Home / Romansa / Kontrak Cinta Sang Tuan Muda / Salah Acara, Salah Jodoh

Share

Kontrak Cinta Sang Tuan Muda
Kontrak Cinta Sang Tuan Muda
Author: Syamwiek

Salah Acara, Salah Jodoh

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-06-13 12:09:42

Hari ini, aku cuma ingin datang ke pernikahan sahabatku. Itu saja.

Tapi entah kenapa, semuanya jadi kacau. Rasanya seperti semesta sedang iseng dan menjadikanku tokoh utama dalam drama yang bahkan bukan aku yang bikin.

Aku berdiri di depan ballroom mewah Hotel Virelle Grand. Gaun satin biru gelap yang kupakai masih rapi, tapi high heels lima sentimeter ini mulai terasa menyiksa. Tapi aku tahan. Demi Mira, sahabatku, yang menikah hari ini.

“Pernikahan Mira di ballroom L,” bisikku sambil membaca ulang pesan dari grup bridesmaid.

Aku melihat ke kiri, lalu ke kanan. Di lantai ini ada dua ballroom besar. Satu bertuliskan huruf emas: L. Satunya lagi: R.

Tapi di depan ballroom R, seorang wanita dari event organizer melambaikan tangan ke arahku dengan ekspresi lega.

“Dokter Nayla, ya? Ayo cepat masuk, acaranya hampir mulai!” katanya sambil menarik lenganku.

Refleks, aku ikut. Mungkin ini bagian dari kejutan dari Mira? Aku tahu dia suka hal-hal dramatis.

Lima detik kemudian, aku sudah berdiri di belakang panggung kecil, diapit bunga-bunga putih. Musik romantis mulai diputar. Seorang pria tinggi bersetelan jas abu-abu berdiri membelakangiku.

“Silakan naik, Nona. Selamat bertunangan,” bisik salah satu panitia sambil menyerahkan buket bunga ke tanganku.

Tunangan?

Aku hampir menjatuhkan buket.

Sebelum sempat bicara, MC sudah mulai membuka acara.

“Hari ini, kita akan menyaksikan pertunangan dua insan luar biasa—Tuan Muda Alvaro Arsenio dan calon istrinya, dokter Nayla Azzahra!”

Aku nyaris pingsan.

Apa barusan dia bilang?!

Orang-orang bertepuk tangan. Kamera mulai menyala. Dan pria yang berdiri di sampingku—yang ternyata Alvaro Arsenio Juhar, CEO terkenal yang sering muncul di majalah bisnis—menoleh ke arahku.

Aku bingung harus bereaksi bagaimana.

Berdiri di panggung besar, di bawah sorotan lampu kristal, sambil menggenggam buket, dan berdampingan dengan pria asing yang katanya calon suamiku. Padahal satu jam lalu aku masih sibuk cari lipstik di dompet kecil, berharap bisa ke toilet sebelum resepsi dimulai.

Sekarang?

“Apa yang barusan MC katakan?” bisikku pelan.

Alvaro menatapku singkat, ekspresinya tenang tapi dingin. “Kamu bukan tunanganku,” katanya, pelan tapi jelas.

“Dan kamu bukan pria yang aku pilih,” balasku, dengan nada yang sama.

Saat itu juga, seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan datang menghampiri. Kalung mutiara menggantung di lehernya, senyumnya lebar. Dia langsung memelukku.

“Kamu cantik sekali. Terima kasih sudah menerima Alvaro,” ucapnya hangat.

Aku diam. Itu Bunda Zura—ibunya Alvaro.

Belum sempat bicara, kotak cincin beludru hitam muncul entah dari mana. MC mulai mengarahkan kami untuk saling menyematkan cincin. Tanpa sadar, cincin itu sudah terpasang di jariku.

Dan belum selesai di situ, Bunda Zura menggantungkan kalung berlian ke leherku.

“Sederhana, tapi cocok untukmu,” katanya.

Aku melirik Alvaro, berharap dia menghentikan semua ini. 

Tapi dia hanya bicara pelan, nyaris tak terdengar.

“Tolong jalani saja. Hanya malam ini. Ini demi nama baik keluarga.”

Keluarga siapa? Kita bahkan baru pertama bertemu.

Sebelum sempat berpikir lebih jauh, pria bernama Zain Juhar—ayah Alvaro—naik ke panggung dan memberi sambutan soal "generasi baru keluarga Juhar."

Aku merasa seperti sedang berada di hidup orang lain.

Satu-satunya hal yang terasa nyata hanyalah: high heels-ku cukup tajam kalau sewaktu-waktu aku butuh alasan untuk jatuh pingsan.

Acaranya berjalan mulus. Bahkan terlalu mulus.

Saat semua orang mulai sibuk makan dan menyapa Alvaro, aku mundur pelan, mencari jalan keluar.

Tapi tiba-tiba, seseorang menarik ujung gaunku.

Aku menunduk. Seorang anak kecil. Laki-laki, sekitar lima tahun. Rambut ikal, mata bulat seperti kelereng.

“Mama?” katanya lirih.

Aku kaget. “Eh?”

Dia berkedip. “Mama, ayo kita pulang.”

Aku panik.

Beberapa tamu menoleh. Salah satu wanita dengan kebaya bahkan mencubit temannya sambil berbisik, “Anaknya lucu banget! Mirip mamanya.”

Anak? Mama?

“Maaf, Nak, kamu mungkin salah orang—” Aku berjongkok, mencoba bicara pelan.

Tapi dia malah menggenggam tanganku lebih erat.

“Papa Al bilang kamu mama baruku.”

Papa?!

Aku menoleh ke arah Alvaro.

Dia menatap balik dari kejauhan.

Saat itulah aku sadar—hari ini aku nggak cuma salah masuk ballroom.

Tapi juga salah masuk ke hidup seseorang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (13)
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
ehh itu anak siapa, kok katanya mam baru, apa2an ini
goodnovel comment avatar
sivalatina
nasib mu, Nay ...
goodnovel comment avatar
eany ajjach
seru thor, memacu adrenalin. ya allah gk bisa bayangin ada diposisi nayla. gk pingsan saja sudah alhamdulillah itu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Sambutan Hangat Rey

    Penerbangan dari Osaka ke Jakarta terasa panjang, tapi aku dan Alvaro lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Begitu pesawat mendarat di Soekarno-Hatta, rasa lelah bercampur rindu langsung menyeruak.“Sayang, kita langsung ke rumah Opa ya. Bunda barusan kirim pesan katanya Rey nungguin kita sampai gak mau tidur,” ucap Alvaro sambil meraih koper dari bagasi kabin.Aku mengangguk. “Iya, aku juga kangen banget sama si ganteng.”Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasi, kami naik mobil yang menjemput. Perjalanan menuju rumah Opa Barra terasa lebih singkat, mungkin karena aku sudah tak sabar bertemu anakku.Sesampainya di kediaman Opa Barra, suasana langsung terasa hangat. Beberapa asisten rumah tangga menyambut di depan pintu. Dari ruang tengah, suara teriakan terdengar.Rey langsung berlari ke arahku dengan tangan kecilnya terulur. “Mamaaa!” teriaknya riang.Aku berjongkok, lalu meraih tubuh mungilnya dan menggendongnya erat. “Sayangnya Mamaaa— aduh, kangen banget sama kamu,”

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Honeymoon 4

    Alvaro meraih wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dalam seolah ingin menghafal setiap garis di wajahku. “Sayang,” suaranya rendah, parau, tapi penuh kelembutan.Aku hanya mampu tersenyum tipis, jantungku berdebar kencang. “Hmm?” jawabku.Tanpa banyak kata, bibirnya menyentuh bibirku, lembut namun menuntut. Hangatnya segera menjalar ke seluruh tubuh, membuatku tak bisa berpaling. Tangannya mengusap rambutku, lalu turun ke punggung, menarikku semakin rapat ke dadanya.Aku balas memeluknya erat, merasakan degup jantungnya berpacu sama cepatnya dengan milikku. Saat jemarinya menyusuri lenganku, seolah ada percikan aneh yang membuatku menggigil, tapi bukan karena dingin.Alvaro menunduk, mengecup leherku dengan penuh sayang. “Kita kerjakan proyek pembuatan dedek bayi ya,” gumamnya di sela nafas hangat.Aku memejam, meresapi setiap sentuhan yang begitu hati-hati tapi juga membuat darahku berdesir. “Lakukan, Mas, lakukanlah,” jawabku lirih, hampir tak terdengar.Kain yang memisahkan ka

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Honeymoon 3

    “Aduh, Mas. Rasanya aku nggak bisa jalan. Kenyangnya level dewa,” ujarku sambil menepuk perut yang kini terasa penuh.Alvaro terkekeh, meraih tanganku agar segera berdiri. “Ayo, jangan malas. Katanya mau ke Tokyo Tower? Kalau nungguin kamu mager, bisa-bisa Tower-nya keburu padam lampunya.”Aku meringis kecil, lalu bangkit sambil mengusap perut. “Oke, demi Tokyo Tower, aku rela menghempaskan mager.”Beberapa menit kemudian kami sudah berada di dalam taksi menuju Tokyo Tower. Jalanan Shibuya malam itu cukup ramai, tapi tetap tertib. Lampu neon dari papan iklan besar terlihat jelas dari balik kaca jendela. Aku menempelkan wajah ke kaca, rasanya persis seperti anak kecil yang lagi study tour pertama kali.“Mas, lihat deh! Lampunya kayak nggak ada habisnya. Kayak dunia mimpi,” seruku takjub.Alvaro hanya melirik sambil tersenyum hangat. “Aku lebih suka melihat matamu yang berbinar terang. Jauh lebih indah daripada lampu kota.”Aku menoleh cepat, pipiku memanas. “Mas, jangan mulai deh. Aku

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Honeymoon 2

    Begitu tiba di Jepang, rasa lelah perjalanan langsung sirna saat kakiku menapak lobby hotel mewah di kawasan Shibuya. Mataku mengedar ke sekeliling, takjub memperhatikan setiap sudut ruangan, sementara Alvaro hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang mirip turis lugu.“Mas, kita beneran nginep di sini?” tanyaku dengan mata berbinar.“Iya, Sayang. Masa bulan madu kita di kos-kosan?” jawabnya.Aku mencubit lengannya pelan. “Ih, ngomongnya suka bikin gemes.”Dia terkekeh, lalu meraih tanganku. “Sabar, sebentar lagi ada kejutan buat kamu.”Aku menatapnya curiga. Kejutan apa lagi? Rasanya perutku sudah keroncongan, yang ada aku ingin kejutan berupa ramen panas.Begitu pintu kamar terbuka, langkahku langsung terhenti. Kamar yang akan kami tempati sudah ditata begitu indah. Kelopak bunga sakura tersebar di lantai dan ranjang, membentuk pola hati. Di meja dekat jendela, ada dua gelas wine non-alkohol berkilau diterangi cahaya lilin. Dan di balkon—oh Tuhan—pemandangan malam Tokyo dengan men

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Honeymoon

    Pagi ini rumah terasa riuh, bukan karena Rey menangis, melainkan karena aku yang sibuk mondar-mandir mengecek barang-barang yang akan aku bawa ke Jepang. Dua koper sudah berjejer di ruang tamu, tapi aku tetap merasa ada yang kurang. Sementara itu, Bunda Zura beberapa kali mengingatkanku agar tidak terlalu panik.“Nay, tenang saja, Nak. Bawa seperlunya, sisanya bisa dibeli di Jepang nanti,” ujar Bunda sambil tersenyum geli.Aku menghela napas, lalu melirik ke arah Alvaro yang sedang menggendong Rey. Si ganteng tampak ceria, tidak ada tanda-tanda rewel sama sekali meski sebentar lagi harus berpisah denganku.“Papa, jangan lupa sama janji kita, ya,” bisik Rey, meski suaranya tetap jelas terdengar olehku.Aku memicingkan mata. “Janji apa lagi ini?” tanyaku curiga.Rey malah nyengir lebar. “Papa janji mau kasih Rey adek bayi! Katanya kalau Papa Mama bulan madu ke Jepang, Rey bisa dapat adek kembar!”Aku langsung terpaku di tempat, sementara wajahku terasa panas. “Mas Al!” seruku refleks."

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Tanda Merah Meresahkan

    Rey sudah sembuh dari demamnya dan kembali ceria. Sekarang dia asyik bermain bersama Alvaro di taman belakang, sementara aku bisa sedikit bersantai di ruang keluarga bersama Bunda Zura dan Oma Narumi. Di meja terhidang teh hangat dan kue buatan Bunda.“Jadi, Alvaro sudah cerita, kan?” tanya Bunda Zura dengan senyum lembutnya. “Dia ingin ajak kamu bulan madu ke Jepang.”Aku terdiam sejenak, jemariku meremas rok yang kupakai. “Iya, Bun. Mas Al memang sudah menjelaskan. Tapi—” suaraku mengecil.“Tapi apa, Nak?” Oma Narumi menatapku penuh perhatian.Aku menunduk, menatap cangkir teh yang sudah mendingin. “Aku masih bingung, Oma. Rasanya belum tega ninggalin Rey. Apalagi kemarin dia baru sakit. Kalau aku pergi, nanti siapa yang jaga dia?”Bunda Zura tersenyum hangat, lalu meraih tanganku. “Nak, kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri. Rey sudah mulai besar, dan kamu punya kami di sini. Opa, Oma, Bapak juga Bunda— semua sayang sama Rey. Kamu bisa tenang kalau harus pergi sebentar.”“Tap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status