Hidupku terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Dalam hitungan hari, perusahaan ayah bangkrut, hutang menumpuk, dan surat peringatan dari bank menempel di pintu rumah. Semua orang di rumah panik. Ibu menangis setiap malam, ayah termenung dengan kepala dipenuhi rasa bersalah, dan aku—sebagai satu-satunya anak—hanya bisa berusaha mencari jalan keluar sambil menahan rasa putus asa. “Maafkan ayah, Nadine…” suara ayah bergetar malam itu, ketika listrik rumah kami sempat terputus karena tunggakan. “Ayah gagal melindungi kalian.” Aku menggenggam tangan ayah erat-erat. “Bukan salah ayah. Kita akan cari jalan, pasti ada cara,” ucapku meski aku sendiri tidak yakin. Kenyataannya, semua pintu seakan tertutup. Hutang keluarga kami terlalu besar, pekerjaan kecilku sebagai admin kantor tentu tak akan cukup. Sementara besok… rumah yang sudah kami tempati puluhan tahun akan disita. Dalam keadaan kalut itu, sebuah panggilan telepon datang. Nomor asing. “Selamat sore, ini Nadine Prameswari?” suara berat di seberang membuat bulu kudukku meremang. “Ya, saya sendiri. Dengan siapa ini?” “Nama saya Arkan Dirgantara. Datanglah ke kantor saya besok pagi. Kita perlu berbicara.” Aku langsung terdiam. Nama itu… bukan nama asing. Arkana Dirgantara. CEO muda sebuah perusahaan besar, terkenal dingin, kejam, dan tak pernah gagal dalam bisnis. Lelaki yang bahkan masuk majalah Forbes karena kecerdasannya. Lelaki yang juga… musuh ayahku di dunia bisnis. Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku? --- Keesokan harinya, aku benar-benar berdiri di depan gedung pencakar langit dengan logo Dirgantara Corp. Matahari pagi memantul di kaca-kaca jendelanya yang menjulang tinggi, seakan mengejek betapa kecilnya aku dibanding dunia mereka. Aku menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. Dengan langkah ragu, aku masuk. Resepsionis cantik dengan senyum tipis menyapaku. “Selamat pagi. Anda Nadine Prameswari?” “Ya,” jawabku singkat. “Silakan ke lantai 25. Tuan Arkana sudah menunggu.” Jantungku berdegup kencang. Lift terasa bergerak sangat lambat, padahal tubuhku sudah gemetar hebat. Begitu pintu terbuka, aku disambut oleh seorang pria berjas hitam yang sepertinya asisten pribadi Arkana. “Silakan ikut saya.” Ruangannya… luar biasa. Jendela besar dengan pemandangan kota, meja kerja dari kayu hitam, dan suasana dingin yang membuat siapa pun merasa kecil. Di balik meja itu, duduklah Arkana Dirgantara. Aku menelan ludah. Ia mengenakan setelan jas abu tua, dasinya rapi, wajah tampan dengan garis tegas, tatapan dingin menusuk. Entah kenapa, aura pria ini benar-benar menekan. “Nadine Prameswari,” ia menyebut namaku dengan nada datar, seolah hanya sekadar formalitas. “Duduk.” Aku menuruti perintahnya, berusaha menjaga sikap. “Anda… ingin bertemu saya?” “Ya. Aku sudah tahu kondisi keluargamu.” Aku terkejut. “Apa maksud Anda?” Ia menggeser sebuah map tebal ke arahku. “Utang keluargamu, daftar aset yang akan disita. Aku punya akses pada semua data itu.” Aku menegang. Dari mana dia mendapatkannya? Kenapa dia peduli? “Apa yang Anda inginkan?” tanyaku dengan suara hampir berbisik. Arkana menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu menatapku tajam. “Aku ingin kau menjadi kekasihku.” Aku hampir tercekik. “APA?!” seruku, memandangnya dengan mata terbelalak. Pria itu sama sekali tidak terguncang. “Aku butuh seorang kekasih. Sementara. Untuk tiga bulan.” Aku berdiri refleks. “Anda sudah gila! Untuk apa saya melakukan hal semacam itu?” Tatapan dinginnya tak goyah. “Perusahaanku sedang diterpa isu tak sedap. Para investor mulai resah karena gosip pribadi yang beredar. Aku perlu meredam semuanya dengan menunjukkan bahwa aku sudah punya pasangan stabil. Dan kau, Nadine, pilihan tepat.” Aku tertawa sinis. “Pilihan tepat? Dari jutaan wanita di luar sana, kenapa harus aku?” Arkana terdiam sejenak, lalu mencondongkan tubuh ke arahku. Tatapannya menusuk begitu dalam. “Karena aku tahu kau sedang terdesak. Kau butuh uang, kau butuh pertolongan. Aku bisa menyelamatkan keluargamu. Dengan satu syarat: kau menandatangani kontrak ini.” Ia menggeser sebuah dokumen ke hadapanku. Aku menatapnya gemetar, lalu membaca cepat. Kontrak Hubungan. Tertulis jelas: Durasi tiga bulan. Hubungan hanya bersifat publik. Tidak ada ikatan emosional. Larangan jatuh cinta. Tanganku bergetar. Hatiku berteriak menolak. Tapi wajah ibuku yang pucat, ayahku yang hampir menyerah, semua menghantui pikiranku. “Apa aku punya pilihan lain?” tanyaku lirih. Arkana menatapku dingin. “Tentu saja. Pilihan lain adalah keluargamu kehilangan rumah besok pagi.” Air mataku mulai menetes. Sungguh kejam. Tapi inilah kenyataannya. Lelaki ini tahu aku sudah terpojok dan ia menawarkan jalan keluar dengan harga yang sangat mahal: kebebasanku sendiri. “Apa kau benar-benar tega melakukan ini padaku?” bisikku dengan suara bergetar. “Aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan,” jawabnya datar. “Anggap saja ini kesepakatan bisnis. Kau menyelamatkan citraku, aku menyelamatkan keluargamu.” Aku menunduk. Nafasku berat. Tanganku meraih pena di atas meja. Jika aku menandatangani, maka aku akan terikat dengan pria ini… pria yang bahkan tidak pernah menoleh padaku sebelumnya. Aku memejamkan mata. Lalu, tepat saat ujung penaku menyentuh kertas, pintu ruangan terbuka keras. Aku tersentak, menoleh cepat. Seorang pria berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut. Darahku berdesir begitu menyadari siapa dia. Adrian. Mantan kekasihku. Matanya melebar melihatku duduk berhadapan dengan Arkana. Bibirnya bergetar, seolah tak percaya. “Nadine… apa yang kau lakukan di sini?”Aku bisa merasakan napasku sendiri tercekat. Setiap langkah terasa seperti langkah terakhir. Ketika kami hampir sampai ke pintu belakang, terdengar suara seretan besi. Seseorang berdiri menghadang di sana. Wajahnya separuh tertutup masker hitam, tapi mata itu… mata yang penuh kebencian. “Akhirnya kita bertemu, Nadine…” suaranya dingin menusuk, membuat darahku seolah berhenti mengalir. Aku membeku di tempat, tidak bisa bergerak. Arkana langsung berdiri di depanku, melindungi tubuhku dengan seluruh keberadaannya. “Kau tidak akan menyentuhnya.” Pria itu menyeringai tipis, menodongkan senjata ke arah Arkana. “Kita lihat saja siapa yang bertahan hidup malam ini.” Dan dalam detik berikutnya—suara tembakan kembali memecah malam.Suara tembakan meledak memekakkan telinga. Sekilas aku melihat percikan api kecil di udara, lalu tubuh Arkana bergerak cepat menahanku agar tidak terkena peluru.
Arkana memasukkan ponsel ke saku, lalu menatapku dengan mata tajam penuh api. “Ya. Dan aku harus menghadapi mereka. Tapi kali ini… aku tidak sendirian. Kau ada di sisiku.” Aku menggenggam tangannya erat, meski tubuhku masih gemetar. Dalam hati aku tahu, apa pun yang menunggu di depan akan jauh lebih berbahaya. Tapi anehnya, ada kekuatan baru yang muncul—karena aku tak lagi hanya berjuang demi diriku sendiri, melainkan juga demi pria yang kini kucintai dengan seluruh hatiku. Malam itu, di balik ketakutan, aku sadar: pertarungan kami baru saja dimulai.Malam itu terasa panjang, lebih panjang daripada malam-malam sebelumnya. Aku tidak bisa tidur. Setiap suara kecil dari luar membuatku tersentak. Degup jantungku terus berpacu, seolah aku sedang berdiri di tepi jurang. Arkana duduk di ruang tamu, matanya tajam memperhatikan layar ponselnya. Sesekali ia berbicara singkat dengan orang-orangnya. Wajahnya tegas, penuh fokus, tapi aku bisa
Arkana menatapku serius. Tatapan yang biasanya menenangkan kini malah menambah rasa waswasku. “Mereka akan mencoba. Tapi aku sudah bersiap. Ada orang-orang yang masih berutang budi padaku, ada jaringan kecil yang kubentuk diam-diam. Selama ini aku memang menunggu waktu yang tepat. Dan mungkin… waktunya sudah tiba.” Aku menelan ludah. Menunggu waktu yang tepat? Jadi semua yang ia lakukan selama ini—menjadi CEO sukses, menutup diri, bersikap dingin—hanyalah bagian dari strategi untuk hari ini? “Tapi, Nadine…” suaranya menurun, agak serak. “Aku tak bisa melakukannya kalau kau tidak kuat. Kau harus bersiap. Mereka akan mencarimu. Mereka mungkin mencoba mendekatimu dengan cara yang paling tidak terduga. Bisa jadi dengan ancaman, bisa juga dengan tipu muslihat. Aku tidak bisa selalu di sisimu setiap detik.” Tubuhku seketika merinding. Bayangan mengerikan muncul di kepalaku. “Jadi… nyawaku benar-benar terancam?” Arkana mengangguk pelan. “Ya. Karena kau adalah satu-satunya yang bisa
Ia mengangguk pelan. “Aku keluar. Aku mencoba meninggalkan semuanya, memulai hidup baru, menjadi orang biasa—seorang CEO, seorang pria normal yang bisa kau kenal tanpa curiga. Tapi ternyata, masa lalu tidak pernah benar-benar melepaskanku.” Aku terdiam. Tanganku gemetar hebat. Arkana melangkah mendekat, menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Aku tahu kau pasti takut padaku sekarang. Aku bahkan tidak akan menyalahkanmu kalau kau pergi malam ini juga. Tapi satu hal yang harus kau tahu, Nadine… semua yang kulakukan setelah bertemu denganmu—setiap langkah, setiap keputusan—semua untuk melindungimu. Bahkan kalau aku harus menukar nyawaku.”Air mataku jatuh begitu saja. Rasanya ingin marah, ingin menamparnya karena menyembunyikan semua ini. Tapi di sisi lain, hatiku sakit melihat wajahnya yang penuh penyesalan itu. Aku menggeleng, lalu melangkah mendekat meski ia sempat mundur lagi. “Jangan berani-beraninya bilang aku harus pergi, Arkana. Aku sudah ada di sini. Kalau memang ada bahaya
BRAK! BRAK! BRAK! Ketukan keras itu kembali terdengar, bahkan lebih keras, menggema ke seluruh rumah. Aku bisa merasakan lantai di bawah kakiku bergetar pelan. Tanganku refleks menutup mulut agar tidak bersuara. Dari balik pintu kamar yang hanya setengah terbuka, aku bisa melihat Arkana berdiri di ruang tamu. Tubuhnya tegap, matanya tajam penuh kewaspadaan. “Siapa di sana?” tanyanya dengan suara berat, penuh ancaman. Tidak ada jawaban. Hanya ketukan lagi—lebih keras, lebih mendesak. BRAK! Aku ingin sekali keluar, berdiri di sampingnya, tapi kata-katanya tadi masih bergema di kepalaku: “Masuk ke kamar, kunci pintu, dan jangan keluar sampai aku bilang aman.” Arkana melangkah mendekati pintu, tangannya sudah mengepal. Tepat sebelum ia membuka, suara asing terdengar dari luar. “Arkana Dirgantara! Aku tahu kau ada di dalam. Buka pintunya atau aku dobrak sekarang juga!” Aku membeku. Suara itu… dingin, berat, dan penuh amarah. Arkana hanya diam sejenak, lalu menarik napas
Wajah Arkana berubah muram. Ada luka dalam sorot matanya, seolah ia ingin bicara tapi terhalang sesuatu. Ia menggenggam tanganku erat, suaranya bergetar. “Percayalah, aku tidak pernah ingin menyeretmu ke dalam ini. Aku ingin kau tetap bersih, tetap jauh dari dunia kotor keluargaku. Tapi… mungkin sudah terlambat.” Aku menatapnya, bingung dan marah sekaligus. “Terlambat? Apa maksudmu?” Arkana tidak menjawab. Ia hanya menarikku ke dalam pelukan yang hangat tapi penuh kepedihan. “Maafkan aku, Nadine. Maafkan aku…” Aku ingin menolaknya, ingin menendangnya pergi, tapi tubuhku lemah. Aku tetap berdiri dalam pelukannya, meski pikiranku penuh dengan pertanyaan. Satu hal yang jelas: mulai saat itu, aku tidak hanya jatuh cinta pada Arkana… aku juga jatuh ke dalam lingkaran bahaya yang mengelilinginya. Dan aku tahu, sekali aku masuk, tidak ada jalan keluar yang mudah.Pagi itu udara di rumah begitu tegang. Aku duduk di kursi ruang makan, menatap secangkir kopi yang sejak tadi tak tersentuh.