Share

5

last update Last Updated: 2025-05-20 21:16:57

Kamar itu sunyi. Kamar itu kecil dan pengap. Jendela terbuka lebar membiarkan cahaya matahari siang menyusup masuk bersama angin. Di sudut ranjang kayu yang mulai rapuh, Samsara duduk bersila dengan ponsel di tangan. Ia membuka G****e, mengetikkan nama yang sejak pagi tertahan di benaknya.

EZRA MAULANA JUSUF

Beberapa detik kemudian, layar ponsel menampilkan sebuah artikel dengan tajuk besar dan foto wajah yang amat ia kenali.

CTO Muda, Ezra Jusuf Dorong Transformasi di Bidang Properti.

Samsara membaca pelan, matanya terpaku pada kalimat-kalimat yang memuji: inovatif, visioner, harapan baru sektor properti. Tapi pikirannya justru tertahan pada foto Ezra. Kemeja putih bersih, jas yang rapi, tatapan percaya diri—wajah yang sempat ia lihat begitu dekat malam itu. Bahkan terlalu dekat.

Tanpa sadar, senyum samar mengembang di bibirnya. Senyum yang ditarik oleh kenangan—sentuhan Ezra yang hangat, genggaman lembut di pinggangnya, dan suara dalam yang membisikkan janji semu. Saat itu, Ezra seperti dunia baru yang menjanjikan pelarian. Aman. Lembut. Mengerti. Tapi seperti mentari siang yang menyengat dan panas berlebih, kebenaran cepat membakar kenyamanan itu.

Samsara mengernyit, menepis senyum dari wajahnya. Ia menatap Ezra di layar ponsel seperti menatap seseorang yang pernah ia kenal... dan kecewakan dirinya sendiri karena sempat percaya.

"Jangan kelewat bodoh, Sar," bisiknya pelan, hampir terdengar seperti menegur diri sendiri. "Dia bajingan. Bukan pahlawan." Ia memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas panjang. Pahit.

Samsara menggulirkan layar. Jempolnya bergerak lambat, seperti tak ingin melewatkan satu pun detail tentang lelaki yang menghantui pikirannya. Ia berhenti seketika saat melihat judul berita yang mencolok dengan huruf tebal.

Ezra Jusuf Diserang Di Rumahnya. Motif Diduga Terkait Hubungan Pribadi.

Napasnya tertahan. Ia mengetuk layar, membuka artikel itu dengan tangan gemetar.

Ezra Jusuf Diserang di Rumahnya, Motif Diduga Terkait Hubungan Pribadi

Jakarta – CTO muda dari perusahaan properti ternama Dynasty Group, Ezra Jusuf (35), dikabarkan mengalami penyerangan di kediaman pribadinya di kawasan elit di Jakarta Selatan, pada Rabu pagi hari. Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa pelaku adalah seorang lelaki paruh baya berinisial A, yang diduga memiliki hubungan pribadi dengan korban melalui putrinya.

"Pelaku datang marah-marah. Dari pengakuannya kepada pihak kepolisian, dia menyatakan bahwa anak perempuannya telah dihamili oleh Ezra Jusuf," ujar salah satu sumber yang enggan disebutkan namanya.

Pihak keluarga Jusuf belum memberikan keterangan resmi mengenai insiden ini. Namun, manajemen Dynasty Group menyatakan bahwa kondisi Ezra stabil dan ia tengah menjalani perawatan ringan akibat luka di bagian pelipis dan lengan.

"Ini adalah masalah pribadi. Kami berharap semua pihak menghormati privasi keluarga," ujar juru bicara Dynasty Group dalam konferensi pers singkat pagi tadi.

Kasus ini tengah diselidiki oleh Polres Jakarta Selatan. Pelaku telah diamankan dan tengah menjalani proses pemeriksaan intensif. Sementara itu, nama putri yang disebut-sebut sebagai korban dari hubungan tersebut masih dirahasiakan demi melindungi identitasnya.

Samsara menatap layar itu lama. Tangannya perlahan turun. Tenggorokannya tercekat. Ia tahu siapa lelaki paruh baya itu. Ia tahu siapa anak perempuan yang dimaksud. Dirinya.

Ponselnya tiba-tiba berdering, memecah keheningan. Nama "Ruci" berkedip di layar. Samsara menghela napas, lalu menjawab dengan suara pelan. "Halo, Ci."

"Sam, udah baca berita soal Ezra?" tanya Ruci, nada suaranya penuh urgensi.

"Udah," jawab Samsara. "Itu bener ayah gue?"

"Iya. Tadi Tante Esti telepon Mama. Katanya Om Ajat datengin rumah Ezra buat nyari lo. Terus langsung nyerang Ezra," terang Ruci cepat-cepat. "Sekarang Om Ajat di kantor polisi."

"Ya Tuhan..." Samsara memejamkan matanya, ujung jarinya menutupi bibirnya yang mulai gemetar. Gambaran ayahnya berdiri di depan Ezra dengan amarah membara membuat perutnya mual.

Ada hening merambat sejenak, hanya suara napas keduanya yang terdengar di telepon.

Samsara menelan ludah, lalu bertanya dengan nada penuh rasa khawatir, "Gimana... keadaan Ezra? Dia terluka parah?"

"Gue nggak tahu," kata Ruci. "Belum ada kabar lagi. Katanya dia dibawa ke rumah sakit, tapi nggak tahu seberapa parah."

"Kalau Ibu gimana?" tanya Samsara lagi, suaranya nyaris bergetar.

"Tante Esti baik-baik aja. Tadi nanyain keadaan lo. Gue bilang lo ada di tempat yang aman," tutur Ruci, mencoba menenangkan.

"Syukurlah..." Samsara menghela napas panjang, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat, tapi tidak sepenuhnya hilang.

Sebelum mengakhiri percakapan, Ruci berkata, "Sam, ada satu lagi. Awalnya gue nggak mau bilang, tapi... akhirnya gue putusin buat kasih tahu. Ezra nelepon gue tadi. Dia nanya apa gue tahu lo di mana sekarang. Gue bohong, gue bilang gue nggak tahu."

Baris itu berdengung tanpa suara untuk sesaat, seperti petir yang menyambar pelan di kepala Samsara. Dia membayangkan suara Ezra—nada yang pernah membuatnya merasa istimewa, kini mencari keberadaannya. Hatinya terbelah antara kemarahan dan sesuatu yang tak bisa dia namai.

Samsara menarik napas, lalu berkata dengan tenang, "Terima kasih, Ci."

Ruci mengangguk di ujung telepon, meski Samsara tak bisa melihatnya. "Lo hati-hati, ya, Sam. Kalau ada apa-apa, kabarin gue."

"Iya," jawab Samsara singkat sebelum menutup telepon.

***

Ezra mengemudikan Range Rover putihnya menyusuri jalanan perumahan yang senyap, jari-jarinya mencengkeram kemudi seolah menyatu dengan kemarahan yang masih mengendap di dadanya. Wajahnya kini tampak muram. Sebuah memar ungu menghiasi rahangnya, kontras dengan perban kecil di pelipis yang belum sempat diganti sejak insiden dua hari lalu. Ajat. Ayah Samsara.

Di dashboard, layar ponsel tetap gelap. Tak ada pesan masuk. Tak ada kabar dari Samsara. Ezra menggertakkan rahang. Kecemasan menggerogoti pikirannya lebih cepat daripada waktu.

Ia memarkir mobil di depan sebuah townhouse modern yang terletak di pojok kompleks. Pagar besi rendah dan lampu teras yang remang-remang memberi kesan tenang—tenang yang semu. Ezra mematikan mesin, menarik napas dalam-dalam, lalu keluar dari mobil. Angin malam yang lembap menyambutnya, membawa aroma tanah basah dan hujan yang belum datang.

Tangannya menekan bel. Sekali. Dua kali.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Ruci berdiri di ambang, mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambut pendeknya acak-acakan, sisa tidur di sofa tampak jelas di wajahnya. Tapi matanya tajam. Siaga. Dan sedikit waspada.

“Ezra,” ucapnya datar. “Ngapain ke sini malem-malem begini?”

“Ada yang harus gue omongin,” jawab Ezra cepat. Suaranya rendah tapi mantap. “Bisa kita ngobrol sebentar?”

Ruci memandangi luka di wajah Ezra. Rahangnya yang lebam. Hidung yang tampak sedikit bengkak. Ada yang menggumpal di dadanya, antara kasihan dan kemuakan. Tapi ia tetap berdiri tegak. “Ngomong di sini aja. Toh, ujungnya juga sama.”

Ezra menatap langsung ke matanya. “Lo tahu dia di mana, kan?”

Ruci tidak langsung menjawab. Ia menyilangkan tangan di dada. “Mungkin tahu, mungkin nggak. Tergantung siapa yang nanya. Ayahnya?”

Ezra menarik napas. Dalam. “Gue,” katanya.

Ruci tertawa kecil, getir. “Telat, Ez.”

Dia hendak menutup pintu, tapi Ezra menahan dengan tangan. “Ci, please. Gue nggak datang buat berdebat. Gue cuma mau tahu dia aman.”

Ruci mengerjap, membaca wajah lelaki di depannya. Ada sesuatu dalam tatapan Ezra malam itu—campuran luka, kehilangan, dan rasa bersalah—yang sulit ia tolak. “Fine,” katanya pada akhirnya. “Tunggu. Gue ambil jaket.”

Beberapa menit kemudian, ia keluar mengenakan jaket jeans yang sudah sedikit lusuh, tapi masih menjadi favoritnya. Ezra berdiri di dekat Range Rover, membukakan pintu penumpang tanpa berkata apa-apa.

Ruci naik, dan sejenak terdiam dalam kabin yang hangat dan mewah itu. Ia melirik Ezra dari sudut mata. Bahkan dengan luka-luka di wajahnya, lelaki itu tetap punya daya tarik yang sulit diabaikan. Tapi justru karena itulah dia curiga. “Lo tahu,” kata Ruci sambil mengenakan seatbelt, “kadang gue mikir, Samsara bisa aja manfaatin lo. Setidaknya buat jaminan hidup. Tapi dia nggak ngelakuin itu.”

Ezra menoleh perlahan. Matanya masih menatap ke depan, tapi suaranya tenang saat menjawab. “Karena gue bukan jaminan. Gue bagian dari masalahnya.”

Mobil melaju perlahan keluar kompleks. Keduanya tenggelam dalam diam yang panjang—tapi malam itu, diam pun terasa seperti pengakuan.

***

Mereka melaju ke sebuah kafe kecil bernama Temu di ujung jalan, tempat yang dikenal dengan lampu-lampu gantung vintage dan aroma kopi panggang. Di dalam, mereka memesan dua cangkir americano, lalu duduk di sudut ruangan, saling menghindari tatapan mata hingga pelayan datang membawa pesanan.

Ezra membungkuk di atas cangkirnya, wajahnya penuh kegelisahan. Memar di rahangnya tampak lebih jelas di bawah cahaya kafe.

Ruci memandangnya, lalu berkata, "Luka yang bagus, Ezra. Souvenir dari Om Ajat?"

Ezra mendengus. Ia menyentuh rahangnya pelan. "Keren, kan?"

"Ayahnya Samsara emang selalu kelewat batas," balas Ruci. Ia menyeruput kopinya. "Gimana rasanya ketemu calon mertua kayak gitu?"

Ezra mengangkat cangkirnya, memandang Ruci dari balik ujung cangkir. "Bukan tipe ayah mertua idaman," katanya dengan nada sarkastik. Lalu ekspresinya berubah serius. "Gue cuma mau Samsara aman. Kalau dia butuh duit—buat rumah sakit, buat apa pun yang dia mau, gue kasih. Tapi Om Ajat nggak bakal berhenti neror gue sampai dia dapat apa yang dia mau. Gue nggak mau kasih duit ke Om Ajat. Gue mau Samsara yang nerima. Lo tahu dia di mana?"

Ruci menatapnya. Nada menantang terdengar di suaranya. "Kalaupun gue tahu, kenapa harus bilang ke lo?"

Ezra mencondongkan tubuh, memandang Ruci dengan intens. "Mungkin gue pantas dihajar, itu yang lo pikir, kan?"

Ruci mengangguk. "Mungkin. Gue sayang sama Samsara."

"Dia cerita ke lo, kan? Kalau gue tawarin duit untuk... menyelesaikan masalah ini?" tanya Ezra, suaranya pelan, hati-hati.

Ruci mencibir. "Iya, dia cerita."

Ezra terdiam, menunduk.

Ruci melanjutkan, "Sekarang dia lagi hamil, sendirian. Lo bayangin nggak?"

Ezra mengangkat wajah, matanya dipenuhi ketakutan yang tak bisa disembunyikan.

Ruci memperhatikan reaksinya, lalu menambahkan dengan nada sinis, "Hati nurani lo lagi protes, Ezra?"

"Ya Tuhan, Ruci," gumam Ezra, menutup mata sejenak. "Kalau lo pikir gue cuma nyari dia buat nyelesain masalah sama Om Ajat, lo salah. Gue nggak bisa berhenti mikirin dia."

Ruci memandangnya, menyeruput kopi sambil menimbang. Memar di wajah Ezra tak bisa menyembunyikan ketampanannya, tapi yang lebih menarik perhatian Ruci adalah kekhawatiran di matanya—tanda bahwa lelaki ini mungkin benar-benar peduli.

Sesuatu dalam diri Ruci melunak. "Gue nggak tahu kenapa gue bilang ini, tapi... Samsara baik-baik aja," kata Ruci. "Dia punya rencana dan dia lagi jalanin itu. Samsara kuat, Ezra. Lebih kuat dari yang lo pikir."

Ezra mengangguk pelan. "Gue tahu. Gue lihat itu waktu kami ngobrol terakhir. Cewek lain mungkin udah minta-minta, tapi dia nggak."

"Dia biasa hidup susah. Dia tahu cara bertahan tanpa bantuan siapa pun," kata Ruci.

"Tapi lo tetap nggak mau bilang dia di mana?" Ezra memandangnya dengan mata memohon, membuat Ruci hampir goyah.

"Nggak," jawab Ruci tegas. "Gue udah janji sama dia."

Ezra menghela napas dan mengangguk. "Oke, gue nggak bakal maksa. Tapi tolong, Ruci, sampaikan pesan ini ke Samsara. Bilang kalau dia butuh apa pun—apa pun—dia bisa hubungi gue. Bilang gue pengen ketemu, ini penting. Minta dia telepon gue. Dengan cara ini, lo nggak perlu kasih tahu gue dia di mana."

Ruci mengangguk pelan. "Gue bakal sampaikan. Tapi jangan harap dia bakal nelepon. Samsara keras kepala... hampir sama kayak ayahnya."

Ezra menunduk ke cangkirnya lagi, diam sejenak. Lalu, dengan suara serak, dia berkata, "Ruci, dia..." Dia menelan ludah, memandang Ruci dengan alis yang penuh kekhawatiran. "Dia nggak... menggugurkan kandungannya, kan? Atau... dia nggak berpikir buat bunuh diri, kan?"

Ruci menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Nggak, Ezra. Dia nggak ngelakuin itu."

Pundak Ezra tampak merileks, seolah beban besar terangkat dari dadanya. Dia mengangguk, menutup mata sejenak, lalu berkata pelan, "Syukurlah."

***

Ponsel Samsara bergetar di atas meja kayu reyot, memecah sunyi kamar kecil itu. Nama Ruci berkedip di layar.

Samsara menarik napas pelan. Tangannya masih sibuk menyisir rambutnya yang kusut, tapi gerakannya melambat saat melihat nama sahabatnya. Dengan satu helaan napas, ia menjawab. “Halo, Ci.”

Di seberang, Ruci tak membuang waktu. “Sam, Ezra tadi ke rumah.”

Tangan Samsara langsung berhenti. Sisir jatuh pelan ke pangkuannya. Jantungnya terasa seperti terjatuh ke perut. Ia menutup matanya sejenak, mencoba mengatur napas. Bayangan Ezra langsung muncul—wajah itu, yang pernah begitu akrab, kini dibayangkan dengan luka dan memar. Ketampanannya tapi rusak oleh sesuatu yang mungkin… ia juga ikut ciptakan.

“Lo nggak bilang apa-apa ke dia, kan?” Suara Samsara serak. Antara cemas dan takut.

“Nggak, santai aja. Gue cuma ngeledekin mukanya yang bonyok. Ayah lo gila sih, Sam.”

Samsara menelan ludah. Tangan kirinya menggenggam erat ujung kaus yang ia pakai. “Dia nggak datang cuma buat pamer luka, kan?” tanyanya. “Dia mau apa?”

“Dia nyari lo. Dia bilang pengen ketemu.”

Samsara mengangkat alis. Mulutnya menganga sesaat sebelum ia memaksakan senyum sinis. “Ngobrol? Ngobrol soal apa?”

“Gue nggak tahu, Sam. Tapi dia bilang dia khawatir. Dia nggak nyebut soal lo marah atau soal ayah lo mukul dia. Dia cuma bilang pengen tahu lo baik-baik aja. Dia nawarin bantuan. Rumah sakit, uang, apapun. Buat lo. Buat—” Ruci terhenti. “Buat bayi lo juga.”

Samsara mendengus. Matanya melirik ke pintu, memastikan tak ada yang mendengar. Suaranya berubah tajam. “Dia pantas dihajar.”

“Sam…” suara Ruci terdengar lelah. “Dia minta lo nelepon dia.”

Samsara terdiam. Di dalam kepalanya, suara Ezra seperti gema—datar tapi penuh makna. Pandangan mata lelaki itu saat terakhir mereka bersama. Senyumnya yang sempat membuat dunia terasa tenang. Sakit. Terlalu sakit untuk diingat.

“Sam, lo masih denger gue?”

“Denger,” jawabnya pelan.

“Tapi lo nggak bakal telepon dia, ya?”

“Nggak.”

Ruci menghela napas berat. “Dia bilang ada hal penting yang dia mau obrolin. Gue kira dia bakal maksa gue ngasih tahu lo di mana. Tapi nggak. Dia bilang, ‘kalau Sam mau tahu, dia bakal cari gue. Tapi gue nggak akan ganggu hidupnya kalau dia nggak mau.’ Gitu katanya.”

Samsara menggigit bibir bawahnya. Lama. Nyaris berdarah. “Wah, betul-betul mulia sekarang,” gumamnya sarkastik. Tapi suaranya goyah.

“Sam, dia bukan bajingan, oke? Gue tahu dia nyakitin lo. Tapi dia nggak mempermasalahkan bokap lo yang udah menghajar dia habis-habisan. Lo tahu berapa banyak cowok yang bakal kabur dalam situasi ini?”

“Lo mulai ngebela dia sekarang?”

“Gue nggak bela dia. Tapi gue juga nggak bisa pura-pura dia itu monster. Gue lihat matanya, Sam. Gue tahu cowok yang cuma pura-pura peduli. Ezra nggak begitu.”

Samsara berdiri, berjalan ke arah jendela kecil dan melihat ke luar. Hujan tipis turun, membasahi halaman sempit panti. Ia menarik napas dalam, menahan isak yang nyaris pecah. “Gue nggak bisa, Ci.

Ruci berkata pelan. “Dia bukan musuh lo. Dia ayah dari anak lo, Sam.”

Samsara menutup mata. Air matanya jatuh, tapi ia cepat menyekanya dengan ujung jari. “Dia tawarin gue duit. Banyak. Tapi ini semua bukan soal uang. Gue nggak mau terikat. Nggak mau dia mikir dia punya kuasa atas hidup gue cuma karena dia bantuin gue secara finansial.”

“Sam, lo yakin ini keputusan yang paling bener?”

“Tolong, Ci. Jangan paksa gue.”

Di seberang sana, Ruci terdiam sesaat. “Ya Tuhan, Sam. Lo beneran keras kepala. Tapi oke. Gue ngerti. Gue cuma menyampaikan. Dia bilang, kalau lo butuh apapun, lo bisa cari dia. Tapi dia nggak akan datang kalau lo nggak mau.”

“Bagus,” kata Samsara.

“Gimana tempatnya?” tanya Ruci, mencoba mengganti suasana.

“Tenang. Sejauh ini… nggak ada cowok, jadi aman,” jawab Samsara dengan senyum tipis, hambar.

“Nggak semua cowok kayak ayah lo, Sam. Ezra, misalnya, jauh dari itu.”

“Gue nggak suka lo ngomong gitu.”

“Gue tahu. Tapi suatu hari lo mungkin akan lihat sendiri.”

Samsara tidak menjawab. Ia menatap langit mendung dari balik jendela. Saat telepon ditutup, ia tetap berdiri di sana. Wajah Ezra, yang tidak pernah benar-benar hilang dari benaknya, kini kembali hadir—lebih jelas, lebih nyata. Ia menyentuh perutnya.

Samsara tak menyadari bahwa dua anak panti lain sedang berbisik di dapur kecil di ujung lorong, tempat suara telepon bisa terdengar samar. Kata-kata Ruci tentang Ezra terus bergema. Menerima bantuan dari Ezra akan sangat mudah—tapi Samsara takut. Kalau dia bergantung pada Ezra, lelaki itu akan punya kuasa atas hidupnya, atas keputusan yang masih harus dia buat.

***

Ezra duduk di sofa kulit hitam, menatap ponsel di tangannya dengan pandangan kosong. Cahaya lampu kristal di atas kepalanya memantulkan kilau lembut, namun suasana di ruangan itu terasa berat.

Di luar, malam Jakarta berkelip dengan lampu-lampu gedung tinggi, tapi di dalam, Ezra hanya ditemani keheningan dan harapan yang semakin memudar. Dia melirik jam di dinding—sudah lewat pukul sepuluh malam. Ruci bilang Samsara mungkin akan menelepon malam ini, tapi ponselnya tetap diam, layarnya gelap.

Ezra menghela napas, meletakkan ponsel di meja kaca di depannya, lalu bersandar ke sofa, menutup mata. Gambaran Samsara—wajahnya yang penuh luka namun tegar, matanya yang pernah memandangnya dengan ketakutan—terus menghantuinya. Dia tahu Samsara keras kepala, tapi dia berharap, setidaknya malam ini, perempuan itu akan memberinya kesempatan untuk bicara.

Satu jam berlalu. Ponselnya tetap bisu. Ezra membuka mata, meraih ponsel, dan tanpa ragu menekan nomor Ruci. Telepon berdering beberapa kali sebelum Ruci menjawab dengan suara agak mengantuk.

"Ezra? Udah malam, ada apa?" tanya Ruci.

"Ruci, Samsara nelepon lo?" tanya Ezra langsung, suaranya penuh harap.

Ruci mendesah di ujung telepon. "Gue udah bilang ke dia buat nelepon lo malam ini. Gue ceritain apa yang lo bilang—tentang bantuan, tentang lo pengen ngobrol. Tapi... dia nggak mau, Ezra. Dia bilang dia nggak mau ketemu lo."

Ezra terdiam, jantungnya seperti terhenti sejenak. "Oke," katanya akhirnya, suaranya datar.

"Ezra, gue udah coba, tapi lo tahu Samsara. Dia keras kepala," tambah Ruci.

"Iya, gue tahu," balas Ezra singkat. "Thanks, Ci." Ia menutup telepon, meletakkan ponsel kembali di meja.

Ezra memijat keningnya dengan jari-jari yang gemetar, rasa frustrasi dan kebingungan menyelimuti pikirannya. Apa lagi yang bisa dia lakukan? Samsara jelas tak ingin berurusan dengannya. Tapi dia tak bisa begitu saja melepaskan tanggung jawab—atau perasaan yang masih membingungkannya setiap kali memikirkan perempuan itu.

Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah keheningan. Ezra menoleh cepat, jantungnya melonjak. Tanpa melihat nama di layar, dia buru-buru menjawab, suaranya penuh harap. "Sara?"

Suara di ujung telepon bukan Samsara, melainkan Gisel. Dengan nada bingung bercampur kesal. "Sara? Siapa Sara?"

Ezra tersentak, menyadari kesalahannya. Dia mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. "Sara itu... kenalanku. Aku kebetulan ada urusan sama dia," katanya, suaranya terdengar canggung.

"Urusan apa?" tanya Gisel, nadanya semakin tajam dari balik garis telepon. Ezra bisa membayangkan wajah Gisel di Malaysia, alisnya berkerut, matanya penuh kecurigaan. "Ada hubungannya sama berita kamu dipukuli sama ayah dari perempuan yang kamu hamili?"

Ezra terdiam, mulutnya terkunci. Berita itu menyebar lebih cepat dari yang dia kira, dan sekarang Gisel sudah tahu.

"Ezra, kenapa nggak jawab?" desak Gisel, suaranya meninggi.

Ezra menelan ludah, berusaha mengendalikan situasi. "Kita bahas soal ini pas kamu pulang ke Jakarta."

"Kamu beneran hamilin perempuan itu?" tanya Gisel lagi, tak mau mundur.

"Aku akan jelasin nanti," ulang Ezra.

"Aku mau omongin itu sekarang!" tegas Gisel.

"Nggak bisa," potong Ezra.

"Kenapa nggak bisa?" tantang Gisel.

Ezra menghela napas panjang, jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat. "Pokoknya nanti aku bakal jelasin, oke?"

"Ezra, aku—"

Tanpa menunggu Gisel selesai, Ezra menekan tombol untuk menutup telepon. Dia meletakkan ponsel di meja dengan gerakan pelan, seolah tak ingin menambah kekacauan dalam hidupnya.

Dia memejamkan mata, memijat pelipisnya yang berdenyut. Tapi satu hal yang pasti: dia tak bisa berhenti mencari Samsara, tak peduli seberapa keras perempuan itu menolaknya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   6

    Ezra duduk di belakang meja besar, menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Memar di rahangnya sudah hampir hilang, tapi kerutan di keningnya menunjukkan beban pikiran yang tak kunjung reda. Tapi sebelum dia sempat memutuskan langkah berikutnya, pintu ruangannya diketuk."Masuk," kata Ezra.Prima, asisten pribadinya, masuk dengan langkah cepat, memegang tablet dan map tipis. Perempuan berusia awal tiga puluhan itu tampak tegang, alisnya berkerut. "Pak Ezra, ada update soal kasus Pak Ajat," katanya tanpa basa-basi. Ia berdiri di depan meja.Ezra menegakkan tubuh, matanya menyipit. "Apa kabarnya?"Prima menarik napas, lalu menjelaskan, "Pak Ajat dibebaskan pagi ini. Polisi bilang cuma penganiayaan ringan, nggak cukup bukti buat dakwaan berat. Luka Bapak nggak parah dan saksi cuma pembantu rumah yang nggak lihat jelas kejadiannya. Jadi, mereka lepasin dia dengan peringatan."Ezra mengangguk pelan, rahangnya mengeras. "Terus?"Prima ragu sejenak, lalu melanjutkan, "Pak Ajat mengancam

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   4

    Dari warung kecil di ujung gang, Samsara mengintip ke arah jalan, memastikan bayangan ayahnya, tak terlihat. Jantungnya masih berdegup kencang setelah berlari keluar dari rumah dengan tas di bahunya. Ia buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku, menelpon sepupunya, Ruci, sebelum bergegas menemuinya di ujung jalan. Ruci seumuran dengan Samsara. Berusia 23 tahun. Tahun lalu, Ruci baru menyelesaikan kuliahnya jurusan bisnis. Lalu merintis toko baju online bernama Chic Click. Samsara sendiri ingin kuliah, tapi tidak punya biaya. Berbeda dengan rumah Samsara yang penuh kekerasan, rumah keluarga Ruci hangat dan penuh tawa, selalu menjadi tempat perlindungan bagi Samsara sejak kecil. Kedua sepupu ini tak pernah menyimpan rahasia satu sama lain.Bunyi klakson membuat Samsara tersadar. Mobil Toyota Agya warna merah berhenti di sampingnya. Wajah Ruci muncul ketika kaca jendela diturunkan. "Ayo!" kata Ruci.Samsara pun buru-buru masuk ke mobil. Dia menaruh tasnya di jok belakang. Lantas mengemb

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   5

    Kamar itu sunyi. Kamar itu kecil dan pengap. Jendela terbuka lebar membiarkan cahaya matahari siang menyusup masuk bersama angin. Di sudut ranjang kayu yang mulai rapuh, Samsara duduk bersila dengan ponsel di tangan. Ia membuka Google, mengetikkan nama yang sejak pagi tertahan di benaknya.EZRA MAULANA JUSUFBeberapa detik kemudian, layar ponsel menampilkan sebuah artikel dengan tajuk besar dan foto wajah yang amat ia kenali.CTO Muda, Ezra Jusuf Dorong Transformasi di Bidang Properti.Samsara membaca pelan, matanya terpaku pada kalimat-kalimat yang memuji: inovatif, visioner, harapan baru sektor properti. Tapi pikirannya justru tertahan pada foto Ezra. Kemeja putih bersih, jas yang rapi, tatapan percaya diri—wajah yang sempat ia lihat begitu dekat malam itu. Bahkan terlalu dekat.Tanpa sadar, senyum samar mengembang di bibirnya. Senyum yang ditarik oleh kenangan—sentuhan Ezra yang hangat, genggaman lembut di pinggangnya, dan suara dalam yang membisikkan janji semu. Saat itu, Ezra sep

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   3

    Samsara melangkah masuk ke pekarangan rumah. Bau tanah basah dan sisa hujan masih tercium di udara. Tapi, begitu ia mendorong pintu kayu yang sudah reyot, suara gaduh memecah kesunyian. Teriakan kasar, benturan keras, dan isak tangis yang tertahan. Jantung Samsara langsung mencelat. Ia tahu suara itu—suara ayahnya, Ajat, dan rintihan ibunya, Esti.Samsara berlari ke ruang tengah. Matanya membelalak. Di sudut ruangan, Esti meringkuk di lantai, wajahnya penuh luka lebam, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ajat berdiri di atasnya, tangannya terkepal, wajahnya merah padam penuh amarah. "Kamu perempuan tak tahu diri!" maki Ajat, suaranya menggelegar. Ia mengayunkan tangan lagi, menampar wajah Esti yang sudah tak berdaya."Ibu!" Samsara menjerit. Tanpa pikir panjang, ia berlari dan berlutut di samping Esti, memeluk tubuh ibunya yang gemetar. "Ibu, maafkan aku... maafkan aku..." Tangisnya pecah. Tubuh Esti terasa dingin, lemah, tapi ia masih berusaha menggenggam tangan Samsara."Buah tak ja

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   2

    Garasi keluarga Jusuf luas dan teratur, dindingnya putih bersih dengan lampu-lampu LED yang menerangi deretan mobil mewah seperti showroom. Ezra berjalan ke sebuah Range Rover putih kini terparkir, tepat di belakang sedan tua milik keluarga Samsara.Samsara tidak menunjukkan reaksi, seakan tidak peduli pada kemewahan itu. Ia berdiri di dekat Range Rover yang dinaiki Ezra. Ia melipat tangan di dada, mengamati Ezra yang sudah duduk di balik kemudi."Kamu mau ajak aku ke mana?" tanya Samsara."Ke mana aja," jawab Ezra.Samsara mengangkat alis. "Biar apa?"Ezra menarik napas panjang, menahan sabar. "Biar kita bisa bicara.""Kalau kamu mau bicara, kita bisa bicara di sini," tukas Samsara."Kita nggak bisa bicara kalau banyak gangguan," tutur Ezra. "Sebaiknya kamu masuk."Samsara mencoba menimbang risiko untuk ikut jalan-jalan dengan Ezra. Dia sama sekali tidak mengenal lelaki itu. Apakah Ezra punya sifat pemarah seperti ayahnya? Apakah Ezra bisa bertindak kasar kalau terpojok seperti ini?

  • Kita yang Terlambat Jatuh Cinta   1

    Sungguh ironis. Di saat seperti ini, Samsara Kuswandana menyadari betapa sedikit yang ia tahu tentang Ezra Jusuf selain namanya. Lelaki itu jelas bukan orang sembarangan, pikirnya saat matanya menyapu ruang tamu rumah keluarga Jusuf yang megah—pilar marmer menjulang, jendela kaca patri dengan motif bunga musim gugur, dan langit-langit tinggi tempat lampu gantung kristal berayun pelan. Semuanya terasa asing, mewah... dan menghimpit.Samsara berdiri mematung di dalam foyer megah yang terasa asing. Kaki Samsara yang mengenakan sepatu datar seolah menempel kaku di lantai marmer dingin, seolah menegaskan betapa kecil dirinya di tengah semua kemewahan ini. Ia menarik napas dalam-dalam, tapi aroma eukaliptus kering di vas kuningan besar justru menyesakkan perutnya.Di luar, langit Jakarta mulai meremang. Di sana, suara-suara lantang ayahnya, Ajat Kuswandana, dan balasan tenang tapi penuh tekanan dari Aidan Jusuf—putra sulung keluarga Jusuf—yang kebetulan sedang berada di sana.Samsara menund

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status