luar gelap gulita, tapi Samsara memandangnya seolah mencari jawaban. Lalu, tangan Ezra mencengkeram pipinya, jarinya terbenam di sana saat memaksanya menatapnya. Ezra melotot ke wajah kaget Samsara. Giginya mengatup karena kesal. "Apa yang tadi kamu bilang?"

Mata kecokelatan Ezra tidak memberikan Samsara celah buat kabur. Dia terbelah antara ingin Ezra tidak tahu apa-apa tentangnya dan dorongan buat menceritakan semuanya. Lagipula, Ezra ayah anak yang dikandungnya. Samsara menatap wajah Ezra, ingin nyangkal, tapi tidak bisa. "Kamu nyakitin aku lagi," kata Samsara pelan.

Hal itu membuat Ezra sadar dia masih memegang pipinya. Ezra menurunkan tangan, lalu mengamatinya. Samsara memiliki wajah yang susah dilupakan: hidung mancung elegan, pipi panjang, mata cokelat hangat yang berusaha tidak berkedip. Kini mata itu bertemu mata Ezra di balik bulu mata lentik panjang. Bibirnya penuh, senyumnya manis. Rambutnya panjang, hitam pekat, bergelombang lembut, jatuh memikat. Rambut itu melingkar di leher jenjangnya. Samsara tinggi dan ramping. Ezra juga ingat bentuk tubuh Samsara sesuai seleranya: kaki panjang, pinggul cekung, tidak terlalu berisi. Seperti Gisel, pikirnya. Sadar memikirkan Gisel, Ezra mencoba mengingat lagi apa yang terjadi antara dia dan Samsara.

"Aku..." Samsara mulai bersuara dengan suara agak lembut, "Kamu mau matiin lampu itu nggak?"

"Aku rasa, aku berhak liat kamu pas kita ngobrol."

Samsara tidak punya pilihan. Dia bertahan sekian lama sebelum berpaling dan bertanya, "Kamu nggak inget kejadian hari itu?"

"Ingat."

"Kamu kelihatan pengalaman," lanjut Samsara. "Sepertinya kamu sadar ketemu perawan."

"Kehidupan seksku bukan urusanmu."

"Betul..." Samsara mengangguk. "Tapi kamu duluan yang menyebutku gampangan. Aku cuma mau tunjukin ini beneran pertama kalinya buat aku. Aku kira kamu bakal tahu."

"Ya... aku nggak tahu. Bisa aja ada orang lain setelah aku," ucap Ezra.

Ucapan itu menyalakan amarah Samsara lagi. "Aku nggak mau duduk di sini buat dihina!" katanya kasar. Dia membuka pintu mobil dan keluar. Ia berjalan cepat dalan kegelapan, sepatunya menginjak kerikil.

Ezra ikut turun dari mobil. "Hei, balik ke mobil!" teriaknya dengan tangan di pinggul.

"Nggak sudi!" balas Samsara dari ujung jalan.

"Kamu mau ke mana?"

Samsara tidak menjawab dan tetap berjalan.

Ezra berlari, mengejar bayangan samarnya. Kali ini ia lebih marah dari yang bisa dia ungkapkan karena desakan Samsara yang keras bahwa perempuan itu tidak mau apa-apa darinya.

Samsara merasakan tangan Ezra mencengkeram lengannya dan mengayunnya dalam kegelapan.

"Samsara, balik ke mobil!" perintah Ezra.

"Terus aku harus ngapain!" seru Samsara saat berbalik ke Ezra. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, "Dengerin kamu panggil aku pelacur? Aku udah nerima perlakuan begini dari ayahku, tapi aku nggak mau diem aja sekarang!"

"Oke, maaf." kata Ezra.

Mereka berdiri dalam kegelapan, seperti petarung yang tidak bergerak.

Menyerah, Ezra akhirnya berkata dengan nada merayu, "Malam itu kamu lakuin dengan bener. Aku nggak tahu bedanya."

Ucapan itu bikin Samsara panas lagi sehingga kehilangan akal sehat dan menyerang Ezra. Dia memukul keras Esra dengan buku jari di dada tengahnya.

Kaget, Ezra tersentak dan mundur satu langkah. "Aduh, sakit!"

"Bajingan!" sembur Samsara:

Sambil memegang dadanya, Ezra ngomel, "Ya Tuhan, kamu jago karate?"

Samsara mendengus kasar.

"Begini ya, sekarang perdebatan kita cukup." Ezra buka suara lagi. "Kamu hamil, tapi nggak bisa buktiin itu anakku, kan?"

"Tanggalnya bakal buktiin. Bayi bakal lahir di bulan Februari. Itu satu-satunya bukti yang kupunya bahwa kamu ayahnya," kata Samsara.

"Kamu bilang nggak mau apa-apa dariku, kenapa kamu berkeras meyakinkanku?" tanya Ezra.

"Aku nggak... aku..." Samsara berusaha menjelaskan. Sadar nadanya mulai memelas, Samsara ngomel, "Dih, kenapa juga aku repot ngomong sama kamu!" Dia berbalik ke jalan, meninggalkan Ezra.

Ezra membiarkan Samsara pergi kali ini, sementara dirinya berdiri dengan satu tangan di pinggul dalam kegelapan. Dia merasa Samsara adalah perempuan paling menyebalkan yang pernah dia temui. Kenapa dia bisa 'berhubungan' dengan perempuan seperti itu? Dengan senyum menyesal, Ezra mengoreksi, 'melakukan hubungan seksual' dengan perempuan seperti itu? Dia mendengar langkah Samsara menghilang. Seharusnya cukup mengatakan, 'bye!' dan kembali ke mobil, tapi akhirnya Ezra tidak tahan membiarkan Samsara pergi.

"Samsara, jangan begini!" teriak Ezra. "Balik sini!"

Tidak ada jawaban, Ezra ngedumel, kembali ke mobil dan menyalakan mesin mobil. Lampu depan menyala. Ezra mengendarai mobilnya, berputar, dan menuruni bukit, mengejar. Ezra melambat saat melewati Samsara, menebarkan debu dan kerikil.

Sekitar lima belas meter di depan Samsara, Ezra keluar dan berdiri bersandar di pintu mobil, menunggu. Samsara tidak peduli, tapi Ezra tetap menunggu.

Saat mereka berdiri sejajar, tangan Ezra terulur dan menahan Samsara. "Masuk," perintahnya. "Aku nggak bakal ninggalin kamu di sini. Apalagi malem-malem gini!"

Cahaya mobil nyinari wajah marah Samsara saat dia mengerutkan kening. "Aku menyesal dateng ke rumahmu."

"Terus kenapa kamu lakuin?" desak Ezra.

"Soalnya aku takut kamu atau orang tuamu dapat perlakuan buruk dari ayahku. Aku ikut biar bisa selametin kalian dari hal nggak enak," kata Samsara.

"Kamu harap aku percaya?"

"Aku nggak peduli kamu percaya atau nggak, Ezra Jusuf! Lepasin lenganku!" Samsara menarik lengannya, lalu berbalik. "Ayahku jahat, pendendam, pemalas, dan pecandu alkohol. Dia nggak bakal berhenti buat dapet apa aja dari kamu atau orang tuamu."

"Terus apa yang dia harapkan?"

"Uang."  Samsara menghela napas. "Dia pikir bisa manfaatin situasi ini buat hidupnya lebih gampang. Dia juga khawatir sama reputasiku. Dia sedih karena aku kehilangan masa depan. Tapi dia lebih mikirin masa depan dia sendiri. Dan dia bakal ngapain aja buat dapet itu. Aku peringatin kamu, dia berbahaya."

"Kamu sendiri nggak mikir dapat keuntungan dariku?"

"Keuntungan apa?" balas Samsara. "Anak ini?" Ia mendengus. "Aku nggak kenal kamu. Gimana aku bisa mikir keuntungan?"

"Sepupumu, Ruci, yang ngenalin kita. Dia pacar Fajrin, sahabatku. Wajar kalau sepupu kamu cerita soal aku." Ezra mengangkat bahu.

Samsara tertawa getir. "Oh, tentu! Dia cerita kamu orang kaya, terus ngenalin aku ke kamu, rencanain tidur sama kamu biar hamil, terus menjebak kamu dalam pernikahan. Itu yang ada di otak kamu, kan?" Samsara mendengus sinis. "Jangan lebay, Jusuf! Mungkin kamu kaget saat tahu nggak semua perempuan hamil pengen dinikahi sama ayah anaknya. Aku salah satunya."

"Jelasin gimana ayahmu tahu harus datang ke rumahku?" selidik Ezra.

Samsara tiba-tiba diam, membelakangi Ezra dan bilang, "Kurasa aku pulang naik angkutan umum aja."

"Jangan menghindari masalah ini," tegas Ezra. "Gimana caranya ayahmu tahu yang menghamili kamu itu aku?"  Ezra lihat Samsara menggigit bibir bawahnya, tetap menolak menatapnya.

Samsara tetap diam.

Ezra jadi berpikir Samsara tidak selicik yang dipikirnya. "Gimana?" ulang Ezra, menunggu.

Lubang hidung Samsara melebar. Dia menarik napas dan berkata, "Aku punya buku harian." Nadanya pelan, kelopak matanya sedikit berkedip.

"Kamu apa?"

"Kamu denger," kata Samsara seraya menoleh.

"Iya, aku denger, tapi nggak yakin ngerti. Maksudnya dia baca buku harian kamu?" Ezra mulai sadar betapa nggak bermoralnya ayah Samsara.

"Udahlah, aku rasa cukup informasinya." Samsara menolak bicara lebih banyak.

"Aku berhak tahu kebenarannya kalau bayi itu beneran anakku. Sekarang jawab. Dia baca buku harianmu?"

Samsara mendesah. "Dengar, ini nggak ada hubungannya sama kamu. Lupain aja. Aku cuma pengen cegah kamu dan orang tuamu bayar tuntutannya. Makanya aku dateng."

"Jangan alihin topik, Samsara. Dia baca buku harianmu dan melihat namaku, kan?"

Samsara menelan ludah. "Ya," bisiknya. "Dia suka masuk ke kamarku. Suka acak-acak seenaknya. Saat itu, dia masuk ke kamarku saat buku harianku ada di atas meja. Dan jadikan itu bukti yang selama ini selalu dia tuduhkan. Kamu mau kebenaran, itu kebenarannya."

Sesuatu melilit perut Ezra. Nadanya lembut. "Ayahnu gila." Dia berdiri merenung, menyambungkan semuanya. Akhirnya dia menoleh ke Samsara. "Apa yang kamu tulis di buku harianmu?"

"Semuanya tentang hidupku. Tentang keseharianku. Tentang kamu."

"Ya Tuhan..."

"Ya," ulang Samsara. "Ya Tuhan..."

"Malam itu spesial buatmu sampai kamu merasa perlu menulisnya di buku harianmu?"

Samsara malu sendiri. "Aku nggak beda dari perempuan lain. Itu pertama kalinya buat aku. Kurasa udah jelas soal perasaan dan kejadian malam itu."

Diam memanjang, ketenangan Samsara mulai luntur. Lebih membingungkan melihat Ezra sedikit simpati. Setelah beberapa saat, Samsara mendesah dan memiringkan wajah untuk memijit pangkal hidung. Dia mulai lelah dengan semua ini.

Ezra memikirkan sisi buruk ancaman ayah Samsara. "Jadi, dia beneran pengen uang ganti rugi?"

"Bener. Tapi apa pun yang dia bilang, apa pun ancamannya, kamu nggak boleh penuhin. Jangan bayar apa-apa ke dia!" tegas Samsara.

"Kalau begitu, biar urusan beres, aku kasih saja lima milyar itu," tukas Ezra.

"Nggak!" seru Samsara. Dia hampir menggenggam lengan Ezra. "Jangan!"

"Aku nggak ngerti maksudmu. Kamu meyakinkanku kamu hamil anakku. Sekarang kamu minta aku nggak bayar ayahmu. Kenapa?"

"Soalnya ayahku gila!" kata Samsara tajam, tapi menusuk dirinya sendiri. "Soalnya aku udah benci dia sejak kecil dan kalau ini hal terakhir yang kulakuin, aku pengen pastiin dia nggak dapet keberuntungan yang jadi hakku. Dia udah nunggu bertahun-tahun buat sesuatu kayak gini."

Ezra tiba-tiba waspada. "Maksudmu apa kalau ini hal terakhir yang kamu lakuin?"

Samsara tertawa sinis. "Seandainya aku bunuh diri gara-gara ini."

"Jangan lakukan hal yang lebih gila!" bentak Ezra.

"Aku cuma nggak mau merepotkan siapa pun. Ibuku sudah cukup hancur. Apalagi dengan keadaanku begini. Aku nggak mau lebih banyak orang yang malu." Samsara berhenti sebelum kebencian dan kenangan yang tidak mau diungkap mengambil alih. "Udahlah, kamu nggak perlu pikirin."

Ezra mengusap wajahnya, berusaha tidak mendalami masa lalu Samsara lebih ini. Tapi dendamnya, cara ayahnya memperlakukannya, tuduhan yang tidak pantas—gambar klasik lelaki kasar. Samsara tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Samsara terlihat remah dan rapuh.

Kenapa dirinya harus peduli? Ezra merasa simpatinya ke Samsara salah. Meski Ezra menolak mendalami masa lalunya—yang dia tahu soal masa lalu Samsara sudah busuk dan Ezra kesal terlibat di kekacauan ini sejak awal. Dia tidak perlu peduli, pikir Ezra. Tapi dia memang peduli. Argh, dia mulai pusing.

"Aku nggak rencanain apa-apa malam itu," kata Ezra.

"Aku juga nggak!" tukas Samsara.

"Cewek biasanya hati-hati."

"Biasanya!" serak Samsara. "Kamu tadi bilang aku pelacur, bilang aku gampangan, sekarang menyalahkan aku! Kenapa bukan kamu yang pakai kondom?"

"Tunggu—"

Tapi Samsara memotong. "Udah kubilang, ini pertama kalinya. Aku nggak kepikiran pake kontrasepsi! Lagian ya, aku nggak perlu di sini buat diceramahin kamu! Kamu sama bersalahnya, cuma kamu nyalahin aku soalnya itu lebih gampang daripada menyadari kesalahan sendiri."

"Oke, tenang." Ezra mengangkat tangannya. "Mungkin aku kelewatan sama kamu, tapi ini bisa diselesaikan."

"Nggak bisa. Ini kenyataan yang harus kita hadapi."

"Pilihan kata yang cerdas," gumam Ezra.

Samsara masuk ke mobil dan duduk dengan kepala tersandar. Tidak lama kemudian, Ezra ikut masuk. Keduanya sama-sama diam.

"Antar aku pulang. Aku capek, nggak mau debat lagi." kata Samsara.

"Bagaimana bayinya—apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Ezra.

"Bukan urusanmu."

Ezra menggigit sudut bibi. Ia bertanya cepat sebelum kehilangan nyali, "Kamu mau aku kasih uang buat keperluan selama hamil dan melahirkan?"

"Oh, kamu suka banget gunain uang buat semuanya ya? Biar hati nuranimu bersih. Biar nggak merasa bersalah. Nggak, aku nggak mau terima uang buat apa pun!" tolak Samsara.

Ezra menghela napas. Ia tidak yakin apakah merasa khawatir atau lega. "Terus, ayahmu gimana?"

"Nggak harus gimana-gimana. Kamu ikutin kata-kataku tadi," timpal Samsara.

Ezra menyesal, "Maafin aku panggil kamu bodoh, maafin aku panggil kamu gampangan, aku nggak seharusnya marah gitu." Ia menatap Samsara. "Janji, kamu nggak akan bunuh diri ya?"

"Kamu nggak perlu pusingin hidupku," kata Samsara.

"Kalau anak itu adalah anakku, hidupmu jadi urusanku," imbuh Ezra.

"Aku nggak minta apa pun dari kamu," tegas Samsara.

"Aku mau anak itu hidup baik dan layak," jelas Ezra.

Suara Samsara terdengar pelan di kegelapan. "Yah, yah, yah..."

Sebagai jawaban, Ezra menyalakan mesin dan mencoba membuang frustrasinya. Sambil berpikir, dia berkendara dengan satu tangan, membiarkan mobil berlari cukup kencang tapi tidak berlebihan. Samsara bersandar, diam melihat lengkungan pohon seolah berjalan mundur di depan.

"Rumah kamu di mana?" tanya Ezra.

"Cileungsi. Rumahku di sana," ucap Samsara.

***

Perjalanan dari Jakarta Selatan ke Cileungsi memakan waktu hampir satu jam—cukup lama untuk amarah mereka meluruh, tapi tidak cukup untuk benar-benar menenangkan. Di balik kaca jendela SUV putih itu, kota bergerak lambat dan senyap. Sorotan lampu jalan kadang menyapu wajah mereka, menciptakan dunia semu yang bergerak—datar, dingin, dan rapuh.

Di antara mereka, hanya ada suara mesin mobil dan napas yang tertahan.

Ezra memegang setir dengan satu tangan, tangan lainnya bersandar di jendela. Sesekali dia melirik, tapi Samsara tak membalas. Ia duduk mematung, pandangannya jauh, pikirannya lebih jauh lagi. Di dalam mobil, keintiman terasa seperti tamu tak diundang—mengganggu, tapi tidak bisa diusir. Sunyi yang tidak nyaman, sunyi yang mengandung banyak hal yang tak sempat dikatakan: ketakutan, amarah, kekhawatiran, dan rasa bersalah.

Begitu mobil berbelok ke jalan kecil yang ditunjukkan Samsara, kecepatan mobil Ezra melambat. "Rumahmu yang mana?" tanya Ezra.

"Rumah ketiga, sebelah kanan," jawab Samsara.

Mobil berhenti tepat di depan rumah. Samsara tidak langsung turun.

Ezra melihat ke arah rumah yang gelap. "Kamu bakal baik-baik aja?"

"Iya. Kamu gimana?"

Ezra menarik napas panjang. "Aku nggak tahu." Ia bersandar ke jok, memejamkan mata.

Samsara mencuri pandang ke arahnya—jakun Ezra naik-turun, rahangnya mengeras. Seperti ada sesuatu yang terus ditahan di tenggorokan. Samsara menyentuh gagang pintu.

"Kamu nggak mau ceritain rencanamu?" tanya Ezra.

"Nggak."

"Tapi ayahmu..."

"Aku mau pergi, cuma itu yang bisa aku bilang ke kamu. Dengan aku pergi, ayahku kehilangan alat untuk menekan kamu ataupun keluargamu," tutur Samsara.

"Aku justru mikirin kamu. Aku nggak peduli ayahmu," kata Ezra.

"Jangan bilang gitu... tolong."

"Tapi kamu—"

"Jangan bilang apa-apa lagi, oke?" Samsara menegang. Jantungnya berdebar oleh perhatian Ezra, tapi segera dia enyahkan.

Diam turun lagi. Lebih berat dari sebelumnya.

"Aku ngerasa kayak orang jahat, tahu nggak, biarin kamu pergi gini," gumam Ezra.

Samsara membuka mata, menatap lurus ke depan. "Tenang aja. Setelah ini, kamu bisa kembali ke kehidupan yang biasa kamu jalani. Anggap hari ini tidak pernah terjadi."

"Kamu kerja apa?" tanya Ezra.

"Aku bantu Ruci jualan baju online. Kadang bantu packing, kadang jadi host live streaming. Kalau ada bazar atau event, aku jaga stand." Samsara mengangkat bahu. "Aku kerjain apa pun yang halal. Bisa bantu Ibu nambahin uang makan."

"Ibu kamu kerja?"

Samsara mengangguk. "Jualan nasi kuning sama gorengan di depan rumah."

Lampu dasbor memantulkan cahaya biru pucat ke wajah mereka, menajamkan lekuk sorot mata dan keraguan yang tak sempat dikatakan. Ezra masih belum tenang. Tidak akan bisa tenang.

Samsara membuka pintu. Lampu di atas menyala. Ezra refleks menahan lengan Samsara. Genggamannya tidak kuat, tapi cukup untuk menghentikan gerakan. Hangatnya menyusup melalui kain, menyala di kulit di bawahnya.

Samsara melepaskan perlahan, tidak kasar, tapi pasti. Ia membalikkan tubuh, bersiap keluar, tapi Ezra melihat sesuatu. Di bawah leher Samsara—tiga memar. Ungu tua. Membentuk jejak panjang, jaraknya lebar satu jari. Tanpa sadar, Ezra mengangkat tangannya dan menyentuh dengan punggung jari. Samsara meringis, bahunya refleks menunduk.

"Jangan!" bentak Samsara. Sorot penuh perlindungan terhadap dirinya sendiri.

Ezra merasa khawatir. "Ayahmu yang lakuin ini, kan?"

Samsara diam sejenak. "Jangan mengatakan sesuatu yang simpatik atau sentimentil," bisiknya. "Aku nggak bisa terima sekarang."

"Samsara..." Ezra tidak tahu harus berkata apa.

Dan Samsara tidak sanggup menunggu lebih lama. "Aku nggak butuh kamu jadi penyelamatku," katanya.

Ezra menunduk, jemarinya gemetar di setir. Lalu berkata lirih, "Boleh aku kasih kamu uang?"

Samsara menggeleng. "Nggak usah. Aku nggak mau apa-apa darimu. Percaya atau nggak."

Kali ini, Ezra percaya. Ia mengeluarkan kartu nama dari selipan dompetnya dan menyerahkan ke Samsara. "Kamu hubungi aku kalau kamu berubah pikiran ya?" ujarnya.

"Nggak bakal." Samsara tidak mengambil kartu nama itu. "Good luck, Ezra."

Mata Ezra menatap langsung ke mata Samsara. Hatinya sakit memikirkan kehidupan perempuan itu dan dia menambah beban Samsara dengan membuatnya hamil.

Ezra membuka pintu Samsara dari sisi pengemudi. Sebelum perempuan itu turun, punggung tangannya menyentuh perut Samsara. Lembut dan perlahan. "Jaga dia ya?"

Refleks, bulu kuduk Samsara berdiri. Tanpa menjawab, cepat-cepat Samsara keluar. Sepatunya menyentuh trotoar.

Lalu suara Ezra menyusulnya, "Hei, tunggu..."

Samsara menoleh. "Apa?"

Tubuh Ezra condong ke luar jendela, ekspresinya aneh—sedih, canggung, ingin tahu. "Aku lebih suka memanggilmu Sara."

Perkataan itu menghantam lebih keras dari teriakannya. Samsara mengedip cepat, bibirnya bergetar aneh. Lalu ia membalik badan dan berjalan cepat ke rumah. Tak menoleh lagi.

Tapi di dalam mobil, Ezra Jusuf melipat lengan di kemudi, menyandarkan kening di sana. SUV mewah itu terasa lebih sempit dari sebelumnya. Lebih sepi. Dan jauh lebih dingin. Ia tahu satu hal pasti—ia tak akan pernah melupakan perempuan itu.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   6

    Ezra duduk di belakang meja besar, menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Memar di rahangnya sudah hampir hilang, tapi kerutan di keningnya menunjukkan beban pikiran yang tak kunjung reda. Tapi sebelum dia sempat memutuskan langkah berikutnya, pintu ruangannya diketuk."Masuk," kata Ezra.Prima, asisten pribadinya, masuk dengan langkah cepat, memegang tablet dan map tipis. Perempuan berusia awal tiga puluhan itu tampak tegang, alisnya berkerut. "Pak Ezra, ada update soal kasus Pak Ajat," katanya tanpa basa-basi. Ia berdiri di depan meja.Ezra menegakkan tubuh, matanya menyipit. "Apa kabarnya?"Prima menarik napas, lalu menjelaskan, "Pak Ajat dibebaskan pagi ini. Polisi bilang cuma penganiayaan ringan, nggak cukup bukti buat dakwaan berat. Luka Bapak nggak parah dan saksi cuma pembantu rumah yang nggak lihat jelas kejadiannya. Jadi, mereka lepasin dia dengan peringatan."Ezra mengangguk pelan, rahangnya mengeras. "Terus?"Prima ragu sejenak, lalu melanjutkan, "Pak Ajat mengancam

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   4

    Dari warung kecil di ujung gang, Samsara mengintip ke arah jalan, memastikan bayangan ayahnya, tak terlihat. Jantungnya masih berdegup kencang setelah berlari keluar dari rumah dengan tas di bahunya. Ia buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku, menelpon sepupunya, Ruci, sebelum bergegas menemuinya di ujung jalan. Ruci seumuran dengan Samsara. Berusia 23 tahun. Tahun lalu, Ruci baru menyelesaikan kuliahnya jurusan bisnis. Lalu merintis toko baju online bernama Chic Click. Samsara sendiri ingin kuliah, tapi tidak punya biaya. Berbeda dengan rumah Samsara yang penuh kekerasan, rumah keluarga Ruci hangat dan penuh tawa, selalu menjadi tempat perlindungan bagi Samsara sejak kecil. Kedua sepupu ini tak pernah menyimpan rahasia satu sama lain.Bunyi klakson membuat Samsara tersadar. Mobil Toyota Agya warna merah berhenti di sampingnya. Wajah Ruci muncul ketika kaca jendela diturunkan. "Ayo!" kata Ruci.Samsara pun buru-buru masuk ke mobil. Dia menaruh tasnya di jok belakang. Lantas mengemb

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   5

    Kamar itu sunyi. Kamar itu kecil dan pengap. Jendela terbuka lebar membiarkan cahaya matahari siang menyusup masuk bersama angin. Di sudut ranjang kayu yang mulai rapuh, Samsara duduk bersila dengan ponsel di tangan. Ia membuka Google, mengetikkan nama yang sejak pagi tertahan di benaknya.EZRA MAULANA JUSUFBeberapa detik kemudian, layar ponsel menampilkan sebuah artikel dengan tajuk besar dan foto wajah yang amat ia kenali.CTO Muda, Ezra Jusuf Dorong Transformasi di Bidang Properti.Samsara membaca pelan, matanya terpaku pada kalimat-kalimat yang memuji: inovatif, visioner, harapan baru sektor properti. Tapi pikirannya justru tertahan pada foto Ezra. Kemeja putih bersih, jas yang rapi, tatapan percaya diri—wajah yang sempat ia lihat begitu dekat malam itu. Bahkan terlalu dekat.Tanpa sadar, senyum samar mengembang di bibirnya. Senyum yang ditarik oleh kenangan—sentuhan Ezra yang hangat, genggaman lembut di pinggangnya, dan suara dalam yang membisikkan janji semu. Saat itu, Ezra sep

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   3

    Samsara melangkah masuk ke pekarangan rumah. Bau tanah basah dan sisa hujan masih tercium di udara. Tapi, begitu ia mendorong pintu kayu yang sudah reyot, suara gaduh memecah kesunyian. Teriakan kasar, benturan keras, dan isak tangis yang tertahan. Jantung Samsara langsung mencelat. Ia tahu suara itu—suara ayahnya, Ajat, dan rintihan ibunya, Esti.Samsara berlari ke ruang tengah. Matanya membelalak. Di sudut ruangan, Esti meringkuk di lantai, wajahnya penuh luka lebam, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ajat berdiri di atasnya, tangannya terkepal, wajahnya merah padam penuh amarah. "Kamu perempuan tak tahu diri!" maki Ajat, suaranya menggelegar. Ia mengayunkan tangan lagi, menampar wajah Esti yang sudah tak berdaya."Ibu!" Samsara menjerit. Tanpa pikir panjang, ia berlari dan berlutut di samping Esti, memeluk tubuh ibunya yang gemetar. "Ibu, maafkan aku... maafkan aku..." Tangisnya pecah. Tubuh Esti terasa dingin, lemah, tapi ia masih berusaha menggenggam tangan Samsara."Buah tak ja

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   2

    Garasi keluarga Jusuf luas dan teratur, dindingnya putih bersih dengan lampu-lampu LED yang menerangi deretan mobil mewah seperti showroom. Ezra berjalan ke sebuah Range Rover putih kini terparkir, tepat di belakang sedan tua milik keluarga Samsara.Samsara tidak menunjukkan reaksi, seakan tidak peduli pada kemewahan itu. Ia berdiri di dekat Range Rover yang dinaiki Ezra. Ia melipat tangan di dada, mengamati Ezra yang sudah duduk di balik kemudi."Kamu mau ajak aku ke mana?" tanya Samsara."Ke mana aja," jawab Ezra.Samsara mengangkat alis. "Biar apa?"Ezra menarik napas panjang, menahan sabar. "Biar kita bisa bicara.""Kalau kamu mau bicara, kita bisa bicara di sini," tukas Samsara."Kita nggak bisa bicara kalau banyak gangguan," tutur Ezra. "Sebaiknya kamu masuk."Samsara mencoba menimbang risiko untuk ikut jalan-jalan dengan Ezra. Dia sama sekali tidak mengenal lelaki itu. Apakah Ezra punya sifat pemarah seperti ayahnya? Apakah Ezra bisa bertindak kasar kalau terpojok seperti ini?

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   1

    Sungguh ironis. Di saat seperti ini, Samsara Kuswandana menyadari betapa sedikit yang ia tahu tentang Ezra Jusuf selain namanya. Lelaki itu jelas bukan orang sembarangan, pikirnya saat matanya menyapu ruang tamu rumah keluarga Jusuf yang megah—pilar marmer menjulang, jendela kaca patri dengan motif bunga musim gugur, dan langit-langit tinggi tempat lampu gantung kristal berayun pelan. Semuanya terasa asing, mewah... dan menghimpit.Samsara berdiri mematung di dalam foyer megah yang terasa asing. Kaki Samsara yang mengenakan sepatu datar seolah menempel kaku di lantai marmer dingin, seolah menegaskan betapa kecil dirinya di tengah semua kemewahan ini. Ia menarik napas dalam-dalam, tapi aroma eukaliptus kering di vas kuningan besar justru menyesakkan perutnya.Di luar, langit Jakarta mulai meremang. Di sana, suara-suara lantang ayahnya, Ajat Kuswandana, dan balasan tenang tapi penuh tekanan dari Aidan Jusuf—putra sulung keluarga Jusuf—yang kebetulan sedang berada di sana.Samsara menund

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status