Dari warung kecil di ujung gang, Samsara mengintip ke arah jalan, memastikan bayangan ayahnya, tak terlihat. Jantungnya masih berdegup kencang setelah berlari keluar dari rumah dengan tas di bahunya. Ia buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku, menelpon sepupunya, Ruci, sebelum bergegas menemuinya di ujung jalan.
Ruci seumuran dengan Samsara. Berusia 23 tahun. Tahun lalu, Ruci baru menyelesaikan kuliahnya jurusan bisnis. Lalu merintis toko baju online bernama Chic Click. Samsara sendiri ingin kuliah, tapi tidak punya biaya.
Berbeda dengan rumah Samsara yang penuh kekerasan, rumah keluarga Ruci hangat dan penuh tawa, selalu menjadi tempat perlindungan bagi Samsara sejak kecil. Kedua sepupu ini tak pernah menyimpan rahasia satu sama lain.
Bunyi klakson membuat Samsara tersadar. Mobil Toyota Agya warna merah berhenti di sampingnya. Wajah Ruci muncul ketika kaca jendela diturunkan.
"Ayo!" kata Ruci.
Samsara pun buru-buru masuk ke mobil. Dia menaruh tasnya di jok belakang. Lantas mengembuskan napas, merasa sedikit lega telah lolos dari rumah yang penuh ketakutan itu. Tangan Samsara mengusap perutnya.
Ruci mengemudi dengan hati-hati, tangannya mencengkeram setir sambil sesekali melirik ke arah Samsara yang duduk di sampingnya. Ia tersentak melihat wajah Samsara—penuh luka, pipinya bengkak, lebam keunguan di sekitar mata dan rahang. "Ya Tuhan, Sam, muka lo..." Ruci berkata penuh kengerian. "Om Ajat yang ngelakuin ini, kan? Sialan, dia bener-bener keterlaluan!"
Samsara menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang babak belur. Matanya terpejam lelah.
Ruci masih menatap luka-luka itu sekilas, sebelum kembali fokus mengemudi. "Sam, lo harus ke dokter. Kita harus memeriksa keadaan lo dan anak lo."
Samsara menggeleng pelan. "Gue baik-baik aja. Anak gue juga... kayaknya. Gue cuma butuh tempat buat sembunyi sekarang."
Ruci menghela napas, mencoba menahan amarahnya pada Ajat. "Oke, kita urus itu nanti. Yang penting lo udah kabur. Ezra tahu keadaan lo?"
"Kenapa Ezra perlu tahu keadaan gue?" tanya Samsara ketus. "Dia bukan siapa-siapa gue."
"Dia bapak anak lo. Dia seharusnya melindungi lo," kata Ruci.
"Nggak perlu," tukas Samsara. "Gue bisa menjaga diri gue sendiri."
Lagi-lagi Ruci menghela napas. "Terus, waktu ketemu Ezra, dia nawarin apa?"
"Dia mau kasih gue uang buat semua kebutuhan gue," Samsara mengaku, suaranya nyaris tenggelam oleh derum mesin Agya.
"Gue udah bilang dia bakal ngelakuin itu."
"Dan gue bilang ke dia, gue nggak bakal terima sepeser pun uangnya."
Ruci mengerutkan bibir. "Sam, lo serius? Lihat diri lo—muka lo bengkak, badan lo penuh luka, dan lo hamil! Lo butuh duit!"
"Gue nggak mau dia punya kuasa apa pun atas diri gue," tegas Samsara. "Kalau gue terima uangnya, dia mungkin berpikir dia bisa mengatur hidup gue atau anak ini."
"Tapi pikir dong, Sam! Lo beneran butuh duit. Ke dokter buat check up kandungan, biaya lahiran—lo mau bayar pake apa? Doa?" Ruci menggeleng, nada sarkastiknya bercampur keprihatinan. "Ezra punya duit, Sam. Keluarganya punya perusahaan, punya vila di Bali, apartemen di Singapura. Beberapa puluh juta mah receh buat dia."
Samsara mengangkat dagunya dengan tekad yang sudah dikenal Ruci, meski wajahnya yang lebam membuatnya tampak rapuh. "Gue masih bisa jahit, jualan online, apa pun."
"Aduh, kapan sih pikiran lo terbuka seluas-luasnya?" balas Ruci, tapi matanya tak lepas dari memar di wajah Samsara saat mobil berhenti di lampu merah. "Sam, gue cuma takut lo nggak kuat."
"Terserah. Gue nggak peduli seberapa kaya Ezra." Samsara menatap keluar jendela ke arah gedung-gedung tinggi yang berkilau di kejauhan. "Gue cuma mau anak gue nggak tergantung sama orang lain."
"Ezra bukan orang lain, dia bapak anak lo. Wajar dong kalau anak lo jadi tanggung jawabnya. Bukan ketergantungan," kata Ruci sebal.
Sebelum menanggapo ponsel Samsara bergetar di saku jaketnya. Ia mengerutkan kening, mengeluarkan ponsel itu dan melihat nomor tak dikenal. 0811-5678-XXXX. Panggilan berdering beberapa kali, tapi Samsara hanya menatap layar, jantungnya kembali berdegup kencang. Ia takut itu telepon dari ayahnya.
"Siapa yang nelepon?" tanya Ruci, nada curiga.
Samsara menggeleng cepat. "Nggak tahu. Nomornya nggak dikenal." Ia mencoba menenangkan dirisl.
Tak lama, ponsel bergetar lagi dengan notifikasi pesan masuk. Samsara membuka pesan itu, dan matanya melebar saat membaca isinya.
0811-5678-XXXX
Sara, ini aku Ezra.
Tolong jawab teleponku.
Samsara tersentak, napasnya tersengal. "Ezra..." bisiknya, wajahnya yang bengkak memucat.
Ruci melirik lagi, kali ini dengan ekspresi khawatir. "Jawab dong, Sam."
Tanpa berpikir panjang, Samsara membuka pengaturan kontak, mencari nomor itu, dan dengan cepat menekan tombol blokir. Samsara menghela napas, tapi dadanya masih sesak. "Dia nggak boleh tahu gue di mana, Ci. Nggak boleh."
Ruci menunjukkan kekhawatiran. "Lo yakin nggak mau ngomong sama dia? Dia kayaknya khawatir."
"Gue nggak peduli," potong Samsara. "Gue nggak mau dia ikut campur."
Ruci menghela napas, tak bisa menyembunyikan kekaguman sekaligus frustrasi pada tekad sepupunya. "Sam, gue nggak mau berdebat. Tapi lihat diri lo—lo butuh istirahat, perawatan. Om Ajat bener-bener... gue nggak bisa bayangin lo balik ke sana." Ruci tidak bisa menyembunyikan nada sinis dan rasa muak.
Melihat Samsara tetap murung, Ruci mencoba menyemangatinya. "Gue tahu kamu mikirin Tante Esti, Sam, tapi sekarang lo harus mikirin diri lo sendiri."
"Ayah bakal ngamuk pas tahu gue kabur. Dan Ibu yang bakal kena imbasnya." Samsara menatap keluar jendela, wajahnya yang bengkak dipenuhi kekhawatiran. "Gue nggak bisa ngebayangin apa yang bakal Ayah lakuin ke Ibu."
"Jangan mikirin itu. Bersyukur deh kamu bisa keluar. Kalau nggak begini, kamu bakal stuck selamanya. Dan tenang, gue bakal minta Mama mampir ke rumah lo besok, biar Tante Esti nggak sendirian."
"Makasih ya, Ci."
Ruci melirik sepupunya, lalu tersenyum kecil. "Tapi... harusnya lo mikirin kalau lo dapet duit dari Ezra, lo bisa ngumpet di tempat yang nyaman."
"Ruci!" Mata Samsara menyipit, ada sedikit humor di balik tatapan lelahnya, meski wajahnya yang lebam membuat senyumnya tampak menyakitkan.
"Yah, beneran." Ruci mengangkat satu tangan dari setir. "Lo bisa tinggal di apartemen atau hotel."
"Tetep nggak mau!" tegas Samsara. "Lo beneran ya nggak bakal bilang ke Ezra gue di mana, ya! Gue serius, Ruci!" Samsara memperingatkan.
"Iya, iya." Ruci kembali menggeleng. "Eh, terus lo udah dapet tempat buat tinggal sementara?"
"Ada panti sosial di Ciputat, khusus buat ibu hamil, aman dan gratis. Gue tahu tempatnya dari temen." Samsara memperlihatkan alamat dan foto lokasinya di ponselnya.
"Lo serius mau tinggal di sana?"
Samsara mengangguk.
"Ya udah gue anterin lo ke sana," kata Ruci.
Suasana hening. Hanya terdengar musik dari radio di mobil.
"Lo tahu nggak sih, Sam..." Ruci menelan ludah. "Gue selalu merasa bersalah."
"Lo nggak bersalah, Ci. Berapa kali gue harus bilang?"
"Tapi gue yang ngenalin lo sama Ezra."
"Cuma ngenalin, Ruci. Setelah itu, pilihan gue sendiri." Samsara menatap sepupunya, mencoba meyakinkannya.
Mereka sudah sering berdebat soal ini dan itu selalu membuat Ruci sedikit murung. Dengan perlahan, dia berkata, "Ezra pasti bakal nyari lo. Orang kaya kayak dia pasti punya cara buat nyari tahu."
"Selama nggak ada yang bocorin, pasti aman," kata Samsara.
***
Sejak melangkah ke halaman panti sosial Bunga Harapan di Ciputat, Samsara merasakan secercah ketenangan di dadanya. Bangunan itu adalah rumah tua bergaya kolonial Belanda, sederhana namun kokoh, dengan dinding bata ekspos yang sudah memudar dan atap genteng yang sedikit berlumut. Halaman depan dihiasi pot-pot tanaman yang sebagian layu, seolah kelelahan menghadapi panas, ditemani beberapa ayunan kain buatan tangan yang bergoyang pelan ditiup angin.
Di dalam, aula masuk berlantai keramik retak menyambut dengan aroma kayu tua dan bunga kering. Ruang tamu dan ruang makan terhubung langsung, dipisahkan hanya oleh lengkungan sederhana dengan cat mengelupas. Jendela-jendela besar dengan teralis besi membiarkan cahaya pagi masuk, menyapu ruangan dengan warna kuning lembut yang memantul di dinding plester. Tangga kayu di sudut aula menuju lantai atas, pegangannya aus namun masih kokoh, mengingatkan pada rumah-rumah tua di kampung yang penuh cerita. Ruang tamu dihiasi sofa bekas dengan bantal-bantal warna-warni yang dijahit sendiri, meja kayu sederhana dengan tepi usang, dan kursi-kursi plastik yang tak serasi namun terasa pas.
Ada tiga perempuan yang sibuk bersih-bersih. Seorang perempuan menyapu lantai dengan sapu ijuk, satu lagi mengelap meja dengan kain basah, dan yang lain merapikan tumpukan kain di sudut. Di ruang makan, seorang gadis kecil—mungkin baru lima belas tahun—membungkuk di atas meja panjang, menggosok permukaannya dengan kain lap. Ia berdiri, tangannya memegang pinggang, meregangkan punggung dengan wajah lelah. Samsara tersentak pelan saat gadis itu berbalik, memperlihatkan perutnya yang membuncit, jelas sudah hamil tua. Gadis itu kecil, kurus, dengan rambut dikuncir asal.
Senyum lebar muncul di wajah gadis itu saat melihat Samsara dan Ruci. "Ada tamu!" serunya. Suaranya nyaring meski tubuhnya mungil.
Gadis yang menyapu berhenti, meletakkan sapu di dinding. Yang mengelap meja melempar kain ke bahunya, dan yang merapikan kain berhenti, semuanya melangkah mendekati Samsara dan Ruci dengan rasa ingin tahu. Gadis kecil itu, langsung memandang wajah Samsara yang babak belur, matanya melebar sesaat sebelum digantikan ekspresi prihatin.
"Hai, aku Wulan. Kakak nyari Bu Hartini?" tanya gadis kecil tadi, wajahnya bulat dan ramah, dengan tahi lalat kecil di pipi yang membuatnya tampak lebih muda dari usianya. Meski perutnya besar, gerakannya lincah dan senyumnya menular.
"Iya, aku Samsara, dan ini Ruci," jawab Samsara. Tangannya memegang tas erat-erat.
"Ya Tuhan, wajah Kakak..." kata Wulan. Tangannya terulur tapi berhenti di udara. "Ayo, masuk dulu, kita obati luka Kakak." Ia menoleh ke temannya. "Sari, ambil kotak P3K di dapur, dong!"
Sari mengangguk dan segera berlalu.
"Siapa yang mau tinggal di sini, Kak?" tanya Wulan.
"Aku," kata Samsara. "Ruci cuma nganter aku."
"Kenalin yang lain, ya. Ini Sari." Wulan memperkenalkan.
Sari, yang kembali dengan kotak P3K, adalah perempuan tinggi dengan wajah polos dan rambutnya diikat rapi.
"Dan ini Tika." Wulan memperkenalkan perempuan satu lagi.
Tika tampak lebih pendiam, dengan rambut panjang acak-acakan dan kaus longgar yang tak menyembunyikan kehamilannya.
Semua gadis itu dalam berbagai tahap kehamilan dan yang mengejutkan Samsara adalah betapa mudanya mereka. Wulan, yang paling kecil, tampak tak lebih dari lima belas tahun—meski hamil tua. Sari dan Tika mungkin enam belas atau tujuh belas, tapi wajah mereka masih penuh kekanak-kanakan. Meski begitu, mereka memancarkan kehangatan, menyapa Samsara dengan senyum tulus.
Sari membuka kotak P3K, mengeluarkan kapas dan larutan antiseptik, sementara Tika mengambil mangkuk kecil berisi air hangat.
Dengan hati-hati, Wulan mulai membersihkan luka di wajah Samsara, gerakannya lembut namun pasti. "Maaf ya, Kak, mungkin agak perih," kata Wulan, matanya penuh empati. "Tapi kita harus bersihin biar nggak infeksi."
Samsara mengangguk, menahan perih saat kapas menyentuh memar di pipinya. Ruci, di sampingnya, memegang tangannya erat.
"Kalian... baik banget," gumam Samsara.
"Di sini kita saling jaga," kata Sari, tersenyum sambil menyerahkan kapas baru ke Wulan. "Kakak bakal betah."
"Aku coba cari Bu Hartini ya," kata Wulan setelah selesai mengobati luka Samsara. Memar di wajahnya kini tampak lebih bersih meski masih bengkak. "Dia pasti di sekitar sini. Tika, kamu lihat Bu Tini tadi?"
"Di kantor, kayaknya," jawab Tika.
"Ayo, ikut aku!" ucap Wulan.
Saat mereka mengikuti Wulan menyusuri lorong sempit, Sari menjelaskan, "Bu Hartini orang baik banget, bidan juga. Kita semua panggil dia Bu Tini. Nanti kita bantu kamu beres-beres, ya. Eh, Kakak udah makan belum?"
Apa pun kekhawatiran Ruci tentang panti ini, semua lenyap begitu melihat kehangatan para perempuan itu. Mereka begitu ramah dan akrab, membuatnya merasa lega memikirkan Samsara tinggal di sini.
Wulan, dengan energi ceria meski perutnya besar, memimpin mereka ke sebuah ruangan kecil di ujung lorong, yang tampak seperti bekas gudang yang disulap jadi kantor. Ruangan itu sederhana, dengan meja kayu tua, rak penuh buku dan map, dan kursi rotan yang ditutup kain batik pudar. Di balik meja, seorang permpuan paruh baya dengan rambut pendek beruban sedang membolak-balik tumpukan kertas.
"Bu Tini, nyari apa lagi?" tanya Wulan, bersandar di ambang pintu dengan senyum nakal.
"Buku catatan kemarin. Pasti Tika sembunyiin lagi," jawab perempuan itu, terkekeh pelan tanpa menoleh.
"Bu Tini, kita kedatangan tamu!" Wulan berseru, membuat perempuan itu mengangkat wajahnya.
Wajahnya bulat, sederhana, dengan garis senyum di sudut mata yang menunjukkan kelembutan. "Ya ampun, kok nggak bilang dari tadi?" Bu Hartini bangkit, tersenyum lebar sambil menatap Samsara dan Ruci. Matanya mengerjap melihat wajah Samsara yang penuh luka, tapi ia cepat menyembunyikan keterkejutannya.
Samsara dan Ruci mencium tangan Bu Hartini bergantian. Mereka juga menyebutkan nama masing-masing.
"Samsara, ya? Saya nggak nyangka kamu datang malam-malam begini. Ayo masuk, duduk dulu. Wulan, kamu udah bantu ngobatin lukanya?" ujar Bu Hartini.
"Udah, Bu," jawab Wulan, mengangguk. "Tapi Bu Tini harus cek kandungannya, ya."
Bu Hartini mengangguk, wajahnya penuh pengertian. "Tentu, Wulan. Samsara, saya bidan. Jadi nanti saya cek kandunganmu, pastiin semuanya baik-baik aja. Tapi kita ngobrol dulu, ya. Udah ada yang ambil tas kamu?"
"Biar kami, Bu," Wulan menawarkan. Dia melirik Ruci. "Kak Ruci, tasnya Kak Samsara di mana?"
"Ada di ruang yang tadi," kata Ruci.
"Oke." Wulan bergegas keluar.
Samsara," panggil Bu Hartibu. "Di sini biasanya kita minta salah satu anak yang lama buat bantu yang baru, kasih tahu di mana barang-barang, jelasin jadwal kerja, jam makan, gitu-gitu."
"Kita itu jadi kakak-adik," tambah Tika. "Mau nggak jadi kakakku?"
"Aku..." Samsara ragu, kewalahan dengan kebaikan yang tak ia duga.
Merasakan keraguan Samsara, Tika meraih tangannya. "Semua butuh temen, nggak cuma pas lagi seneng, tapi juga pas lagi sedih. Makanya kita jadi kakak-adik di sini. Kakak bantu aku, aku bantu Kakak. Nanti Kakak lihat, tempat ini lumayan oke. Iya nggak, Bu Tini?"
"Bener banget," jawab Bu Hartini, tersenyum hangat.
Samsara, yang tak biasa disentuh dengan lembut begitu sejak kecil, merasa canggung, tapi ada kehangatan yang mulai meresap di dadanya.
***
Bu Hartini mengambil stetoskop dan alat ukur sederhana dari laci, lalu meminta Samsara berbaring di sofa kecil di sudut ruangan. Dengan gerakan terlatih, ia memeriksa detak jantung bayi dan mengukur perut Samsara, tangannya lembut namun penuh keyakinan. Setelah beberapa menit, ia tersenyum lebar.
"Kandunganmu baik-baik aja, Samsara," kata Bu Hartini, menenangkan. "Bayimu sehat, detak jantungnya kuat. Kamu cuma perlu istirahat dan makan yang bergizi."
"Iya, Bu," jawab Samsara, suaranya bergetar karena lega.
"Di sini kita keluarga," kata Bu Hartini, menepuk bahu Samsara.
Samsara mengangguk. Tangannya menyentuh perutnya. "
***
Samsara berjalan keluar menuju halaman depan bersama Ruci. Mereka berhenti di dekat gerbang kecil yang berkarat.
Ruci menoleh ke belakang, memandang rumah tua bergaya kolonial Belanda itu. "Gue nggak tahu apa yang gue bayangin tentang tempat ini, tapi... bukan kayak gini," katanya.
"Lebih baik daripada rumah gue," gumam Samsara.
Ruci merasakan campuran kasihan dan lega di dadanya—kasihan karena hidup Samsara di bawah kekerasan Ajat begitu kelam, sekarang sedang mengandung; lega karena Bunga Harapan, dengan kebaikan Wulan, Bu Tini, dan yang lain, tampak seperti tempat perlindungan terbaik untuk Samsara saat ini. "Gue ngerasa... yah, lebih tenang ninggalin lo di sini, Sam," kata Ruci.
Samsara menatap Ruci. Untuk sesaat, keduanya diam.
"Gue juga ngerasa... oke di sini, beneran," kata Samsara, mencoba meyakinkan. Tapi ekspresi bersalah yang sering ia lihat di wajah Ruci akhir-akhir ini muncul lagi, membuat matanya berkaca-kaca.
"Jangan gitu, Ruci," tegur Samsara. Tangannya memegang lengan sepupunya.
"Gue nggak bisa nahan," jawab Ruci. "Kalau gue nggak ngenalin lo sama Ezra—"
"Ruci, udah," potong Samsara.
Ruci mendongak. Ia berkata, "Janji lo bakal telepon kalau butuh apa pun? Gue serius, Sam, apa pun."
"Janji," jawab Samsara. Sudut bibirnya sedikit terangkat, meski memar di wajahnya membuat senyumnya tampak rapuh.
Untuk sesaat, mereka saling menatap, lalu tanpa kata, Ruci melangkah maju dan memeluk Samsara erat Samsara membalas pelukan itu, menutup mata, merasakan kehangatan sepupunya yang menjadi satu-satunya keluarga yang ia percaya saat ini.
Ruci melepaskan pelukan, mengusap matanya cepat. "Gue pamit, ya," katanya, suaranya sedikit serak. "Jaga diri, Sam. Kabar-kabarin gue, oke?"
Samsara mengangguk, menahan air mata sendiri. "Oke. Hati-hati, Ci."
***
Ketika Ezra muncul di ambang pintu ruang makan, wajahnya tampak kusut, lingkaran gelap di bawah matanya mencolok di bawah cahaya lampu kristal. Ia mengenakan kemeja linen yang sedikit kusut, seolah baru diambil dari keranjang cucian. Ia berdiri sejenak, nyaris tidak menyadari aroma kopi segar dan roti panggang yang disajikan oleh pelayan rumah tangga. Pikirannya terlalu sibuk dengan ketegangan yang terpancar dari pandangan ibunya dan adiknya.
Ainur dengan suara lembut, menunjuk ke kursi kosong di sampingnya. "Duduklah, Ezra. Sarapan dulu, Nak."
Ezra mengangguk tanpa suara dan duduk di kursi di samping ibunya. Ia menatap kosong ke meja, lalu menyentuh croissant tanpa niat memakannya.
"Gimana, Ezra?" Ainur bertanya dengan hati-hati. "Kamu sudah coba hubungi Samsara lagi?"
Ezra menggeleng pelan. "Belum, Mi. Semalam aku telepon, tapi... sepertinya nomorku diblokir."
Ainur menghela napas panjang, cemas. "Aduh. Ami tuh khawatir... jangan-jangan dia—jangan-jangan Samsara ingin menggugurkan kandungannya. Kemungkinan itu ada, kan?"
Ezra memejamkan mata, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Suaranya nyaris tenggelam. "Ada kemungkinan yang lebih buruk dari itu, Mi."
Kemal, adiknya, yang sedang menuangkan kopi berhenti sejenak dan menoleh. "Apa?"
Ezra menatap adik dan ibunya. "Dia sempat menyebut soal bunuh diri."
Ainur menutup mulutnya dengan tangan, napasnya tercekat. Sementara Kemal tampak menahan napas.
"Dan waktu aku antar ke rumahnya," Ezra melanjutkan, "aku lihat ada luka di leher belakangnya. Bekas memar. Entah karena dipukul atau dicekik. Aku rasa... itu ulah ayahnya."
Ruangan mendadak sunyi. Suara detak jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya.
Kemal menegang, lalu meletakkan cangkirnya dengan bunyi halus. "Are you serious?"
Ezra mengangguk pelan. "Gue nggak bisa berhenti mikirin luka itu. Dia ketakutan, Kem. Ketakutan beneran."
Ainur langsung cemas. "Ya Tuhan... kalau itu benar, berarti dia butuh pertolongan. Cepat cari dia, Ezra."
"Aku nggak tahu mau cari dia ke mana, Mi," kata Ezra. Dia mengambil sepotong croissant tapi hanya memandanginya.
"Jangan jadi orang bodoh, Ezra!" tukas Ainur. Ia meletakkan cangkir tehnya. "Kamu bisa minta tolong Fajrin. Atau polisi sahabatnya Api. Siapa itu?"
"Solihin," timpal Kemal.
Ainur mengangguk sambil menunjuk Kemal. "Iya, Solihin. Atau siapa pun. Pokoknya cari calon istrimu, Ezra."
Kening Ezra mengerut. "Calon istri? Aku belum bilang setuju buat menikah sama Samsara."
"Semalam kamu bilang setuju buat bertanggung jawab, kan?" Suara Ainur naik setengah oktaf. "Jadi laki-laki harus tegas, Ezra. Jangan plintat-plintut!"
Ezra yang tengah memecah croissant menjadi potongan kecil tanpa memakannya, menghentikan tangannya. "You think I'd be happy marrying someone I don't love?" Ezra bangkit dari kursi, berjalan ke jendela besar yang menghadap taman depan rumah, menatap tanpa minat pada air mancur yang berkilau di bawah sinar matahari. Ia berbalik, wajahnya penuh frustrasi. "I want a wife I can be proud of, yang selevel denganku, yang ambisinya sejalan dengan mimpiku, yang cerdas dan... loving. Someone like Gisel."
"Ah... Gisel," kata Ainur, alisnya terangkat. Lalu, ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tangannya merapikan serbet di pangkuannya. "Ami hampir melupakan Gisel. Where was she when all this happened?"
"We were on a break," aku Ezra. "Kami bertengkar dan Gisel sempat minta putus."
"Oh." Ainur bersandar kembali. "Jadi kamu tidur dengan Samsara—to forget Gisel, or whatever the reason. Tapi dengan begitu, kamu bukan hanya menyakiti Gisel, tapi juga Samsara. Ezra, how could you?"
"Ami, you've always liked Gisel more than anyone I've ever dated," kata Ezra.
"Ya, memang; Ami dan almarhum apimu sangat mengaguminya. But right now, your responsibility to Samsara and that child is far greater than to Gisel. Lagipula, if you really wanted to marry Gisel, wouldn't you have proposed by now?" tanya Ainur.
"We've talked about it," kata Ezra. "Tapi waktunya belum tepat. I want to solidify my position as CTO first, ensure everything's on track at Dynasty Group."
"Speaking of which," Kemal angkat bicara, meletakkan pisau mentega dengan hati-hati, nadanya berubah serius. "Let me remind you of something, Bang. Our family's name carries weight—charity projects, major clients, plans for global expansion. One wrong move, it could ruin everything we've built."
Ezra menatap Kemal, wajahnya memucat. Ia tahu ancaman tersirat dalam kata-kata adiknya.
"It only takes one scandal," lanjut Kemal, menekankan poinnya. "You've got less than a year to prove yourself before the next board meeting. Do you want all your work as CTO to go down the drain? If you drags our name into a mess, it's not just your career—it's the whole family's legacy." Kemal berjalan ke sisi meja, menyentuh punggung kursi Ezra, lalu menatapnya tajam. "Your call, Bang."
Kemal kembali ke kursinya, meletakkan serbet dengan gerakan yang disengaja untuk efek dramatis.
Ainur menatap putranya dengan mata penuh harap bercampur cemas. "Keputusanmu, Ezra, akan memengaruhi kita semua."
***
Ezra berdiri di teras depan, memeriksa ponselnya untuk memastikan jadwal rapat pagi. Kadi, supir keluarga yang setia, sudah menunggu di samping Mercedes-Benz S-Class hitam. Pintu belakang terbuka untuk Ezra. Ia baru saja melangkah menuju mobil ketika teriakan kasar memecah keheningan.
"Mana putriku, Bajingan? Mana Samsara?" raung Ajat. Ia muncul dari balik gerbang, mendorong penjaga keamanan yang terlambat bereaksi. Lelaki itu menerobos masuk ke halaman, matanya penuh amarah. "Kamu pikir kamu bisa hidup tenang setelah apa yang kamu lakukan pada anak saya?!"
Kadi tersentak. "Pak Ezra!" serunya, tapi sebelum ia bisa bertindak, Ajat sudah menerjang Ezra.
Ainur, yang kebetulan berada di ruang tamu dekat jendela, menjerit, "Ezra!" Ia berlari keluar.
Kemal, yang juga hendak berangkat ke kantor, mendengar keributan. Ia berlari ke teras, wajahnya memucat.
"Samsara tidak ada di sini!" teriak Ezra. Ia mencoba menenangkan situasi, tangannya terangkat untuk melindungi diri. "Saya tidak tahu di mana dia! Saya cuma ketemu dia kemarin!"
"Jangan bohong, Berengsek!" bentak Ajat, suaranya penuh amarah. "Mana dia sekarang?!"
"Saya tidak tahu!" balas Ezra.
Tanpa peringatan, kepalan tangan Ajat mendarat di rahang Ezra. Suaranya mengerikan. Ezra terhuyung, menabrak kap mobil hingga ponselnya jatuh ke tanah. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Ajat menghantam lagi. Kali ini mengenai pelipis Ezra, membuat luka robek di atas mata kanannya. Ezra jatuh ke rumput.
"Ya Tuhan, panggil polisi!" jerit Ainur, suaranya penuh kepanikan. "Siti, cepat!"
"Call security first!" teriak Kemal. Dia berlari ke arah Ajat. "Stop it, you bastard!" bentaknya, mencengkeram siku Ajat dan memutar tubuh lelaki itu hingga punggungnya membentur pagar besi halaman.
"Kamu berani menyentuh saya?!" raung Ajat, wajahnya memerah penuh amarah, tangannya masih mengayun liar meski Kemal telah memelintir lengannya.
Dengan gerakan cepat, Kemal mendaratkan pukulan keras ke perut Ajat, membuat lelaki itu terhuyung dan mengi, napasnya tersengal. "Stay down, you piece of trash!"
Ezra, yang terbaring di rumput, berusaha bangkit. Tangannya meraba luka robek di pelipisnya. Darah menetes.
Ainur berlutut di sisinya. Tangannya gemetar saat menyentuh wajah anaknya. "Ezra, Sayang, jangan gerak dulu!" serunya, suaranya penuh kepanikan.
Kadi, yang terhuyung setelah didorong Ajat, berlari mendekat, wajahnya penuh rasa bersalah. "Pak Ezra, tahan, saya ambilkan air!" katanya.
Ainur memotong, "Kadi, bantu Kemal dulu! Jangan biarkan lelaki itu lepas!"
Ajat, meski kesakitan, masih meronta di tangan Kemal, berteriak, "Samsara anak saya! Kalian pikir bisa sembunyikan dia dari saya? Saya tahu kalian orang kaya busuk yang cuma main-main sama dia!" Ia meludah ke arah Ezra.
Kemal mendorong Ajat lebih keras ke pagar, lututnya menekan punggung lelaki itu. "Shut up, or I'll make you regret it!" ancamnya.
Siti, pelayan rumah tangga, muncul di pintu depan, wajahnya pucat. "Bu, polisi sudah di jalan!" serunya, tangannya memegang ponsel dengan erat.
Ainur menoleh. "Cepat, Siti! Pastikan mereka buru-buru!"
Dua penjaga keamanan kompleks, mengenakan seragam abu-abu dengan walkie-talkie di pinggang, berlari masuk melalui gerbang, napas mereka tersengal.
"Pak Kemal, mundur!" teriak salah satunya, mencoba mengambil alih. Mereka menarik Ajat dari Kemal, memelintir tangannya ke belakang hingga lelaki itu meringis kesakitan.
"Lepaskan saya, sialan!" makian Ajat masih menggema.
Kadi bergegas ke sisi Ezra, membantu Ainur mengangkatnya ke posisi duduk. "Pak, Anda harus ke dokter," katanya, matanya memandang luka di wajah Ezra—rahang bengkak, pelipis robek, dan memar yang mulai membiru.
Ezra hanya mengangguk lemah, napasnya tersengal. "I'm okay, Kadi... just... help Ami," gumamnya dengan suaranya parau.
Sirene polisi akhirnya terdengar, mendekati gerbang dengan cepat. Dua mobil patroli berhenti di depan rumah, lampu merah dan biru mereka berkedip-kedip, menerangi halaman yang kini berantakan: rumput bernoda darah, ponsel Ezra yang retak di aspal, dan jasnya yang robek.
Empat polisi bergegas masuk, tangan mereka siap di dekat tongkat di pinggang. "Siapa yang bertanggung jawab di sini?" tanya seorang polisi, matanya menyapu kekacauan.
Ainur berdiri, tangannya masih memeluk Ezra. "Lelaki itu menyerang anak saya!" Dia menunjuk ke arah Ajat yang kini dipegang erat oleh satpam. "Dia menerobos masuk, memukuli anak saya, dan menuntut putrinya yang tidak ada di sini!"
Ajat, dengan tangan diborgol oleh polisi, masih memaki, "Anak itu sudah menghamili anak saya, Pak Polisi! Keluarga busuk!"
Polisi mendorongnya ke tanah, memaksanya berlutut. "Tenang, atau kami tambah tuduhan!" bentak salah satu polisi.
"Bang, are you okay?" tanya Kemal, berlutut di sisi kakaknya, wajahnya penuh kekhawatiran. "This is bad, bro. Look at your face."
"I'll live," gumam Ezra, meski meringis saat menyentuh rahangnya. "Ami, Kemal, kalian baik-baik saja?"
"We're fine," jawab Kemal. Tangannya masih gemetar oleh adrenalin. "Tapi Ajat ini... he's a lunatic."
"Siapa lelaki ini?" tanya polisi kepada Ainur dengan pena di tangannya siap mencatat.
"Kami hanya bertemu sekali, kemarin," jawab Ainur, suaranya penuh emosi. "Namanya Ajat. Dia ayah dari perempuan yang dekat anak saya, Ezra."
"Apa yang terjadi?" tanya polisi lain, memandang halaman yang kacau.
"Dia menerobos masuk, menuntut putrinya, dan memukuli anak saya tanpa alasan!" kata Ainur, tangannya menunjuk wajah Ezra yang babak belur. "Lihat lukanya—dia hampir membunuh anak saya!"
"Nama Anda?" tanya polisi kepada Ajat.
"Tanya mereka siapa saya!" bentak Ajat, matanya penuh kebencian ke arah Ezra. "Jangan cuma saya yang disalahkan! Orang yang sudah menghamili anak saya juga!"
"Apakah Anda ingin mengajukan laporan?" tanya polisi kepada Ainur.
"Tentu saja!" jawab Ainur. "Lelaki ini harus dihukum!"
"Bawa dia ke mobil," perintah polisi.
Ajat diseret ke mobil patroli. Dia masih memaki saat dimasukkan ke kursi belakang, lampu mobil berkedip di luar. Radio polisi mengeluarkan suara petugas, sementara Ajat terus melontarkan ancaman yang diabaikan polisi di kursi depan.
***
Di ruang tamu, Ainur, Ezra, dan Kemal berkumpul. Ezra ambruk di sofa kulit, tangannya memegang wajahnya yang babak belur.
Kadi berdiri di pintu, wajahnya penuh rasa bersalah. "Maaf, Pak Ezra, saya tidak bisa menghentikannya tepat waktu."
"It's okay, Kadi," kata Ezra, suaranya lemah. Ia menatap Ainur dan Kemal, lalu menghela napas berat. "Samsara... hilang."
Ainur menegang. "Hilang? Apa maksudmu, Ezra?"
"From what he was yelling," kata Kemal, duduk di kursi di depan Ezra, nadanya serius. "Ajat bilang Samsara tidak ada di rumah. Is that true, Bang?"
"Ya," jawab Ezra, wajahnya penuh kekhawatiran. "Aku tidak tahu di mana dia. Terakhir kali aku lihat dia kemarin malam, dia bilang dia punya rencana, tapi aku tidak tahu dia akan... menghilang."
"Lelaki itu gila," kata Ainur. Suaranya masih bergetar saat ia duduk di sisi Ezra, tangannya memegang lengan anaknya. "Dan sepertinya dia tidak akan berhenti."
"Damn right," jawab Kemal, alisnya berkerut. "He's a lunatic, and this attack? It's just the beginning. He threatened you in our own house, Bang. We can't let this slide, especially with Dynasty Group's reputation on the line."
"Aku harus cari Samsara ke mana?" tanya Ezra seraya bangkit dari sofa. Dia mondar-mandir, lalu berhenti, menatap jendela dengan frustrasi.
"Kamu tahu teman-temannya?" tanya Ainur.
"Cuma Ruci, sepupunya," jawab Ezra. Tangannya menggosok pelipis yang luka. "Dia yang paling dekat dengan Samsara."
"Look," kata Kemal seraya ikut, "my suggestion is you contact Ruci now. Cari tahu di mana Samsara. The sooner, the better. Before this blows up in the media or hurts our company's name."
Ainur memandang Ezra, matanya penuh harap bercampur cemas. "Betul, Ezra... kamu harus cari Samsara. Untuk kamu, untuk dia, untuk anakmu, dan untuk kita semua."
Ezra mengangguk lemah. Ia menyentuh luka di rahangnya yang mulai membengkak. "I'll try, Mi. But this... this is a mess."
***