Share

Koma
Koma
Penulis: Lintang

SAPU TANGAN

Sinar matahari pedesaan terasa hangat di punggung seorang gadis yang tengah mengayuh sepeda sekuat tenaga di jalanan yang sedikit menanjak. Rambut panjangnya di biarkan tergerai indah, gadis itu berkali-kali meniup poninya yang mulai memanjang.

Tanpa ia bisa kendalikan tiba-tiba sepedanya jatuh.

Gadis berparas manis itu segera bangkit dan memeriksa keaadaan sepedanya, dan benar saja ban-nya bocor, sebuah paku payung menancap kuat di ban karet itu. Ia menghembuskan nafas kasar, menduga yang melakukan pekerjaan usil ini pasti adik laki-lakinya, si bocah ingusan nan pecicilan.

Dalam hati ia berikrar tidak akan membantu mengerjakan PR adiknya malam nanti.

Gadis itu bergegas menuntun sepedanya menuju bengkel yang selalu dilewati. Akhirnya ia sampai dan dengan tergesa-gesa ia mengatakan kepada abang bengkel bahwa sepedanya akan diambil sepulang sekolah nanti.

Dengan kecepatan maksimal gadis berzodiak libra itu berlari menuju kereta yang mengantarkan dari desa ke kota. Sesekali dia melirik jam tanganya yang telah menunjukan tepat pukul tujuh.

Dewi fortuna berpihak kepadanya, di kereta ia dipertemukan dengan seorang cowok tinggi yang ber-almamater sama denganya. Setidaknya jika ia terlambat ada yang menemani.

Cowok itu terlihat sedang sibuk menggulir layar hp-nya dengan posisi berdiri berpegangan pada benda yang menggelantung di langit-langit kereta.Sedangkan gadis itu hanya bisa meneguk ludah beberapa kali, karena gugup berhadapan dengan sang pangeran. Dari posisi sedekat itu ia bisa melihat jari-jari cowok itu penuh hansaplast dan mata panda yang terlihat jelas di kulit putihnya.

Gadis dengan name tag Rimba buana itu terkejut dengan darah kental yang keluar dari lubang hidung cowok itu. Dengan sigap ia langsung mengulurkan sapu tangan yang selalu ia bawa.

Cowok itu terlihat bingung dengan sikap tiba-tiba cewek asing dihadapanya.

Rupanya dirinya tak sadar akan darah yang mulai mengucur deras hingga menetes ke layar hp-nya.

Rimba tak tahan dengan cairan merah yang mengalir secara perlahan seperti ulat di pohon mangganya. Jadi tanpa peesetujuan cowok itu, ia segera mengelap hidung mancung sempurna tersebut.

"Ma-makasih ya." ucap cowok itu gugup, tanganya mengambil alih pekerjaan Rimba.

Rimba hanya mampu mengangguk, tak sanggup berkata apapun karena ia sendiri sibuk menetralkan jantungnya yang berdegup tak karuan.

Mata gadis itu melirik ke name tag cowok yang masih sibuk mengelap hidungnya.

Seroja nelumbo

Rimba tersenyum mengetahui nama pangeranya yang terbilang unik. Rasanya sinar matahari yang kian menghangat itu tak terlalu terasa dengan kehangatan yang dimilki pangeran bernama unik itu. Oh, inikah yang namanya jatuh cinta, baru kali ini gadis itu merasakan.

Tunggu! Sinar matahari semakin menghangat. Jangan-jangan, Rimba sangat panik begitu melihat jam tanganya. Pukul 07.03! Bukankah ini sudah terlambat!. Tenang-tenang, Rimba harus tetap tenang masih ada cowok yang satu sekolah denganya jadi dia takkan dihukum sendiri seperti hari-hari mengenaskan sebelumnaya.

Pintu kereta terbuka, Rimba segera berlari meninggalkan cowok yang masih membawa sapu tanganya. Toh, di sekolahan mereka akan dipertemukan kembali dan dihukum bersama.

Pak Limun, satpam SMA Victoria menggeleng-gelengkan kepala melihat kedatanga Rimba yang selalu terlambat, sedangan cewek itu hanya mampu memamerkan deretan gigi putihnya.

Begitu Rimba melewati gerbang ia kembali disambut oleh seorang guru muda dengan make up natural. Tak seperti guru-guru lainya yang ber make up tebal sampai bibirnya seperti tebakar.

"Rimba, rimba kamu itu ya. Sekarang hu-"

"Eh, entar Bu. Masih ada orang dibelakang saya, jadi hukumnya sekalian sama dia aja," sergah Rimba.

"Siapa? Emang ada?" tanya bu Hany tak percaya.

Beberapa saat kemudian datanglah pangeran berkuda dengan gagahnya, menutupi cerahnya sinar matahari, seolah ia akan menyelamatkan hidup tuan putrinya. Ok! Sekarang Rimba terlalu berlebihan.

Cowok itu tersenyum tapi bukan ditunjukkan untuk Rimba, lebih tepatnya ditunjukkan untuk bu Hany, guru muda itu membalas dengan senyuman yang sama menawanya.

Kok senyuman bu Hany gak kayak biasanya.

"Saya masuk dulu ya Bu," pinta cowok itu tanpa beban.

"Gak usah minta, juga ibu izinin kok." Guru itu berucap dengan senyum yang tak kunjung luntur.

Cowok itu berlalu tanpa melirik sedikitpun ke arah Rimba yang tengah melongo mendengar percakapan antara siswa dan guru yang tak biasa. Dengan mudahnya pangeran itu masuk tanpa hukuman, juga tanpa dirinya.

Dalam hati gadis itu sedikit tak terima diperlakukan tak adil. Memangnya cowok itu siapa? Anak pemilik sekolah? Presiden? Atau apa?

"Kok Ibu jahat sih," protes Rimba.

"Ssttt, jangan ngomong kayak gitu. Gak sopan,"

Ucap bu Hany, ia terlihat menyembunyikan wajah takutnya tapi gagal.

Namun Rimba tak terlalu peduli, ia hanya ingin diperlakukan adil. Gadis itu kembali protes tapi sayangnya ia harus kalah, karena guru itu mengancam akan menambah hukumannya jika ia masih saja rewel.

Tampaknya gadis itu harus merelakan dirinya kembali ke mode mengenaskan yang akan hidup tiap pagi.

Dengan gerakan malas ia menata setumpuk buku paket tebal di rak perpus.

Ia kembali mengingat kesialanya pagi ini. Ban bocor, tertipu oleh pesona pangeran, dan dihukum seorang diri.

Udahlah gak papa Rim, orang sabar banyak mantan.

🎐🎐🎐🎐🎐

"Apa? Lo sekolah bareng Oja?!"

Meja berisikan dua cewek kelas XI itu menjadi pusat perhatian karena teriakan salah satu dari mereka. Sedangkan cewek yang satunya hanya mampu menutup wajahnya karena malu.

"Sssttt, gausah seheboh itu kali," Rimba berusaha menenangkan Gina.

"Oh, ok sorry," sesal cewek dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai itu. "Lo emangnya gak tahu siapa si Oja?"

"Namanya Seroja bukan Oja," protes Rimba.

"Iya, itu tuh nama panggilanya."

"Unik banget sih."

"Jadi, lo beneran gak tahu si Oja?"

Rimba hanya menggeleng sambil memasukan sesendok soto ke mulutnya.

"Aduhhh, kudet amat sih lo," cecar Gina. "Oja itu cowok populer,siswa terpintar sesekolah, anak olim. Dia juga presdir Veritas."

Rimba tiba-tiba tersedak, Gina dengan sigap membantu sahabatnya itu minum sebotol air putih yang dibawa dari rumah.

"Apa kata lo? Presdir Veritas?" tanya Rimba menegaskan, setelah ia kembali tenang.

Gina hanya mengangguk membenarkan ucapan Rimba.

Veritas meeupakan sekumpulan murid-murid VIP, biasanya orang tua mereka berdonasi dengan jumlah besar untuk SMA Victoria.

Mereka juga mendapat perlakuan khusus, seperti Oja saat terlambat tadi. Sehingga tak ada siapapun yang berani menggangu mereka.

Sekolah juga menyediakan ruangan khusus bagi Veritas, dari dalam ruangan itu terlihat mewah dan nyaman.

Seandainya ia tahu dari awal mungkin dirinya sudah mimisan begitu deras sama seperti Oja di kereta tadi. Tunggu kenapa anak sultan malah naik transportasi umum bukannya kendaraan pribadi?

Baru saja Rimba akan menanyakannya kepada Gina, tiba-tiba sebuah tangan kekar menggenggam sapu tangan toska , terulur kepadanya. Gadis berkulit sawo matang itu mendongak, dan betapa terkejutnya ia. Orang itu adalah bahan gosipnya barusan.

Sontak meja yang kini di tempati tiga orang itu kembali menjadi pusat perhatian, khususnya para cewek, paparazi dadakan bertebaran dimana-mana. Beberapa dari mereka terlihat gemas dengan sikap Rimba yang hanya menatap diam cowok yang begitu mencolok di tempat umum ini. Sedangkan para cowok hanya cuek, lebih memilih menyantap pesanan mereka.

"Sementara lo pakek ini, nanti kalau sapu tangan lo udah kering gue balikin."

Hembusan angin bersama suara bariton sang pangeran menerpa lembut anak rambut rimba.

Rasanya dunia ini berhenti berputar, mempersilahkan sang pangeran berbicara kepada tuan putri, dan tuan putri itu adalah dirinya.

Dada gadis itu kini tengah diguncang gempa dahsyat, ingin rasanya ia mengambil sapu tangan itu tapi tangannya yang bergetar hebat sulit diajak kompromi.

Lidahnya juga mendadak kelu.

Karena tak kunjung mendapatkan respon dari Rimba, Oja meletakkan sapu tangan itu begitu saja di meja dan berlalu pergi meninggalkan mereka yang masih terpana.

Rimba bernafas lega akhirnya ia bisa bernafas dengan lancar, tubuhnya juga sudah kembali tenang.

Dengan hati-hati cewek itu mengambil sapu tangan lembut pemberian Oja dan mencium baunya yang begitu harum.

Gina berusaha mengambil sapu tangan itu, Namun cewek itu masih kalah cepat dengan Rimba.

"Rim, gue pinjem sapu tanganya dong, plisss,"

Gina memelas penuh harap. Tapi Rimba sudah paham dengan sikap sahabatnya itu jika meminjam barang akan dikembalikan dalam kurun waktu yang lama.

"Enggak mau." Tolak Rimba seraya berlari meninggalkan kantin. Rupanya Gina tak menyerah begitu saja, ia mengejar Rimba yang semakin menjauh.

Kecepatan berlari anak peraih medali emas itu tak bisa diragukan lagi. Sehingga Rimba harus mencari tempat yang aman untuk bersembunyi, jika tak ingin tertangkap olehnya.

Cewek dengan rok selutut itu memutuskan bersembunyi di toilet, dalam persembunyiannya itu ia membuka lipatan benda yang sedari tadi dia pegang erat-erat. Sebuah benda tipis terjatuh dari sela-sela lipatan sapu tangan tersebut, Rimba memungutnya dari lantai.

Bola mata Rimba melebar tak percaya mendapati sobekan kertas kecil dengan tulisan awut-awuttan, tapi untung masih bisa dibaca.

Rimba membaca sekali lagi secara perlahan, menajamkan penglihatanya. Namun tulisan itu masih tetap sama.

Temui gue di atap besok.

==========================

==============

Salam hangat dari perempuan yang hobi gantungin

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status