“Nona Raya sudah tidur, Nyonya?” Yura mendongak ke arah dua pembantu yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Bi Rati, orang yang bertanya padanya sedang berkutat dengan sayuran segar bersama satu orang lagi yang lebih muda—yang Yura belum hafal namanya. Ia memang baru saja menidurkan putrinya. “Oh, iya, Bi, sudah habis asi satu botol langsung tidur,” jawab Yura lalu berjalan mendekat ke kitchen set bergabung dengan para asisten rumah tangga, hendak mencuci botol.Akan tetapi baru saja ia ingin menyalakan keran wastafel, sebuah suara pintu terbuka menggema serempak menjeda kegiatan mereka. Dari dapur itu, Yura bisa melihat Sarah keluar dari kamar. Dengan tertatih-tatih, sang mertua menggunakan dinding sebagai bantuan.Tak ada satu pun orang yang menemaninya. Bahkan Wira yang selalu stand by di rumah tidak terlihat bersamanya kali ini. “Bi, aku titip ini sebentar, ibu keluar dari kamar,” pamitnya kepada sang binatu dan segera meninggalkan dapur menghampiri sang mertua. Mel
Bukan hanya Yura yang ketakutan dan panik. Gin yang baru saja meeting bersama para pemegang saham terpaksa pamit undur diri lebih awal dan menunda pertemuan itu di esok hari. Di tengah meeting yang cukup penting itu, ia mendapatkan kabar dari istrinya jika Sarah pingsan setelah muntah darah. Dengan segala kecepatan yang ia bisa, Gin akhirnya berhasil membawa mobilnya di rumah sakit tujuan. Pria itu segera mencari UGD tempat Sarah di rawat sementara. “Sayang!” Begitu melihat istrinya, Gin berlari ke arah yang sedang duduk di kursi tunggu. Wanita itu tampak melonggarkan pernapasannya ketika melihat Gin tiba di rumah sakit. “Gin! Akhirnya kau datang juga!” Yura memeluk erat tubuh suaminya. Bibirnya pucat dan kedua tangannya dingin ketika permukaan kulit mereka bersentuhan. Entah apa yang terjadi, tetapi melihat air muka istrinya , Gin sudah bisa meyimpulkkan separah apa kondisi Sarah saat ini. “Hei. Tidak apa-apa, tenanglah. Aku tak akan memarahimu.” Gin berkata pelan seraya melep
Ketika membuka mata, Sarah terkejut saat melihat seorang wanita sedang terlelap di sampingnya. Yura sedang duduk dan menggunakan kedua tangannya untuk menyangga kepala di sisi brankar yang kosong. Entah sejak kapan menantunya itu ada di tempat ini. Sarah tidak tahu. Semalam bahkan Wira tidak mengatakan jika pagi harinya akan digantikan oleh Yura.“Ah, ibu sudah bangun?” Yura sama terkejutnya. Ia segera menegakkan tubuh dan mengusap wajah. “Apa ibu perlu sesuatu?”Sarah tidak memberikan jawaban. Wanita berambut uban itu berusaha bangun dari tidurnya, tetapi Yura melarang.“Ibu tiduran saja, biar Yura atur brankarnya supaya ibu bisa duduk.” Yura lantas bangkit berdiri kemudian menekan beberapa tombol yang ada samping sehingga bagian kepala brankar terangkat menjadi empat puluh lima derajat.“Kenapa kau di sini? Dimana Ayah?” Untuk kali ini, Sarah melayangkan pertanyaan kepada Yura dengan nada rendah meski terkesan datar. Setidaknya bukan nada tinggi seperti yang sudah-sudah. “Ayah se
“Kau tahu tak bisa meninggalkan putra dan cucuku, dan kau tahu putraku akan gila jika kau meninggalkannya. Jika kau mengaku cinta mengapa kau tetap menyanggupi permintaanku? Cinta macam apa yang kau berikan untuk putraku?”Pertanyaan Sarah membuat Yura mematung. Ia bingung, harus menjawab apa? Rasanya semua hal yang ia lakukan tak pernah benar. Sarah merasa tersiksa dengan kehadirannya dan meminta Yura untuk pergi, ia menyanggupi bahkan mengabaikan perasaan putri dan suaminya. Namun, ketika Yura telah setuju, Sarah justru mempertanyakan ketulusan cintanya.Sebenarnya apa yang Sarah inginkan?“Aku yakin kau tak akan pernah pergi. Kau tidak akan pernah bisa sanggup memutuskan hubungan dengan putraku. Walau kau berjanji dan meminta waktu kepadaku selama apa pun.”Sampai detik ini Yura belum mampu bicara. Wanita itu hanya menunduk dalam. Sesekali mengusap air mata yang terjun bebas di pipinya.Sementara Sarah yang melihat itu lantas membuang napas panjang. Menyadari bahwa menantunya itu ke
Hari ini, Sarah diperbolehkan untuk pulang. Meski sebenarnya para medis tidak menganjurkan hal itu terjadi. Sebab, kondisinya masih lemah. Sarah butuh pengawasan khusus tetapi karena permintaan pasien mereka tak bisa memaksa. Entah apa yang dimau Sarah, Wira, Gin, bahkan Yura, tidak mengerti mengapa ia tak ingin mendapatkan pengobatan. Di saat semua orang menginginkan penyakitnya sembuh dan berlomba-lomba untuk mendapatkan dokter dan penanganan yang terbaik, Sarah tidak demikian. “Aku tidak habis pikir kenapa kau pulang secepat ini. Kau bahkan belum satu minggu di rumah sakit. Kalau hanya masalah biaya, bukankah kita sudah bicara sebelumnya?” Wira yang baru saja pulang karena urusan kantor menggerutu. Bagaimana tidak? Wira tidak tahu rencana itu. Sarah tak berunding dan meminta persetujuannya sama sekali. Hanya tiba-tiba, saat datang ke rumah sakit, ia tak menemukan Sarah di sana. Dan sekarang dia malah menemukan istrinya sedang duduk memangku cucu pertama mereka. “Aku bosan di ru
Petang hari, Yura membuka kedua matanya yang berat. Tidak tahu kapan terlelap, ia hanya ingat jika setelah mandi, ia menyusui Raya di dalam box bayi. Wanita itu meraih ponsel dan melihat alat penunjuk waktu. Ternyata sudah cukup lama ia terlelap. Yura lantas menjauh dari badan putrinya yang sedang tertidur lelap, kemudian mengganjal tubuh bayi gembul itu dengan sebuah guling kecil. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dari kamar mandi membuat Yura segera menoleh ke arah sumber suara.Gin yang masih berbalut handuk keluar dari kamar mandi. Dadanya telanjang dan rambut yang setengah basah membuatnya semakin mempesona. Siapa pun yang melihat ini tak akan sanggup menahan bibirnya untuk tidak menjerit bahagia. “Sudah bangun?” tanyanya dengan suara pelan seraya berjalan mendekat ke arah istrinya. Mengambil ponsel dan memeriksanya.“Maaf, aku tidak tahu kalau kau sudah pulang. Sebentar aku akan ambilkan baju.” Yura segera bangkit berdiri dan menutup box bayinya. Lalu berjalan ke arah war
Pagi-pagi sekali, Wira dan Sarah sudah meninggalkan kediaman utama. Wira menepati janjinya kepada Sarah untuk mengantar ke tempat pertemuan mereka. Sebuah danau di tepi kota. Ya, dulu mereka saling mengenal di tempat tersebut. Dengan mengenakan sweater tebal dan kursi roda, Sarah datang ke tempat itu. Kini, ia sedang duduk pada sebuah tikar memandangi danau yang luas itu dengan tatapan sendu. Sementara Wira yang duduk di sampingnya terus memperhatikan Sarah. Khawatir, bila mana udara yang terlalu kencang membuat Sarah tak enak badan.Untungnya, sampai saat ini Sarah terlihat baik-baik saja. Wanita tua itu sangat antusias, entah mengapa. Meski jarak yang begitu panjang harus ditempuhnya.“Terima kasih sudah mengantarku ke tempat ini, Wira.” Sarah berkata pelan. Dua netranya memandangi pantulan air yang begitu jernih. “Apa kau senang?”Sarah mengangguk. “Ya. Akhirnya aku bisa melihat pemandangan alam kembali.”“Kita tidak bisa lama-lama di sini. Anginnya terlalu kencang. Meski kau sud
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth