Share

3

last update Last Updated: 2025-05-20 20:30:45

Samsara melangkah masuk ke pekarangan rumah. Bau tanah basah dan sisa hujan masih tercium di udara. Tapi, begitu ia mendorong pintu kayu yang sudah reyot, suara gaduh memecah kesunyian. Teriakan kasar, benturan keras, dan isak tangis yang tertahan. Jantung Samsara langsung mencelat. Ia tahu suara itu—suara ayahnya, Ajat, dan rintihan ibunya, Esti.

Samsara berlari ke ruang tengah. Matanya membelalak. Di sudut ruangan, Esti meringkuk di lantai, wajahnya penuh luka lebam, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ajat berdiri di atasnya, tangannya terkepal, wajahnya merah padam penuh amarah. "Kamu perempuan tak tahu diri!" maki Ajat, suaranya menggelegar. Ia mengayunkan tangan lagi, menampar wajah Esti yang sudah tak berdaya.

"Ibu!" Samsara menjerit. Tanpa pikir panjang, ia berlari dan berlutut di samping Esti, memeluk tubuh ibunya yang gemetar. "Ibu, maafkan aku... maafkan aku..." Tangisnya pecah. Tubuh Esti terasa dingin, lemah, tapi ia masih berusaha menggenggam tangan Samsara.

"Buah tak jatuh jauh dari pohonnya, ya?" tiba-tiba suara Ajat menggema, penuh ejekan.

Samsara belum sempat menoleh ketika tangan kasar ayahnya mencengkeram rambutnya, menariknya dengan keras hingga ia terpaksa melepaskan pelukan dari ibunya. "Aaaah!" Samsara menjerit, rasa sakit menyengat di kulit kepalanya. Ia mencoba meronta, tapi tenaga Ajat terlalu kuat.

"Pelacur! Dari mana kamu tadi, hah?" Ajat mengguncang kepala Samsara, tangannya masih mencengkeram rambut. Matanya liar, penuh kebencian. "Jawab! Dari mana?!"

Samsara menggigit bibir, menahan tangis. Ia tak bisa menjawab—tak mau menjawab. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu, apa pun yang ia katakan hanya akan membuat ayahnya semakin kalap. Tapi diamnya justru memicu kemarahan Ajat. Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Samsara, membuat kepalanya terpelanting. Rasa perih membakar wajahnya, tapi ia tetap menunduk, giginya bergemeretak menahan sakit.

"Jawab, Samsara! Kamu dari mana?!" Ajat menampar lagi, kali ini lebih keras. "Apa yang kamu rencanakan sama laki-laki kaya itu?!"

Tubuh Samsara limbung, tapi cengkeraman Ajat di rambutnya membuatnya tak jatuh. "Kamu sama seperti ibumu, perempuan tak tahu malu!" Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Samsara—di pundak, di lengan, di wajah. Setiap pukulan disertai makian yang semakin keji.

Di sudut ruangan, Esti mencoba merangkak, suaranya parau memanggil, "Mas... hentikan... dia anakmu..." Tapi suaranya tenggelam di tengah amukan Ajat.

Samsara hanya bisa menutup mata, tubuhnya gemetar, hatinya hancur. Di tengah rasa sakit yang membakar, ia mendengar isak ibunya. Itu jauh lebih menyiksa daripada pukulan yang mendarat di tubuhnya.

Pukulan Ajat tak berhenti. Setiap tamparan dan pukulan yang mendarat di tubuh Samsara terasa seperti palu yang menghantam tulang-tulangnya. Wajahnya sudah memar, bibirnya pecah, dan darah menetes dari pelipisnya, mengalir perlahan ke leher. Namun, matanya tetap tertunduk, mulutnya bungkam, menolak memberi jawaban yang diinginkan Ajat. Diamnya seperti minyak yang menyulut api kemarahan ayahnya.

"Kamu pikir kamu bisa mengelabui Ayah, hah?! Kamu terima uang orang kaya itu sendirian!" Ajat meraung. Tangannya yang masih mencengkeram rambut Samsara menarik lebih keras, membuat gadis itu terseret beberapa langkah di lantai.

Samsara menjerit, tapi suaranya tenggelam dalam napasnya yang tersengal. Tangannya secara naluriah merayap ke perutnya, melindungi. Anakku. Kecemasan membuncah di dadanya—ia takut, sangat takut, anak dalam kandungannya tak akan kuat menahan kekerasan ini.

Esti, yang masih meringkuk di sudut, berusaha mengulurkan tangan. "Mas... cukup..." Suaranya penuh keputusasaan.

Ajat tak mempedulikan permohonan Esti. Matanya membelalak, penuh kebencian yang tak terkendali. Dengan gerakan penuh amarah, ia mendorongnya Samsara ke arah dinding. Tubuh Samsara menghantam tembok, diikuti suara erangan tertahan saat ia ambruk ke lantai. Tangannya segera memeluk perutnya lehih erat, napasnya tersengal, wajahnya pucat. "Jangan, Ayah... tolong..." bisiknya lirih, seolah memohon pada takdir agar anak dalam rahimnya selamat. Tubuhnya yang penuh luka terkulai tak berdaya dan pandangannya mulai kabur.

"Dasar kalian tak berguna!" Ajat meludah ke lantai. Dadanya naik-turun karena amarah yang masih membara. Ia menatap Samsara dengan jijik, lalu melirik Esti yang menangis tersedu. "Kalian berdua cuma sampah!" Dengan langkah berat, ia berbalik dan menghilang ke arah pintu belakang

Samsara terbaring di lantai, tubuhnya gemetar karena sakit dan ketakutan. Tangannya masih memeluk perutnya, jari-jarinya gemetar. "Kamu baik-baik saja, kan, Nak? Kamu harus kuat..." gumamnya di sela tangis. Rasa perih di sekujur tubuhnya tak sebanding dengan luka di hatinya.

Ia mendengar getakan pelan dan isak tertahan dari ibunya. "Samsara... anakku..." Suara Esti patah-patah. Dengan sisa tenaga, Esti merangkak mendekati putrinya.

"Ibu..." Samsara berusaha menggerakkan tangannya, mencari ibunya, meski satu tangannya tetap menempel di perutnya.

Ketika Esti akhirnya mencapai sisinya, ia memeluk Samsara erat-erat, seolah takut kehilangan satu-satunya yang tersisa baginya. Tubuh mereka sama-sama rapuh, penuh darah dan memar, tapi pelukan itu terasa seperti benteng terakhir di tengah kehancuran.

"Ibu minta maaf... Maaf..." Esti menangis tersedu, wajahnya menempel di pundak Samsara. "Ibu nggak bisa... melindungi kamu..."

Samsara menggeleng pelan, meski setiap gerakan terasa menyiksa. "Ibu nggak salah..." katanya lirih, suaranya hampir hilang. Tangisnya pecah lagi, bercampur dengan isak Esti. "Ibu... anakku... aku takut dia kenapa-kenapa..." Samsara menangis lebih keras, tangannya masih memeluk perutnya.

Mereka berpelukan di lantai yang dingin, tubuh mereka gemetar, saling menggenggam dalam kesakitan dan keputusasaan.

***

Ezra baru saja melangkah masuk ke rumah setelah mengantarkan Samsara pulang. Setiap langkahnya terasa berat, seolah bayangan Samsara masih mengikuti di belakangnya. Semua detail perempuan itu terpatri di pikiran Ezra. Samsara, pikirnya, Samsara. Apakah perempuan itu baik-baik saja?

Ezra berjalan ke dapur, setiap langkahnya seolah membawa bayangan Samsara bersamanya. Ia membayangkan senyumnya, kini digantikan kecemasan. Di kepalanya, ia masih mendengar suaranya yang lirih tadi...

"Seandainya aku bunuh diri gara-gara ini."

"Good luck, Ezra."

Ia menggeleng, mencoba mengusir pikiran itu, tapi tak berhasil. Ia meraih gelas dari rak, tangannya sedikit gemetar. Dispenser di sudut dapur mengeluarkan suara gemericik saat ia menuang air hingga gelas hampir penuh. Ia meneguknya cepat, berharap dinginnya air bisa menenangkan hatinya yang kacau. Tapi hatinya tetap bergolak.

Ia akan punya anak. Bersama Samsara. Ini benar-benar gila, pikirnya, menggenggam gelas begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Bagaimana ini bisa terjadi? Satu malam, satu kesalahan, dan kini hidupnya terbalik. Ia menatap air yang tersisa di gelas, seolah mencari jawaban di dalamnya, tapi yang ia temukan hanyalah bayangan Samsara lagi.

Tiba-tiba, pintu kamar ibunya sedikit terbuka, memancarkan seberkas cahaya ke lorong yang gelap. Ezra menoleh, melihat siluet Ainur, ibunya, muncul di ambang. Perempuan itu mengenakan daster, rambutnya yang mulai memutih diikat asal di belakang kepala. Wajahnya yang penuh kerutan tampak lelah, tapi matanya penuh perhatian, seperti selalu.

"Ezra? Ke sini, Nak," kata Ainur.

Ezra ragu sejenak, tangannya masih memegang gelas kosong. Ia ingin lari ke kamarnya, menyembunyikan kekacauan di kepalanya, tapi tatapan ibunya membuatnya tak bisa bergerak. Sesaat, ia merindukan masa kecilnya—saat ia bisa berlari ke pelukan Ainur, menangis di pangkuannya, dan membiarkan ibunya menyelesaikan semua masalah.

"Ami belum tidur?" tanya Ezra.

"Ami belum bisa tidur. Sini, Ami mau ngobrol." Ainur menepuk sofa yang didudukinya.

Ezra mengikuti dengan langkah berat, setiap langkah terasa seperti menyeret beban. Ia melihat ibunya duduk di sofa. Pemandangan itu membawanya kembali ke masa kecil—saat ia pulang dengan lutut berdarah setelah jatuh dari sepeda, dan Ainur selalu ada dengan senyum menenangkan. Tapi kini, wajah ibunya penuh kecemasan, dan itu menghentikan keinginannya untuk berlari memeluk sang ibu seperti dulu.

Ainur menatapnya lama, matanya mencari sesuatu di wajah putranya. "Ezra, Ami nggak mau nebak-nebak. Jadi bagaimana soal Samsara?"

Ezra menunduk, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin lari, ingin berbohong, tapi tatapan ibunya seperti menembus dinding yang ia coba bangun. "Sepertinya... Samsara bener, Bu," akunya pelan, suaranya nyaris hilang. "Dia hamil anakku."

Ainur menarik napas. Matanya melebar sesaat, lalu beralih ke dinding, seolah mencari kekuatan di sana. "Kamu yakin itu anakmu?" tanyanya.

Ezra menggosok tangannya, membungkuk, menatap lantai seperti kebiasaannya saat gelisah. "Iya, Mi."

Kejutan di wajah Ainur berubah menjadi campuran kecewa dan sedih. "Ya Tuhan, Ezra... dulu Aidan, sekarang kamu."

"Maafin aku, Ami," ucap Ezra, suaranya penuh penyesalan. Ia masih bisa melihat wajah Samsara, suaranya yang penuh ketakutan, dan malam yang seharusnya tidak terjadi.

"Kamu itu!" Ainur menyela, nadanya tajam. "Kamu tahu Ami ajarin apa, Ezra. Tanggung jawab. Hargai perempuan. Tapi ini..."

"Aku tahu, Mi. Aku pantas Ami tampar lagi. Aku pantas Ami marahin," gumam Ezra, kepalanya semakin tertunduk.

Ainur bangkit dari sofa. Langkahnya pelan tapi penuh beban. Ia berhenti di depan Ezra, menatap putranya dengan mata yang basah. "Ezra, Ami mau kamu bertanggung jawab. Ami nggak mau mengulang kesalahan apimu yang menyuruh Betari menggugurkan kandungannya."

"Tapi, Mi..."

"Kamu harus tanggung jawab!" tegas Ainur.

"Tapi, Mi..." Ezra mengangkat kepala, suaranya penuh frustrasi. "Samsara nggak mau ketemu aku lagi. Aku udah coba nawarin bantuan, dia nggak mau terima, Mi. Dia bilang dia nggak mau apa-apa dari aku."

Ainur memicingkan mata. "Jadi kamu pikir itu cukup alasan buat lepas tangan? Ezra, kamu bikin anak itu hamil dan sekarang kamu mau bilang 'ya udah, dia nggak mau aku bantu, jadi semua selesai'?" Nada suaranya meninggi, penuh kekecewaan. "Kamu pikir tanggung jawab cuma soal uang?"

Ezra menunduk lagi. Di ruang tamu megah itu, dengan lampu kristal yang berkilau di langit-langit dan sofa kulit yang mengilap, ia merasa kecil. "Aku nggak tahu harus ngapain lagi, Mi," gumamnya.

Ainur menghela napas panjang. Ia kembali duduk di sofa, tepat di samping Ezra, dan meletakkan tangan di pundak putranya. "Ezra, dengar Ami. Tanggung jawab itu nggak cuma soal apakah Samsara mau atau nggak mau. Ini soal anak yang ada di perutnya—anakmu." Ainur menatap putranya lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Ezra, kamu harus bujuk dia."

Ezra mengangguk pelan.

Ainur tersenyum tipis. "Kalau kamu masih kecil, Ami nggak perlu hadapi ini." Ia mengusap tangan Ezra, lalu menariknya pelan hingga Ezra membungkuk. Ainur memeluknya, seperti dulu saat Ezra menangis karena kehilangan mainannya. "Tapi kamu sudah besar, Ezra."

Ezra membalas pelukan itu, merasakan hangatnya ibunya di tengah badai di hatinya. "Aku takut, Mi," akunya. "Aku takut nggak bisa jadi ayah yang baik."

Air mata akhirnya jatuh di pipi Ainur. "Kita hadapi ini bersama, ya? Ami nggak akan ninggalin kamu."

Mereka berpelukan dalam diam. Di luar, malam semakin gelap.

***

Samsara berlutut di sudut kamar kecilnya, tangannya bergerak cepat namun gemetar, memasukkan pakaian-pakaian sederhana ke dalam tas. Cahaya lampu temaram dari bohlam tua di langit-langit membuat bayangannya bergoyang di dinding, seolah ikut gelisah. Di luar, malam terasa terlalu sunyi, seolah menahan napas menunggu ledakan kemarahan Ajat yang bisa pulang kapan saja.

"Samsara, cepat!" Esti berbisik dari ambang pintu, suaranya penuh ketegangan. Wajah Esti masih penuh memar dari kekerasan Ajat. "Ayahmu sebentar lagi pulang!"

Samsara menoleh sekilas, tangannya berhenti sejenak di atas kaus yang baru ia lipat. Ia mengangguk, lalu kembali berkemas. Tangannya sesekali menyentuh perutnya, gerakan kecil yang hampir tak disadari, seolah memastikan anak dalam kandungannya masih ada, masih hidup.

Esti melangkah masuk, tangannya memegang lengan Samsara dengan lembut. "Samsara, dengar Ibu. Kamu harus jaga anak itu. Pergi ke tempat yang aman. Jangan pikirin Ibu. Ibu bisa urus diri sendiri."

Samsara menatap ibunya, matanya berkaca-kaca. "Bu, aku nggak mau ninggalin Ibu sama penjahat kayak dia..." Suaranya pecah. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai mengalir. "Ayah bakal—"

"Ibu akan baik-baik saja," potong Esti cepat, tangannya kini memegang wajah Samsara, memaksa putrinya menatapnya. "Kamu harus selamat, Samsara. Kamu dan anakmu, cucu Ibu. Itu yang paling penting sekarang." Matanya penuh kepedihan, tapi juga tekad. "Pergi ke mana saja yang jauh dari sini. Jangan balik sampai semuanya aman."

Samsara mengangguk pelan, meski hatinya terasa hancur. Ia menarik resleting tas dengan tangan gemetar, lalu berdiri. Tas itu ringan, tapi terasa seperti membawa seluruh hidupnya. Ia memandang sekeliling kamar kecil itu—kasur tipis di lantai, meja kayu reyot, dan foto keluarga lama yang sudah pudar. Semuanya terasa asing sekarang, seolah rumah ini bukan lagi tempatnya.

Tanpa kata, Samsara melangkah ke arah Esti dan memeluknya erat. Tubuh mereka sama-sama rapuh, penuh luka yang belum sembuh, tapi pelukan itu hangat, penuh cinta yang tak pernah pudar meski hidup telah begitu kejam. "Ibu janji bakal baik-baik saja, ya?" bisik Samsara. "Aku akan kembali buat Ibu. Aku janji."

Esti mengangguk, pipinya basah oleh air mata. "Ibu akan baik-baik saja, Nak," katanya. Ia mengusap rambut Samsara. "Pergi sekarang. Jangan tunggu lagi."

Samsara melepaskan pelukan perlahan, matanya masih terpaku pada wajah ibunya, mencoba mengabadikan setiap detail—kerutan di dahinya, matanya yang penuh cinta, dan senyum kecil yang dipaksakan. Ia menggenggam tangan Esti sekali lagi, lalu mengambil tasnya dan melangkah ke pintu. Di ambang pintu, ia menoleh sekali lagi, melihat Esti berdiri di tengah ruangan.

"Ibu, aku sayang Ibu," kata Samsara.

"Ibu juga sayang kamu, Nak," jawab Esti, tersenyum tipis meski air matanya jatuh lagi.

Dengan langkah berat, Samsara melangkah keluar, menembus kegelapan malam.

***

Ezra berbaring di ranjang king-size di kamarnya yang luas, dikelilingi dinding berwarna abu-abu dan jendela besar yang menghadap ke gemerlap lampu kota Jakarta. Jam di dinding menunjukkan pukul 11 malam, tapi matanya masih terbuka lebar, menatap langit-langit yang dihiasi lampu modern minimalis. Selimut sutra tergelincir ke pinggangnya dan ponselnya tergeletak di samping bantal, layarnya redup.

Pikiran Ezra berputar-putar, tak bisa lepas dari bayang-bayang Samsara. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia aman dari ayahnya, Ajat, yang kasar? Ezra masih bisa melihat kilas wajah Samsara saat terakhir mereka bertemu di rumahnya—mata penuh ketakutan, suara gemetar menolak tawarannya, dan langkah tergesa saat pergi. Juga bekas luka di lehernya. Rasa bersalah menikam dadanya seperti pisau tumpul, membuat napasnya terasa berat.

Ia memejamkan mata, mencoba memaksa kantuk datang, tapi gambar Samsara terus menghantui. Bagaimana jika dia dalam bahaya? Bagaimana jika dia butuh bantuan tapi terlalu keras kepala untuk meminta tolong? Ezra mengusap wajahnya dengan kasar.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar, layar menyala dengan nama Gisel dan ikon video call. Ezra mendesah, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menggeser tombol hijau. Wajah Gisel muncul di layar, dengan latar belakang kamar hotel modern di Kuala Lumpur, diterangi lampu neon kota yang terlihat dari jendela. Rambutnya yang panjang tergerai, dan ia mengenakan kaus oversized, wajahnya cerah meski ada sedikit lelah di matanya.

"Hai, Sayang!" sapa Gisel, senyumnya lebar. "Kangen aku nggak sih? Aku udah dua hari di KL, lho."

Ezra memaksakan senyum tipis, bersandar pada bantal. "Hai, Sayang. Kangen? Ya, kangen lah," katanya, tapi nadanya datar, kurang meyakinkan.

Gisel memicingkan mata, alisnya terangkat. "Eh, kamu kenapa sih? Kok kayak ogah-ogahan gitu? Aku kangen berat, lho. Video call dari Malaysia, eh kamu malah kayak nggak antusias." Ia memonyongkan bibir, nada suaranya mulai manja.

Ezra menggosok lehernya, mencoba menutupi kegelisahan. "Aku cuma capek. Hari ini... banyak kerjaan banget. Udah dulu ya, aku ngantuk."

Gisel mengerucutkan bibir lebih dramatis, jelas ngambek. "Hmph, capek mulu. Aku udah ceritain tentang presentasi tadi, kamu nggak dengar, ya? Sana, tidur sana kalau ngantuk!" Ia melambaikan tangan dengan nada pura-pura kesal. "Besok telepon aku, oke? Miss you, Sayang."

"Iya, miss you too," jawab Ezra cepat, lalu menekan tombol akhir panggilan sebelum Gisel bisa malah memperpanjang. Layar ponsel kembali gelap, dan ia menjatuhkan kepala ke bantal, menghela napas panjang. "Maaf, Sel," gumamnya, merasa bersalah karena tak bisa jujur.

Bagaimana ia bisa ceritakan tentang Samsara kepada Gisel? Tentang anak yang ada di kandungan Samsara? Gisel tak akan mengerti dan Ezra sendiri belum tahu bagaimana menghadapi semua ini.

Ezra menatap langit-langit lagi, pikirannya kembali ke Samsara. Ainur, ibunya, sudah menegaskan ia harus bertanggung jawab. Tapi, otaknya seolah kosong. Tiba-tiba, sebuah nama muncul di benaknya—Fajrin. Sahabatnya pasti bisa membantu. Ezra meraih ponselnya, menggulir kontak dan menekan nomor Fajrin tanpa mempedulikan jam yang sudah lewat tengah malam.

Setelah beberapa dering, suara Fajrin yang serak menjawab, "Bro, jam berapa ini?"

"Faj, maaf, Bro," kata Ezra cepat. Ia duduk di ranjang, tangannya mengacak rambut. "Gue butuh bantuan. Serius."

Fajrin menguap. "Lo kenapa? Ribut sama Gisel?"

"Bukan Gisel," potong Ezra, suaranya tegang. "Samsara. Gue perlu nomer teleponnya. Gue... gue harus tahu kalau dia baik-baik aja."

Fajrin diam sejenak, seolah memproses. "Samsara? Maksudnya gimana nih?"

"Ceritanya panjang. Nanti gue ceritain. Sekarang lo kasih ke gue nomernya," kata Ezra.

"Oke, oke. Tunggu bentar. Nih, gue kirim ke lo sekarang," sahut Fajrin.

Ezra menahan napas, jantungnya berdegup kencang. "Makasih, Faj!" Ia menutup telepon.

Beberapa detik kemudian, ponsel Ezra bergetar dengan pesan dari Fajrin berisi nomor Samsara. Ezra langsung menyimpan nomor itu. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol panggil. Dering demi dering berlalu, tapi tak ada jawaban. Panggilan terputus. Ezra mengerutkan kening, mencoba lagi, tapi hasilnya sama—hanya nada dering yang berhenti di keheningan.

Ia membuka aplikasi W******p dan mengetik dengan cepat.

Ezra Maulana Jusuf

Sara, ini aku Ezra.

Tolong jawab teleponku.

Pesan terkirim. Sudah dibaca dengan penanda centang biru. Ezra segera menelepon lagi dan menunggu menunggu jawaban. Tapi hasilnya sama. Jantungnya terasa jatuh. Ia membuka profil Samsara di aplikasi, dan hatinya semakin ciut—kontaknya diblokir.

Dalam campuran marah dan bingung, Ezra melempar ponselnya ke kasur. Ia mengacak rambutnya dengan kasar, napasnya memburu. Pikirannya kacau, terjebak antara rasa bersalah, khawatir, dan kebingungan. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   6

    Ezra duduk di belakang meja besar, menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Memar di rahangnya sudah hampir hilang, tapi kerutan di keningnya menunjukkan beban pikiran yang tak kunjung reda. Tapi sebelum dia sempat memutuskan langkah berikutnya, pintu ruangannya diketuk."Masuk," kata Ezra.Prima, asisten pribadinya, masuk dengan langkah cepat, memegang tablet dan map tipis. Perempuan berusia awal tiga puluhan itu tampak tegang, alisnya berkerut. "Pak Ezra, ada update soal kasus Pak Ajat," katanya tanpa basa-basi. Ia berdiri di depan meja.Ezra menegakkan tubuh, matanya menyipit. "Apa kabarnya?"Prima menarik napas, lalu menjelaskan, "Pak Ajat dibebaskan pagi ini. Polisi bilang cuma penganiayaan ringan, nggak cukup bukti buat dakwaan berat. Luka Bapak nggak parah dan saksi cuma pembantu rumah yang nggak lihat jelas kejadiannya. Jadi, mereka lepasin dia dengan peringatan."Ezra mengangguk pelan, rahangnya mengeras. "Terus?"Prima ragu sejenak, lalu melanjutkan, "Pak Ajat mengancam

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   4

    Dari warung kecil di ujung gang, Samsara mengintip ke arah jalan, memastikan bayangan ayahnya, tak terlihat. Jantungnya masih berdegup kencang setelah berlari keluar dari rumah dengan tas di bahunya. Ia buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku, menelpon sepupunya, Ruci, sebelum bergegas menemuinya di ujung jalan. Ruci seumuran dengan Samsara. Berusia 23 tahun. Tahun lalu, Ruci baru menyelesaikan kuliahnya jurusan bisnis. Lalu merintis toko baju online bernama Chic Click. Samsara sendiri ingin kuliah, tapi tidak punya biaya. Berbeda dengan rumah Samsara yang penuh kekerasan, rumah keluarga Ruci hangat dan penuh tawa, selalu menjadi tempat perlindungan bagi Samsara sejak kecil. Kedua sepupu ini tak pernah menyimpan rahasia satu sama lain.Bunyi klakson membuat Samsara tersadar. Mobil Toyota Agya warna merah berhenti di sampingnya. Wajah Ruci muncul ketika kaca jendela diturunkan. "Ayo!" kata Ruci.Samsara pun buru-buru masuk ke mobil. Dia menaruh tasnya di jok belakang. Lantas mengemb

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   5

    Kamar itu sunyi. Kamar itu kecil dan pengap. Jendela terbuka lebar membiarkan cahaya matahari siang menyusup masuk bersama angin. Di sudut ranjang kayu yang mulai rapuh, Samsara duduk bersila dengan ponsel di tangan. Ia membuka Google, mengetikkan nama yang sejak pagi tertahan di benaknya.EZRA MAULANA JUSUFBeberapa detik kemudian, layar ponsel menampilkan sebuah artikel dengan tajuk besar dan foto wajah yang amat ia kenali.CTO Muda, Ezra Jusuf Dorong Transformasi di Bidang Properti.Samsara membaca pelan, matanya terpaku pada kalimat-kalimat yang memuji: inovatif, visioner, harapan baru sektor properti. Tapi pikirannya justru tertahan pada foto Ezra. Kemeja putih bersih, jas yang rapi, tatapan percaya diri—wajah yang sempat ia lihat begitu dekat malam itu. Bahkan terlalu dekat.Tanpa sadar, senyum samar mengembang di bibirnya. Senyum yang ditarik oleh kenangan—sentuhan Ezra yang hangat, genggaman lembut di pinggangnya, dan suara dalam yang membisikkan janji semu. Saat itu, Ezra sep

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   3

    Samsara melangkah masuk ke pekarangan rumah. Bau tanah basah dan sisa hujan masih tercium di udara. Tapi, begitu ia mendorong pintu kayu yang sudah reyot, suara gaduh memecah kesunyian. Teriakan kasar, benturan keras, dan isak tangis yang tertahan. Jantung Samsara langsung mencelat. Ia tahu suara itu—suara ayahnya, Ajat, dan rintihan ibunya, Esti.Samsara berlari ke ruang tengah. Matanya membelalak. Di sudut ruangan, Esti meringkuk di lantai, wajahnya penuh luka lebam, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ajat berdiri di atasnya, tangannya terkepal, wajahnya merah padam penuh amarah. "Kamu perempuan tak tahu diri!" maki Ajat, suaranya menggelegar. Ia mengayunkan tangan lagi, menampar wajah Esti yang sudah tak berdaya."Ibu!" Samsara menjerit. Tanpa pikir panjang, ia berlari dan berlutut di samping Esti, memeluk tubuh ibunya yang gemetar. "Ibu, maafkan aku... maafkan aku..." Tangisnya pecah. Tubuh Esti terasa dingin, lemah, tapi ia masih berusaha menggenggam tangan Samsara."Buah tak ja

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   2

    Garasi keluarga Jusuf luas dan teratur, dindingnya putih bersih dengan lampu-lampu LED yang menerangi deretan mobil mewah seperti showroom. Ezra berjalan ke sebuah Range Rover putih kini terparkir, tepat di belakang sedan tua milik keluarga Samsara.Samsara tidak menunjukkan reaksi, seakan tidak peduli pada kemewahan itu. Ia berdiri di dekat Range Rover yang dinaiki Ezra. Ia melipat tangan di dada, mengamati Ezra yang sudah duduk di balik kemudi."Kamu mau ajak aku ke mana?" tanya Samsara."Ke mana aja," jawab Ezra.Samsara mengangkat alis. "Biar apa?"Ezra menarik napas panjang, menahan sabar. "Biar kita bisa bicara.""Kalau kamu mau bicara, kita bisa bicara di sini," tukas Samsara."Kita nggak bisa bicara kalau banyak gangguan," tutur Ezra. "Sebaiknya kamu masuk."Samsara mencoba menimbang risiko untuk ikut jalan-jalan dengan Ezra. Dia sama sekali tidak mengenal lelaki itu. Apakah Ezra punya sifat pemarah seperti ayahnya? Apakah Ezra bisa bertindak kasar kalau terpojok seperti ini?

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   1

    Sungguh ironis. Di saat seperti ini, Samsara Kuswandana menyadari betapa sedikit yang ia tahu tentang Ezra Jusuf selain namanya. Lelaki itu jelas bukan orang sembarangan, pikirnya saat matanya menyapu ruang tamu rumah keluarga Jusuf yang megah—pilar marmer menjulang, jendela kaca patri dengan motif bunga musim gugur, dan langit-langit tinggi tempat lampu gantung kristal berayun pelan. Semuanya terasa asing, mewah... dan menghimpit.Samsara berdiri mematung di dalam foyer megah yang terasa asing. Kaki Samsara yang mengenakan sepatu datar seolah menempel kaku di lantai marmer dingin, seolah menegaskan betapa kecil dirinya di tengah semua kemewahan ini. Ia menarik napas dalam-dalam, tapi aroma eukaliptus kering di vas kuningan besar justru menyesakkan perutnya.Di luar, langit Jakarta mulai meremang. Di sana, suara-suara lantang ayahnya, Ajat Kuswandana, dan balasan tenang tapi penuh tekanan dari Aidan Jusuf—putra sulung keluarga Jusuf—yang kebetulan sedang berada di sana.Samsara menund

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status