Samsara melangkah masuk ke pekarangan rumah. Bau tanah basah dan sisa hujan masih tercium di udara. Tapi, begitu ia mendorong pintu kayu yang sudah reyot, suara gaduh memecah kesunyian. Teriakan kasar, benturan keras, dan isak tangis yang tertahan. Jantung Samsara langsung mencelat. Ia tahu suara itu—suara ayahnya, Ajat, dan rintihan ibunya, Esti.
Samsara berlari ke ruang tengah. Matanya membelalak. Di sudut ruangan, Esti meringkuk di lantai, wajahnya penuh luka lebam, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ajat berdiri di atasnya, tangannya terkepal, wajahnya merah padam penuh amarah. "Kamu perempuan tak tahu diri!" maki Ajat, suaranya menggelegar. Ia mengayunkan tangan lagi, menampar wajah Esti yang sudah tak berdaya.
"Ibu!" Samsara menjerit. Tanpa pikir panjang, ia berlari dan berlutut di samping Esti, memeluk tubuh ibunya yang gemetar. "Ibu, maafkan aku... maafkan aku..." Tangisnya pecah. Tubuh Esti terasa dingin, lemah, tapi ia masih berusaha menggenggam tangan Samsara.
"Buah tak jatuh jauh dari pohonnya, ya?" tiba-tiba suara Ajat menggema, penuh ejekan.
Samsara belum sempat menoleh ketika tangan kasar ayahnya mencengkeram rambutnya, menariknya dengan keras hingga ia terpaksa melepaskan pelukan dari ibunya. "Aaaah!" Samsara menjerit, rasa sakit menyengat di kulit kepalanya. Ia mencoba meronta, tapi tenaga Ajat terlalu kuat.
"Pelacur! Dari mana kamu tadi, hah?" Ajat mengguncang kepala Samsara, tangannya masih mencengkeram rambut. Matanya liar, penuh kebencian. "Jawab! Dari mana?!"
Samsara menggigit bibir, menahan tangis. Ia tak bisa menjawab—tak mau menjawab. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu, apa pun yang ia katakan hanya akan membuat ayahnya semakin kalap. Tapi diamnya justru memicu kemarahan Ajat. Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Samsara, membuat kepalanya terpelanting. Rasa perih membakar wajahnya, tapi ia tetap menunduk, giginya bergemeretak menahan sakit.
"Jawab, Samsara! Kamu dari mana?!" Ajat menampar lagi, kali ini lebih keras. "Apa yang kamu rencanakan sama laki-laki kaya itu?!"
Tubuh Samsara limbung, tapi cengkeraman Ajat di rambutnya membuatnya tak jatuh. "Kamu sama seperti ibumu, perempuan tak tahu malu!" Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Samsara—di pundak, di lengan, di wajah. Setiap pukulan disertai makian yang semakin keji.
Di sudut ruangan, Esti mencoba merangkak, suaranya parau memanggil, "Mas... hentikan... dia anakmu..." Tapi suaranya tenggelam di tengah amukan Ajat.
Samsara hanya bisa menutup mata, tubuhnya gemetar, hatinya hancur. Di tengah rasa sakit yang membakar, ia mendengar isak ibunya. Itu jauh lebih menyiksa daripada pukulan yang mendarat di tubuhnya.
Pukulan Ajat tak berhenti. Setiap tamparan dan pukulan yang mendarat di tubuh Samsara terasa seperti palu yang menghantam tulang-tulangnya. Wajahnya sudah memar, bibirnya pecah, dan darah menetes dari pelipisnya, mengalir perlahan ke leher. Namun, matanya tetap tertunduk, mulutnya bungkam, menolak memberi jawaban yang diinginkan Ajat. Diamnya seperti minyak yang menyulut api kemarahan ayahnya.
"Kamu pikir kamu bisa mengelabui Ayah, hah?! Kamu terima uang orang kaya itu sendirian!" Ajat meraung. Tangannya yang masih mencengkeram rambut Samsara menarik lebih keras, membuat gadis itu terseret beberapa langkah di lantai.
Samsara menjerit, tapi suaranya tenggelam dalam napasnya yang tersengal. Tangannya secara naluriah merayap ke perutnya, melindungi. Anakku. Kecemasan membuncah di dadanya—ia takut, sangat takut, anak dalam kandungannya tak akan kuat menahan kekerasan ini.
Esti, yang masih meringkuk di sudut, berusaha mengulurkan tangan. "Mas... cukup..." Suaranya penuh keputusasaan.
Ajat tak mempedulikan permohonan Esti. Matanya membelalak, penuh kebencian yang tak terkendali. Dengan gerakan penuh amarah, ia mendorongnya Samsara ke arah dinding. Tubuh Samsara menghantam tembok, diikuti suara erangan tertahan saat ia ambruk ke lantai. Tangannya segera memeluk perutnya lehih erat, napasnya tersengal, wajahnya pucat. "Jangan, Ayah... tolong..." bisiknya lirih, seolah memohon pada takdir agar anak dalam rahimnya selamat. Tubuhnya yang penuh luka terkulai tak berdaya dan pandangannya mulai kabur.
"Dasar kalian tak berguna!" Ajat meludah ke lantai. Dadanya naik-turun karena amarah yang masih membara. Ia menatap Samsara dengan jijik, lalu melirik Esti yang menangis tersedu. "Kalian berdua cuma sampah!" Dengan langkah berat, ia berbalik dan menghilang ke arah pintu belakang
Samsara terbaring di lantai, tubuhnya gemetar karena sakit dan ketakutan. Tangannya masih memeluk perutnya, jari-jarinya gemetar. "Kamu baik-baik saja, kan, Nak? Kamu harus kuat..." gumamnya di sela tangis. Rasa perih di sekujur tubuhnya tak sebanding dengan luka di hatinya.
Ia mendengar getakan pelan dan isak tertahan dari ibunya. "Samsara... anakku..." Suara Esti patah-patah. Dengan sisa tenaga, Esti merangkak mendekati putrinya.
"Ibu..." Samsara berusaha menggerakkan tangannya, mencari ibunya, meski satu tangannya tetap menempel di perutnya.
Ketika Esti akhirnya mencapai sisinya, ia memeluk Samsara erat-erat, seolah takut kehilangan satu-satunya yang tersisa baginya. Tubuh mereka sama-sama rapuh, penuh darah dan memar, tapi pelukan itu terasa seperti benteng terakhir di tengah kehancuran.
"Ibu minta maaf... Maaf..." Esti menangis tersedu, wajahnya menempel di pundak Samsara. "Ibu nggak bisa... melindungi kamu..."
Samsara menggeleng pelan, meski setiap gerakan terasa menyiksa. "Ibu nggak salah..." katanya lirih, suaranya hampir hilang. Tangisnya pecah lagi, bercampur dengan isak Esti. "Ibu... anakku... aku takut dia kenapa-kenapa..." Samsara menangis lebih keras, tangannya masih memeluk perutnya.
Mereka berpelukan di lantai yang dingin, tubuh mereka gemetar, saling menggenggam dalam kesakitan dan keputusasaan.
***
Ezra baru saja melangkah masuk ke rumah setelah mengantarkan Samsara pulang. Setiap langkahnya terasa berat, seolah bayangan Samsara masih mengikuti di belakangnya. Semua detail perempuan itu terpatri di pikiran Ezra. Samsara, pikirnya, Samsara. Apakah perempuan itu baik-baik saja?
Ezra berjalan ke dapur, setiap langkahnya seolah membawa bayangan Samsara bersamanya. Ia membayangkan senyumnya, kini digantikan kecemasan. Di kepalanya, ia masih mendengar suaranya yang lirih tadi...
"Seandainya aku bunuh diri gara-gara ini."
"Good luck, Ezra."
Ia menggeleng, mencoba mengusir pikiran itu, tapi tak berhasil. Ia meraih gelas dari rak, tangannya sedikit gemetar. Dispenser di sudut dapur mengeluarkan suara gemericik saat ia menuang air hingga gelas hampir penuh. Ia meneguknya cepat, berharap dinginnya air bisa menenangkan hatinya yang kacau. Tapi hatinya tetap bergolak.
Ia akan punya anak. Bersama Samsara. Ini benar-benar gila, pikirnya, menggenggam gelas begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Bagaimana ini bisa terjadi? Satu malam, satu kesalahan, dan kini hidupnya terbalik. Ia menatap air yang tersisa di gelas, seolah mencari jawaban di dalamnya, tapi yang ia temukan hanyalah bayangan Samsara lagi.
Tiba-tiba, pintu kamar ibunya sedikit terbuka, memancarkan seberkas cahaya ke lorong yang gelap. Ezra menoleh, melihat siluet Ainur, ibunya, muncul di ambang. Perempuan itu mengenakan daster, rambutnya yang mulai memutih diikat asal di belakang kepala. Wajahnya yang penuh kerutan tampak lelah, tapi matanya penuh perhatian, seperti selalu.
"Ezra? Ke sini, Nak," kata Ainur.
Ezra ragu sejenak, tangannya masih memegang gelas kosong. Ia ingin lari ke kamarnya, menyembunyikan kekacauan di kepalanya, tapi tatapan ibunya membuatnya tak bisa bergerak. Sesaat, ia merindukan masa kecilnya—saat ia bisa berlari ke pelukan Ainur, menangis di pangkuannya, dan membiarkan ibunya menyelesaikan semua masalah.
"Ami belum tidur?" tanya Ezra.
"Ami belum bisa tidur. Sini, Ami mau ngobrol." Ainur menepuk sofa yang didudukinya.
Ezra mengikuti dengan langkah berat, setiap langkah terasa seperti menyeret beban. Ia melihat ibunya duduk di sofa. Pemandangan itu membawanya kembali ke masa kecil—saat ia pulang dengan lutut berdarah setelah jatuh dari sepeda, dan Ainur selalu ada dengan senyum menenangkan. Tapi kini, wajah ibunya penuh kecemasan, dan itu menghentikan keinginannya untuk berlari memeluk sang ibu seperti dulu.
Ainur menatapnya lama, matanya mencari sesuatu di wajah putranya. "Ezra, Ami nggak mau nebak-nebak. Jadi bagaimana soal Samsara?"
Ezra menunduk, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin lari, ingin berbohong, tapi tatapan ibunya seperti menembus dinding yang ia coba bangun. "Sepertinya... Samsara bener, Bu," akunya pelan, suaranya nyaris hilang. "Dia hamil anakku."
Ainur menarik napas. Matanya melebar sesaat, lalu beralih ke dinding, seolah mencari kekuatan di sana. "Kamu yakin itu anakmu?" tanyanya.
Ezra menggosok tangannya, membungkuk, menatap lantai seperti kebiasaannya saat gelisah. "Iya, Mi."
Kejutan di wajah Ainur berubah menjadi campuran kecewa dan sedih. "Ya Tuhan, Ezra... dulu Aidan, sekarang kamu."
"Maafin aku, Ami," ucap Ezra, suaranya penuh penyesalan. Ia masih bisa melihat wajah Samsara, suaranya yang penuh ketakutan, dan malam yang seharusnya tidak terjadi.
"Kamu itu!" Ainur menyela, nadanya tajam. "Kamu tahu Ami ajarin apa, Ezra. Tanggung jawab. Hargai perempuan. Tapi ini..."
"Aku tahu, Mi. Aku pantas Ami tampar lagi. Aku pantas Ami marahin," gumam Ezra, kepalanya semakin tertunduk.
Ainur bangkit dari sofa. Langkahnya pelan tapi penuh beban. Ia berhenti di depan Ezra, menatap putranya dengan mata yang basah. "Ezra, Ami mau kamu bertanggung jawab. Ami nggak mau mengulang kesalahan apimu yang menyuruh Betari menggugurkan kandungannya."
"Tapi, Mi..."
"Kamu harus tanggung jawab!" tegas Ainur.
"Tapi, Mi..." Ezra mengangkat kepala, suaranya penuh frustrasi. "Samsara nggak mau ketemu aku lagi. Aku udah coba nawarin bantuan, dia nggak mau terima, Mi. Dia bilang dia nggak mau apa-apa dari aku."
Ainur memicingkan mata. "Jadi kamu pikir itu cukup alasan buat lepas tangan? Ezra, kamu bikin anak itu hamil dan sekarang kamu mau bilang 'ya udah, dia nggak mau aku bantu, jadi semua selesai'?" Nada suaranya meninggi, penuh kekecewaan. "Kamu pikir tanggung jawab cuma soal uang?"
Ezra menunduk lagi. Di ruang tamu megah itu, dengan lampu kristal yang berkilau di langit-langit dan sofa kulit yang mengilap, ia merasa kecil. "Aku nggak tahu harus ngapain lagi, Mi," gumamnya.
Ainur menghela napas panjang. Ia kembali duduk di sofa, tepat di samping Ezra, dan meletakkan tangan di pundak putranya. "Ezra, dengar Ami. Tanggung jawab itu nggak cuma soal apakah Samsara mau atau nggak mau. Ini soal anak yang ada di perutnya—anakmu." Ainur menatap putranya lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Ezra, kamu harus bujuk dia."
Ezra mengangguk pelan.
Ainur tersenyum tipis. "Kalau kamu masih kecil, Ami nggak perlu hadapi ini." Ia mengusap tangan Ezra, lalu menariknya pelan hingga Ezra membungkuk. Ainur memeluknya, seperti dulu saat Ezra menangis karena kehilangan mainannya. "Tapi kamu sudah besar, Ezra."
Ezra membalas pelukan itu, merasakan hangatnya ibunya di tengah badai di hatinya. "Aku takut, Mi," akunya. "Aku takut nggak bisa jadi ayah yang baik."
Air mata akhirnya jatuh di pipi Ainur. "Kita hadapi ini bersama, ya? Ami nggak akan ninggalin kamu."
Mereka berpelukan dalam diam. Di luar, malam semakin gelap.
***
Samsara berlutut di sudut kamar kecilnya, tangannya bergerak cepat namun gemetar, memasukkan pakaian-pakaian sederhana ke dalam tas. Cahaya lampu temaram dari bohlam tua di langit-langit membuat bayangannya bergoyang di dinding, seolah ikut gelisah. Di luar, malam terasa terlalu sunyi, seolah menahan napas menunggu ledakan kemarahan Ajat yang bisa pulang kapan saja.
"Samsara, cepat!" Esti berbisik dari ambang pintu, suaranya penuh ketegangan. Wajah Esti masih penuh memar dari kekerasan Ajat. "Ayahmu sebentar lagi pulang!"
Samsara menoleh sekilas, tangannya berhenti sejenak di atas kaus yang baru ia lipat. Ia mengangguk, lalu kembali berkemas. Tangannya sesekali menyentuh perutnya, gerakan kecil yang hampir tak disadari, seolah memastikan anak dalam kandungannya masih ada, masih hidup.
Esti melangkah masuk, tangannya memegang lengan Samsara dengan lembut. "Samsara, dengar Ibu. Kamu harus jaga anak itu. Pergi ke tempat yang aman. Jangan pikirin Ibu. Ibu bisa urus diri sendiri."
Samsara menatap ibunya, matanya berkaca-kaca. "Bu, aku nggak mau ninggalin Ibu sama penjahat kayak dia..." Suaranya pecah. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai mengalir. "Ayah bakal—"
"Ibu akan baik-baik saja," potong Esti cepat, tangannya kini memegang wajah Samsara, memaksa putrinya menatapnya. "Kamu harus selamat, Samsara. Kamu dan anakmu, cucu Ibu. Itu yang paling penting sekarang." Matanya penuh kepedihan, tapi juga tekad. "Pergi ke mana saja yang jauh dari sini. Jangan balik sampai semuanya aman."
Samsara mengangguk pelan, meski hatinya terasa hancur. Ia menarik resleting tas dengan tangan gemetar, lalu berdiri. Tas itu ringan, tapi terasa seperti membawa seluruh hidupnya. Ia memandang sekeliling kamar kecil itu—kasur tipis di lantai, meja kayu reyot, dan foto keluarga lama yang sudah pudar. Semuanya terasa asing sekarang, seolah rumah ini bukan lagi tempatnya.
Tanpa kata, Samsara melangkah ke arah Esti dan memeluknya erat. Tubuh mereka sama-sama rapuh, penuh luka yang belum sembuh, tapi pelukan itu hangat, penuh cinta yang tak pernah pudar meski hidup telah begitu kejam. "Ibu janji bakal baik-baik saja, ya?" bisik Samsara. "Aku akan kembali buat Ibu. Aku janji."
Esti mengangguk, pipinya basah oleh air mata. "Ibu akan baik-baik saja, Nak," katanya. Ia mengusap rambut Samsara. "Pergi sekarang. Jangan tunggu lagi."
Samsara melepaskan pelukan perlahan, matanya masih terpaku pada wajah ibunya, mencoba mengabadikan setiap detail—kerutan di dahinya, matanya yang penuh cinta, dan senyum kecil yang dipaksakan. Ia menggenggam tangan Esti sekali lagi, lalu mengambil tasnya dan melangkah ke pintu. Di ambang pintu, ia menoleh sekali lagi, melihat Esti berdiri di tengah ruangan.
"Ibu, aku sayang Ibu," kata Samsara.
"Ibu juga sayang kamu, Nak," jawab Esti, tersenyum tipis meski air matanya jatuh lagi.
Dengan langkah berat, Samsara melangkah keluar, menembus kegelapan malam.
***
Ezra berbaring di ranjang king-size di kamarnya yang luas, dikelilingi dinding berwarna abu-abu dan jendela besar yang menghadap ke gemerlap lampu kota Jakarta. Jam di dinding menunjukkan pukul 11 malam, tapi matanya masih terbuka lebar, menatap langit-langit yang dihiasi lampu modern minimalis. Selimut sutra tergelincir ke pinggangnya dan ponselnya tergeletak di samping bantal, layarnya redup.
Pikiran Ezra berputar-putar, tak bisa lepas dari bayang-bayang Samsara. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia aman dari ayahnya, Ajat, yang kasar? Ezra masih bisa melihat kilas wajah Samsara saat terakhir mereka bertemu di rumahnya—mata penuh ketakutan, suara gemetar menolak tawarannya, dan langkah tergesa saat pergi. Juga bekas luka di lehernya. Rasa bersalah menikam dadanya seperti pisau tumpul, membuat napasnya terasa berat.
Ia memejamkan mata, mencoba memaksa kantuk datang, tapi gambar Samsara terus menghantui. Bagaimana jika dia dalam bahaya? Bagaimana jika dia butuh bantuan tapi terlalu keras kepala untuk meminta tolong? Ezra mengusap wajahnya dengan kasar.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, layar menyala dengan nama Gisel dan ikon video call. Ezra mendesah, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menggeser tombol hijau. Wajah Gisel muncul di layar, dengan latar belakang kamar hotel modern di Kuala Lumpur, diterangi lampu neon kota yang terlihat dari jendela. Rambutnya yang panjang tergerai, dan ia mengenakan kaus oversized, wajahnya cerah meski ada sedikit lelah di matanya.
"Hai, Sayang!" sapa Gisel, senyumnya lebar. "Kangen aku nggak sih? Aku udah dua hari di KL, lho."
Ezra memaksakan senyum tipis, bersandar pada bantal. "Hai, Sayang. Kangen? Ya, kangen lah," katanya, tapi nadanya datar, kurang meyakinkan.
Gisel memicingkan mata, alisnya terangkat. "Eh, kamu kenapa sih? Kok kayak ogah-ogahan gitu? Aku kangen berat, lho. Video call dari Malaysia, eh kamu malah kayak nggak antusias." Ia memonyongkan bibir, nada suaranya mulai manja.
Ezra menggosok lehernya, mencoba menutupi kegelisahan. "Aku cuma capek. Hari ini... banyak kerjaan banget. Udah dulu ya, aku ngantuk."
Gisel mengerucutkan bibir lebih dramatis, jelas ngambek. "Hmph, capek mulu. Aku udah ceritain tentang presentasi tadi, kamu nggak dengar, ya? Sana, tidur sana kalau ngantuk!" Ia melambaikan tangan dengan nada pura-pura kesal. "Besok telepon aku, oke? Miss you, Sayang."
"Iya, miss you too," jawab Ezra cepat, lalu menekan tombol akhir panggilan sebelum Gisel bisa malah memperpanjang. Layar ponsel kembali gelap, dan ia menjatuhkan kepala ke bantal, menghela napas panjang. "Maaf, Sel," gumamnya, merasa bersalah karena tak bisa jujur.
Bagaimana ia bisa ceritakan tentang Samsara kepada Gisel? Tentang anak yang ada di kandungan Samsara? Gisel tak akan mengerti dan Ezra sendiri belum tahu bagaimana menghadapi semua ini.
Ezra menatap langit-langit lagi, pikirannya kembali ke Samsara. Ainur, ibunya, sudah menegaskan ia harus bertanggung jawab. Tapi, otaknya seolah kosong. Tiba-tiba, sebuah nama muncul di benaknya—Fajrin. Sahabatnya pasti bisa membantu. Ezra meraih ponselnya, menggulir kontak dan menekan nomor Fajrin tanpa mempedulikan jam yang sudah lewat tengah malam.
Setelah beberapa dering, suara Fajrin yang serak menjawab, "Bro, jam berapa ini?"
"Faj, maaf, Bro," kata Ezra cepat. Ia duduk di ranjang, tangannya mengacak rambut. "Gue butuh bantuan. Serius."
Fajrin menguap. "Lo kenapa? Ribut sama Gisel?"
"Bukan Gisel," potong Ezra, suaranya tegang. "Samsara. Gue perlu nomer teleponnya. Gue... gue harus tahu kalau dia baik-baik aja."
Fajrin diam sejenak, seolah memproses. "Samsara? Maksudnya gimana nih?"
"Ceritanya panjang. Nanti gue ceritain. Sekarang lo kasih ke gue nomernya," kata Ezra.
"Oke, oke. Tunggu bentar. Nih, gue kirim ke lo sekarang," sahut Fajrin.
Ezra menahan napas, jantungnya berdegup kencang. "Makasih, Faj!" Ia menutup telepon.
Beberapa detik kemudian, ponsel Ezra bergetar dengan pesan dari Fajrin berisi nomor Samsara. Ezra langsung menyimpan nomor itu. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol panggil. Dering demi dering berlalu, tapi tak ada jawaban. Panggilan terputus. Ezra mengerutkan kening, mencoba lagi, tapi hasilnya sama—hanya nada dering yang berhenti di keheningan.
Ia membuka aplikasi W******p dan mengetik dengan cepat.
Ezra Maulana Jusuf
Sara, ini aku Ezra.
Tolong jawab teleponku.
Pesan terkirim. Sudah dibaca dengan penanda centang biru. Ezra segera menelepon lagi dan menunggu menunggu jawaban. Tapi hasilnya sama. Jantungnya terasa jatuh. Ia membuka profil Samsara di aplikasi, dan hatinya semakin ciut—kontaknya diblokir.
Dalam campuran marah dan bingung, Ezra melempar ponselnya ke kasur. Ia mengacak rambutnya dengan kasar, napasnya memburu. Pikirannya kacau, terjebak antara rasa bersalah, khawatir, dan kebingungan. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
***