Ezra duduk di belakang meja besar, menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Memar di rahangnya sudah hampir hilang, tapi kerutan di keningnya menunjukkan beban pikiran yang tak kunjung reda. Tapi sebelum dia sempat memutuskan langkah berikutnya, pintu ruangannya diketuk.
"Masuk," kata Ezra.
Prima, asisten pribadinya, masuk dengan langkah cepat, memegang tablet dan map tipis. Perempuan berusia awal tiga puluhan itu tampak tegang, alisnya berkerut. "Pak Ezra, ada update soal kasus Pak Ajat," katanya tanpa basa-basi. Ia berdiri di depan meja.
Ezra menegakkan tubuh, matanya menyipit. "Apa kabarnya?"
Prima menarik napas, lalu menjelaskan, "Pak Ajat dibebaskan pagi ini. Polisi bilang cuma penganiayaan ringan, nggak cukup bukti buat dakwaan berat. Luka Bapak nggak parah dan saksi cuma pembantu rumah yang nggak lihat jelas kejadiannya. Jadi, mereka lepasin dia dengan peringatan."
Ezra mengangguk pelan, rahangnya mengeras. "Terus?"
Prima ragu sejenak, lalu melanjutkan, "Pak Ajat mengancam mau melaporkan Bapak balik. Dia bilang Bapak terlibat penculikan putrinya, Samsara. Katanya dia punya 'bukti'—entah apa itu—dan bakal bikin laporan resmi kalau Bapak nggak ketemu dia buat 'nyelesain masalah'. Dia juga bilang ke polisi soal... kehamilan Samsara."
Ezra menutup mata sejenak, mengusap keningnya dengan jari-jari gemetar. "Sial," gumamnya. "Dia beneran bilang gitu?"
"Iya, Pak," jawab Prima. "Dan... masalahnya nggak cuma itu. Media udah mulai bahas kasus ini. Ada beberapa portal berita online yang nulis soal 'skandal CTO Dynasty Group' sama 'konflik dengan keluarga korban penganiayaan'. Mereka belum sebut nama Samsara, tapi nyebut 'seorang perempuan muda' dan spekulasi soal hubungan pribadi. Ibu Ainur udah telepon tadi, minta tim PR segera handle, tapi katanya Bapak harus kasih klarifikasi cepat."
Ezra mendengus, bersandar ke kursi kulitnya. "Klarifikasi apa? Saya nggak tahu apa-apa soal Samsara sekarang. Dia kabur, Prima"
Prima mengangguk, membuka tabletnya dan memperlihatkan headline dari sebuah situs berita: "CTO Muda Dynasty Group Terlibat Skandal, Ancaman Penculikan Mengemuka".
Ezra membaca sekilas, lalu menggeleng, wajahnya penuh frustrasi. "Ini bakal bikin Ami gila. Belum lagi investor."
"Pak, saya sarankan Bapak ketemu tim PR hari ini juga," kata Prima, suaranya tegas. "Dan... mungkin pertimbangin ketemu Pak Ajat. Kalau dia beneran lapor penculikan, ini bisa jadi masalah yang lebih besar. Apalagi dengan media yang udah mulai ngendus."
Ezra menatap Prima, pikirannya berputar kencang. Ajat bebas, mengancam, dan media mulai menggali. Di sisi lain, Samsara tidak tahu ada di mana, mungkin tak tahu apa yang terjadi di luar sana. Dia tahu dia harus bertindak, tapi ke mana? Menemui Ajat? Mencari Samsara? Atau fokus menyelamatkan reputasi perusahaan dan keluarganya, seperti yang Ami tuntut?
"Prima, siapin tim PR buat rapat jam dua siang," kata Ezra akhirnya. "Dan... cari tahu lebih banyak soal ancaman Pak Ajat. Apa 'bukti' yang dia maksud. Saya nggak mau kaget kalau dia beneran lapor."
Prima mengangguk, mencatat di tabletnya. "Baik, Pak. Ada lagi yang bisa saya bantu?"
Ezra menggeleng, menatap keluar jendela ke kota Jakarta yang sibuk. "Cukup dulu. Makasih, Prima."
***
Di sebuah restoran mewah, lampu-lampu kristal berkilau di langit-langit, memantulkan cahaya lembut ke meja-meja yang ditata dengan linen putih dan peralatan makan perak. Ezra duduk di sudut ruangan, di depan jendela besar yang menghadap gemerlap kota. Ia mengenakan kemeja putih dan celana tailored—tampak sempurna. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Di hadapannya, Gisel, dengan gaun merah marun anggun yang memamerkan lekuk tubuhnya, menatapnya dengan alis berkerut.
"Kamu terlambat," kata Gisel. Jari-jarinya yang manicured sempurna memainkan gelas anggur di tangannya. Senyumnya memikat seperti biasa—hasil dari perawatan kecantikan yang tak murah.
"Meeting panjang," jawab Ezra datar. Dia menggeser garpu di atas meja, jelas tak sepenuhnya hadir di momen itu. Pikirannya melayang ke Samsara, yang tak kunjung menelepon meski sudah beberapa hari sejak pesannya disampaikan lewat Ruci.
Gisel memicingkan mata, menyadari keganjilan. "Kamu nggak biasanya begini, Ezra. Apa sih yang salah?"
Ezra menghela napas, memaksakan senyum tipis. "Cuma capek, Sel. Hari ini hectic."
Gisel tak puas dengan jawaban itu. Dia mencondongkan tubuh, suaranya menajam. "Capek? Atau masih mikirin perempuan yang bikin kamu dihajar ayahnya? Sara atau siapa itu namanya?"
Ezra menegang. "Gisel, kita udah bahas ini. Aku bilang aku bakal jelasin pas waktunya tepat."
"Waktunya tepat sekarang, Ezra!" bentak Gisel, suaranya cukup keras hingga beberapa kepala di meja sebelah menoleh. "Aku nggak suka dikira bodoh. Berita itu ada di mana-mana dan kamu cuma bilang 'capek'? Aku pacar kamu, Ezra, aku berhak tahu!"
Ezra memandangnya, rahangnya mengeras. "Aku nggak mau ribut di sini," katanya dingin. "Kalau kamu mau teriak-teriak, kita pulang sekarang."
Gisel mencibir, bersandar ke kursi dengan tangan disilangkan. "Oh, jadi sekarang aku yang salah karena pengen kejelasan? Kamu yang selingkuh, Ezra, bukan aku!"
"Gisel, cukup!" potong Ezra tegas. Dia mengusap wajahnya, mencoba menahan emosi. "Aku nggak mood buat bahas ini."
"Jelas banget kamu nggak mood!" balas Gisel, nadanya penuh sarkasme. "Aku pikir kita ke sini buat dinner romantis, tapi kamu cuma duduk kayak orang linglung. Kalau nggak mau ketemu aku, bilang dari awal!"
Ezra tak menjawab, hanya menatap gelas air di depannya, pikirannya kembali ke Samsara. Gisel, yang biasanya bisa membuatnya tertawa dengan kecerdasan dan pesonanya, kini terasa seperti beban. Dia tahu Gisel pantas mendapat kejujuran, tapi bagaimana dia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dia sendiri tak sepenuhnya pahami?
Tiba-tiba, suara familiar memecah ketegangan. "Ezra? Gisel?"
Ezra dan Gisel menoleh serentak. Fajrin, sahabat Ezra sejak kuliah yang kini jadi pengusaha startup, berdiri di dekat meja mereka. Ia menggandeng Ruci yang tampak sedikit canggung dalam gaun hitam sederhana namun elegan. Fajrin tersenyum lebar, tak menyadari ketegangan di antara mereka.
"Nggak nyangka ketemu kalian di sini!" kata Fajrin.
Ruci, di sisi lain, langsung menangkap ekspresi tegang Ezra dan Gisel. Matanya bertemu dengan Ezra sejenak, penuh kewaspadaan, sebelum beralih ke Gisel dengan senyum sopan. "Hai, apa kabar?"
Gisel memaksakan senyum, meski nadanya kaku. "Hai, Ruci. Fajrin. Lagi dinner juga?"
"Iya, abis meeting, mampir bentar," jawab Fajrin santai, lalu menoleh ke Ezra. "Bro, udah lama nggak ngobrol. Oh ya, Papa nanya, kapan kita golf bareng lagi?"
Ezra berusaha terlihat santai. "Sibuk, Bro. Golf? Soon, deh. Lo kapan balik dari Singapura?"
Fajrin dan Ezra terlibat obrolan ringan tentang bisnis dan hobi, sementara Gisel dan Ruci saling bertukar basa-basi yang canggung. Ruci, yang tahu situasi rumit antara Ezra dan Samsara, memandang Gisel dengan rasa ingin tahu. Gisel, dengan gaun merahnya yang mencolok dan perhiasan berkilau, adalah gambaran sempurna dari perempuan yang cocok untuk Ezra—cantik, cerdas, dan dari kalangan yang sama. Tapi Ruci tak bisa menahan pikiran bahwa Samsara, dengan segala kesederhanaan dan luka batinnya, tak akan pernah bisa bersaing dengan Gisel.
Saat Fajrin dan Gisel terseret ke percakapan tentang tren fashion, Ezra memanfaatkan momen untuk menatap Ruci. "Ci, apa kabar?" tanyanya.
"Sama aja," jawab Ruci singkat. Matanya menatap Ezra waspada.
Ezra ragu sejenak, lalu bertanya, "Lo denger kabar dari... Samsara?"
Ruci menghela napas kecil. "Iya, tadi siang."
Ezra menahan napas. "Gimana kabarnya?"
"Sama aja," ulang Ruci.
Ezra memandangnya, matanya penuh harap yang terselubung. "Dia nggak mau nelepon gue?"
Ruci menggeleng pelan. "Gue udah sampaikan pesan lo. Dia nggak tertarik."
Ezra menunduk, rahangnya mengeras. Sebelum dia bisa berkata apa-apa lagi, Gisel, yang menyadari percakapan mereka, menyela dengan nada tajam. "Ezra, ngobrol apa sih sama Ruci? Aku kira kita lagi dinner berdua."
Ruci buru-buru angkat bicara, mencoba meredakan. "Nggak apa-apa, Sel. Cuma nanya kabar. Aku sama Fajrin mau balik ke meja dulu, ya." Dia menarik lengan Fajrin dan mereka berpamitan.
Saat Fajrin dan Ruci menghilang di antara meja-meja, Gisel menatap Ezra dengan mata menyala. "Sara lagi, ya? Atau siapa pun perempuan yang kamu rahasiain dari aku?"
Ezra menghela napas, kehabisan kata-kata. "Gisel, aku—"
"Jangan bilang 'nanti aku jelasin' lagi!" potong Gisel. "Aku muak, Ezra. Kalau kamu nggak bisa jujur, kita selesai!"
Ezra memandangnya, hatinya terbelah antara rasa bersalah pada Gisel dan kekhawatiran akan Samsara. Di tengah restoran yang penuh kemewahan, dia merasa lebih terjebak dari sebelumnya, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari labirin yang dia ciptakan sendiri.
Ruci, yang melirik ke arah mereka dari meja di ujung ruangan, menggeleng pelan. Dalam hati, dia berpikir, Samsara tak akan pernah punya tempat di dunia Ezra dan Gisel. Tapi melihat ekspresi Ezra yang penuh konflik, dia tak bisa menahan rasa kasihan—baik untuk Samsara, yang bersembunyi dari luka, maupun untuk Ezra, yang tampaknya tak tahu bagaimana memperbaiki kekacauan yang dia mulai.
***
Di apartemen mewah Gisel di kawasan Kuningan, malam terasa hening kecuali suara lembut jazz yang mengalir dari speaker di sudut ruangan. Ezra duduk di sofa abu-abu, kemeja putihnya sedikit kusut, matanya penuh kegelisahan. Sementara Gisel berdiri di dekat meja marmer. Tangannya memegang gelas anggur, wajahnya mengeras oleh kemarahan yang tak lagi disembunyikan.
"Kamu nggak bilang apa-apa sejak tadi," kata Gisel, nadanya dingin namun terkendali. "Aku nunggu penjelasan, Ezra, tapi kamu masih aja duduk kayak orang bodoh."
Ezra menghela napas, menatap keluar jendela ke lampu-lampu kota yang berkelip seperti permata di kejauhan. "Aku cuma... lagi mikir, Sel."
Gisel memutar anggur di gelasnya, lalu melangkah mendekat. Suaranya tetap tenang tapi tajam. "Mikir soal apa? Atau soal siapa? Samsara, kan? Perempuan yang bikin hidup kamu jadi kacau?"
Ezra menoleh padanya, wajahnya penuh konflik. Dia menggosok pelipisnya, lalu bergumam, "Damn."
"Bicara, Ezra!" desak Gisel. Dia mulai kehilangan kesabaran. "Aku pacar kamu. Aku berhak tahu apa yang bikin kamu kayak orang gila begini. Ini soal Samsara, kan? Perempuan yang ayahnya nyerang kamu?"
Ezra menatapnya, ragu, lalu bertanya, "Sel, kamu sayang sama aku?"
Gisel mengerutkan kening, tak suka arah pertanyaan itu. "Itu nggak penting sekarang."
"Tolong jawab," pinta Ezra. "Aku perlu tahu."
"Kenapa?" tanya Gisel dengan alis terangkat. Nadanya penuh kecurigaan.
"Karena akhir-akhir ini aku banyak mikir... soal kita," jawab Ezra. Matanya mencari sesuatu di wajah Gisel. "Kamu sayang aku nggak?"
Gisel menatapnya dan menghela napas. "Mungkin. Aku nggak yakin. Kamu sendiri? Kamu sayang aku?"
Ezra tersenyum kecil, penuh kepahitan. "Mungkin juga. Aku nggak tahu pasti. Tapi... kemungkinan besar iya."
Gisel mencibir dan menggeleng pelan. "Itu terlalu dingin buat disebut romantis, Ezra."
"Iya, aku tahu," balas Ezra. Ia mengangguk. "Aku lagi... overthinking. Menganalisis segalanya."
"Analisis soal kita?" tanya Gisel.
Ezra mengangguk, menatap meja marmer di depannya, lalu mengalihkan pandangan ke Gisel. Rambutnya yang tergerai sempurna, jari-jarinya yang memainkan gelas anggur dengan anggun, posturnya yang penuh percaya diri—Gisel adalah definisi keanggunan, seperti berlian yang diciptakan untuk dunia ini, dunia yang perempuan itu dan Ezra tempati. Samsara, dengan luka batin dan kesederhanaannya, tak akan pernah cocok di sini. Tapi Gisel... dia begitu memukau, begitu sempurna.
"Kamu cantik banget," kata Ezra tiba-tiba. Nada suaranya bercampur kekaguman dan rasa sakit. "Terlalu cantik, bahkan."
Gisel menoleh, alisnya sedikit terangkat, tapi ekspresinya tetap tenang, hampir dingin. "Ezra," katanya, suaranya lembut namun tegas, seperti seseorang yang tahu betul bagaimana mengendalikan situasi. "Jangan mulai lagi."
Ezra tersenyum tipis, tapi ada sesuatu yang gelap di matanya—campuran antara hasrat dan penyesalan. "Aku serius, Gisel. Aku nggak bohong. Kamu..." Ia berhenti, mencari kata-kata yang tepat, tapi akhirnya hanya menggeleng pelan. "Kamu bisa bikin orang lupa diri."
Gisel memutar gelas anggur di tangannya, cahaya lampu kristal di ruangan itu memantul pada permukaan gelas, menciptakan kilau yang seolah menari di jari-jarinya. "Dan kamu," katanya, suaranya kini sedikit lebih tajam, "terlalu mudah lupa diri." Ia menatap Ezra, matanya menyelidik, seolah ingin menembus dinding yang Ezra bangun di sekitar hatinya. "Apa yang kamu coba lakukan, Ezra? Apa ini cuma permainan buatmu?"
Ezra mencondongkan tubuhnya ke depan, jarak di antara mereka menyempit. "Bukan permainan," katanya. "Aku cuma... nggak bisa berhenti mikirin kamu." Tangannya bergerak, hampir tanpa sadar, menyentuh ujung jari Gisel yang masih memegang gelas.
Sentuhan itu ringan, tapi cukup untuk membuat Gisel menahan napas sejenak. “Ezra..." Gisel menarik tangannya perlahan, tapi gerakannya ragu, seolah ada bagian dari dirinya yang tak ingin benar-benar melepaskan. "Kita nggak bisa begini. Kamu tahu itu."
"Tapi kamu juga merasakannya, kan?" Ezra memotong, matanya kini penuh intensitas. "Jangan bohong, Gisel. Aku tahu kamu merasakan apa yang aku rasakan." Ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Gisel, dan sebelum Gisel sempat bereaksi, tangannya sudah menyentuh pipi Gisel.
Gisel menatapnya, napasnya sedikit tersengal. Ada perang batin di matanya—antara logika yang memintanya untuk menjauh dan sesuatu yang lebih dalam, lebih liar, yang mendorongnya untuk tetap di tempatnya.
Tapi Ezra tak mendengarkan. Ia mencondongkan wajahnya, dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh bibir Gisel. Ciuman itu panas, penuh gairah, seperti api yang telah lama terpendam dan kini tanpa kendali. Tangannya meluncur ke pinggang Gisel, menariknya lebih dekat. Dan Gisel, untuk sesaat, terhanyut. Ia mengerang pelan, tangannya secara naluriah membalas, mencengkeram kemeja Ezra seolah ingin menahannya sekaligus mendorongnya menjauh.
Namun, tiba-tiba, Gisel tersadar. Matanya membelalak, dan dengan gerakan cepat, ia mendorong Ezra menjauh, napasnya terengah-engah. "Cukup!" bentaknya, suaranya kini penuh kemarahan. "Apa yang kamu pikir kamu lakukan?!" Ia berdiri, tangannya gemetar saat ia merapikan rambutnya, seolah ingin mengembalikan kendali atas dirinya sendiri.
Ezra mundur selangkah, tangannya terangkat seolah menyerah, tapi matanya masih penuh dengan emosi yang sulit diuraikan. "Gisel, aku—"
"Jangan!" Gisel memotong, suaranya tajam seperti pisau. "Jangan coba-coba kasih alasan. Kamu tahu ini salah.“ Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku nggak mau jadi bagian dari kekacauanmu, Ezra."
Ezra menggigit bibir bawahnya, kebiasaan yang Gisel kenali dengan baik. Dia tak membantah.
"Aku mau nunggu semaleman sampai kamu ceritain apa yang bener-bener terjadi," kata Gisel.
Ezra menghela napas. Dia akhirnya menyerah. "Aku nggak seharusnya ketemu kamu malam ini. Aku cuma... nggak mau sendirian."
"Jadi itu kenapa kamu tadi nyamperin aku kayak orang kelaparan?" tanya Gisel dengan nada sinis. "Apa itu hukuman buat diri sendiri?"
Ezra tertawa kagum pada ketajaman Gisel. "Mungkin. Hukuman buat kesalahan dua bulan lalu."
Gisel memicingkan mata, mulai memahami. "Samsara?"
Ezra mengangguk pelan. "Iya. Dia hamil."
Gisel menahan napas, wajahnya tetap tenang meski matanya melebar sesaat. Dia menundukkan kepala, menyentuh dahinya dengan jari-jari gemetar. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara jazz yang masih mengalir pelan. "Dia alasan kamu dipukulin, kan?"
Ezra mengangguk, menatap gelas air di depannya. "Iya."
Gisel menarik napas dalam, berusaha tetap tenang. "Aku nggak bakal tanya apa kamu yakin itu anak kamu, karena kamu nggak bakal begini kalau nggak yakin. Pertanyaan besarnya... kamu mau nikahin dia?"
Ezra menarik napas panjang. "Kamu belum jawab tadi. Kamu sayang aku nggak?"
Gisel menatapnya. Matanya penuh luka. "Sekarang itu nggak penting lagi, kan?"
Ezra mencari kata yang tepat. "Nggak... ya, nggak sepenuhnya."
Gisel mengangguk, bibirnya mengerucut, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku pikir… iya."
Keduanya terdiam, menatap gelas masing-masing, merasakan kehilangan yang tak terucapkan. Jazz di latar belakang terasa seperti ejekan atas keheningan mereka.
"Aku nggak tahu apa aku bakal nikahin dia," kata Ezra akhirnya. Suaranya serak. "Tapi aku dapat tekanan besar."
"Dari ayahnya Samsara?" tanya Gisel, nadanya penuh sarkasme.
Ezra tertawa pahit. "Ayahnya? Itu cuma pemicu. Tekanan utama dari Ami. Dia bilang aku harus bertanggung jawab, nggak cuma buat Samsara, tapi buat nama baik keluarga dan Dynasty Group.” Ia menatap keluar jendela, ke lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan. "Ami bilang skandal ini bisa merusak reputasi perusahaan. Saham bisa anjlok, investor bisa mundur. Dia minta aku... menyelesaikan masalah ini dengan menikahi Samsara."
Gisel mencibir. Nadanya penuh kepahitan. "Jadi kamu cuma ikut perintah Ami? Kamu bakal nikahin perempuan yang nggak kamu suka demi nama baik keluarga? Romantis banget, Ezra."
Ezra menggeleng, frustrasi. "Bukan gitu, Sel. Aku terpaksa. Ayah Samsara bakal terus memeras keluargaku dan bikin ribut ke media. Terus Samsara... dia kabur, Sel. Aku nggak tahu dia di mana. Ruci tahu, tapi dia nggak mau bilang."
Gisel menatapnya. "Terus apa? Kamu ceritain ini ke aku biar aku kasih simpati? Atau biar aku bilang, 'Oh, Ezra, nggak apa-apa, nikahi dia, aku tunggu kamu selesai main rumah-rumahan'?"
Ezra meraih tangannya, tapi Gisel menariknya dengan cepat. "Sel, ini nggak gampang buat aku. Aku tahu aku salah. Aku nggak minta kamu maafin aku sekarang, tapi aku perlu tahu... kalau semua ini selesai, kalau aku bisa beresin kekacauan ini, apa kamu masih mau sama aku? Kita wujudin mimpi kita—menikah?"
Gisel menatapnya. Air mata menggenang di matanya. Dia menggeleng pelan, suaranya gemetar. "Sialan kamu, Ezra Jusuf. Aku seharusnya minta putus sekarang juga." Tapi nada lembutnya menyiratkan betapa sakit hatinya. "Kamu tahu aku sayang sama kamu. Aku bayangin masa depan sama kamu. Tapi sekarang? Kamu minta aku nunggu sementara kamu hidup bareng sama perempuan lain? Aku nggak main-main sama hidupku, Ezra!”
Ezra memandangnya, hatinya juga terasa hancur. "Sel, aku nggak bakal tanya ini kalau aku punya pilihan lain. Aku cuma... aku perlu tahu apa kita masih punya harapan."
Gisel menelan ludah, matanya menjelajahi wajah Ezra—wajah yang dia kenal setiap inci, yang pernah membuatnya jatuh cinta. "Kamu tahu ini udah terlambat, Ezra."
Hening menyelimuti mereka, hanya suara jazz yang masih mengalir pelan. Ezra meraih tangannya lagi, kali ini Gisel membiarkan, tapi tangannya tetap dingin di genggamannya.
Gisel menarik tangannya perlahan, lalu bangkit, mengambil gelas anggur dan berjalan ke jendela, memunggungi Ezra. “Kita berdua... kita kelihatan sempurna di mata orang, Ez. Tapi di balik itu? Kita cuma manusia. Aku nggak kuat lihat kamu kayak gini, nyakitin aku gara-gara kesalahan yang kamu buat sendiri."
Ezra mendekatinya. "Sel, aku sayang sama kamu. Aku tahu aku nggak pantes bilang itu sekarang, tapi aku beneran sayang sama kamu."
Gisel berbalik, matanya penuh air. "Jangan harap aku nunggu kamu, Ezra. Aku nggak bakal mau jadi cadangan."
Ezra mengangguk, matanya penuh penyesalan. "Kamu maafin aku?"
"Nggak," jawab Gisel, suaranya tegas meski air mata mengalir di pipinya. "Kamu nggak pantes minta itu."
Ezra mengangguk lagi, tahu dia tak bisa memaksa. "Jawabanmu penting buat aku, Sel. Beneran."
Gisel mengusap air matanya, lalu menunjuk pintu. "Pulang, Ezra. Aku nggak mau lihat kamu sekarang."
Ezra memandangnya sekali lagi, wajahnya penuh luka. "Aku bakal kasih tahu apa yang terjadi nanti."
Gisel mencibir, suaranya penuh sarkasme. "Iya, kasih tahu aku pas aku udah pindah ke New York buat kerja."
Ezra tak menjawab. Dia berjalan ke pintu, langkahnya berat, meninggalkan Gisel yang berdiri sendirian di apartemennya, menatap kota yang berkelip, hatinya hancur berkeping-keping. Di luar, malam Jakarta terus berdenyut, tak peduli pada drama yang baru saja terjadi di salah satu sudutnya.
***
Ezra melangkah keluar dari lift di lobi apartemen Gisel. Udara malam Jakarta menyapa wajahnya dengan hembusan sejuk bercampur bau asap kendaraan. Langkahnya berat, pikirannya masih dipenuhi oleh pertengkaran dengan Gisel—kata-katanya yang penuh luka, matanya yang berkaca-kaca. Dia mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa bersalah yang menyesaki dadanya. Di luar, Range Rover putihnya terparkir di bawah lampu jalan, kilau bodinya kontras dengan kegelapan malam.
Ezra masuk ke mobil, menutup pintu dengan pelan, dan duduk diam sejenak, menatap kemudi. Jazz lembut yang tadi mengalun di apartemen Gisel masih terngiang di kepalanya, tapi kini hanya keheningan yang menemaninya. Dia menghela napas panjang, lalu mengambil ponsel dari saku jasnya, berharap ada pesan dari Samsara—meski dia tahu itu tak mungkin. Layar ponselnya kosong, kecuali notifikasi email kantor yang tak dia pedulikan.
Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah keheningan. Nama Baron berkedip di layar—informan yang dia sewa untuk mencari keberadaan Samsara. Jantung Ezra melonjak. Dia buru-buru menjawab. "Ron, ada kabar?"
"Bos, saya dapet info," kata Baron. "Samsara ada di Panti Sosial Bunga Harapan, Ciputat. Tempat khusus buat ibu hamil. Saya udah cek, dia terdaftar di sana. Alamatnya saya kirim sekarang."
Ezra menahan napas, jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat. "Kamu yakin itu dia?"
"Seratus persen, Bos. Saya dapet datanya dari orang dalam. Dia pake nama asli, nggak ada alias," jawab Baron. "Mau saya datengin buat konfirmasi visual?"
"Nggak usah," potong Ezra cepat. "Biar saya sendiri ke sana. Kirim alamatnya sekarang."
"Oke, Bos. Udah saya kirim ke W******p. Hati-hati, ya. Tempatnya agak terpencil."
Ezra menutup telepon, tangannya gemetar saat membuka pesan dari Baron. Alamat Panti Sosial Bunga Harapan muncul di layar, lengkap dengan koordinat GPS. Dia menatapnya lama, jantungnya berdetak kencang. Samsara. Setelah dua minggu mencari, akhirnya dia tahu di mana perempuan itu berada. Tapi apa yang harus dia lakukan sekarang? Muncul di hadapannya tiba-tiba? Memaksa bicara, padahal Samsara jelas tak ingin berurusan dengannya?
Dia menyalakan mesin mobil, tapi tak langsung melaju. Di dalam kepalanya, berbagai skenario berputar. Dia membayangkan Samsara di panti sosial itu—mungkin sendirian di kamar sederhana, mungkin ketakutan, atau justru tegar seperti yang Ruci ceritakan. Bayangan itu membuat dadanya sesak. Dia tahu dia penyebab semua ini—malam yang seharusnya hanya jadi kesalahan, kini jadi badai yang menghancurkan hidup mereka berdua.
Dia menekan pedal gas, Range Rover-nya meluncur ke jalanan Jakarta yang masih ramai meski malam semakin larut.
***
Ponsel Samsara berdering, nama Ruci berkedip di layar. Dia menghela napas, lalu menjawab, "Halo, Ci."
"Sam, gue ketemu Ezra tadi!" kata Ruci, suaranya penuh urgensi, seolah tak sabar menceritakan. "Di restoran sama Gisel. Dia nanya soal lo lagi. Dia bilang penting banget dia harus ngobrol sama lo."
Samsara menegang, jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat. "Ngobrol buat apa, sih? Gue nggak mau nikah sama dia dan gue nggak butuh duitnya!"
"Ya Tuhan, Sam, kenapa sih lo keras kepala banget?" balas Ruci, nadanya setengah kesal. "Apa salahnya ketemu dia? Nggak bakal rugi, kan!"
Tapi tepat saat itu, seorang ibu hamil lain bernama Lita, lewat di lorong, langkahnya pelan menuju dapur. Samsara buru-buru memalingkan wajah ke dinding, menutup mulut ponsel dengan tangan. Ia berbisik, "Gue mau dia pikir gue udah pergi dari Jakarta."
Ruci mendesah panjang di ujung telepon, nadanya berubah kritis. "Kalau boleh jujur, Sam, gue pikir lo berutang sama dia buat dengerin penjelasannya. Mungkin dia yang butuh sesuatu dari lo. Lo pernah mikir gitu nggak?"
Hening panjang menyelimuti percakapan. Samsara belum pernah memikirkan itu. Dia menekan ponsel ke telinga hingga terasa sakit, keningnya bersandar ke dinding yang dingin. Tiba-tiba, memikirkan Ezra terasa begitu melelahkan. Emosinya sudah di ujung tanduk, masalahnya sendiri sudah cukup berat tanpa harus memikul beban Ezra juga. Dia menghela napas, "Ci, gue nggak mau tahu."
Suara Ruci kembali, kali ini lebih tenang, hampir memohon. "Sam, gue rasa dia lagi dalam masalah besar soal ini. Gue nggak tahu pasti apa, soalnya dia nggak bilang detail. Cuma bilang ada 'akibat serius' yang dia hadapi."
"Bodo amat!" potong Samsara. Matanya terpejam erat. "Tolong, Ci, jangan bilang apa-apa lagi. Gue nggak mau dengar! Gue nggak sanggup mikirin masalah dia. Gue udah kewalahan sama hidupku sendiri."
Hening lagi, panjang dan berat. Lalu Ruci berkata, nadanya lembut tapi menusuk, "Sam... mau lo akui atau nggak, masalah dia dan masalah lo... itu satu dan sama."
Samsara terdiam, kata-kata Ruci seperti pisau yang mengiris hati nuraninya. Dia menutup mata lebih erat, mencoba menepis rasa bersalah yang mulai merayap. Ponsel masih di tangannya, tapi dia tak bisa berkata apa-apa.
Di luar, malam Ciputat terasa semakin gelap, dan di dalam, Samsara merasa semakin terjebak dalam labirin yang tak kunjung menemukan ujung. Kata-kata Ruci terus bergema, menggerogoti pikirannya, membuatnya bertanya-tanya apakah dia benar-benar bisa terus lari dari Ezra—dan dari kebenaran yang menghubungkan mereka.
***